BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada zaman globlaisasi dan modernisasi saat ini tentunya perkembangan di
sektor industri juga mengalami perkembangan yang pesat. Modernisasi pada alat-alat
industri, peningkatan jumlah perangkat mesin dan peningkatan sumber daya pekerja
yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Namun peningkatan dalam sektor industri
ini juga mendorong meningkatnya angka kecelakaan kerja dan masalah kesehatan
kerja dilingkungan kerja. Dibutuhkan peningkatan pengawasan serta perlindungan
yang maksimal agar tenaga kerja mampu menjalankan aktivitas produksi secara
efektif dan efesien.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pengertian tersebut belum jelas menunjukkan status hubungan kerjanya selanjutnya,
dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja dinyatakan bahwa “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna
menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat” (Khakim,
2009).
Dalam melaksanakan pekerjaannya agar dapat berjalan dengan lancar pekerja
perlu mendapatkan perlindungan yang baik. Perlindungan terhadap tenaga kerja yang
kesehatan, bebas dari diskriminasi, di perlakukan sama sesuai dengan norma dan nilai
agama agar pekerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman yang tentunya akan
meningkatkan efektivitas, efesiensi dan produktivitas kerja.
Memperoleh perlindungan akan keselamatan dan kesehatan dalam bekerja
merupakan hak setiap tenaga kerja, hal ini merupakan hak bagi pekerja sesuai yang
tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per 05/Men/1996 Pasal 3,
“Setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau
lebih atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses
atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja wajib menerapkan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja”. Sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja wajib dilaksanakan oleh pengurus, pengusaha, dan
seluruh tenaga kerja sebagai suatu kesatuan. (Bangun, 2012)
Perlindungan yang diberikan pemerintah akan kesehatan dan keselamatan
kerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur
pula bahwa “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia serta nilai-nilai agama” (Kusuma, 2010).
Selain diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang, perlindungan kesehatan
dan keselamatan kerja juga diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/MEN/1979 Ayat yang 2 tentang
Pelayanan Kesehatan Kerja yang isinya ”Melindungi tenaga kerja terhadap setiap
gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja”
Pelaksanaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang baik pasti
akan menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja, sehingga
proses kerja tidak mengalami hambatan yang berarti dan pekerja dapat melaksanakan
pekerjaannya dengan maksimal tanpa rasa takut akan bahaya kecelakaan dan dampak
buruk terhadap kesehatan yang akan terjadi. Selain itu perusahaan yang
melaksanakan program keselamatan kerja akan terdapat sedikit karyawan yang
mengalami cidera jangka pendek atau jangka panjang akibat pekerjaan mereka
(Bangun, 2012).
Keselamatan dan kesehatan kerja menunjuk kepada kondisi-kondisi fisiologis,
fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang
disediakan oleh perusahaan (Rivai, 2004). Kondisi fisiologis-fisikal meliputi
penyakit-penyakit dan kecelakaan kerja seperti kehilangan nyawa atau anggota
badan, cedera yang diakibatkan gerakan berulang-ulang, sakit punggung, dan
sebagainya. Kondisi-kondisi psikologis diakibatkan oleh stres pekerjaan dan
kehidupan kerja yang berkualitas rendah, seperti ketidakpuasan, sikap apatis, mudah
marah, mudah putus asa, dan lain-lain (Kusuma, 2010).
Aspek dasar perlindungan kerja yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
dan perlindungan kerja menurut aspek keselamatan dan kesehatan kerja saling
berhubungan. Aspek perlindungan kerja yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
mencakup bagian dari perlindungan kerja menurut aspek keselamatan dan kesehatan
kerja. Terdapat 3 jenis perlindungan kerja menurut Khakim (2009) yang mengutip
pendapat Soepomo yaitu perlindungan ekonomis, perlindungan sosial, dan
Dalam perlindungan ekonomis dibahas mengenai perlindungan tenaga kerja
dalam bentuk penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
Termasuk jika tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya,
termasuk perlindungan jaminan akan penghasilan yang cukup dari bekerja agar
terhindar dari stres kerja.
Perlindungan sosial merupakan perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi. Jaminan kesehatan kerja disini berupa asuransi kesehatan.
Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan
dan keselamatan kerja. Perlindungan teknis akan keamanan dari keselamatan kerja
yang dimaksud disini adalah perlindungan akan pelaksanaan kerja yang aman mulai
dari penyediaan APD, Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja, SOP (Standard Operasional Procedure), JSA (Job Safety Analysis) dan sebagainya (Khakim, 2009).
Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang keselamatan dan
kesehatan kerja telah dijadikan sebagai acuan untuk meminimalkan resiko kecelakaan
kerja, namun angka kecelakaan kerja masih tetap tinggi. Berdasarkan laporan dari
biro pelatihan tenaga kerja, penyebab kecelakaan kerja yang terjadi saat ini adalah
akibat tindakan tidak aman, seperti tidak mematuhi peraturan, tidak mengikuti standar
prosedur kerja, tidak memakai alat pelindung diri, dan kondisi badan yang lemah
(Anizar, 2009).
