• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tolerance of Ambiguity dengan Job Involvement pada Karyawan PT. X yang Bergerak Dibidang Penyiaran Televisi Regional Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tolerance of Ambiguity dengan Job Involvement pada Karyawan PT. X yang Bergerak Dibidang Penyiaran Televisi Regional Sumatera Utara"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Job Involvement

1. Definisi Job Involvement

Job involvement adalah sebuah filosofi manajemen dan

kepemimpinan tentang bagaimana orang-orang aktif berkontribusi untuk

perbaikan dan kesuksesan yang secara terus menerus berkelanjutan di

organisasi (Vijayakumari; 2013). Gore (dalam Vijayakumari; 2013)

berpendapat bahwa karyawan dengan involvement yang tinggi akan

memandang pekerjaannya sebagai suatu hal yang penting dalam hidupnya

dan kepuasan yang mereka miliki berasal dari menjalankan tugas dan

tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka secara

efektif

Li dan Long (dalam Iqbal & dkk; 2011) mendefinisikan job

involvement sebagai sejauh mana satu emosi mampu menunjukkan atau

mengidentifikasi kondisi seseorang tertarik dan terlibat dengan

pekerjaannya. Menurut Kanungo (dalam Yukthamarani, A., & Ahmad;

2013) job involvement adalah kepercayaan yang positif terhadap pekerjaan

dan cenderung berfungsi ketika hasil dari pekerjaan itu dapat memenuhi

(2)

menurut Kanungo (dalam Yukthamarani, A., & Ahmad; 2013) akan

mengatakan bahwa pekerjaan itu penting bagi dirinya dan kehidupannya.

Job involvement berkaitan dengan pentingnya pekerjaan dalam

rutinitas dan kehidupan sehari-hari seorang, yang berarti bahwa dia akan

loyal (setia) pada pekerjaan dan organisasi yang menghargai karya dan

usaha yang dilakukan serta dapat mempengaruhi kinerja individu dalam

pekerjaannya (Reitzdan Jewell dalam Iqbal, dkk; 2011). Hal ini sejalan

dengan pendapat Dubin (dalam Hossein; 2011) yang menjelaskan job

involvement adalah sejauh mana situasi pekerjaan sepenuhnya dianggap

menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan penting sehari-hari.

Lodahl dan Kejner (dalam Asnawi & Bachroni; 1999) menyatakan

bahwa karyawan yang memiliki tingkat job involvement yang tinggi akan

memandang pekerjaannya sebagai suatu hal yang penting bagi dirinya,

sehingga akan melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik mungkin dan

akan mengoptimalkan segala tenaga, bakat, pengetahuan, dan waktu yang

dimilikinya. Davis dan Newstrom (dalam Asnawi & Bachroni; 1999) juga

mendefinisikan hal yang sama bahwa job involvement adalah tingkatan

seberapa besar dan keras seseorang menekuni serta menggunakan waktu

dan tenaga yang dimiliki untuk pekerjaannya dan memandang pekerjaan

tersebut sebagai salah satu hal penting bagi hidupnya.

Dari semua definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa job

(3)

tersebut berkaitan dengan keterlibatan karyawan dalam bekerja dengan

memandang bahwa pekerjaan yang dimilikinya adalah salah satu hal

penting dalam hidupnya yang ditunjukkan dengan cara berpartisipasi

secara aktif dan memberikan performansi kerja yang baik terhadap

kemajuan dan kesuksesan perusahaan.

