• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH. Pendidikan POLRI Yang Saya Kenal dan Saran Menghadapi Tantangan Di Masa Depan (Beberapa Catatan Kecil Untuk Diskusi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH. Pendidikan POLRI Yang Saya Kenal dan Saran Menghadapi Tantangan Di Masa Depan (Beberapa Catatan Kecil Untuk Diskusi)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Workshop Evaluasi Program Kemitraan PUSHAM UII dan AKPOL Semarang Dalam Rangka Penguatan dan Pengembangan Mutu Pendidikan

di AKPOL Semarang

Hotel Santika Premiere Semarang , 8 – 9 Oktober 2013

MAKALAH

Pendidikan POLRI Yang Saya Kenal dan

Saran Menghadapi Tantangan Di Masa Depan

(Beberapa Catatan Kecil Untuk Diskusi)

Oleh:

Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro

(2)

1 Mardjono Reksodiputro1

Makalah ini tentu tidak dapat membahas keseluruhan pendidikan kepolisian, dan karena itu hanya akan memfokuskan (seperti permintaan Panitia) pada pendidikan di AKPOL. Di sini pun tentunya tidak dapat dilakukan melalui evaluasi, dan karena itu saya hanya akan mencoba

Pendidikan POLRI Yang Saya Kenal dan Saran Menghadapi Tantangan Di Masa Depan

(Beberapa Catatan Kecil Untuk Diskusi)

Pendahuluan

Atas permintaan PUSHAM UII Yogyakarta saya diminta membawa makalah yang bertemakan

“Evaluasi Program Kemitraan PUSHAM UII dan AKPOL – Dalam Rangka Penguatan dan Pengembangan Mutu Pendidikan di AKPOL”. Juga diberikan topik: “Potret Pendidikan Kepolisian RI dan Gagasan Pendidikan Polri Yang Ideal”. Saya agak mengubah judul makalah

menjadi:”Pendidikan POLRI Yang Saya Kenal dan Saran Menghadapi Tantangan Di Masa

Depan”. Ini terjadi setelah memikirkan kemampuan dan pengalaman saya, dan saya mau

menerima tugas ini, namun dengan mengubah judul sebagaimana tercantum di atas. Mudah-mudahan masih dapat bermanfaat.

Salah satu tugas utama kepolisian adalah penegakan hukum pidana dan karena itu pendidikan kepolisian berkaitan erat dengan proses dan prosedur hukum acara pidana. Namun tugas kepolisian sebenarnya adalah lebih dari itu, tugas yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga ketertiban dalam masyarakat dan melindungi masyarakat dari berbagai ancaman yang dihadapinya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan tenaga-tenaga kepolisian yang profesional. Profesionalisme kepolisian diperoleh melalui berbagai pendidikan di kepolisian. Pendidikan akan membantu anggota kepolisian memperoleh kompetensi dalam kemahiran (skills) dan kemampuan (abilities) yang dibutuhkan dalam profesinya.

1 Gurubesar Emiritus Univ.Indonesia;Ketua Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program

Magister Ilmu Hukum Unv.Indonesia;Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila,Jakarta;Sekretaris Komisi Hukum Nasional RI; Dosen di UI dan di Unv.Pancasila. Mantan Dekan Fakultas Hukum UI (1984-1990);Mantan Sekretaris/kemudian Ketua Konsorsium Ilmu Hukum (1990-2002);Mantan Ketua Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian UI (1996-2006).

(3)

2 dengan berasumsi tentang tantangan yang (mungkin) harus dihadapi oleh kepolisian,karena perubahan-perubahan yang telah dan sedang terjadi di Indonesia.

