• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1

Marketing

Menurut Kotler dan Keller (2006, p.6), “Marketing is a societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering, and freely exchanging products and services of value with others”. Dari definisi tersebut, maka marketing (pemasaran) dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain (Kotler and Keller, 2006, p. 6).

Menurut American Marketing Association, “Marketing is an organizational function and a set of process of creating, communicating, and delivering, and communicating superior customer value” yang berarti marketing adalah suatu fungsi organisasi dan sekumpulan proses menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan suatu nilai ke konsumen dan untuk memelihara hubungan dengan konsumen sehingga dapat memberi keuntungan bagi organisasi dan para pemegang saham (Kotler and Keller, 2006, p.6).

Di dalam jurnal Christian Grőnroos, terdapat pernyataan bahwa sesuai dengan konsep marketing yang merumuskan bahwa marketing adalah sebuah

(2)

filosofi, perusahaan harus berpijak pada keinginan dan kebutuhan konsumen yang dipilih sebagai target pasar dalam melaksanakan semua aktivitasnya. American Marketing Association tahun 1985 merumuskan definisi marketing sebagai proses perencanaan dan eksekusi dari konsep, harga, promosi, dan distribusi ide-ide, produk dan servis untuk membentuk suatu pertukaran dan kepuasan antara individu dan tujuan organisasi. Masih di dalam jurnal yang sama, melalui pendekatan pemasaran industri dan servis, inti dari marketing yang terpenting adalah menumbuhkan, menguatkan, dan mengembangkan hubungan dengan konsumen, dimana mereka dapat memberikan keuntungan ketika tujuan perusahaan dan individu bertemu. Marketing sudah menyebar ke seluruh bagian organisasi, marketing tidak hanya ada pada satu fungsi khusus, namun marketing menjadi bagian integral dari top management, dimana ahli marketing membutuhkan dukungan maksimal dari management, contohnya untuk penelitian pasar, personal selling, dan iklan (Christian Grőnroos, p.56). Definisi marketing menurut Nordic adalah marketing dilakukan untuk memperkenalkan, mengembangkan, dan memanfaatkan (commercialise) hubungan jangka panjang dengan konsumen, sehingga tujuan dari perusahaan dapat tercapai dan hal ini dapat menjadi simbiosis mutualisme dan juga pemenuhan dari janji-janji (Christian Grőnroos, p.57).

(3)

2.2

Marketing Mix

Di dalam jurnal Anthony R. Bennett (1997), McCarthy (1975) merumuskan konsep 4P – product, price, promotion, and place marketing mix.

Marketing mix atau bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran yang sudah dibidik (Kotler, 2003, p. 15). Alat-alat pemasaran ini terdiri dari empat variabel yang kemudian disebut dengan 4p dari marketing, yaitu produk (product), harga (price), promosi (promotion), dan tempat (place).

Marketing mix adalah salah satu konsep utama dalam pemasaran modern saat ini. Marketing mix merupakan satu set marketing tools yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan respon yg diinginkan oleh target pasar (Kotler, 2003, p. 15). Empat variabel dari marketing mix tersebut, masing-masing memiliki pengertian:

1. Produk (product) : Menurut Kevin dan Keller ( 2006, p. 344), ”Product is anything that can brand equity offered to a market to satifsy a want or need”. Dari definisi tersebut, produk dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat ditawarkan oleh ekuitas merek untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan pasar. Produk bersifat tangible, beberapa keputusan produk yang dapat diambil adalah mengenai brand name, functionality, styling,

(4)

kualitas, keamanan, pengemasan, perbaikan dan dukungan, garansi, aksesoris, dan servis

(http://www.netmba.com/marketing/mix/).

“Product is anything we can offer to a market for attention, acquisition, use, or consumption that might satisfy a need or want”, definisi ini dipaparkan oleh Keller (2008, p. 3). Produk dapat diartikan segala sesuatu yang kita tawarkan ke market dan menjadi perhatian, akuisisi, digunakan, atau dikonsumsi, yang mungkin dapat memuaskan kebutuhan atau keinginan.

2. Harga (price) : satuan moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa) yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang dan jasa. Produk yang bermerek mahal sering kali dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dan lebih rentan untuk kalah dalam persaingan harga dibandingkan produk yang lebih murah (Blattberg dan Winniewski 1989; Dodds, Monroe, dan Grewal 1991; Kamakura dan Russel 1993; Milgrom dan Roberts 1986; Olson 1977). Beberapa keputusan harga yang dapat dibuat misalnya strategi harga (skim, penetration), harga retail yang disarankan, discount, harga paket, fleksibilitas harga, dan sebagainya.

