• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGAMBILAN LAPUNG PADI PEMILIK SAWAH DI KENAGARIAN PADANG MENTINGGI KECAMATAN RAO KABUPATEN PASAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGAMBILAN LAPUNG PADI PEMILIK SAWAH DI KENAGARIAN PADANG MENTINGGI KECAMATAN RAO KABUPATEN PASAMAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

57

RAO KABUPATEN PASAMAN

1. Penyebab Terjadinya Pengambilan Lapung Padi Pemilik Sawah Tanpa Izin di Kenagarian Padang Mentinggi Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman

Pengambilan lapung dilaksanakan apabila ada sawah di Kenagarian tersebut yang akan panen pada musim itu. Para pengambil lapung akan bergegas untuk mengambil lapung dan dimulai dari sawah yang sudah selesai dipanen terlebih dahulu dan begitulah seterusnya kepada sawah-sawah yang lainnya sampai semua sawah-sawah di Kenagarian Padang Mentinggi selesai di panen. Lapung tersebut yang nantinya akan diperjualbelikan dan dimanfaatkan untuk makanan ternak. Dalam pengambilan lapung padi tersebut ada yang meminta izin pada pemiliknya dan ada juga yang tidak, pada dasarnya pengambilan lapung ini haruslah meminta izin pada pemiliknya. Karena ini merupakan hal yang sudah biasa dilakukan setiap musim panen, para pengambil lapung merasa tidak perlu lagi meminta izin kepada pemilik sawah tersebut.

Penulis telah melakukan wawancara dengan M. Natin selaku Kepala Jorong tentang lapung padi pada tanggal 15 November 2016 ada tiga pembagian lapung yaitu lapung (padi hampa/ tidak berisi), lapung dok-dok (berisi setengah) padi utuh yang tercampur ke dalam lapung. Berdasarkan pembagian lapung bahwa lapung yang diambil oleh pemungut lapung padi di Kenagarian Padang Mentinggi adalah lapung dok-dok (padi yang berisi setengah) dan padi yang masih utuh yang tercampur ke dalam lapung (Natin 2016).

Ada beberapa faktor penyebab pengambilan lapung padi di Kenagarian Padang Mentinggi sebagai berikut:

(2)

1.1. Faktor Kebiasaan

Faktor kebiasaan merupakan hal yang disebabkan oleh manusia karena manusia berperan besar dalam soaial masyarakat. Berdasarkan pernyataan Bapak Kholidi selaku yang dituakan bahwa pengambilan lapung di Kenagarian Padang Mentinggi sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan pada waktu itu hanya beberapa masyarakat yang melakukan pengambilan lapung tanpa izin dari pemiliknya sehingga hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat. Mereka beranggapan tidak diperlukan lagi izin dari pemilik lapung, sehingga pada musim panen pengambilan lapung padi banyak dilakukan tanpa harus meminta izin kepada pemilik sawah yang telah selesai panen (Kholidi 2016).

Begitu juga pernyataan dari Juddin selaku ketua pemuda pada tanggal 1 Desember 2016 sebagai berikut:

Menurut saya penyebab masyarakat mengambil lapung padi tanpa izin adalah hal tersebut telah menjadi kebiasaan sejak dahulu sampai sekarang dan pengambilan lapung ini sudah hal yang biasa dan wajar dilakukan sewaktu musim panen di Kenagarian Padang Mentinggi ini. Menurut saya pengambilan lapung padi sudah menjadi tradisi masyarakat dan tidak diperlukan lagi izin dari pemilik sawah (Juddin 2016).

1.2. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan faktor yang sangat besar peranannya dalam kebutuhan hidup, (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Ekonomi 2014, 13). Ekonomi yang semakin meningkat dapat mempengaruhi terjadinya pengambilan lapung padi seperti yang di alami beberapa masyarakat. Mardiah seorang buruh yang tidak memiliki sawah dan saat musim panen ibu Mardiah selalu mengambil lapung padi pemilik sawah untuk dijual dan hasilnya sebagai tambahan kebutuhan sehari-hari (Mardiah 2016).