Polisi Sebagai Intelektual

Pada waktu Prof.Harsya Bachtiar2 dan Prof.Awaludin Djamin3

Apa tujuan menghadirkan “polisi sebagai intelektual” ini ? Menurut kami untuk mengembangkan Ilmu Kepolisian yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan di Indonesia. Kita tentu saja dapat mengambil sebagian ilmu dari bahan pustaka luar negeri, namun pengembangannya harus sesuai dengan keperluan masyarakat Indonesia. Dalam pembidangan ilmu-ilmu, KIK-UI mengambil posisi bahwa Ilmu Kepolisian termasuk bidang Ilmu Sosial dan mempergunakan pendekatan interdisiplin (interdisciplinary approach bukan multidiciplinary) merencanakan pendidikan S-2 (Magister) Ilmu Kepolisian (1994-1995), saya adalah juga salah seorang Dosen (Kriminologi) di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan sudah sejak tahun1980-an mengajar di sana. Konsep kedua gurubesar ini pada waktu itu adalah menginginkan agar lulusan S-2 Ilmu Kepolisian tidak menjadi sekedar “lulusan sekolah kedinasan”. Karena itulah diadakan kerjasama dengan suatu universitas (dalam hal ini Universitas Indonesia). Sebagai Ketua pertama S-2 Kepolisian ini, saya selalu berpedoman pada gagasan mereka, yang kemudian saya namakan “Polisi sebagai seorang intelektual” (a police officer as an intellectual). Lulusan yang mempunyai cukup bekal untuk bekerja dengan rasio (dengan “otak” bukan “otot”). Dan kalau kita percaya bahwa ada disiplin ilmu yang bernama “Ilmu Kepolisian”, maka lulusan Program Kajian Ilmu Kepolisian UI, diharapkan dapat mengembangkan lebih lanjut “disiplin ilmu baru” ini.Seperti dikatakan Prof Harsya Bachtiar, perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia harus berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia dan sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi polisi di Indonesia. Bersama dengan Prof.Parsudi Suparlan, Program S-2 yang saya pimpin ini kemudian membuka juga Program S-3 dan kami berhasil meluluskan 8 Doktor Ilmu Kepolisian.

2 Prof.Harsya W.Bachtiar telah menerbitkan buku Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang

Baru, 1994,Grasindo (beliau wafat Desember 1995).

3

Prof Awaludin Djamin pada waktu itu adalah Dekan PTIK dan Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (mantan Kapori 1978 – 1982).

(4)

3 dalam pengembangan ilmunya. Dengan mempertimbangkan keanekaragaman masyarakat Indonesia, suatu masyarakat “multi-kultural” (multicultural society bukan plural),maka pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, seperti Antropologi dan Sosiologi, diberi perhatian khusus dan diharapkan terjalin dalam tema-tema matakuliah lainnya (misalnya: dalam matakuliah: Ilmu Kepolisian – Pemolisian Alternatif – Manajemen Sekuriti Swakarsa – yang merupakan matakuliah saya di KIK-UI).

Polisi Yang Kita Inginkan

Sub-judul di atas adalah judul sebuah buku terjemahan karangan David Bruce dan Rachel Neild4

4

Karangan asli berjudul The Police That We Want, oleh David Bruce (Centre for the Study of Violence and Reconciliation, Johannesburg) dan Rachel Neild (Open Society Justice Initiative).

, yang disebarkan pada tahun 2009 oleh LCKI (Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia) yang dipimpin oleh Prof. Da’i Bachtiar (mantan Kapolri). Dalam buku ini digambarkan adanya pemahaman “Perpolisian Demokratis” di Afrika Selatan (yang bebas dari rejim Apartheid tahun 1990). Meskipun buku ini bercerita tentang suatu Negara asing yang baru bebas dari rejim “totaliter”, tidak ada salahnya untuk membaca dan mencoba membahas buku ini untuk kondisi Indonesia. Pemolisian yang bersifat “demokratis” inilah yang memang harus jadi ciri pendidikan kepolisian di Indonesia, umumnya dan di AKPOL khususnya. Pemolisian yang demokratis, menurut saya, adalah strategi umum agar polisi dekat dengan komunitas warga dimana dia bekerja dan karena itu selalu membuka jalur komunikasi dengan warga (termasuk membuka diri untuk menerima komplen/keluhan/gugatan/tuduhan masyarakat, dan mempunyai prosedur untuk memeriksanya secara “terbuka”).

Khusus untuk masalah pendidikan (dengan mengharap tentu profil lulusannya), maka saya ingin mengajukan beberapa ciri dari “polisi-intelektual yang diinginkan”:

a) Mempunyai intelegensia yang tinggi dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerimapemikiran dan gagasan baru;

b) Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting;

(5)

4 Kalau dilihat kriteria saya di atas, maka yang saya pikirkan adalah seorang polisi yang dapat memimpin anak-buahnya, siap bertindak dalam suasana kritis dan bersedia untuk terlebih dahulu menggunakan musyawarah, sebelum merasa perlu untuk melakukan kekerasan (force dan bukan violence). Lulusan AKPOL menurut saya (maaf bila keliru) akan termasuk dalam kategori middle management , yang akan memimpin suatu POLSEK dan bertugas terutama untuk mengarahkan kegiatan di wilayahnya sesuai dengan pedoman dari POLRES dan POLDA.