(5)

Gambar 2.1 Matrix Pricing Strategies

sumber :http://www.netmba.com/marketing/mix/

3. Promosi (promotion) : aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi atau membujuk, dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. Promosi sebagai salah satu komponen penting dari marketing communications mix terdiri dari 5 cara yaitu advertising, direct marketing, sales promotion, public relations dan publicity, dan personal selling (Kotler and Keller, 2006, p. 19). “Promotion is aimed at the more short-term tactical goal of ‘moving forward’ brand sales now”, pernyataan ini terdapat dalam Overview of Advertising and Promotion (Percy, 2005, p. 4), yang dapat didefinisikan yaitu promosi ditujukan

(6)

untuk target jangka pendek untuk meningkatkan brand sales. Promosi mewakili aspek yang bervariasi dari komunikasi pemasaran, maka dari itu promosi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanggapan positif dari konsumen. Keputusan marketing communication dapat berupa strategi promosi, iklan, penjualan perorangan, target penjualan, promosi penjualan, public relations dan publicity, marketing communication budget, dan sebagainya (http://www.netmba.com/marketing/mix/).

4. Tempat (place) : media atau tempat dimana produk atau jasa disalurkan oleh produsen kepada konsumen yang dapat diakses oleh konsumen atau penempatan suatu produk yang melibatkan aktivitas logistik perusahaan dan kegiatan-kegiatan pemasaran dikonsentrasikan dengan membuat dan mendistribusikan barang jadi tersebut kepada konsumen. Distribusi adalah tentang bagaimana produk dapat diperoleh oleh konsumen. Beberapa keputusan distribusi yaitu jalur distribusi, area pasar (inclusive, selective, atau exclusive distribution), specific channel members, inventory management, gudang, pusat distribusi, proses pemesanan, transportasi, dan sebagainya (http://www.netmba.com/marketing/mix/).

Dari keempat variabel marketing mix di atas, variabel yang digunakan dalam penelitian saya adalah product, price, dan promotion. Variabel place

(7)

tidak digunakan dalam penelitian saya karena faktor tempat tidak berpengaruh pada pembelian suatu notebook. Penjualan notebook saat ini banyak menggunakan media internet, sehingga notebook bisa dibeli walau individu berada di rumahnya.

Marketing-mix model menganalisa data dari berbagai macam sumber, misalnya retailer scanner data, data pengiriman perusahaan, harga, media, data pengeluaran promosi, untuk lebih mengerti secara jelas pengaruh-pengaruh dari aktivitas pemasaran yang spesifik (Kotler and Keller, 2006, p. 119).

Tugas dasar dari marketing adalah mengkombinasikan keempat elemen marketing mix dalam suatu marketing program untuk memfasilitasi kemungkinan adanya perubahan / pertukaran (exchange) konsumen di pasar (Belch and Belch, 2007, p.9).

2.3

Brand

Branding adalah proses pemberian atau menambahkan suatu produk barang atau jasa dengan kekuatan dari suatu brand. Beberapa hal yang termasuk dalam branding yaitu membentuk ikatan mental dan membantu konsumen menata pengetahuannya tentang produk dan servis dengan cara menjabarkan proses pengambilan keputusan dan nilai-nilai yang ditawarkan oleh perusahaan. (Kotler and Keller, 2006, p. 257)

(8)

Kata brand (merek) berasal dari kata bahasa Jerman dari abad ke-14, yakni brandr, yang berarti membakar; seperti menandai hewan ternak sebagai bukti kepemilikan (Keller, 2008, p.2)

Dalam disertasi yang ditulis oleh Peter Otto (2002), terdapat definisi brand oleh Farquhar (1992) yaitu nama, simbol, design, atau tanda yang dapat meningkatkan nilai dari suatu produk melebihi nilai fungsionalnya. David Ogilvy, founder dari the advertising agency Ogilvy & Mather, mendefinisikan brand sebagai simbol yang kompleks. Brand adalah sejumlah atribut-atribut produk yang intangible, mulai dari nama, kemasan, harga, sejarah, reputasi, dan cara promosinya. Brand juga didefinisikan oleh pelanggan sebagai impresi (kesan dan tanggapan) dari orang-orang yang menggunakannya sendiri

American Marketing Association (AMA) mendefinisikan brand sebagai nama, ekspresi, tanda, simbol, desain, atau kombinasi dari semuanya, yang digunakan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari satu atau sekelompok penjual dan untuk membedakan mereka dari para pesaingnya. Dengan kata lain, ketika marketer membuat suatu nama, logo atau simbol untuk suatu produk baru, maka dia telah membentuk suatu brand. (Keller, 2008, p.3)

”Brand is thus a product or service that adds dimensions that differentiate it in some way from other products or services designed to satisfy the same need”, ini merupakan definisi dari Kotler dan Kevin (2006, p.256) yang berarti produk atau servis yang memiliki dimensi yang membedakannya

(9)

dengan produk atau servis yang lain yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sama. Perbedaannya secara fungsional, rasional atau tangible, sesuai dengan penampilan produk dari suatu brand. Selain itu, perbedaannya juga secara simbolik, emosional atau intangible, sesuai dengan apa yang diwakili dari sebuah brand. Seperti di dalam bukunya Marketing Management Twelfth Edition.

