BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era globalisasi telah menciptakan tantangan bagi semua jenis industri untuk berkompetisi, termasuk industri di bidang layanan kesehatan. Indonesia sebagai Negara berkembang dan merupakan negara yang cukup diminati oleh Negara Asing. Pertama, karena memiliki potensi pasar yang besar terkait dengan jumlah penduduk yang besarnya itu lebih dari 200 juta penduduk. Kedua, sekarang ini kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup menjanjikan. Dengan potensi pasar yang besar tidak mengherankan jika kelak semakin banyak fasilitas kesehatan asing berupa Rumah sakit maupun klinik yang membuka cabang di Indonesia, di sisi lain Rumah sakit dan klinik di luar negeri juga semakin gencar mempromosikan layanan kesehatan sehingga masyarakat Indonesia semakin banyak yang berobat keluar negeri.
Rumah sakit merupakan organisasi yang berfungsi melayani kesehatan masyarakat. Kualitas pelayanan rumah sakit di Indonesia masih dirasakan kurang memuaskan. Beberapa keluhan yang muncul disebabkan adanya perbedaan persepsi mengenai pelayanan yang dirasakan oleh pasien rawat inap di kelas 3 dengan di VIP. Keluhan terjadi bukan hanya pada aspek infrastruktur, namun juga pelayanan dari Sumber Daya Manusianya. Waktu tunggu pasien untuk dilayani seringkali sangat terlambat dan tidak sesuai dengan jadwal praktik yang sudah ditetapkan (Jonirasmanto, 2009; Supratman dan Prasetyo, 2010).
Pentingnya mengukur kualitas pelayanan karena kepuasan pasien ditentukan oleh kualitas pelayanan yang dirasakannya (Duggirala et al., 2008; Thai, 2008).
Choi (2006) menyatakan bahwa, kualitas pelayanan merupakan kesan relatif mengenai tingkat inferioritas atau superioritas dari organisasi dan karyawannya. Di lain pihak, Mukherjee dan Malhotra (2006), mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai hasil dari interaksi antar manusia yaitu antara pemberi jasa dengan konsumen. Definisi lain menjelaskan bahwa kualitas pelayanan sebagai harapan mengenai kualitas pelayanan merupakan harapan, keinginan, sesuatu yang harus disampaikan oleh penyedia jasa, harapan normatif, standar ideal, pelayanan yang diinginkan, dan tingkat pelayanan yang diharapkan oleh konsumen.
Dalam upaya meningkatkan pelayanan pada konsumen, RSKP Tebing Tinggi dituntut untuk selalu meningkatkan kinerjanya, cara yang selama ini dilakukan oleh pihak manajemen RS yaitu melakukan rotasi ruangan secara bergilir terhadap perawat, memberikan kesempatan kepada perawat untuk melanjutkan pendidikannya dan mengirim perawat untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Upaya tersebut tidak sepenuhnya mampu meningkatkan kinerja perawat di ruang rawat inap, hal ini dapat dilihat dari capaian kinerja pelayanan keperawatan pada tabel 1.1..
Tabel 1.1. Capaian Kinerja Pelayanan Keperawatan Ruang Rawat Inap dari Tahun 2013-2015
No Indikator Standar/Target Capaian/Hasil
2013 2014 2015
1 Pemberi pelayanan di instalasi rawat
phlebitis
7 Angka keterbatasan perawatan diri
≤ 30% Belum dilaksanakan
8 Angka tata laksana pasien nyeri
≤ 30% Belum dilaksanakan
9 Angka kejadian
cemas
≤ 30% Belum dilaksanakan
10 Pengetahuan tentang perawatan
penyakitnya
≤ 30% Belum dilaksanakan
11 Perencanaan pasien pulang
≤ 5% Belum dilaksanakan
12 Evaluasi penerapan standar asuhan
Sumber : bidang keperawatan, 2015
tidak mencapai target hal ini disebabkan RSKP TT sudah menggunakan model MAKP (Metode asuhan keperawatan profesional) secara tim tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan semestinya yaitu pasien hanya dilayani 1-2 tim saja dengan 6 tenaga perawat pelaksana sehingga 1 tim memiliki 3 orang tenaga perawat pelaksana pada masing-masing tim dan tim ini hanya berlaku pada shift pagi saja. Seharusnya sistem MAKP terdiri 2-3 tim dengan 6-8 tenaga perawat professional, perawat pelaksana , teknisi dan administrasi dibawahi oleh ketua tim pada shift pagi, siang dan malam.
Bagi pasien, kualitas pelayanan yang diberikan oleh personal rumah sakit semakin mempercepat kesembuhannya. Berdasarkan hasil penelitian Karassavidou et al. (2009) dapat diketahui, bahwa dimensi personal (human factor) dianggap penting bagi pasien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chilgren (2008) yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan yang diharapkan oleh pasien meliputi kecepatan waktu pelayanan, sikap dan perilaku karyawan (dokter dan karyawan lainnya), serta kejelasan informasi yang diberikan. Untuk menghasilkan kualitas pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien, kompetensi SDM, terutama SDM yang berhubungan langsung dengan proses perawatan, sangat penting.