2. Dimensi Job Involvement

Terdapat 4 (empat) dimensi job involvement yang dikemukakan

oleh Lodahl & Kejner (dalam Govender 2010), yaitu:

a. Reponse to work,

Respon karyawan yang didasarkan pada harapan mereka tentang

pekerjaan, dan sejauh mana harapan tersebut menentukan tingkat job

involvement yang mereka alami, dan pada akhirnya menentukan

bentuk respon yang dimunculkan.

b. Expression of being job involved,

Cara karyawan dalam mengungkapkan atau mengekspresikan job

involvement-nya dan disesuaikan berdasarkan pengalaman yang pernah

mereka alami sebelumnya. Contohnya; bersemangat dalam

melaksanakan pekerjaan.

c. Sense of duty

Karyawan dengan job involvement yang tinggi memandang pekerjaan

(4)

d. Feeling about unfinished work and absenteeism

Karyawan yang job involved menghindari untuk absen dalam kerja dan

merasa bersalah saat pekerjaan belum selesai.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Job Involvement

Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua

variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional (Saal dalam

Srivastava; 2005).

a. Variabel Personal

Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja

meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi

mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan,

dan senioritas.

Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa

variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan

dengan Job Involvement. Sedangkan variabel psikologis mencakup

kepuasan kerja, performansi kerja, absensi, usaha kerja dan intense

turnover. Shani dan Chadha (dalam Srivastava 2005) juga

menyebutkan terdapat dua faktor psikologis yang mempengaruhi job

involvement, yaitu locus of control dan tolerance of ambiguity.

b. Variabel situasional

Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja

(5)

Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi,

otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan, level gaji, kondisi

pekerjaan, job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta

(dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti

otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan

dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya

meningkatkan produktivitas.

Dari uraian di atas, terdapat dua faktor yang mempengaruhi job

involvement. Dalam penelitian ini, faktor yang akan diteliti hubungannya

dengan job involvement adalah variabel personal. Variabel personal meliputi

variabel demografi dan psikologis. Variabel psikologis berupa tolerance of

ambiguity merupakan faktor yang akan diteliti hubungannya dengan job

involvement.

B. Tolerance of Ambiguity

1. Definisi Tolerance of Ambiguity

Secara umum oleh Visser (dalam Rangriz; 2012), istilah

ambiguitas dianggap sebagai ketidakjelasan kata-kata dan ketidakpastian

kondisi atau situasi di mana terjadi multitafsir atau pandangan, meskipun

terkadang bertentangan. Ambiguitas adalah situasi yang menyajikan

informasi yang sedikit untuk dipahami dengan jelas maksudnya dan

diaplikasikan kedalam bentuk perilaku atau tindakan untuk dapat

(6)

Armani; 2015). Menurut Ellsberg (dalam Furnham & Marks; 2013)

ambiguitas didefinisikan sebagai kurangnya informasi yang dibutuhkan

atau diperlukan untuk dapat memahami suatu situasi atau untuk

mengidentifikasi semua kemungkinan yang datang dan pergi.

Tolerance of ambiguity didefinisikan sebagai variabel yang

orientasinya adalah emosi dan kognitif yang ditunjukkan terhadap

kehidupan individu (Frenkel-Brunswik dalam McLain, Kefallonitis&

Armani; 2015). Tolerance of ambiguity adalah suatu kecenderungan untuk

memandang situasi yang ambigu sebagai suatu situasi yang positif dan

memiliki cara atau tindakan yang dapat digunakan untuk merespon atau

menghadapi situasi tersebut (Budner, 1962).

Seorang individu dengan level tolerance of ambiguity yang lebih

tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih aktif dan lebih sering dalam

mencari umpan balik (feedback) atau cara untuk memecahkan masalah

yang dihadapi saat bekerja dari pada individu dengan level tolerance of

ambiguity yang lebih rendah (Bennett etal., dalam Rangriz; 2012).

Tolerance of ambiguity adalah keterampilan yang penting dalam

organisasi untuk membuat keputusan yang berkualitas tinggi dalam

lingkungan yang kompleks (Lewin & Stephens, McCormick, Mitton

dalam Endres, Chowdhury & Milner; 2009).