(3)

Di samping itu Penulis juga melakukan beberapa wawancara dengan tokoh masyarakat / hatobangon (yang dituakan) pada tanggal 1 Desember 2016 adalah:

Penyebab terjadinya pengambilan lapung tanpa izin dari pemiliknya adalah karena dahulu setiap selesai panen, lapung padi akan dibiarkan begitu saja oleh pemilik sawah dan tidak merasa keberatan kepada masyarakat yang ingin mengambil lapung tersebut sehingga menjadi kebiasaan bagi masyarakat. Akan tetapi sekarang saya banyak menerima keluhan dari beberapa masyarakat yang merasa keberatan dengan pengambilan lapung tanpa izin karna mereka memerlukan lapung tersebut. Saya sebagai hatobangon hanya bisa memberi saran kepada masyarakat agar sebaiknya mereka meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik lapung agar nantinya tidak menimbulkan masalah. Saya juga memberikan penjelasan kepada masyarakat yang merasa keberatan dengan tradisi ini agar mereka memahami bahwa tradisi pengambilan lapung sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat secara turun temurun (Duon 2016)

Begitu pula faktor ekonomi yang sangat sulit yang dialami oleh Martalena salah seorang pengambil lapung sebagai berikut:

Saya adalah salah seorang yang mengambil Lapung padi pada musim panen tiba, dalam sehari saya bisa dapat ± 20 kg. Saya mengambil lapung padi karena faktor ekonomi yang kurang mendukung, itulah sebabnya setelah selesai panen saya juga bekerja memungut lapung padi ke sawah orang lain. Pada lapung yang dihasilkan masih ada padi yang utuh di dalamnya. Pertama yang saya lakukan yaitu: saya turun ke sawah dengan menyediakan terlebih dahulu ember dan karung untuk di bawa kelokasi pengambilan lapung. Sawah yang diambil lapungnya adalah sawah yang telah selesai dipanen. Saya mengambil lapung padi tersebut lalu memasukkannya ke dalam ember yang telah berisi air. Setelah lapung tersebut dimasukkan ke dalam ember maka padi utuh akan turun ke bawah dan lapung padi akan naik ke atas atau dipermukaan air. Lapung yang berada di permukaan air dibuang lalu dapatlah padi utuh yang berada di dasar air. Setelah itu dimasukkan ke dalam karung, begitu selanjutnya sampai semua lapung selesai terendam ke dalam air dan dilanjutkan ke sawah berikutnya. Setelah selesai memungut

(4)

lapung dan padi utuh telah didapatkan, lalu padi tersebut dijemur sampai kering dan kemudian dijual dan tidak ada ketentuan untuk bagi hasil sedikitpun dengan pemilik sawah. Hasil itulah saya gunakan sebagai tambahan kebutuhan keluarga. Dalam pengambilan lapung tersebut saya tidak pernah minta izin kepada pemilik sawah karena pengambilan lapung padi sudah merupakan suatu tradisi yang sudah biasa dilakukan masyarakat (Lena 2016).

Wawancara di atas menjelaskan hatobangon (yang dituakan) dan ketua pemuda menyatakan bahwa penyebab terjadinya pengambilan lapung padi tanpa izin adalah karna sudah menjadi kebiasaan masyarakat sejak dahulu. Begitu juga wawancara yang dilakukan kepada pengambil lapung bahwa hasil dari pengambilan lapung padi yang dilakukan masih bisa diolah menjadi padi utuh dan membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tradisi pengambilan lapung yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi Kecamatan Rao merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat di saat musim panen terjadi.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab pengambilan lapung padi seperti yang penulis paparkan di atas dapat dipahami bahwa salah satu dasar diadakannya tradisi pengambilan Lapung padi oleh orang terdahulu karena melihat dari kondisi sosial, ekonomi dan agraris masyarakat Kenagarian Padang Mentinggi pada masa itu masih sangat mendukung dan perekonomian masih baik-baik saja. Namun melihat kondisi masa sekarang, luas sawah yang semakin minim tentunya membuat penghasilan petani semakin menurun di Kenagarian Padang Mentinggi. Hal inilah yang membuat para pemilik merasa seharusnya para pengambil lapung padi meminta izin terlebih dahulu sebelum mengambil lapung padi di sawah mereka.