Brand memberikan manfaat bagi perusahaan, yaitu (Kotler and Keller, 2006, p. 256) :

1. Brand menyederhanakan penanganan suatu produk atau penelusuran suatu produk.

2. Brand membantu dalam penyusunan inventori dan pencatatan laporan akuntansi.

3. Brand dapat menjadi perlindungan hukum bagi perusahaan yang memproduksi suatu produk. Misalnya perlindungan untuk kekhususan fitur atau aspek dari produk tersebut melalui pendaftaran merek dagang (trademark), perlindungan untuk proses manufacturing adalah melalui hak paten atau hak cipta, perlindungan untuk proses pengemasan adalah melalui copyrights dan designs. Perlindungan terhadap properti intelektual ini memberikan keamanan bagi perusahaan dalam berinvestasi terhadap brand-nya dan menuai keuntungan dari aset berhargabrand-nya.

Dari sisi konsumen, brand merupakan hal penting, ini disebabkan karena brand digunakan untuk identifikasi sumber dari produk, penyerahan tanggung jawab kepada si pembuat produk, mengurangi resiko, mencari

(10)

pengurangan biaya, janji dan ikatan dengan si pembuat produk, alat penanda, dan menandakan adanya kualitas. Sedangkan dari sisi manufacturers, brand merupakan hal penting, disebabkan karena menjadi identifikasi untuk menyederhanakan handling atau tracing, perlindungan hak cipta, menandakan tingkat kualitas yang dapat memuaskan konsumen, memberikan asosiasi unik terhadap suatu produk, sumber dari keuntungan kompetitif, dan sumber dari financial returns (Keller, 2008, p. 7).

2.4

Brand Equity

Menurut David Aaker (1996, p. 8), ”Brand equity is a set of assets (and liabilities) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or substracts from) the value provided by product or service to a firm and/or that firm’s customer” yang berarti sejumlah aset dan liabiliti yang terhubung dengan sebuah nama brand dan simbol yang turut meningkatkan nilai yang terdapat pada suatu produk atau servis untuk perusahaan dan atau untuk konsumen dari perusahaan tersebut.

Brand equity adalah nilai tambahan yang terdapat pada produk dan servis. Nilai-nilai ini dapat direfleksikan dalam berbagai cara, misalnya bagaimana pelanggan berpikir, merasakan, dan menghargai sebuah brand, seperti halnya dengan harga, market share, dan keuntungan yang diberikan sebuah brand kepada perusahaan. Brand equity adalah aset intangible yang memiliki nilai psikologi dan keuangan bagi perusahaan. (Kotler and Keller,

(11)

2006, p. 258). Brand equity berkaitan erat dengan market share, dimana brand equity dapat menurunkan tingkat ketidakpastian, karena dengan adanya elemen-elemen brand equity maka kita dapat memiliki suatu elemen pengukuran untuk mengetahui sebagaimana tangguhnya suatu brand di benak konsumen.

Di jurnal yang ditulis oleh Yoo, Donthu, dan Lee tahun 2000 terdapat definisi brand equity menurut Farquhar, Han, and Ijiri (1991); Kamakura and Russel (1993); Park and Srinivasan (1994); Rangaswamy Burke and Oliva (1993) adalah perangkat tambahan atau nilai tambah yang dimiliki sebuah produk berdasarkan nama brand, contohnya Coke, Kodak, Levi’s, dan Nike. Selain itu juga terdapat definisi brand equity menurut pendapat Simon and Sullivan (1993) merupakan aset penting bagi perusahaan yang dapat meningkatkan cash flow bisnis. Dalam jurnal tersebut juga terdapat pernyataan Aaker (1991) yaitu dari sudut pandang kebiasaan, brand equity sangat penting untuk membedakan suatu produk dengan produk lain, agar dapat memenangkan persaingan melalui diferensiasi, bukan melalui persaingan harga.

Menurut Keller (2008, p. 48), “Customer-based brand equity as the differential effect that brand knowledge has on consumer response to the marketing of that brand”, yang dapat diartikan sebagai efek berbeda dari brand knowledge yang diperoleh dari tanggapan konsumen terhadap pemasaran suatu brand. Brand memiliki customer-based brand equity positif jika konsumen menanggapi suatu produk dan cara pemasarannya dengan lebih

(12)

baik saat brand sudah diperkenalkan dibanding sebelum brand diperkenalkan. Brand memiliki customer-based brand equity negatif merupakan kebalikan dari customer-based brand equity positif.

Ada beberapa hal penting berdasarkan definisi tersebut, yaitu (Kotler and Keller, 2006, p. 259):

1. Brand equity muncul karena adanya perbedaan respon konsumen terhadap suatu merek. Jika tidak ada perbedaan pada respon konsumen, berarti brand dari suatu produk tidak memiliki diferensiasi, sehingga dianggap sama saja dengan kompetitornya di produk yang sama. Satu-satunya hal yang membedakan hanyalah harga.

