21
UJI BANDING EFEKTIVITAS Allium Sativum (BAWANG PUTIH) 2%
DENGAN KETOKONAZOL 2% SECARA IN VITRO TERHADAP
PERTUMBUHAN Malassezia Furfur PADA Pityriasis Versicolor
Oleh : Arief Zainal Rahman4
ABSTRACT
Background: Garlic (Allium sativum) is a traditional or herbal medicine which has the effect of
antifungal. While Ketoconazole is antifungal drug which effective in the treatment of fungi (pityriasis versicolor), which is a superficial fungal infection usually caused by Malassezia furfur. This study aimed to compare the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% in In Vitro in inhibiting the growth of Malassezia furfur, as cause of panau (pityriasis versicolor).
Objective: To know the difference between the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% in
inhibiting Malassezia furfur cause panau (pityriasis versicolor).
Method: This type of experimental design with post-test, in comparing the two treatments that is
giving Garlic Ketoconazole 2% and 2% in inhibiting the growth of fungi that cause panau. Data is analyzed using SPSS for Windows 13:00, hypothesis using Chi Square test with significance level p <0.05.
Result: The Chi-Square test is obtained p = 0.606, which means there is no significant difference
between the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% to the growth of Malassezia furfur causes of panau (pityriasis versicolor).
Keyword: pityriasis versicolor (Panau), Malassezia furfur, Allium sativum (Garlic), Ketoconazole.
22
PENDAHULUAN
Banyak ahli farmasi yang menemukan bahwa terdapat sejumlah agen anti fungal yang menurut data pemakaian klinis sudah menimbulkan resitensi. Dipaparkan bahwa kegagalan klinis penggunaan Griseofulvin tercatat setelah lebih dari 20 tahun penggunaannya. Mengutip laporan yang dibuat oleh Young, bahwa terdapat sekitar 20 % resistensi pada isolat klinis di Inggris pada tahun 1972. Berlanjut di tahun 1986 terdapat sekitar 5 % laporan resitensi terhadap
Griseofulvin di Jerman. Sementara di
tahun 1994 tidak terjadi kasus resistensi dengan Griseofulvin pada 100 kasus infeksi dermatofita. (Seow Chew Swee, 2006).
Agen anti fungal lain, seperti Nistatin, yang sudah digunakan sejak 1927 ternyata masih menunjukkan sensitivitas terhadap jamur. Belum ada bukti adanya resistensi. Anti fungal dari golongan Azole seperti ketoconazole,
itraconazole dan fluconazole masih
belum diketahui dengan pasti apakah dapat menimbulkan resistensi sekunder pada dermatofita. Penelitian untuk melihat adanya resistensi di laboratorium juga belum menunjukkan hasil memuaskan (Bautista et.al, 2005).
Informasi resistensi golongan
azole terhadap infeksi oleh Malassezia furfur masih terbilang sedikit. Hal ini
disebabkan oleh masih sedikitnya laboratorium yang berkemampuan mendeteksi resitensi agen anti fungal. Perbedaan terapan dalam kultur laboratorium juga tidak langsung berpengaruh pada lingkup aplikasi klinis oleh dokter (Dawson et.al, 2009).
Anti fungal lain yang juga
dilaporkan telah menimbulkan resistensi khususnya pada infeksi
Trichophyton rubrum adalah
Allyllamine dan Terbinafine. Anti fungal Amorolfine, Ciclopiroxalamaine dan Haloprogin masih belum diketahui
status resistensinya. Bisa dikatakan fokus utama dalam hal resistensi obat bertolak dari kegagalan pengobatan
dermatomikosis. Faktor
farmakokinetika anti fungal menjadi isu
yang lebih penting dibandingkan resistensi obat (Klenk et.al. , 2003).