(5)

2. Tanggapan Pemilik Lapung Padi terhadap Pengambilan Lapung

Padinya tanpa Izin

Kenagarian Padang Mentinggi sangat kental dengan adat dan tradisinya, salah satu tradisi yang masih dilakukan sampai sekarang adalah tradisi pengambilan lapung padi. Pelaksanaan tradisi pengambilan lapung memang telah diketahui oleh banyak orang pada saat tradisi tersebut dimunculkan. Awal mula dilaksanakan tradisi pengambilan lapung padi, para pengambil lapung meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan tradisi ini terus berlangsung. Para pengambil lapung merasa hal ini sudah biasa dilakukan setiap musim panen yang membuat para pengambil lapung beranggapan tidak perlu lagi untuk meminta izin kepada pemiliknya. Semua itu disebabkan pengambilan lapung padi ini sudah menjadi tradisi di Kenagarian Padang Mentinggi setiap musim panen.

2.1 Masyarakat yang merasa keberatan dengan pengambilan lapung padi tanpa izin kepada pemilik.

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 20 November 2016 dengan beberapa pemilik lapung padi mengenai tanggapan mereka terhadap pengambilan lapung padinya tanpa izin.

Wawancara penulis lakukan terhadap pemilik lapung padi, adapun hasil wawancaranya adalah sebagai berikut :

Saya bekerja sebagai petani yang memiliki sawah seluas 3 lungguk / (½ H), pada saat ini saya hanya memiliki sawah, namun dulunya saya masih mempunyai sebidang kebun karet dan kebun karet tersebut sudah dijual untuk dapat memperluas sawah. Sawah yang saya miliki sebelumnya sebanyak (2 lungguk). Setelah kebun karet dijual saya menggunakan uangnya untuk memperluas sawah sehingga sekarang menjadi ½ H, sekarang hanya itu satu-satunya mata pencaharian saya. Tanggapan saya terhadap pengambilan lapung tanpa izin pada saat sekarang ini, saya mulai merasa keberatan jika tradisi itu tetap berjalan. Saya pribadi juga butuh lapung padi tersebut untuk dijadikan makanan itik, dan sebahagian lapung yang masih berisi utuh bisa dicampurkan kembali ke padi yang dipanen setelah dikipas beberapa kali. Dalam kondisi inilah saya merasa keberatan jika para pengambil lapung tidak minta izin terlebih dahulu dan mengambil seenaknya saja. Kadang-kadang hasil yang mereka dapatkan dalam satu hari

(6)

mencapai ± 20 kg/ hari. Hasil tersebut tidak ada partisipasi sedikitpun kepada kami pemilik sawah. Kalau dulu saya masih terima dengan tradisi pengambilan lapung. Selain bertujuan membantu keluarga yang kurang mampu, saya pun sebagai pemilik sawah yang tidak membutuhkan lapung padi juga merasa terbantu apabila lapung padi di sawah saya diambil karena memang sudah tidak diperlukan lagi (Lubis 2016).

Sependapat dengan Lubis yaitu bapak Asrul bahwa “Saya seorang petani yang memiliki sawah sewaan seluas 2 lungguk atau sekitar 1/3 H selain itu saya juga bekerja sebagai buruh. Tanggapan saya terhadap pengambilan lapung padi tanpa izin adalah saya sangat keberatan dengan tradisi tersebut karena saya juga membutuhkan lapung padi setelah padi di panen” (Asrul 2016).

Selanjutnya penulis juga mewawancarai petani yang merasa keberatan terhadap pengambilan lapung padi tanpa izin yaitu Nurliana, berikut hasil wawancaranya yaitu :

Saya dan suami bekerja sebagai petani, selain itu kami juga menjual sayur. Kami memiliki tanah 6 lungguk atau sekitar 1 hektar yang mana 3 lungguk ditanami padi dan 3 lungguk lagi di tanami sayuran. tanggapan saya terhadap tradisi pengambilan lapung tanpa izin adalah sedikit keberatan karena tidak ada basa basi dari mereka. Apabila mereka minta izin pasti saya memperbolehkan mereka mengambil lapung padi, karena saya tidak memerlukan lapung padi tersebut (Nurliana 2016).

Sependapat dengan Nurliana yaitu Samik Sihombing, berikut hasil wawancaranya :

Umur saya 49 tahun, saya bekerja sebagai petani dan menjual sate keliling di sekitar jorong lubuk aro. Terhadap tradisi pengambilan lapung padi ini, saya sangat merasa risih dengan perbuatan yang dilakukan oleh pengambil lapung padi di sawah saya, karena di dalam Islam saja Allah melarang mengambil harta oranglain. Sekiranya mereka minta izin pasti saya ikhlas untuk memberikannya, tapi dengan cara begini menurut saya sama dengan mencuri (Sihombing 2016).

