Book Review
Asep Suryana: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah di Pasar Minggu
Oleh: Mulki Mulyadi
Uraian ini membahas tentang kondisi petani buah dan kebun buah-buahan di Pasar Minggu pada tiga periode yaitu periode kolonial, Jepang dan Republik. Pasar Minggu adalah bekas tanah partikelir yang telah dibeli oleh Belanda menjelang abad ke-20. Tanah ini kemudian membentuk sistem pemerintahan desa yang langsung dikontrol oleh pemerintah Belanda. Tanah partikelir adalah tanah beserta penduduknya (desa) yang yang dijual oleh Belanda kepada para tuan tanah. Umumnya adalah orang Cina Arab, dan Eropa. Tuan tanah memiliki peran yang besar dalam mengatur dan memerintah tanahnya. Ia berhak mendirikan pasar, membangun jalan, menarik pajak dan mengharuskan petani untuk bekerja di tanah miliknya beberapa hari dalam seminggu namun tetap sesuai dengan kontrak penjualan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tanah partikelir sudah seperti Negara dalam Negara.
Pasar Minggu pada masa partikelir bukanlah sentra penghasil buah-buahan, meski begitu sudah banyak tanaman buah yang tumbuh subur namun tidak dioptimalkan oleh para tuan tanah di daerah Pasar Minggu. Para petani masih menanam buah di sekitar pekarangan rumah mereka dan menjualnya secara terbatas. Penjualan buah-buahan yang sedikit banyak memberikan pendapatan bagi para petani adalah di daerah utara Pasar Minggu.
Pasar Minggu sebagai penghasil buah-buahan tumbuh setelah tanah ini berhasil dibeli kembali oleh pemerintah. Pemerintah bebas mengatur Pasar Minggu sebagai wilayah pemasok buahan. Puncaknya adalah dengan didirikannya kebun percobaan buah-buahan pada tahun 1921 dan komersialisasi besar-besaran komoditi buah hingga ke pasar internasional.Pada masa kolonial pasokan buah-buahan dikirim melalui jalur kereta api ke Batavia kemudian diteruskan ke Pasar Internasional, utamanya ke Singapura.
banyak menginspirasi para petani lokal untuk memajukan komoditas buah-buahan milik mereka.
Cara pemasaran petani buah lokal di pasar minggu ialah dengan berjalan kaki pagi-pagi sekali secara beramai-ramai menyusuri rel kereta api atau terkadang jalan desa menuju ke pasar Meester Cornelis. Mereka membawa buah dengan sistem pikulan, yaitu dua buah keranjang dengan sebilah bambu yang telah diperhalus untuk memikul. Saat ‘pulang pasar’ biasanya mereka singgah untuk membeli kebutuhan pokok mereka dari hasil berjualan buah. Selain itu uang yang mereka dapatkan bisa ditabung atau untuk membayar pajak pemerintah.
Komersialisasi buah-buahan di Pasar Minggu terhenti pada masa Jepang karena Jepang berfokus kepada pemenangan perang sehingga tidak menghiraukan potensi buah-buahan sebagai komoditi utama di Pasar Minggu. Perdagangan buah sempat membaik secara lokal karena pada masa revolusi fisik di daerah tersebut relative aman. Ketika suasana telah terkendali pada tahun 1948, petani telah dapat memasarkan buah-buahannya secara lebih luas.
Pada masa Republik terjadi perombakan besar-besaran di Pasar Minggu terutama pada Kebun Percobaan Pasar Minggu. Simbol rakyat mulai menguat dan reoriantasi lembaga tersebut untuk meningkatkan penghasilan petani buah di wilayah Pasar Minggu mulai digalakkan, seperti pembagian bibit murah, inovasi pertanian, peremajaan kebuh buah-buahan, kursus pertanian dll.