Sekitar 2.000 tahun lalu, bapak ilmu kedokteran, Hippocrates, berujar, "Let your food be your medicine and
your medicine be your food" diartikan,
pola makan yang sehat dan seimbang dapat menunjang kesehatan seseorang secara optimal dan dari zat gizi makanan, sehingga kita dapat terhindar dari berbagai macam penyakit. Pedoman ini ada baiknya kita kembali ke pola hidup yang alami tanpa obat-obatan yang diproduksi secara kimiawi tersebut, karena ternyata selain mempunyai suatu efek samping yang merugikan juga belum tentu dapat mengobati penyakit misalnya ada faktor resistensi tersebut di atas (Darmansjah, 2002).
Salah satu anti fungal alami yang cukup terkenal adalah bawang putih, walau belum ada penggunaan yang memasyarakat, mungkin disebabkan kurang adanya promosi dari suatu penelitian yang meyakinkan. Penelitian ini mencoba menggali lebih dalam kemampuan bawang putih sebagai anti fungal tadi dan diharapkan mampu meyakinkan kita semua akan khasiatnya sebagai obat tradisional, dalam hal ini bersifat alami. Penelitian ini mengamati seberapa berkhasiatnya bawang putih sebagai anti jamur tersebut dengan membandingkannya dengan anti jamur yang sudah terbukti secara medis dapat mengobati penyakit jamur pada manusia. Penyakit jamur pada manusia yang akan
23
diujikan berupa Pityriasis Versicoloratau panu yang disebabkan oleh Malassezia furfur (Macpherson et.al, 2005).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap anti fungal baru yang bersifat lebih alami dan tidak kalah efektif dengan anti fungal yang sudah terbukti cukup efektif secara farmakologi. Secara khusus diteliti ”Apakah ada perbedaan efektivitas antara A. sativum (bawang putih) 2% dengan ketokonazol 2% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan M.
furfur pada Pityriasis versicolor
(panu)?”
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah untuk memperoleh membandingkankhasiat Bawang Putih sebagai salah satu obat herbal di Indonesia, dengan obat yang sudah terbukti efektif yaitu Ketokonazol, untuk mengetahui perbedaan antara efektifitas Bawang Putih 2% dengan
Ketokonazol 2% dalam menghambat M.furfur penyebab panu, dan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhi
keefektivitasan Bawang Putih dalam menghambat jamur penyebab penyakit panu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini jenis eksperimental dengan desain post-test only, dalam membandingkan 2 perlakuan yaitu pemberian bawang putih 2% dan ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan jamur penyebab panu.
POPULASI DAN SAMPEL
Kerokan skuama kulit diambil dari pasien di Balai Pengobatan Sewu Husada Bakti yang terdiagnosa
Pityriasis versicolor (panu) dan
dibuktikan dengan tes KOH di Laboratorium Mikrobiologi Stikes Surya Global.
Sampel yang dikembang-biakan atau dikulturkan 10 buah (menjadi 10 buah untuk perlakuan Bawang Putih 2% dan 10 buah perlakuan Ketokonazol 2%), diambil dari 5 orang pasien yang terdiagnosa Pityriasis
versicolorikolor (panu).
LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Balai Pengobatan Sewu Husada Bakti dan Laboratorium Mikrobiologi Stikes Surya Global, di desa Blado, Potorono, Banguntapan, Bantul.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Sampel diambil kerokan skuama kulit yang diambil secara aseptik menggunakan skalpel steril dan ditampung di kaca gelas steril untuk pemeriksaan mikroskopis dengan KOH + tinta Parker blue black. Hasil dinyatakan positif (+) bila ditemukan gambaran meat ball and sphagetti dengan perbesaran 400X. Kerokan skuama kulit yang dinyatakan (+) dibiakkan pada Sabouraud Dekstrose Agar minyak kelapa 1% + Amoxycillin 2 mg/200 cc pada suhu 37°C selama 3 sampai 5 hari, di Laboratorium Mikrobiologi. M. furfur tumbuh pada media Sabouraud yang mengandung minyak zaitun (olive oil), selain itu juga berhasil dibiak pada media Sabouraud dekstrosa agar ditambah minyak kelapa 1%, dengan pengeraman suhu 37°C.
