• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. AA (21), ketika duduk di bangku SMK selalu mendapat nilai. tertinggi untuk pelajaran mengetik 10 jari (blind system).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. AA (21), ketika duduk di bangku SMK selalu mendapat nilai. tertinggi untuk pelajaran mengetik 10 jari (blind system)."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“AA (21), ketika duduk di bangku SMK selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran mengetik 10 jari (blind system). Siapa sangka, gadis yang telah menjadi mahasiswi ini bahkan tidak mampu menghafal abjad dari A sampai Z, sejak duduk di bangku SD AA bermasalah dalam belajar, sulit membedakan huruf “b” dan “d” dan sering terbalik menggunakannya, sering salah mengutip dari papan tulis meski selalu duduk paling depan, dan ketika menggambar kubus selalu menjadi trapesium. AA tetap berjuang melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang perguruan tinggi dan menunjukkan prestasi di bidang yang disukai”

(DetikHealth, www.detik.com, 21 Juni 2011)

Penggalan berita di atas menunjukkan bahwa tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan belajar, namun pendidikan tetap harus diikuti, meskipun AA dibatasi oleh ketidakmampuan atau kelemahan yang membuat AA tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik di bangku pendidikan. AA dapat berprestasi dan meraih cita-citanya meskipun dia adalah penyandang disleksia.

(2)

Pendidikan memungkinkan setiap manusia memperoleh ilmu dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pendidikan yang layak diperlukan bagi para peserta didik tanpa terkecuali. Peserta didik yang berkebutuhan khusus seperti AA pun berhak mendapat pendidikan yang layak, karena semua warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (terdapat dalam UUD 1945 Pasal 31,ayat 1 dan UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 5,ayat 1). Lebih dipertegas lagi di dalam UU No 20/2003 pasal 2 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk memperoleh, memperluas, dan mengembangkan potensi dan keterampilannya melalui jenjang selanjutnya ataupun pengetahuan dan keterampilannya itu sebagai bekal untuk bekerja dan hidup bermasyarakat.

Anak yang berkesulitan belajar adalah anak berkebutuhan khusus yang berhak mendapat pendidikan khusus namun tidak dapat dikelompokan dalam kategori tradisional anak-anak luar biasa. Anak dengan kesulitan belajar ini menunjukan keterlambatan secara signifikan dalam belajar berbicara, atau memiliki kesulitan dalam belajar membaca, mengeja, menulis, atau mengerjakan perhitungan matematika (Samuel A. Kirk dalam Somantri, 2007). Anak berkesulitan belajar sebagai salah satu bagian dari warga negara yang memiliki hak memperoleh pendidikan khusus memiliki prevalensi 44 % dari anak berkebutuhan khusus di Indonesia (M. Shodig dalam Rahman dan Wiyancoko, 2008).

Disleksia adalah keterbatasan yang dialami oleh AA. Disleksia adalah salah satu bagian dari kesulitan belajar terutama dalam belajar membaca. Sebagian besar

(3)

anak kesulitan belajar memiliki kesulitan dalam membaca yakni kurang lebih 80 % ( Lyon & Moats, 1997; Lyon, 1995b; Kirk & Elkins dalam Lerner, 2000). Di Indonesia, dari 50 juta orang anak sekolah diperkirakan ada 5 juta orang anak yang mengalami disleksia. Dalam proses pendidikan formal, anak disleksia banyak ditemui di sekolah dasar terutama kelas 1, 2, dan 3 (Imandala, 2009). Prevalensi anak disleksia di Indonesia adalah 1 % dari populasi anak Indonesia. (Rahman dan Wiyancoko, 2008).

Disleksia merupakan permasalahan membaca pada anak yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, pendengaran dan penglihatan yang normal, bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai, berkesempatan memperoleh pendidikan, serta tidak bermasalah secara emosional (Guzak dalam Rahman dan Wiyancoko, 2008). Kesulitan membaca membawa penyandangnya kepada berbagai masalah di dalam kehidupan. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan berkurang untuk para peserta didik yang memiliki kesulitan belajar, khususnya pada peserta didik yang memiliki kesulitan dalam membaca atau disleksia. Anak disleksia mengalami kegagalan dalam pencapaian akademik. Anak disleksia harus belajar membaca agar mereka nantinya dapat membaca untuk mempelajari berbagai mata pelajaran di sekolah, karena membaca adalah sarana atau perangkat dasar untuk semua mata pelajaran (Lerner, 2000).