Semakin tingginya angka kecelakaan kerja, PHK, PHI, dan meningkatnya aksi
unjuk rasa buruh yang tidak jarang berlangsung ricuh menunjukkan bahwa dunia
membawa kerugian materi tapi juga kehilangan nyawa, cacat sebagian atau total,
serta kasus hukum yang tentunya merugikan pihak perusahaan dan tenaga kerja itu
sendiri. Data terakhir menunjukkan angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir
cenderung naik.
Pada 2011 terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per
hari, sedangkan tahun sebelumnya hanya 98.711 kasus kecelakaan kerja, 2009
terdapat 96.314 kasus, 2008 terdapat 94.736 kasus, dan 2007 terdapat 83.714 kasus
(Syafputri, 2013).
Data dari ILO menyatakan kerugian akibat kecelakaan kerja di Indonesia
mencapai empat persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau
senilai Rp. 280 triliun (Rosidi, 2012). Data kecelakaan kerja secara global sebenarnya
sangat menyeramkan. Setiap tahunnya terjadi 270 juta kecelakaan kerja. Oleh karena
kecelakaan kerja tersebut, tenaga kerja yang meninggal adalah 355.000 orang per
tahunnya. Insidensi penyakit akibat kerja adalah 160 juta kasus setiap tahunnya, dan
memiliki total kerugian hingga US$ 1.251.353 juta per tahunnya (Suma’mur, 2009).
Oleh sebab itu dituntut kewajiban dari masing-masing pihak terkait dalam
kerjasama yang baik menekan tingginya angka kecelakaan kerja dan memaksimalkan
perlindungan terhadap tenaga kerja di Indonesia. Misalnya pengusaha memiliki
kewajiban kepada tenaga kerja baru dalam penyediaan APD bagi para pekerja baru,
menjelaskan bahaya dan kondisi lingkungan kerja kepada pekerja yang baru, dan
memeriksakan kesehatan, baik fisik maupun mental tenaga kerja yang bersangkutan.
Sedangkan pekerja memiliki kewajiban seperti memakai APD yang telah disediakan
demi terciptanya keselamatan dan kesehatan kerja yang baik di lingkungan kerja
(Syafputri, 2009).
Pemerintah terkait juga memiliki kewajiban dalam pelaksanaan perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja, seperti memberikan perlindungan berupa payung
hukum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, berkoordinasi menindak setiap
pelanggaran yang terjadi, dan menetapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran.Untuk
menciptakan perlindungan yang maksimal akan keselamatan dan kesehatan kerja,
pemerintah wajib membangun kerjasama yang baik dengan pengusaha, masyarakat
pekerja, masyarakat umum, dan setiap aspek yang terkait agar pelaksanaan
perlindungan akan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia tidak hanya sebatas
Undang-Undang dan peraturan, namun mampu dilaksanakan secara maksimal di
lingkungan kerja.
Pelaksanaan perlindungan yang baik terhadap tenaga kerja di Indonesia masih
belum maksimal, dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan dan pengusaha yang
mengabaikan perlindungan terhadap tenaga kerja. Juga pekerja yang
mengesampingkan keselamatan dalam bekerja. Akibatnya hal inilah yang memicu
terjadinya angka kecelakaan kerja yang masih tinggi di Indonesia terutama dalam
sektor industri berat seperti industri konstruksi bangunan dan pembuatan beton
(Syafputri, 2013).
Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi bangunan dan
pembuatan beton di Sumatera Utara adalah PT. Wijaya Karya Beton, Tbk. PT.
Wijaya Karya Beton adalah anak perusahaan dari PT. Wijaya Karya, Tbk yang
konstruksi bangunan. PT. Wijaya Karya Beton adalah perusahaan pembuat beton
yang tergabung dalam ikatan PPB (Pabrik Pembuat Beton) Sumatera Utara. PT.
Wijaya Karya Beton menghasilkan produk beton pracetak seperti tiang pancang,
bantalan rel kereta api, dinding penahan tanah, tiang listrik dan sebagainya. PT.
Wijaya Karya Beton sampai saat ini telah memiliki 7 pabrik diseluruh Indonesia,
seperti di Sumatera Utara, Lampung, Bogor, Majalengka, Boyolali, Pasuruan, dan
Sulawesi Selatan.
Dalam proses produksi PT. Wijaya Karya Beton memiliki 52 pekerja yang
dibagi menjadi 1 Kasi produksi, 2 Assisten Kasi, 2 Administrasi Produksi, 3 Kepala
Jalur, 2 Kepala Regu, 5 Anggota Regu Produksi, 5 Anggota Pengecoran, 2 Operator
Batching. Dengan hari kerja selama 6 hari (Senin sampai sabtu) dari pukul 07.00 pagi
sampai dengan pukul 16.00 sore (shift pagi) dan pukul 16.00 sore sampai dengan
pukul 01.00 pagi (Shift malam) dengan waktu istirahat selama 1 jam diluar jam kerja
pada masing-masing shift. Area produksi terbagi dalam 2 wilayah, setiap wilayah
terdiri dari 5 sektor yaitu perakitan, penulangan, pengecoran, penguapan, dan hasil
jadi.