Selanjutnya Arisman yang berhasil penulis wawancarai, juga merasa keberatan dengan tradisi tersebut. Berikut hasil wawancaranya yaitu:

(7)

Saya tinggal di Lubuk Aro tapi saya memiliki sawah di Jorong Polongan dua ini. Tanggapan saya terhadap pengambilan lapung tanpa izin adalah, saya merasa tidak dihargai karena mereka mengambil lapung di sawah saya seenaknya saja dan mengambil tanpa permisi atau minta izin (Arisman 2016).

2.2 Masyarakat yang merasa tidak Keberatan terhadap pengambilan lapung padi tanpa izin dari pemilik.

Penulis melakukan wawancara terhadap Rosmila yang tidak merasa keberatan dengan tradisi pengambilan lapung tanpa izin dari pemilk lapung. Berikut hasil wawancaranya:

Saya bekerja sebagai guru dan juga memiki sawah di padang Mentinggi seluas 9 lungguk atau 1,5 hektar. Tanggapan saya terhadap pengambilan lapung padi tanpa izin dari pemilik sawah adalah sudah lumrah atau sudah biasa dilakukan. Saya tidak masalah ataupun merasa keberatan dengan tradisi pengambilan lapung karena setelah panen saya tidak memerlukan lapung padi tersebut. Saya ikhlas kalau lapung padi saya diambil karena sedikit banyaknya dari hasil pengambilan lapung sudah bisa menambah kebutuhan sehari-hari mereka (Rosmila 2016).

Tidak jauh beda dengan tanggapan Mahmud yang juga tidak keberatan terhadap pengambilan lapung tanpa izin. Berikut hasil wawancaranya yaitu:

Saya salah seorang pemilik sawah di Jorong Lubuk Aro seluas 1 H / (6 lungguk). Tanggapan saya tentang tradisi pengambilan lapung sudah biasa karena memang tradisi itu sudah ada dari dulu. Saya tidak keberatan apabila lapung yang ada di sawah saya diambil tanpa izin. Lagi pula lapung tersebut tidak begitu saya pergunakan lagi (Mahmud 2016).

Setelah penulis melakukan wawancara dengan tujuh orang responden. Bahwa ada lima responden merasa keberatan karena masyarakat mengambil lapung padi tanpa meminta izin kepada pemilik lapung padi tersebut. Ada dua responden tidak merasa keberatan dengan pengambilan lapung padi tanpa izin. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi tradisi sejak dahulu.

(8)

3. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pengambilan Lapung Padi tanpa Izin Pemilik Lapung di Kenagarian Padang Metinggi Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman

Berdasarkan tanggapan pemilik lapung terhadap pengambilan lapung tanpa izin, yang telah penulis paparkan di atas. Sekitar 71% masyarakat merasa keberatan dengan pengambilan lapung padi tanpa izin karena mereka juga membutuhkan lapung padi tersebut. Padahal Hukum Islam telah mengatur bagaimana seseorang memperoleh kebutuhan yang dibutuhkan. Islam telah memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mengembangkan potensinya dalam memenuhi kebutuhan hidup, asal tidak bertentangan dengan anjuran yang telah disyariatkan islam. Manusia mempunyai kebebasan dalam membuat suatu keputusan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya (Afzalurrahman 1995, 8).

Islam sangat menganjurkan kepada manusia untuk berusaha dengan cara yang halal yang sesuai dengan syariat Islam. Sejalan dengan hal ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 188 (Departemen Agama RI 1992, 46) :





































Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah: 188).

Hal ini juga di jelaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 29 (Departemen Agama RI 1992, 83):

(9)

















































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” (QS. An-Nisaa: 29).

Dari kedua ayat di atas terkandung makna bahwa manusia dituntut untuk mencari rezki dengan cara yang halal. Islam sangat melarang manusia mengumpulkan harta dengan menggunakan cara yang bathil. Ketentuan ini juga berlaku pada pemanfaatan hak milik atas lapung padi yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi karena mengambil harta dengan cara ini tidak sesuai dengan ketentuan syara’. Dengan kata lain mengambil harta orang lain dengan jalan ini pada dasarnya haram. Mengambil pemanfaatan atas sesuatu yang dimiliki orang lain sama saja dengan mencuri harta orang lain. Sama halnya lapung padi yang diambil oleh pengambil lapung padi itu adalah mutlak hak pemiliknya.