2. Perbedaan respon konsumen dilandasi dari pengetahuan konsumen tentang brand tersebut (brand knowledge). Brand knowledge terdiri dari pandangan, perasaan, gambaran, pengalaman, kepercayaan, dan sebagainya yang terkait dengan suatu brand. Secara khusus, brand hendaknya diciptakan agar strong, favorable, dan memiliki asosiasi unik atau khusus dengan konsumen, misalnya Volvo (aman), Hallmark (caring), dan Harley-Davidson (petualangan).

3. Perbedaan respon konsumen menjadikan brand equity sebagai refleksi dari persepsi, preferensi, dan kebiasaan yang berhubungan dengan berbagai aspek pemasaran dari sebuah brand.

(13)

™ Brand equity menjadi cerminan dari masa lalu

Marketer harus mempertimbangkan anggaran biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan dan pemasaran produk tiap tahunnya agar tidak menjadi beban yang berlebihan namun menjadi investasi (investasi di konsumen terhadap apa yang mereka pelajari, rasakan, dan alami terhadap suatu brand).

™ Karena brand equity manjadi penunjuk bagi masa depan

Brand knowledge yang dibentuk oleh marketer dari waktu ke waktu akan menentukan sesuai dan ketidaksesuaian penunjuk bagi masa depan sebuah brand. Konsumen akan memutuskan berdasarkan keyakinan dan perlakuannya terhadap suatu brand, dimana mereka berpikir bahwa suatu program-program marketing sesuai dengan brand tersebut.

Customer-based brand equity berlaku ketika konsumen sangat mengenal suatu merek dan familiar terhadap suatu merk dan sangat mengetahui asosiasi suatu brand yang unik dengan baik dalam ingatannya. Customer brand knowledge terbagi menjadi dua hal yaitu brand awareness dan brand association. (Keller, 2008, p. 53-54)

(14)

Gambar 2.2

A Conceptual Framework of Brand Equity

Sumber: Journal of the Academy of M. Science ( Vol.28, No.2, 2000,p.195-211) Dalam jurnal Yoo, Donthu, dan Lee (2000, p. 196), terdapat pernyataan dari :

1. Mahajan, Rao, dan Srivastava (1994) bahwa brand equity mempengaruhi pengambilan keputusan merger dan akuisisi.

2. Lane dan Jacobson (1995) serta Simon dan Sullivan (1993) bahwa brand equity mempengaruhi stock market responses.

3. Rangaswamy et al. (1993), brand equity menentukan kemampuan untuk memperluas nama sebuah merek.

4. Barwise (1993), Farquhar et al. (1991), Keller (1993), Simon dan Sullivan (1993), Smith dan Park (1992), bahwa brand equity dapat meningkatkan kemungkinkan terpilihnya suatu merek, kesediaan untuk membayar di harga premium, keefektifan komunikasi pemasaran, dan kemungkinan brand licensing, mengurangi

(15)

kemungkinan terserang aksi pemasaran yang kompetitif, dan tanggapan yang elastis terhadap kenaikan harga.

5. Bharadwaj, Varadarajan, Fahy (1993), bahwa brand equity menyediakan keuntungan yang kompetitif bagi perusahaan.

Keuntungan dari adanya ekuitas merek yang positif yaitu (Keller, 2008, p. 403) :

1. Memberikan dan menghasilkan produk yang berbeda.

2. Menghasilkan tingkat keloyalan yang lebih tinggi dan lebih sulit untuk dikalahkan dalam persaingan pemasaran.

3. Menghasilkan keuntungan yang lebih besar, dan tanggapan yang lebih tidak elastis dalam kenaikan harga, serta tanggapan yang lebih elastis dalam penurunan harga.

4. Lebih mudah dalam mendapatkan pelanggan, kerja sama bisnis, dan dukungan.

5. Meningkatkan keefektifan komunikasi pemasaran. 6. Menghasilkan licensing opportunities.

7. Mendukung brand extensions.

2.4.1 Brand Awareness

“Brand awareness is consumers’ ability to identify the brand under different condition” atau dapat diartikan Brand awareness

(16)

adalah kemampuan konsumen untuk mengenali suatu merek di berbagai kondisi. (Kotler and Keller, 2006, p. 268).

Brand awareness adalah kemungkinan-kemungkinan konsumen ingat tentang keberadaan dan ketersediaan sebuah produk/servis dari suatu perusahaan. Membangun brand awareness adalah salah satu kunci sukses dalam mempromosikan produk dan jasa. (http://www.investopedia.com/terms/b/brandawareness.asp)

Dalam Strategic Brand Management (2008) yang ditulis oleh Kevin Lane Keller, brand awareness terdiri dari brand recognition dan brand recall performance.

1. Brand recognition

Kemampuan konsumen untuk menyatakan secara langsung hal-hal yang berhubungan dengan suatu brand ketika brand tersebut disebutkan sebagai kata kunci. Dengan kata lain, ketika konsumen pergi ke toko, akankah mereka ingat tentang suatu brand sebagai salah satu dari brand-brand yang ada.