Kompetensi SDM dalam melayani pasien bukan hanya dilihat dari keahlian dan pengetahuannya, namun juga melalui kondisi emosionalnya. Menurut Shi (2007), kompetensi SDM merupakan karakteristik seorang karyawan seperti motivasi, sifat, keahlian, persepsi diri, peran sosial, atau bahasa tubuh, yang menghasilkan kinerja efektif atau superior.
kinerja rata-rata. Hal ini merupakan karakteristik personal, pengalaman, motivasi, dan atribut lainnya. Kompetensi adalah perilaku, sehinggadapat dikembangkan. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi seperangkat kompetensi individual yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis.
Strategi yang dilakukan oleh RSKP TTdi dalam meningkatkan kompetensi perawat adalah memberlakukan peraturan yang mewajibkan seluruh perawat memiliki STR dengan mengikuti uji kompetensi yang dilakasanakan oleh MTKI Provinsi.Tingkat kompetensi perawat di RSKP TT dapat dilihat pada tabel 1.2.
Tabel 1.2 Kompetensi Perawat
No Indikator
Kompetensi
2013 2014 2015 Target
1 Perawat Memiliki STR
100% 100% 100% 100%
2 Perawat memiliki sertifikat
keterampilan
0% 0% 0% 100%
3 Mengikuti pelatihan teknis minimal 20 jam per tahun
0% 0% 0% 100%
Sumber : bidang keperawatan, 2015
Kompetensi SDM merupakan karakteristik dasar seorang pegawai (misalnya motivasi, sifat, keahlian, konsep diri, peran sosial, atau kerangka pengetahuan) yang menghasilkan kinerja yang efektif dan superior. Kompetensi SDM dapat digolongkan menjadi: (a) skills/keahlian: keahlian yang ditunjukkan (kemampuan untuk membuat presentasi yang efektif, atau untuk melakukan negosiasi dengan berhasil), (b) knowledge/pengetahuan: akumulasi dari infromasi dalam area keahlian tertentu (akunting,
MSDM), (c) self concepts/konsep diri: sikap, nilai-nilai, dan imej diri, (d) traits/sifat: disposisi umum untuk berperilaku dalam cara tertentu (misalnya fleksibilitas), dan (e) motives/motivasi: cara berfikir yang mendorong perilaku (misalnya dorongan untuk
Organisasi yang telah menggunakan kompetensi cenderung untuk mendefinisikan kompetensi dengan kerangkanya sendiri dihubungkan dengan situasi yang ada. Menurut The National Park Service, kompetensi SDM digolongkan menjadi: (a) essential competencies
merupakan fondasi dari kompetensi pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan setiap orang. Kompetensi ini dapat dikembangkan melalui pelatihan, dan relatif mudah diidentifikasi. (b) differentiating competencies merupakan kompetensi yang membedakan antara kinerja yang
superior dengan yang rata-rata. Kompetensi ini meliputi konsep diri, sifat, dan motivasi. Kompetensi ini sulit dikembangkan, dan dapat menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan dalam jangka panjang. Penggunaan metodologi pengukuran kompetensi yang tepat, akan membantu dalam mendefinisikan, mengukur, dan memberi imbalanpada karyawan yang memiliki kompetensi ini, dan (c) strategic competencies meliputi kompetensi inti dari organisasi. Kompetensi ini berfokus pada kapabilitas organisasi dan termasuk kompetensi yang menghasilkan keunggulan bersaing (misalnya inovasi, kecepatan, pelayanan, dan teknologi.
Kompetensi tersebut dapat membantu organisasi mengkomunikasikan perilaku yang diharapkan, mengendalikan biaya, dan meningkatkan kepuasan konsumen. Kompetensi SDM, merupakan salah satu faktor yang dapat menghasilkan kepuasan kerja karyawan (Daft, 2007). Merujuk pada teori motivasi dari David McClleland, maka karyawan yang kompeten akan terpuaskan kebutuhannya terhadap prestasi. Karyawan yang kompetenpun cenderung karirnya lebih mudah berkembang, sehingga kebutuhannya akan kekuasaan lebih mudah terpenuhi. Begitu pula dengan kebutuhan akan afiliasi, karyawan yang kompeten akan mudah diterima oleh rekan kerjanya dan lebih mudah untuk memuaskan kebutuhan dasarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkanuraian latar belakang permasalahan yang akan dicari pemecahannya melalui penelitian ini adalah menurunnya kinerja perawat ruang rawat inapyang merupakan salah satu indikasi rendahnya kompetensi perawat bekerja di bidang tersebut. Sehubungan dengan permasalahan di atas maka beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawabannya ialah :
1. Apakah pengetahuan , keterampilan, dan sikap perawat berpengaruh terhadap kompetensi ?
2. Apa saja alternatif/strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja perawat ruang rawat inap?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun maksud dari tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kompetensi perawat ruang rawat inap di RSUD Dr H Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi
2. Untuk mendapatkan kebijakan/strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja ruang rawat inap di RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat :
1. Bagi Manajemen Rumah Sakit, sebagai masukan untuk meningkatkan kompetensiperawat ruang rawat inap
3. Bagi peneliti, dapat menambah ilmu pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia, dan teori-teori serta pengalaman yang diperoleh dapat di manfaat kan di dalam pekerjaan sehari-hari
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang sama atau lebih lanjut di masa yang akan datang.
1.5 Ruang Lingkup
Sehubungan dengan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai, ruang lingkup dari penelitian ini ialah menganalisis variabel pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai variabel bebas (Variabel independen), yang berpengaruh terhadap kompetensi perawat sebagai variabel terikat (variabel dependen).
1.6 Asumsi-Asumsi