Ellsberg (dalam McLain, Kefallonitis & Armani; 2015)

(7)

suatu kualitas yang tergantung pada jumlah, jenis, kehandalan, dan

kejelasan informasi, dan menimbulkan peningkatan kepercayaan

seseorang untuk memperkirakan kemungkinan yang terjadi. McLain

(1993) menetapkan definisi tolerance of ambiguity sebagai reaksi individu

terhadap rangsangan yang dianggap asing, kompleks, tidak pasti, atau

memiliki multitafsir (definisi ganda). Tolerance of ambiguity juga

didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk merespon secara positif

terhadap situasi yang ambigu (Teoh dan Foo dalam Katsaros, Tsirikas &

Nicolaidis; 2014).

Berdasarkan semua definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

tolerance of ambiguity adalah suatu respon positif yang dimunculkan

individu untuk menghadapi suatu situasi yang dianggap ambigu, tidak

jelas, kurang data-data dan informasi, serta situasi yang kompleks.

2. Aspek-aspek Tolerance of Ambiguity

Menurut Budner (1962) terdapat 3 (tiga) situasi ambigu yang

dijadikan sebagai aspek dari tolerance of ambiguity, yaitu:

a. Novelty

Situasi baru yang menyajikan informasi yang belum pernah ditemui

ditempat kerja atau pun ditempat lainnya, direspon secara positif oleh

individu dengan cara mencari informasi-informasi tambahan berkaitan

(8)

b. Complexity

Terdiri atas situasi yang complex dan direspon dengan cara

menyelsaikan satu persatu masalah atau situasi yang sedang dihadapi

dimulai dari sumber masalah yang ada, sehingga dapat terselesaikan

dengan baik.

c. Insolubility

Situasi kontradiktif yang direspon dengan cara memastikan diri

sendiri, mamu atau tidak dalam menghadapi situasi tersebut dan

mencari penyelesain atau diskusi dengan orang lain yang lebih

mengerti. Sehingga situasi atau kondisi ambigu yang dialami dapat

terselesaikan dengan baik.

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa terdapat 3 aspek dari

tolerance of ambiguity.

C. Hubungan Tolerance of Ambiguity dengan Job Involvement

Banyaknya tantangan dan hambatan yang dimiliki oleh suatu perusahaan

mengharuskan mereka untuk dapat mengontrol semua sumber daya yang

dimiliki. Sumber daya manusia atau karyawan adalah sumber daya yang

paling penting dan perlu untuk dikelola dan tingkatkan efektivitasnya.

Karyawan yang dibutuhkan oleh perusahaan adalah karyawan yang memiliki

job involvement, sehingga mereka mampu menjalankan seluruh pekerjaan

(9)

Lodahl dan Kejner (dalam Asnawi & Bachroni; 1999) menyatakan

bahwa karyawan yang memiliki tingkat job involvement yang tinggi akan

memandang pekerjaannya sebagai suatu hal yang penting bagi dirinya,

sehingga akan melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik mungkin.

Sedangkan individu yang tidak memiliki job involvement cenderung kurang

memihak atau patuh terhadap aturan di perusahaan dan hanya bekerja sebagai

rutinitas saja. Terdapat 4 dimensi dari job involvement, yaitu reponse to work,

expression of being job involved, sense of duty, dan feeling about unfinished

work and absenteeism. Menurut Kanungo (dalam Yukthamarani, A., &

Ahmad; 2013), job involvement adalah kepercayaan positif karyawan terhadap

pekerjaan dan cenderung berfungsi ketika hasil dari pekerjaan itu dapat

memenuhi kebutuhannya. Individu dengan job involvement yang tinggi

menurut Kanungo (dalam Yukthamarani, A., & Ahmad; 2013) akan

mengatakan bahwa pekerjaan itu penting bagi dirinya dan kehidupannya.