2. Brand recall

Kemampuan konsumen untuk langsung mengingat suatu brand ketika diberikan kata kunci berupa kategori produk-produk, kebutuhan akan produk itu, atau situasi saat membeli atau menggunakan.

Keuntungan membangun brand awareness (Keller, 2008, p. 54-55):

(17)

1. Learning advantages

Brand awareness mempengaruhi formasi dan kekuatan asosiasi yang membentuk brand image. Untuk membentuk brand image, marketer harus pertama-tama membangun brand di ingatan konsumen, setelah itu akan lebih mudah bagi konsumen mengingat asosiasi yang terkait dengan brand tersebut.

2. Consideration advantages

Konsumen dapat mempertimbangkan brand tersebut ketika akan melakukan pembelian dan produk dari brand dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Dengan meningkatkan brand awareness maka brand akan menjadi salah satu dari consideration set (evoke set), dimana brand menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan konsumen untuk dibeli.

3. Choice advantages

Brand awareness dapat mempengaruhi pilihan brand-brand yang termasuk dalam consideration set.

Karena konsumen setiap hari dihadapkan pada berbagai pesan-pesan pemasaran dari berbagai macam produk dan jasa, maka tantangan agar suatu merek dapat terus terkenal harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Dua faktor yang harus dilakukan suatu perusahaan dalam menghadapi tantangan tersebut adalah (Aaker, 1996, p.16-17) :

(18)

1. Mengeluarkan dan memberikan semua sumber daya yang dimiliki suatu perusahaan agar dapat menciptakan suatu tingkat kesadaran, misalnya basis penjualan secara luas. Ini adalah sesuatu hal yang mahal dan jarang terjadi apabila mendukung suatu merek dengan unit penjualan yang sangat kecil.

2. Untuk beberapa waktu yang akan datang, suatu perusahaan akan lebih berpengalaman dan menggunakan beberapa media seperti: event promotion, sponsorship, publisitas, sampling serta beberapa pendekatan lainnya, yang merupakan cara paling sukses dilakukan untuk membangun suatu kesadaran akan merek.

2.4.2 Brand Association

Semakin sering seseorang memikirkan tentang suatu informasi produk dan hal-hal yang berhubungan dengan brand knowledge, maka brand association akan semakin kuat karena brand association adalah berbagai macam hal yang terkait dengan suatu brand. “Brand association consists of all brand-related thoughts, feelings, perceptions, images, experiences, beliefs, attitudes, and so on that become linked to the brand node” yang dapat diartikan : brand association terdiri dari pemikiran yang berkaitan dengan merek,

(19)

perasaan, persepsi, gambaran, pengalaman, kepercayaan, tingkah laku, dan lain sebagainya yang terhubung ke brand node. (Kotler and Keller, 2006, p. 178)

Di jurnal yang ditulis oleh Yoo, Donthu, dan Lee tahun 2000 terdapat pernyataan dari Aaker (1991); Alba dan Hutchinson (1987) yaitu asosiasi dari merek menjadi lebih kuat jika berdasarkan pada pengalaman-pengalaman atau pencarian informasi yang terus menerus oleh para konsumen.

Di dalam jurnal yang ditulis oleh Mary K. Ericksen (1996) terdapat pernyataan yang ditulis oleh Grubb dan Hupp (1968); Grubb dan Stren (1971); Schewe dan Dillon (1978) yaitu product images terbentuk oleh asosiasi, seperti stereotipe pada pengguna umum suatu produk, yang juga mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen.

Dua faktor yang memperkuat asosiasi dari sebagian informasi adalah hubungan perorangan dan konsistensi waktu saat suatu merek muncul. Bentuk kepercayaan konsumen terhadap atribut merek dan keuntungan merek berbeda-beda. Atribut merek adalah fitur deskriptif yang menggambarkan karakter suatu produk atau servis. Keuntungan merek adalah nilai personal dan arti yang dipahami oleh konsumen tentang atribut produk atau servis.

Faktor kebaikan / favorability konsumen terhadap suatu brand association juga perlu dikelola. Tingkat keinginan konsumen tergantung pada: (Keller, 2003, p.72)

(20)

1. Seberapa relevan brand association bagi konsumen.

2. Seberapa bedanya brand association tersebut dari pesaingnya.

3. Seberapa dapat dipercayainya brand association tersebut.

2.5

Self-Concept

“The self-concept refers to the beliefs a person holds about his or her own attributes, and how he or she evaluates these qualities”, yang berarti self-concept merupakan keyakinan yang dimiliki tiap orang tentang atribut pribadi yang digunakannya dan bagaimana dia mengevaluasi kualitas dari atribut tersebut (Solomon, 2004, p.150).