Rekrutmen dan Seleksi

Pentingnya rekrutmen (berbentuk pendaftaran-calon) dan seleksi (berbentuk pemenuhan syarat administratif dan intelektual calon) tentu tidak perlu diperdebatkan, karena di sini berlaku ungkapan “garbage in, garbage out !”. Di sini kita harus sangat waspada. Mengapa ? Karena pekerjaan sebagai polisi sangat diminati oleh warga masyarakat, apalagi kalau pendidikannya adalah hampir tanpa-biaya dan lulusannya sudah terjamin pekerjaannya. “Kabar-burung” (yang saya percayai) mengatakan, adanya “perantara-perantara” yang menawarkan jasanya, dengan jaminan pasti akan lulus dalam seleksi. Memang rekrutmen dilakukan secara terbuka (melalui media-massa) dan tersebar diseluruh Polda (?). Namun saja,masih perlu dipikirkan dengan serius bagaimana cara agar memang kita dapat memilih “yang terbaik dari para peminat” (bukan terbaik dari mereka yang “masuk dalam daftar calon-seleksi” !). Mungkin rekrutmen dan seleksi

on-line akan membantu.

Kurikulum5

Saya tidak mau dan tidak mampu untuk membahas Kurikulum Akpol 20136

5 Dalam Kurikulum KIK-UI (2013) terdapat a.l. matakuliah: Ilmu Kepolisian Indonesia; Sejarah Kepolisian Indonesia; Filsafat dan Etika Kepolisian (Umum dan Indonesia); Masalah-masalah Sosial di Indonesia; Perbandingan Sistem Kepolisian; Perubahan Sosial dan Pembangunan; Masalah dan Isyu HAM di Indonesia; Pemolisian Alternatif; dan Manajemen Sekuriti Swakarsa.

6

Saya terima dari Panitia berupa Keputusan Kepala LEMDIKPOL, No.334/2013, tentang Sarjana Satu(S1)

Terapan Kepolisian (31 Mei 2013)

.Pertama karena saya bukan ahlinya dan kedua menilai kurikulum tidak dapat hanya berdasarkan daftar matakuliah dan judul pelatihan. Karena itu saya hanya dapat dan akan menyampaikan sebagian kesimpulan

(6)

5

dalam beberapa diskusi-intern7

Kesimpulan pertama adalah jangan mengarah pada “penguasaan ilmu hukum”, memang seorang polisi akan bekerja dalam ranah hukum (khususnya hukum pidana, dan lebih khusus lagi hukum acara pidana), tetapi dia bukan akan menjadi sarjana hukum, tetapi sarjana/magister dalam bidang ilmu kepolisian. Kalaupun dia nanti harus mempergunakan hukum pidana matriil, maka dia sementara sebagai lulusan cukup hanya mengenal beberapa tindak pidana yang memerlukan penanganan dan identifikasi khusus (Korupsi; Kejahatan Terorganisasi; Perdagangan Manusia; Kejahatan Narkoba). Hukum pidana formal yang perlu diketahuinya adalah terutama yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan. Terutama tentang hak-hak warga masyarakat yang disangka melakukan kejahatan – apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang polisi dalam melakukan “upaya-paksa”.

penyusunan dan penyempurnaan kurikulum Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian UI.

8

Hal kedua, adalah perlunya seorang polisi mengenal masyarakat di mana nanti dia akan

bekerja. Dia harus memahami sifat masyarakat Indonesia yang multi-kultural, dan tidak sekedar

mengerti dari membaca dan menghafal (rote learning) tentang kebinekaan masyarakat kita. Karena itu dia perlu memahami dengan baik, Sosiologi, khususnya Sosiologi (masyarakat) Indonesia dan lebih khusus lagi juga paham tentang beda masyarakat kota (urban) dengan masyarakat pedesaan (rural). Hal ini juga mengakibatkan dia harus juga memahami dengan baik Antropologi Budaya masyarakat Indonesia. Pendekatan seperti ini dilakukan, karena diakui (meskipun sering dilupakan) bahwa tugas polisi adalah 70-80% menjaga dan merawat ketertiban dalam masyarakat serta melindunginya (public order maintenance and public

safety) dan hanya 20-30% tugasnya yang sifatnya bertindak represif terhadap pelaku pelanggar

hukum (criminal law investigation and enforcement).9

7

Diskusi dilakukan (1996/1997) : a.l dengan Prof Awaludin Djamin; Prof Parsudi Suparlan; Prof Haryati Subadio; Prof Miriam Budiardjo; Prof Tapiomas Ihromi; Prof Melly Tan; dan Bapak Drs Kunarto (mantan Kapolri) serta Bapak Drs Momo Kelana, SH ( salah seorang konseptor UU Kepolisian) – maaf bila ada yang terlupa.