Bila tumbuh koloni yeast pada media, maka dinyatakan biakan M.
furfur (+), dan bila tidak tumbuh koloni yeast pada medium, maka dinyatakan
biakan M. furfur (-). Hasil biakan (+) dilarutkan dengan NaCl 0,9% dan
24
disesuaikan dengan Mc. Farland 0,5,kemudian diambil 0,1 cc dan ditanamkan pada masing-masing media Sabouraud Dekstrose Agar minyak kelapa 1% yang mengandung Bawang Putih 2% dan media
Sabouraud Dekstrose Agar minyak
kelapa 1% yang mengandung Ketokonazol 2%. Satu sampel biakan (+) M. furfur dipakai untuk satu kali. Sejumlah 5 penderita Pityriasis versicolor peroleh 10 biakan dibagi 2
yang identik atau tidak ada variabel pembeda karena dari 1 penderita (Richard C.S. , 2003).
Digunakan 10 biakan (+) M. Furfur untuk yang mengandung bawang putih 2% dan 10 biakan (+) M. Furfur untuk yang mengandung ketokonazol 2%. Media dimasukkan ke inkubator pada suhu 37°C selama 2 hari dan dilihat pertumbuhannya pada hari kedua. Bila tumbuh koloni yeast pada media tersebut maka dinyatakan biakan M.
furfur (+), dan bila tidak tumbuh koloni
yeast pada media tersebut maka dinyatakan biakan M. furfur (-).
PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS
13.00 for Windows, uji hipotesis
menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan p<0,05 (Nursalam, 2003). Penelitian ini masih bersifat in
vitro, yang diharapkan dapat menjadi
dasar bagi penelitian selanjutnya terutama berlanjut pada penelitian yang bersifat in vivo.
HASIL PENELITIAN
Hasil pemeriksaan mikroskopis kerokan skuama kulit dengan KOH + tinta Parker blue black, 10 sampel (100%) dinyatakan Pityriasis versicolor (+). Sejumlah dari 10 sampel dengan
Pityriasis versicolor (+) yang
ditanamkan pada media Sabouraud
Dekstrose Agar olive oil, 10 sampel
(100%) dinyatakan biakan Malassezia
furfur (+). Jadi jumlah yang digunakan
adalah 10 sampel. Sejumlah 10 sampel dengan biakan Malassezia Furfur (+) di
Sabouraud Dekstrose Agar olive oil
yang mengandung bawang putih 2%, 8 (80%) dinyatakan Malassezia furfur (+) dan 2 (20%) dinyatakan Malassezia
furfur (-). sebanyak 10 sampel dengan
biakan Malassezia furfur (+) di
Sabouraud Dekstrose Agar olive oil
yang mengandung Ketokonazol 2%, 7 (70%) dinyatakan Malassezia furfur (+) dan 3 (30%) dinyatakan Malassezia
furfur (-).
Dengan uji Chi-Square didapatkan hasil p=0,606, yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektivitas bawang putih 2% dengan Ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia furfur.
Gambar 1. Perbandinganpertumbuhan M. furfur pada media Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + Bawang Putih
2% dan pada media
SabouraudDekstrose Agar olive oil Ketokonazol 2%.
25
Tabel 1. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + Bawang Putih 2% atau Ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia furfur.