Self-concept mengimplikasikan bahwa seseorang melihat dirinya seperti orang lain melihat dirinya. Berupa apa saja yang dilihat orang lain di dirinya termasuk perhiasan, pakaian, furniture, mobil, dan sebagainya. Hal ini menjadi alasan bahwa suatu produk juga membantu seseorang untuk menjelaskan tentang dirinya (Solomon, 2004, p.154).

Ketika self-concept dianggap penting bagi seseorang, maka individu akan mengarahkan kebiasaannya untuk mempertahankan bahkan meningkatkan self-concept-nya.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Mary K. Ericksen (1996) tertulis pernyataan dari Grubb dan Grathwohl (1967) bahwa self-concept terbentuk dari proses interaksi antara satu individual dengan individual lain, dan

(21)

individu tersebut berusaha untuk meningkatkan self-enhancement-nya dalam proses interaksi. Selain itu terdapat juga pernyataan oleh Veblen (1989); Benedict (1934); Goffman (1951); Form and Stone (1957) bahwa self-concept dipengaruhi oleh produk yang digunakan konsumen dan referensi pentingnya. Produk dianggap memiliki gambaran simbolik melebihi daripada kegunaan fundamentalnya, seperti karakteristik personal. Onkvisit dan Shaw (1987) menyimpulkan bahwa self-concept menawarkan pandangan yang berarti dalam memahami proses pengambilan keputusan konsumen. Studi empirik mengindikasikan bahwa adanya kongruensi antara image product dengan self-concept yang memfasilitasi kebiasaan dan kelakukan positif melalui sebuah produk (Sirgy 1982).

Symbolic self-completion theory menyatakan bahwa orang-orang yang belum memiliki pernyataan diri (self-definition) yang lengkap, maka akan melengkapi dirinya dengan menggunakan dan menampilkan simbol-simbol yang berkaitan dengan self-definition-nya (Solomon, 2004, p.155).

Self-image congruence model menyatakan bahwa produk-produk akan dipilih ketika atribut produk tersebut cocok dengan aspek diri. Model tersebut merupakan suatu proses pencocokan kognitif antara atribut produk dan self-image dari pelanggan (Solomon, 2004, p.156).

Di dalam jurnal yang ditulis oleh E. Laird Landon. Jr (1974) tertulis pendapat dari Douglas et al. (1967) bahwa konsumen dianggap akan lebih memilih produk-produk yang images-nya kongruen dengan self-image. Selain itu terdapat juga kesimpulan yang mendukung pernyataan bahwa ada

(22)

hubungan positif antara self- dan ideal self-concepts dan keputusan membeli (Evans, 1968; Green et al., 1969; Hughes and Guerrero, 1971). Birdwell mengungkapkan bahwa self-concept juga dipengaruhi oleh besarnya penghasilan yang menentukan keputusan pembelian.

Masih di dalam jurnal yang ditulis oleh E. Laird Landon. Jr (1974) terdapat 2 macam pengklasifikasian model kepribadian yaitu :

1. Actualization

Tiap individu berusaha untuk mencapai keserasian antara lingkungannya dan self-concept-nya dengan mengetahui dan menerima self-concept-nya sendiri.

2. Perfection

Tiap individu berusaha untuk meningkatkan self-concept dengan mencoba meraih ideal self-concept-nya.

Menurut Solomon dalam buku Consumer Behavior tahun 2007, terdapat beberapa dimensi dari self-concept adalah content (misalnya facial attractiveness versus mental aptitude), positivity (misalnya self-esteem), intensity, stability over time, dan accuracy (misalnya the degree to which one’s self-assessment corresponds to reality).

™ Self-esteem

Merupakan nilai-nilai positif dari self-concept seseorang. Orang dengan self-esteem rendah tidak akan terlalu mengharapkan penampilannya sangat baik dan mereka akan mencoba untuk menghindari malu, gagal, atau penolakan. Sebaliknya, orang

(23)

dengan self-esteem yang tinggi berharap untuk sukses dan akan lebih berani mengambil resiko, serta ingin menjadi pusat perhatian. Self-esteem advertising akan merubah sikap terhadap suatu produk dengan menstimulasi rasa positif dari masing-masing orang. Salah satu strateginya adalah dengan menantang self-esteem dari konsumer lalu menghubungkannya dengan produk yang tersedia. ™ Real and ideal selves

Ideal selves adalah konsep tentang bagaimana seseorang menjadi orang yang dia inginkan. Actual selves adalah pendekatan sesungguhnya tentang kualitas yang kita miliki dan tidak miliki. Ideal selves biasanya terpengaruh oleh kebudayaan konsumen, misalnya penokohan pahlawan, atau bintang iklan, yang menjadi model dari pencapaian prestasi / penampilan. Konsumen membeli produk-produk yang dianggap dapat membantu dalam mencapai tujuan / prestasi. Konsumen memilih suatu produk karena mereka menganggap bahwa mereka akan konsisten dengan actual self atau kita memilih membeli produk lain yang dapat membantu kita untuk mencapai suatu standar yang terbentuk oleh ideal self.