Membaca merupakan dasar utama untuk memperoleh kemampuan belajar di berbagai bidang. Melalui membaca seseorang dapat membuka cakrawala dunia, mengetahui apa yang sebelumnya tidak pernah diketahui, apalagi anak yang sudah memasuki usia sekolah dasar di mana ada peraturan yang menuntut anak harus dapat membaca saat masuk sekolah dasar (Subini, 2011). Sekolah dasar

(4)

merupakan satuan pendidikan yang memberikan kemampuan dasar tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Bab II pasal 3 PP No. 28/1990 tentang pendidikan dasar. Selain itu, sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan formal perlu mengembangkan berbagai model pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbahasa termasuk kemampuan baca-tulis (Rifa Hidayah, 2009)

Dewasa ini, kita hidup di dunia serba teknologi dan multimedia, kita mendapat berbagai macam informasi melalui berbagai media, sistem informasi terbaru sudah terkomputerisasi yang dilengkapi dengan internet, semuanya ini mewajibkan para penggunanya untuk membaca informasi elektronik yang tertulis di layar monitor. Di Indonesia, sejak jenjang pendidikan dasar sudah mulai diperkenalkan dan dibiasakan untuk menggunakan teknologi dan multimedia. Jika anak-anak di zaman modern ini memiliki kesulitan membaca, maka mereka gagal mendapatkan informasi yang sangat berguna bagi kehidupan sehingga mengurangi kesempatan mereka mencapai cita-cita yang diinginkan (Lerner, 2000).

Anak yang mengalami disleksia memiliki kelemahan yang menonjol saat belajar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan anak yang mengalami disleksia mengalami kelemahan pada keterampilan fonologi (Marshall dalam Rifa Hidayah, 2009). Keterampilan fonologi artinya keterampilan yang dimiliki saat proses belajar membaca, yaitu ketika anak-anak mengerti tentang fonem (suara yang mewakili setiap huruf) dan grapheme (simbol dari huruf), di mana fonem berkaitan dengan grapheme (de Leeuw, 2010). Keterampilan atau kesadaran fonologi merupakan prediktor terhadap kemampuan baca anak (studi metaanalisis terhadap 1.180 subjek yang dilakukan oleh Bus dalam Rifa Hidayah, 2009) dan

(5)

didukung oleh penelitian Sofie (dalam Rifa Hidayah, 2009) menunjukkan bahwa keterampilan fonologi memiliki hubungan dengan kesulitan membaca.

Keterampilan fonologi harus dilengkapi dengan keterampilan orthography agar dapat membaca dengan cepat dengan pemahaman (de Leeuw, 2010). Keterampilan orthography berdasar pada kesadaran fonologi dan orthography (Vellutino,et al. dalam de Leeuw, 2010). Kesadaran orthography adalah kepekaan dalam mengingat di mana huruf diletakkan di dalam sebuah kata tertulis (Vellutino,et al. dalam de Leeuw, 2010) dan untuk mengkodekan kembali rangkaian huruf (kata-kata) ke dalam kata yang diucapkan (de Jong & van der Leij, 2003; Siegel, Share, & Geva dalam de Leeuw, 2010). Hasil penelitian Siegel, Share dan Geva (dalam de Leeuw, 2010) bahwa anak disleksia memiliki kesadaran orthography yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan anak normal. Siegel dan rekannya menjelaskan bahwa masalah anak disleksia disebabkan oleh kurangnya integrasi antara keterampilan orthography dan fonologi.