M.furfur Total
+ -
Biakan Bawang Putih 2% Count 7 3 10
Expected Count 7.5 2.5 10.0 % Within Biakan 70.0% 30.0% 100.0% Ketokonazol 2 % Count 8 2 10 Expected Count 7.5 2.5 10.0 % Within Biakan 80.0% 20.0% 100.0% Total Count 15 5 20 Expected Count 15.0 5.0 20.0 % Within Biakan 75.0% 25.0% 100.0% PEMBAHASAN
Uji chi-square diperoleh hasil p=0,606 yang berarti tidak ada perbedaan antara bawang putih 2% dan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia
furfur. Ketokonazol adalah salah satu
anti jamur golongan azol sintetik dengan konsentrasi 2% yang mempunyai spektrum luas dan efektivitas yang tinggi, yang bekerja menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang penting untuk integritas membran sel jamur. Berdasarkan penelitian ini didapat fakta juga bahwa Ketokonazol 2% secara in
vitro kurang efektif menghambat
pertumbuhan Malassezia furfur. Walaupun secara in vivo terbukti bahwa Ketokonazol mempunyai efektivitas yang tinggi.
Bawang Putih adalah tanaman obat berkhasiat yang terbukti melalui penelitian ilmiah memiliki efek
imunomodulasi, efek reparasi dan
peremajaan sel,efek vasoproteksi, efek
antioksidan, anti biotik dan anti jamur.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini didapatkan bahwa efektivitas Bawang Putih 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia
furfur secara in vitro tidak berbeda
dibandingkan dengan Ketokonazol 2%.
Terbukti dari 10 media Sabouraud
Dektrose Agar olive oil yang
mengandung bawang putih 2%, 7 (70%) media ditumbuhi Malassezia
furfur. Sejumlah 10 media Sabouraud
Dekstrose Agar olive oil yang
mengandung Ketokonazol 2%, 8 (80%) media ditumbuhi Malassezia furfur. Uji Chi-Square didapatkan p=0,606 yang berarti tidak ada perbedaan. Hal ini membuktikan bahwa Bawang Putih 2% yang mempunyai khasiat anti jamur memiliki efektivitas yang setara dengan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur pada Pityriasis versicolor atau penyakit panu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian mengenai perbedaan efektivitas antara bawang putih dan ketokonazol sebagai obat anti fungal secara In Vitro ini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara bawang putih 2% dengan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia
furfur pada Pityriasis Versicolor. DAFTAR PUSTAKA
Bautista, D.M.; Movahed P.; Hinman A.; Axelsson HE; Sterner O;
26
Hogestatt ED; Julius D; Jordt SE;and Zygmunt PM. 2005. "Pungent
products from garlic activate the sensory ion channel TRPA1". Proc
Natl Acad Sci USA 102 (34): 12248-52.
Darmansjah, Iwan. 2002. Menyikapi
Efek Samping Obat. FK UI, Bagian
Farmakologi, Jakarta.
Dawson, Thomas JR; dan Boni Elewski. 2009. “Fast, Non-invansive Method for Molecular
Detection and Speciation of
Malassezia on Human Skin, and
Application to Dandruff
Microbiology”. Universitas
Alabama, Birmingham.
Klenk, AS; Martin AG; Heffernan MP. 2003. Yeast Infections: Candiadiasis, Pityasis Versikolor.
In: Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf Klaus, Austen KF, Goldsmith LA. Katz SI, editors. Fitzpatrick's dermatologi in general medicine. 6th ed. New York : Me-Graw Hill; p 2006-16.
Macpherson, Lindsey J.; Bernhard H. Geierstanger; Veena Viswanath; Michael Bandell; Samer R. Eid; SunWook Hwang; and Ardem
Patapoutian. 2005. "The Pungency
Of Garlic: Activation Of TRPA1 And TRPV1 In Response To Allicin". Current Biology 15 (May
24): 929-934.
Nursalam, 2007. Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan,
Salemba Medika. Jakarta.
Richard, C.S. 2003. Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton,
And Agents Of Superficial
Mycoses. In: Murray Patrick R,
Baron Ellen Jo, Jorgense James H, Pfaller Michael A, Yolken Robert H, Editors. Manual of Clinied Microbiology. 8th ed. New York : Me-Graw Hill; p 104-16. Seow Chew Swee, 2006. Obat
Antifungal. National skin Centre &
Division of Dermatology Dept of Medicine, National University of Singapore. www.majalah-farmacia.com.