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi job involvement, yaitu variabel

personal dan variabel situasional (Kanungo, 1982). Variabel personal meliputi

variabel demografis dan variabel psikologis. Tolerance of ambiguity adalah

salah satu variabel psikologis yang mempengaruhi job involvement (Sahni &

Chadha dalam Srivastava; 2005). Tolerance of ambiguity perlu dimiliki

karyawan agar mampu merespon atau menghadapi situasi dan kondisi yang

ambigu saat bekerja. Respon atau sikap yang positif akan membantu karyawan

dalam melaksanakan pekerjaanya. Tolerance of ambiguity merupakan salah

(10)

untuk dapat memahami setiap instruksi, tuntutan dan informasi yang ada

disekelilingnya saat bekerja (Stoycheva, 2010).

Budner (1962) mendefinisikan tolerance for ambiguity sebagai suatu

kecenderungan untuk memandang situasi yang ambigu sebagai situasi yang

positif dan dan memiliki cara atau tindakan yang dapat digunakan untuk

merespon atau menghadapi situasi tersebut. Menurut Frenkel-Brunswik

(dalam McLain, Kefallonitis, Efstathios, & Armani, 2015) tolerance of

ambiguity adalah suatu variabel dengan orientasi emosi dan kognitif individu.

Artinya tolerance of ambiguity tidak terlepas dari orientasi emosi dan cara

pikir seseorang saat menghadapi situasi yang ambigu atau tidak diinginkan.

McLain (1993) menetapkan definisi tolerance forambiguity sebagai reaksi

individu terhadap rangsangan yang dianggap asing, kompleks, tidak pasti, atau

memiliki multitafsir (definisi ganda). Seorang karyawan dengan level

tolerance of ambiguity yang lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih

aktif dan sering dalam mencari feedback atau cara untuk memecahkan

masalah yang dihadapi saat bekerja (Bennett etal., dalam Rangriz, Hassan;

2012).

Karyawan yang memiliki tolerance of ambiguity akan mampu

menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dihadapi, sehingga akan

mampu berinteraksi, menyeimbangkan proses pengurangan ketegangan dan

mencari informasi yang berkaitan dengan situasi yang ambigu saat bekerja

(11)

akan menyadari dan mengetahui hal-hal penting yang harus dilakukan dalam

pekerjaannya, sehingga menyelesaikan pekerjaan yang telah ditanggung

jawabkan kepadanya dengan baik dan berkualitas (Burke & Church dalam

Wiryawan; 2013). Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Sahni dan Chadha (dalam Srivastava; 2005), terdapat hubungan yang

signifikan antara tolerance of ambiguity dengan job involvement pada

orang-orang india.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merumuskan hipotesis penelitian

sebagai berikut: “Ada hubungan positif antara Tolerance of Ambiguity dengan

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip untuk mencegah diri dari kemungkinan terjadinya cidera parah akibat kecelakaan dijalan raya dengan mengenakan standar keselamatan dalam berkendara seperti

Nilai tambah yang diperoleh mahasiswa setelah melaksanakan PPL 1 Banyak hal yang dapat diperoleh praktikan dalam kegiatan PPL 1 ini, diantaranya adalah semakin

 CMS boleh digunakan samada secara percuma ataupun memerlukan wang keluar sedikit dari poket anda. Jika anda ingin membangunkan laman seperti blog secara percuma, anda

a) Tim Pemeriksa Pajak bersama dengan Wajib Pajak melakukan pembahasan akhir. b) Hasil pembahasan akhir dituangkan dalam Berita Acara Hasil pemeriksaan

[r]

Sehingga diharapkan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif berbasis permainan akan menarik minat anak dalam proses pembelajaran dan secara tidak langsung

bahwa berat labur adalah banyaknya perekat yang diberikan pada permukaan kayu, berat labur yang terlalu tinggi selain dapat menaikkan biaya produksi juga akan mengurangi

Banyaknya pembatalan penjualan yang disebabkan penolakan pengajuan kredit dari bank maupun konsumen tersebut berubah pikiran dan terjadi pembatalan sepihak