Anak disleksia juga memiliki kelemahan menamai dengan cepat atau speed naming (Wolf dan Snowling dalam Rifa Hidayah, 2009), memiliki ingatan jangka pendek (short-term memory) yang sangat kurang sehingga menyebabkan sulit mengingat apa yang diucapkan (Wadlington dalam Rifa Hidayah, 2009). Secara singkat dapat dikatakan anak disleksia bermasalah dalam kecepatan dan keakuratan membaca serta kemampuan dalam mendapatkan informasi dari apa yang dibaca.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan keakuratan membaca adalah jenis huruf (font) dari kata-kata yang tercetak (de Leeuw, 2010). Ada banyak studi yang mencoba untuk menentukan aspek apa yang mengganggu secara visual

(6)

pada sebuah jenis huruf. Serangkaian eksperimen berbeda dilakukan oleh Wilkins dan rekannya (Hughes & Wilkins,; Wilkins, Cleave, Grayson, & Wilson,; Wilkins, et al., dalam de Leeuw, 2010) dengan menggunakan jenis huruf, ukuran, dan tugas membaca yang bervariasi. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa anak lebih baik membaca dengan ukuran huruf yang lebih besar, spasi di antara hurufnya serta keberadaan huruf dengan serif. Serif adalah sedikit garis yang berada di ujung huruf paling atas atau paling bawah seperti pada jenis huruf “Times New Roman”.

Penelitian lain dilakukan tentang dampak keberadaan serif dalam jenis huruf, hasilnya bahwa anak-anak lebih cepat membaca bacaan yang menggunakan jenis huruf “Sans Serif Font” dengan ukuran 14 (Bernard, Chaparro, Mills, & Halcomb,; Woods, Davis, & Scharff dalam de Leeuw, 2010). Arditi dan Cho (dalam de Leeuw, 2010) menemukan bahwa tulisan yang mereka buat sendiri dengan menggunakan serif sedikit lebih cepat dibaca dibandingkan dengan tulisan tanpa serif karena jenis huruf dengan serif memiliki spasi lebih besar antara satu huruf dengan huruf yang lain di mana akan membuat kata-kata lebih mudah untuk dibaca (Arditi & Cho; Bernadr, et al., dalam de Leeuw, 2010).

Aspek lain yang ada di dalam jenis huruf yang mempengaruhi kecepatan dan keakuratan membaca anak disleksia adalah X-height. X-height di dalam huruf adalah jarak antara baseline dan mean line (Bernard, et al., dalam de Leeuw,2010). Dengan membuat X-height lebih besar (lebih panjang) maka akan membantu membedakan huruf yang memiliki kemiripan seperti huruf “o” dan “d” (Watts & Nisbet dalam de Leeuw, 2010). Dengan mengubah X-height memang akan membuat huruf dapat dibedakan, lalu ada penelitian lain yang menghasilkan aspek lain yang membuat huruf lebih cepat dan akurat dibaca oleh anak-anak disleksia yakni dengan

(7)

menggunakan tanda titik dan sedikit miring (Lockhead & Crist dalam de Leeuw, 2010).

Melihat hasil yang sudah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa ukuran huruf, spasi antar huruf, keberadaan serif, X-height dan jenis huruf memiliki pengaruh yang besar dalam reading performances khususnya dalam kecepatan dan keakuratannya.

Berangkat dari hasil penelitian di atas, seorang ahli desain grafis dari Belanda yang juga penyandang disleksia, Christian Boer, menciptakan sebuah jenis huruf dengan karakter yang berbeda. Beliau membuat jenis huruf yang dinamakannya “Dyslexie”. Melihat fakta bahwa penemuan tentang teknik-teknik perlakuan khusus untuk disleksia masih kurang dan belum ada satu metode atau strategi yang cocok untuk semua anak disleksia (Carl & Uhry, 1995; Putnam, 1996; Spafford & Grosser, 1996; Wadlington, 2000; Hidayah, 2009), penemuan ini dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk membantu memfasilitasi anak disleksia belajar.