Perakitan adalah bagian dari sektor kerja di PT. Wijaya Karya Beton yang
bertugas untuk merakit rangka besi yang menjadi alas atau dudukan pada rangka
beton juga Pada sektor ini alas atau dudukan yang telah disiapkan sebelumnya
diperiksa kualitasnya apabila belum memenuhi standard maka dilakukan perbaikan
pada sektor ini. Pada sektor ini digunakan mesin las sebagai alat dalam merakit dan
Penulangan adalah bagian dari sektor kerja di PT. Wijaya Karya Beton yang
bertugas untuk merakit rangka tulang badan beton dan menggabungkannya dengan
rangka alas beton sehingga menjadi rangka beton sesuai dengan konsep beton yang
akan di produksi. Pada sektor ini beberapa pekerjaan masih dilakukan manual seperti
memotong besi walaupun pada sektor ini seluruhnya sudah menggunakan mesin, hal
ini dikarenakan kapasitas mesin penulangan masih terbatas dalam kapasitas produksi.
Setelah itu rangka beton dipindahkan dan dimasukkan ke dalam alat cetak beton.
Pengecoran adalah bagian dari sektor kerja di PT. Wijaya Karya Beton yang
bertugas untuk melakukan pengecoran atau mengisi rangka beton yang telah
disiapkan dengan adukan beton. Beton dalam pengecoran dibuat dengan mencampur
bahan-bahan dasar yaitu semen, pasir, tanah, kerikil, dan air dengan menggunakan
mixer, tugas ini dilakukan oleh operator batching. Setelah diisi dengan adukan beton
maka alat cetak beton ditutup dan siap di pindahkan ke mesin uap.
Penguapan adalah bagian dari sektor kerja di PT. Wijaya Karya Beton yang
bertugas untuk melakukan penguapan dan pemutaran dengan mesin uap untuk
menyatukan rangka beton dengan adukan beton di dalam alat cetak beton. Pada
rangka beton yang tidak berbentuk silinder (kubus) tidak di gunakan mesin uap
namun mesin penggetar (Vibrator machine).
Wilayah kerja terakhir dari proses pembuatan beton pracetak di PT. Wijaya Karya
Beton adalah hasil jadi. Pada bagian ini hasil dari proses penguapan didiamkan
terlebih dahulu agar sisa air dalam alat cetak benar-benar kering. Setelah itu cetakan
dibuka dan beton di nilai terlebih dahulu apakah sudah memenuhi kriteria produksi
perbaikan, namun jika terjadi gagal produksi maka beton akan dilebur dan dibuang.
Beton yang telah memenuhi kriteria produksi dipindahkan ke bagian penyimpanan.
Dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja terutama dalam proses
produksi PT. Wijaya Karya Beton belum berjalan maksimal, pernah terjadi
kecelakaan kerja berat di area produksi PT. Wijaya Karya Beton pada tahun 2007
pada sektor penguapan yang mengakibatkan hilangnya sebelah tangan kanan salah
satu pekerja pada sektor penguapan, serta penggunaan APD yang belum lengkap
misalnya masker, sarung tangan yang tidak sesuai, pekerja yang belum mematuhi
dan menjalankan peraturan keselamatan kerja secara maksimal, hal inilah yang
memicu terjadinya kecelakaan kerja di PT. Wijaya Karya Beton.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai gambaran pelaksanaan perlindungan K3 di PT. Wijaya Karya Beton.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana gambaran pelaksanaan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Wijaya Karya Beton
terhadap karyawan PT. Wijaya Karya Beton Binjai, Sumatera Utara tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja terhadap tenaga kerja bagian produksi pada pabrik pembuat beton PT.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui aspek perlindungan ekonomis dari pekerja, pihak manajemen, dan
pihak P2K3 dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan Kerja pada
kegiatan proses produksi beton PT. Wijaya Karya Beton Binjai.
2. Mengetahui aspek perlindungan sosial dari pekerja, pihak manajemen, dan
pihak P2K3 dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
pada kegiatan proses produksi beton PT. Wijaya Karya Beton Binjai.
3. Mengetahui aspek perlindungan teknis dari pekerja, pihak manajemen, dan
pihak P2K3 dalam pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
pada kegiatan proses produksi beton PT. Wijaya Karya Beton Binjai.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan tidak saja bagi
perusahaan tempat penelitian ini dilakukan, tetapi juga perusahaan pembuatan
beton lainnya dalam upaya meningkatkan perlindungan K3 bagi tenaga kerja.
2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai gambaran
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada tenaga kerja bagian
produksi PT. Wijaya Karya Beton, Binjai.
3. Penelitian ini secara khusus diharapkan mampu menambah literatur bagi
kalangan akademisi dalam hal penerapan perlindungan K3, dan secara umum,
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pembaca juga
mengenai kesehatan, dan keselamatan kerja bagi pekerja dan perusahaan.