(24)

2.6

Reference Group

Reference group mempengaruhi prilaku organisasi dan keputusan pembelian. Tipe yang mungkin merupakan reference group yang paling berpengaruh adalah lead users. Lead users adalah organisasi inovatif yang memiliki prestasi sukses dengan membuat perubahan (Hawkins et al., 2007, p.701).

Belch dan Belch (2007, p. 128), merumuskan bahwa “Reference group is a group whose persumed perpectives or values are being used by an individual as the basis for his or her judgments, opinions, and actions” atau dapat diartikan : Reference group adalah kelompok yang memberikan pendapat dan penilaian yang menjadi saran bagi individu dalam mengambil keputusan, opini, dan tindakan. Konsumen menggunakan reference group sebagai pemandu untuk kebiasaan yang khusus (Belch and Belch, 2007, p. 128).

Dalam jurnal yang ditulis oleh Mary K. Ericksen terdapat pernyataan dari Grubb and Hupp 1968; Grubb and Stren (1971) bahwa individu terpengaruh secara positif dari referensi atau kenalan pentingnya dan produk menjadi perangkat simbolik untuk mencapai tujuannya.

Reference group (kelompok referensi) adalah grup atau individu aktual atau imajiner yang memahami hubungan penting tentang evaluasi individu, aspirasi, atau kebiasaan. Reference group mempengaruhi konsumen melalui 3

(25)

cara, yaitu informational, utilitarian, dan value-expressive (Solomon, 2007, p. 380).

1. Information Influence

- Individu mencari informasi berbagai merek dari seseorang atau sekelompok orang yang lebih ahli.

- Individu mencari informasi dari orang yang bekerja berhubungan dengan produk tersebut atau bekerja di perusahaan tempat produk tersebut diproduksi.

- Individu mencari informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan merek dari temannya, keluarga, rekan kerjanya yang memiliki informasi yang dapat dipercaya mengenai merek tersebut.

- Merek yang dipilih individu adalah merek yang sudah diakui oleh independent testing agency (misalnya Good Housekeeping).

- Individu mengamati apa yang digunakan oleh para ahli dan terpengaruh oleh pilihan merek para ahli tersebut.

2. Utilitarian Influence

- Jika dia puas dengan pengharapan yang dapat diberikan oleh suatu produk, maka keputusan individu untuk membeli merek tertentu dipengaruhi oleh preferensi mereka sendiri.

- Keputusan individu dalam memilih merek tertentu juga dipengaruhi oleh preferensi orang-orang yang dekat dengan mereka melalui interaksi sosial.

(26)

- Keputusan individu untuk memilih merek tertentu dipengaruhi oleh preferensi anggota keluarganya.

- Keinginan untuk memuaskan pengharapan orang lain terhadap individu mempengaruhi pemilihan merek individu tersebut.

3. Value-Expressive Iinfluence

- Dengan membeli atau menggunakan merek tertentu, individu merasa bahwa brand image-nya di hadapan orang lain akan meningkat.

- Dengan membeli atau menggunakan merek tertentu, individu merasa karakter yang dimilikinya ikut terpengaruh.

- Kadang-kadang individu merasa bahwa akan menarik jika dia dapat menjadi orang seperti yang digambarkan di iklan dari suatu merek tertentu.

- Individu merasa bahwa orang yang membeli merek tertentu akan dikagumi dan dihargai oleh orang lain.

- Individu merasa bahwa dengan membeli merek tertentu akan membantunya untuk menunjukkan kepada orang lain dia ingin menjadi siapa (misalnya atlet, pebisnis sukses, atau orang tua yang baik).

Dua dimensi yang mempengaruhi apakah reference group penting atau tidak adalah ketika produk dikonsumsi secara umum atau secara privat dan ketika produk tersebut dibeli karena kemewahannya (luxury) atau karena kewajiban / kepentingan (necessity) (Solomon, 2007, p. 380).

(27)

Apabila reference group membantu dalam menentukan standar penting dalam memilih suatu produk, maka pengaruh ini disebut normative influence. Misalnya orang tua kita berperan penting dalam menentukan kemana kita akan kuliah. Apabila keputusan pembelian barang dipengaruhi karena merek memiliki aktivitas dan keunikan khusus, maka pengaruh ini disebut comparative influence. Misalnya pengaruh dari klub Harley-Davidson (Solomon, 2007, p. 384).

2.7

Brand Purchase Intention

Bersamaan dengan proses pembelian, konsumen akan berhenti mencari dan mulai mengevaluasi informasi yang didapat dari berbagai merek alternatif di evoke set dan memutuskan untuk membeli (purchase decision). Sebagai hasil dari tahap mengevaluasi alternatif, konsumen mungkin melakukan brand purchase intention atau kecenderungan untuk membeli merek tertentu (Belch and Belch, 2007, p. 119).