Anak disleksia merefleksikan huruf seperti pada kaca (mirroring) misalnya huruf “bq” menjadi “pd”, memutar huruf misalnya huruf “q” menjadi “b”, mencampur adukan huruf karena beberapa huruf kelihatan sama misalnya “c”dan “e”. Berdasarkan ciri-ciri anak disleksia ini, Christian Boer ini membuat jenis huruf yang dapat dibaca dengan lebih muda oleh anak disleksia. Ada banyak perubahan dan penyesuaian yang dibuat di dalam jenis huruf dyslexie ini ,beberapa di antaranya adalah sebagai berikut (www.studiostudio.nl/project-dyslexie/):

a. Membuat fokus huruf pada bagian bawah, sehingga huruf tidak akan terlihat “jungkir balik”. Ketika meletakkan huruf-huruf selanjutnya, fokus

(8)

dari semua huruf akan berada pada bagian bawah dari huruf dan ini akan terlihat satu dasar yang berat/tebal.

b. Membuat jarak yang lebih lebar pada bagian yang terbuka dari huruf sehingga huruf yang terlihat sepertinya sama satu sama lain akan terlihat lebih jelas perbedaannya.

c. Membuat beberapa huruf menjadi miring, sehingga satu sama lain tidak terlalu terlihat sama, seperti huruf “i” dan “j”.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Renske de Leeuw (2010) untuk menguji apakah jenis huruf “dyslexie” ini mempengaruhi kecepatan dan keakuratan dalam membaca pada orang yang menyandang disleksia dan normal. Hasilnya tidak ada pengaruh yang terlalu signifikan namun hanya beberapa orang saja yang cocok dan lebih akurat dalam membaca dengan menggunakan jenis huruf “dyslexie”. karena itu peneliti tertarik dan tertantang untuk meneliti apakah jenis huruf “dyslexie” mempunyai pengaruh pada fluency atau kemampuan mengenal kata dengan cepat, mendapatkan informasi dari bacaan pada anak disleksia sehingga dapat menjadi indikator pemahaman membaca anak disleksia dalam membaca.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah penggunaan jenis huruf “Dyslexie” pada bahan bacaan mempengaruhi fluency dalam membaca pada anak disleksia berusia 8-10 tahun?

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menguji apakah ada pengaruh dari penggunaan jenis huruf “Dyslexie” pada bahan bacaan mempengaruhi fluency dalam membaca pada anak disleksia berusia 8-10 tahun

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis:

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan psikologi pendidikan anak berkebutuhan khusus, terutama dalam memberikan penanganan atau perlakuan untuk anak-anak yang mengalami kesulitan belajar secara khusus dalam membaca (disleksia).

Manfaat praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap tentang pengaruh penggunaan jenis huruf “Dyslexie” di dalam bacaan untuk anak-anak disleksia dalam meningkatkan fluency dalam membaca.

Referensi

Dokumen terkait

Subak memenuhi persyaratan sebagai warisan budaya dunia sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO, yaitu subak merupakan tradisi budaya yang membentuk lanskap Pulau Bali, lanskap Bali

V Formulir 03.08 belum terisi. Konfirmasi lapangan: Tidak ada dosen yang mendapat Hibah PkM Dikti. Sumber dana PkM dari sumber internal UWKS. Hary Sastrya Wanto, MS)..

Semua teori mengenai penglihatan warna berdasarkan pada observasi yang telah dikenal secara baik, yakni bahwa mata manusia sebenarnya dapat mendeteksi hampir semua gradasi

lama bahkan tidak sedikit santri drop out sebelum mampu membaca al-Qur’an dengan tartil. Beberapa tahun yang lalu masih banyak metode membaca Al-Qur’an yang cenderung

1) Konfrontasi (confrontative coping), yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan

Begitu pentingnya suatu brand awareness seseorang ter- hadap suatu produk membuat perusahaan atau pengiklan harus benar-benar cermat dalam memilih nama merek hingga penempatan

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memilih mesin blow molding karena kerusakan yang sering terjadi di perusahaan maka penulis akan melakukan perawatan

Maka dari itu penulis ingin membuat sebuah penelitian yang berjudul Analisa Pembentukan Portofolio dengan Menggunakan Model Markowitz dan Single Index Model pada Saham yang Masuk