8 Lihat juga Mardjono Reksodiputro,1990, “Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-hak Warganegara (Civil Rights)”,Seminar Sehari FHUI

9

Lihat juga pendapat What Do the Police Do ? dalam Rod Morgan dan Tim Newburn,1997, The Future of Policing, Clarendon Press, hal. 78 -91

(7)

6 Hal ketiga yang didiskusikan adalah sehubungan dengan situasi umum pada waktu itu yaitu: “

usaha menegakkan perlindungan terhadap HAM serta isyu-isyu tentang hubungan jender”.

Isyu-isyu untuk kuliah disarankan dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat oleh KomNas HAM seperti: a.l. pelanggaran-berat HAM (kasus TimTim, kasus Tanjung Priok) dan diangkat oleh Kajian Wanita UI (a.l. permasalahan Kesetaraan Jender, perdagangan perempuan). Oleh karena itu diharapkan bahwa kurikulum mengadopsi tema-tema ini dan pembahasan dalam kuliah tentang fungsi,tugas dan wewenang kepolisian memperhatikan hal ini.

Hal keempat adalah tentang “mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai

kejahatan serta cara-cara pencegahannya” (bagian dari definisi Prof Parsudi Suparlan tentang

Ilmu Kepolisian). Pada awalnya, ada tiga “peminatan” dalam Program Magister KIK-UI, yaitu: Administrasi Kepolisian, Hukum Kepolisian dam Teknologi Kepolisian. Peminatan yang ke-3 ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tenaga ahli kepolisian yang berperan aktif dalam Laboratorium Forensik Kepolisian. Setelah sejumlah tenaga pengajar direkrut (a.l. dari bidang Ilmu Kedoteran; Ilmu Kimia (Toksikologi); Ilmu Fisika), maka peminatan ini (sementara) ditutup, karena memerlukan mahasiswa dengan latar-belakang tertentu dan perangkat perkuliahan tertentu. Peminatan ini kemudian diganti dengan “Manajemen Sekuriti Swakarsa” (Private Security Management).

Pemolisian Komuniti

Pemolisian Komuniti dikuliahkan dalam konteks Pemolisian Alternatif, dan – menurut saya - merupakan suatu ideologi (konsep cara berpikir fungsi kepolisian) serta strategi (ilmu dan seni memberdayakan potensi kepolisian). Pada tahun-tahun 1996 dan selanjutnya, pemikiran tentang ini banyak dipikirkan dan didiskusikan di KIK-UI, antara lain karena adanya berbagai permasalahan “konflik di masyarakat”. Dalam kerangka perkuliahan saya sering mempergunakan perumpamaan “ambivalensi” dalam pekerjaan kepolisian. Dalam tugasnya terdapat dua wajah polisi “yang angker, yaitu represif” dan “yang tersenyum, yaitu membantu mencari solusi”. Pemolisian komuniti berada di wilayah “wajah polisi yang tersenyum”. Dalam kaitan ini perlu dipikirkan untuk juga memasukkan dalam kurikulum AKPOL pembelajaran yang mendalam tentang pemolisian komuniti ini, karena bukankah 70-80% tugas

(8)

7 kepolisian berada di luar ranah represif ? Pendalaman tentang pemolisian komuniti harus juga dibarengi dengan pemahaman yang baik dari konsep, teori dan praktek “penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana”.10

10 Lihat Disertasi Eva Achjani Sulfa, 2009, Keadaan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum UI

Penutup

Tulisan di atas di susun dalam pemikiran “tantangan-tantangan yang (mungkin) akan dihadapi oleh anggota-anggota Kepolisian Indonesia di masa depan”. Gambaran tentang “Polisi Intelektual” dan “Polisi yang Kita Inginkan” dimaksudkan (bersama dengan catatan kecil tentang kurikulum KIK-UI) untuk menekankan agar Kurikulum Akpol memuat strategi “bagaimana membantu para mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai positif terhadap tugas dan kewajiban profesi kepolisian”. Melihat strategisnya posisi AKPOL dalam pendidikan perwira pimpinan POLRI, maka diperlukan kerjasama dengan pihak luar-Akpol yang dapat membantu dalam “mengukur” apakah diperlukan kurikulum baru, dengan silabus yang lebih rinci, dan dengan model-model strategi pembelajaran dan inovasi-inovasi, yang dapat mendekatkan tujuan pendidikan Akpol dengan kenyataan pendidikan selama ini.

Semarang, 8 Oktober 2013

Referensi

Dokumen terkait