Iklan dan komunikasi pemasaran dapat menstimulasi 4 efek dari komunikasi, yaitu kebutuhan tiap kategori, brand awareness, brand attitude, dan brand purchase intention. “Brand purchase intention : Someone’s mind could be full of different attitudes towards various brands. And quite possibly, people may hold generally favourable attitudes towards several of these brands. Brand purchase intention refers to such thoughts as ‘I think I’d like to try that’ or ‘I’ll buy that’, and these follow from favourable brand attitudes.”

(28)

Brand purchase intention dapat diartikan pemikiran seseorang dapat meningkatkan ekuitas merek dari berbagai macam merek. Dan memungkinkan seseorang untuk setia dengan salah satu merek diantara merek lainnya. Brand purchase intention berhubungan dengan suatu pemikiran yaitu ‘Saya rasa saya akan mencobanya’ atau ‘Saya akan membelinya’, dan hal ini berhubungan dengan brand attitudes (Percy, 2005, p. 7).

Brand purchase intention – self instructions to purchase the brand or to take purchase-related action. Pernyataan ini terdapat dalam buku Marketing Management Kotler dan Keller (2006), dapat diartikan yaitu instruksi terhadap diri sendiri untuk membeli suatu brand atau untuk melakukan aksi yang berkaitan dengan pembelian. (Kotler & Keller, 2006, p. 503).

Belch dan Belch (2007, p. 119) mendefinisikan purchase intention sebagai berikut “Purchase intention are generally based on a matching of purchase motives with attributes or characteristics of brands under consideration” yang dapat diartikan bahwa purchase intention adalah menyesuaikan motif pembelian dengan atribut dan karakter dari merek (termasuk di dalamnya, yaitu motivasi, persepsi, attitude formation, dan integrasi).

Konsumen memiliki 5 sub-keputusan sebelum menentukan pembelian, yaitu brand, dealer, kuantiti, timing, dan cara pembayaran. Pembelian untuk produk yang digunakan tiap hari melibatkan lebih sedikit keputusan dan pertimbangan (Kotler and Keller, 2006, p. 186).

(29)

Ada 5 tingkatan dalam proses pengambilan keputusan konsumen, yaitu (Belch and Belch, 2007, p. 107):

1. Problem Recognition

Proses ini terjadi ketika konsumen melihat adanya perbedaan yang signifikan antara produk ideal dan produk yang sesungguhnya dibutuhkan.

2. Information Search

Proses ini terjadi ketika konsumen melakukan survei di lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan data yang tepat yang dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan.

3. Evaluation of Alternatives

Dalam proses ini, konsumen dihadapkan pada beberapa pilihan merek yang akan dibeli. Konsumen akan mengenali pilihan-pilihan merek tersebut lalu akan mengelompokkannya. Pengelompokkan ini merupakan hal yang penting saat produk dievaluasi.

4. Product Choice

Pemilihan produk yang akan dibeli konsumen dapat dilakukan secara sederhana dan juga secara rumit, misalnya dengan mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber yaitu pengalaman terdahulu dengan produk atau produk lain yang menyerupai produk tersebut, informasi saat pembelian produk, dan keyakinan terhadap merek yang dibentuk oleh iklan juga dapat mempengaruhi pemilihan produk.

(30)

Proses pemilihan produk yang dibeli oleh konsumen. Terdiri dari firm outcomes, individual outcomes, dan society outcomes. Firm outcomes terdiri dari posisi produk, penjualan, dan kepuasan konsumen. Individual outcomes terdiri dari pemenuhan kepuasan dari kebutuhan dan injurious consumption. Society outcomes terdiri dari economic outcomes, physical environment outcomes, dan social welfare.

Gambar

Gambar 2.1  Matrix Pricing Strategies

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses mengklasifikasi data yang tidak diketahui, nilai atribut akan diuji dengan cara melacak jalur dari node akar (root) sampai node akhir (daun) dan kemudian

Sedangkan menurut penulis yaitu setelah melakukan praktek laut atau prola di kapal MT.Sengeti selama satu tahun, pesawat bantu fresh water generator adalah salah

Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu

Pemda Kabupaten Kulonprogo dalam hal ini Disnakertrans sendiri tidak mengu- sulkan untuk diberikan suatu hak atas tanah yang kuat/hak milik kepada para transmigran dengan

Berdasarkan definisi diatas bahwa kinerja merupakan suatu konsep yang strategis dalam rangka menjalin hubungan kerja sama antara pihak manajemen dengan para karyawan untuk

Normalisasi citra target menggunakan proses tranformasi agar dapat menjadi citra yang siap untuk dibandingkan, citra yang siap dibandingkan adalah memiliki ukuran yang sama dengan

Objektif kajian yang telah diperolehi sepenuhnya dan keputusan menunjukkan bahawa faktor sumber maklumat dan pengaruh mempunyai hubungan yang positif dan signifikan

Littlejohn dan Domenici (2007), membagi dua kondisi konflik yaitu perilaku konflik yang bersifat langsung dan tidak langsung serta bentuk perilaku yang dapat bekerjasama