Di samping ayat di atas terdapat pula dalam kaidah fiqh yaitu :

نا دحلأزوجي لا

يعرش ببسلابدحأ لام ذخأي

Artinya: “Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ (Rahman 1976, 104).

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat dilihat bahwa mengambil harta benda dengan cara yang bathil tidak dibolehkan dalam Islam. Dalam hukum Islam juga dapat dilihat beberapa hak milik yaitu: hak milik pribadi merupakan hak yang dimiliki seseorang, ia bebas untuk melakukan tindakan apapun terhadap hak miliknya. Hak milik umum dan hak milik negara.

(10)

Sesuai dengan hak milik di atas bahwa pengambilan lapung yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi, pemilik sawah yang sudah panen atau pemilik lapung termasuk kepada hak milik pribadi. Di mana pemilik sawah atau pemilik lapung bebas melakukan apapun terhadap lapung padi yang diperoleh. Ada beberapa hal yang dikemukakan para ulama fiqh terhadap milik pribadi di antaranya adalah tidak memberi mudarat kepada orang lain. Semestinya dalam pemanfaatan itu orang lain pun ikut menikmati manfaatnya. Untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah, seperti zakat, sumbangan untuk negara, pajak dan biaya lainnya yang diperlukan negara dalam situasi tertentu. Seperti hak milik terhadap lapung padi yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi. Untuk mempergunakan dan memafaatkan hak milik seseorang maka harus dapat izin dari pemiliknya. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda:

ئرما لام لحي لا :لاق ملسو ويلع للها ىلص للها لوسر نأ كلام نبا سنأ نع

)ىنطقرادلا هاور ( وسفن بيطب لاإ ملسم

Artinya: “Dari anas bin malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda “ tidak halal harta seorang muslim dipergunakan muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya” (Umar 2008, 66). Hadits ini menjelaskan bahwa untuk dapat memanfaatkan hak milik orang lain, harus ada izin dari pemiliknya yang sah. Begitu pula dengan pemanfaat hak milik yang atas lapung padi ini baru dapat diambil oleh para pengambil lapung apabila sudah mendapat izin dari pemilik. Namun apabila orang yang berkuasa atas benda itu tidak mengizinkan maka tidak boleh melakukan tasarruf apapun terhadap benda tersebut, sesuai dengan kaidah ushul fiqh sebagi berikut:

(11)

Artinya: “Seseorang tidak boleh melakukan tindakan apapun terhadap milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya” (Halimy 2004, 48).

Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa mengambil harta orang lain harus dibolehkan dalam Islam dan undang-undang yang berlaku. Namun sebagian pengambil lapung tetap bertahan dengan anggapannya bahwa pengambilan lapung ini adalah adat yang sudah biasa dilakukan dan tidak perlu lagi meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.

Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa untuk mengelola dan memanfaatkan harta milik orang lain harus mendapat izin dari penguasanya. Sama halnya dengan pengambilan lapung padi harus mendapat izin dari pemilik sawah atau pemilik lapung.

Hal ini dijelaskan surat an-Nisa’ ayat 29 (Departemen Agama RI 1992, 83):

















































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” (QS. An-Nisaa: 29).

Selanjutnya juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW yaitu :

ملسو ويلع للها ىلص للها لوسر لاق ,لاق ونع للها يضر يبرثي نب ورمع نع

:

لا

ونم سفن بيطب لاإ ملسم ئرما لام لحي

هاور(

دواد وبأ

)

(12)

Artinya: “Dari ‘Amru bin Yatsribi ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda “Tidak halal mengambil harta seorang msulim kecuali dengan kerelaan dari dririnya”.

Hadits di atas menjelaskan, apabila seseorang melakukan tasarruf terhadap sesuatu tanpa izin dari pemiliknya atau ada kekuasaan dari padanya, maka dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Sehingga kepadanya diwajibkan mengganti kerugian atau menanggung akibat dari perbuatannya itu. Hal tersebut juga berlaku terhadap pengambilan lapung padi tanpa izin dari pemiliknya yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi. Pengambilan lapung padi tanpa izin dari pemilik lapung dilakukan masyarakat karena pengambilan lapung tersebut sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat setempat. Dalam kitab ushul fiqih dinamakan dengan Urf (kebiasaan), kata Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering di artikan dengan al- ma’ruf dengan arti “sesuatu yang dikenal” (Syarifuddin 2008, 363).

‘Urf (kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh masyarakat daerah tertentu, terus-menerus dijalani oleh mereka baik yang terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja. Kata “sesuatu” mencakup sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk. Selain itu mencakup pula hal yang bersifat perkataan (qauliy) dan hal yang bersifat perbuatan (fi’liy) (Asmawi 2011, 161).

Dalam kitab ushul fiqih bahwa para ulama membagi ‘urf dari segi penilaian baik dan buruk, ‘urf terbagi menjadi dua yaitu :

3.1. ‘Urf shahih ialah suatu hal yang sudah dikenal oleh khalayak ramai yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nash, tidak melupakan maslahat dan tidak menimbulkan mafsadah. Contohnya ialah kebiasaan masyarakat menyerahkan sebahagian mahar secara kontra dan menangguhkan sebagian yang lainnya. Contoh lain yaitu kebiasaan seseorang memberikan hadiah kepada calon pengantin putri berupa kue, pakaian dan lainnya. Hadiah tersebut tidak bisa disebut sebagai

(13)

mahar tetapi merupakan hadiah biasa. Adapun ‘Urf shahih maka harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengambilan. Bagi seorang mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum. 3.2. ‘Urf fasid ialah kebiasaan yang sudah dikenal orang banyak, tetapi

bertentangan dengan syari’at Islam atau keadaannya memang dapat mengundang mudharat atau melupakan maslahat. Misalnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, melewatkan kewajiban shalat dalam pesta perkawinan atau yang sebangsanya, mengambil keuntungan riba dalam usaha jasa keuangan (Syafe’i 2010, 112).

Berdasarkan dari beberapa pembagian Urf (kebiasaan) yang telah penulis jelaskan di atas bahwa pengambilan lapung padi di Kenagarian Padang Mentinggi Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman termasuk kepada ‘Urf fasid yang merupakan kebiasaan yang sudah dikenal orang banyak. Tetapi bertentangan dengan syari’at Islam atau keadaannya memang dapat mengundang madharat atau melupakan maslahat. Seperti pengambilan lapung padi yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi mengambil lapung padi tanpa izin dari pemilik lapung padi padahal pemilik lapung membutuhkan lapung padi tersebut. Hal ini menyebabkan pemilik lapung padi merasa keberatan dengan pengambilan lapung tanpa izin dan mendatangkan kemudharatan bagi pemilik lapung padi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan lapung padi yang terjadi di Kenagarian Padang Mentinggi, Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman tanpa izin dari pemilik lapung padi menurut hukum Islam adalah tidak boleh atau disebut juga dengan (‘Urf fasid), Sedangkan para hatobangan (yang dituakan) serta para Pemangku adat harus lebih memperhatikan pelaksanaan tradisi mengambil lapung padi yang terjadi pada masa sekarang ini.

Referensi

Dokumen terkait

Fungi utama aplikasi web ini ialah memberikan bantuan kepada para pelajar dan pengguna dalam mencari peluang pekerjaan dan membantu memberikan tips-tips kerjaya

Nilai muatan faktor yang besar dan positif menunjukkan arti bahwa semakin tinggi peningkatan pada indikator ini maka akan semakin tinggi juga nilai komitmen

Ciptagraha Nusalaras dengan konsumenpada Perumahan Timoho Griyalaras di Yogyakarta dimana konsumen biasanya hanya tinggal menerima saja isi perjanjian yang telah dibuat oleh

Dampak-dampak dari Gaya komunikasi pemimpin dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pelayanan publik di Kelurahan Tunggulwulung antara lain koordinasi antara

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tangga dengan anak tangga yg bergerak naik atau turun, dengan bagian dari rangkaian rantai angkut yang

Sementara itu, bagi kelompok pribumi, mereka membentuk perkumpulan atau serikat angkutan sewa seperti Sjarikat Kreta dan Chuffeur Bond yang bergerak demi

• Jika pengalamannya serupa, NB tumbuh lebih cepat, karena: transfer teknologi (meniru; Makin terlambat makin cepat menggandakan output); Akumulasi faktor produksi (MPK makin

Pada langkah yang ke-3 seorang pakar diminta untuk memasukkan rule atau aturan yang akan digunakan sebagai basis pengetahuan pada sistem pakar ini.. Antar muka pengguna