• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. DSM IV-TR (2004) mendefinisikan Substance Related Disorder sebagai. gangguan yang berhubungan dengan penggunaan suatu zat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. DSM IV-TR (2004) mendefinisikan Substance Related Disorder sebagai. gangguan yang berhubungan dengan penggunaan suatu zat"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Substance-Related Disorder

DSM IV-TR (2004) mendefinisikan Substance–Related Disorder sebagai gangguan yang berhubungan dengan penggunaan suatu zat yang dapat menimbulkan efek samping sesuai dengan jenis zat/substance yang digunakan. Substance-related disorder terdiri dari dua bagian yaitu substance use disorder dan subtance induced disoder. Substance use disorder adalah gangguan yang berkaitan dengan pola penggunaan narkoba dan substance induced disorder adalah gangguan yang berkaitan dengan efek atau reaksi narkoba yang di konsumsi.

1. Substance Use Disorder

Substance use disorder merupakan gangguan dalam hal pola penggunaan narkoba yang terdiri dari terdiri dari dua bagian yaitu substance dependence dan substance abuse. Substance Dependence merupakan penggunaan narkoba yang mempengaruhi fungsi kognitif, behavioral dan fisiologis. Substance dependence disorder ditandai dengan penggunaan narkoba secara berkelanjutan yang kemudian menimbulkan toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah adanya kebutuhan untuk meningkatkan dosis penggunaan narkoba untuk mencapai efek yang diharapkan dan juga ditandai dengan berkurangnya efek ketika penggunaan zat tersebut dalam dosis yang sama. Bagian kedua, Substance Abuse merupakan

(2)

18  gangguan pola penggunaan narkoba yang sudah menimbulkan konsekuensi signifikan akibat penggunaan yang berulang-ulang. Konsekuensi ini dapat berupa kegagalan dalam memenuhi tanggungjawab dalam pekerjaan, sekolah, ataupun rumah dan individu akan tetap mengunakan narkoba meskipun dalam situasi yang dapat membahayakan secara fisik.

2. Substance-Induced Disorder

Substance Induced Disorder merupakan gangguan yang berkaitan dengan stimulasi atau efek yang ditimbukan oleh narkoba yang terdiri dari dua bagian yaitu substance intoxication dan substance withdrawal. Substance Intoxication memiliki ciri utama berupa perkembangan sindrom yang berkebalikan/yang tidak menyenangkan pada saat mengkonsumsi narkoba. Sindrom ini dapat berupa: suka berkelahi, mood yang labil, kesulitan berkonsentrasi dan mengambil keputusan. Bagian kedua, substance withdrawal merupakan gangguan berupa timbulnya masalah fisik dan kognitif yang berkembang setelah penghentian, pengurangan penggunaan narkoba dalam jumlah yang banyak dan jangka waktu yang lama.

3. Faktor-Faktor Penyalahgunaan Narkoba

Menurut Wahyurini & Ma’shum (2006) ada banyak yang saling berinteraksi yang mendorong menyalahgunakan obat terlarang. Beberapa diantaranya adalah :

1. Faktor Individu

Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, fisik, dan psikologis. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian depresi, dan gangguan mental dapat memperbesar kecenderungan seseorang untuk

(3)

menyalahgunakan narkotika, faktor individu pada umumnya ditentukan oleh dua aspek :

a) Aspek Biologis

Bukti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan seperti alkoholisme serta beberapa berbentuk perilaku yang menyimpang, termasuk penyalahgunaan zat.

b) Aspek Psikologis

Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Beberapa ciri perkembangan masa remaja dapat mendorong seseorang untuk menyalahgunakan obat terlarang yaitu: kepercayaan diri kurang, ketidakmampuan mengelola stress atau masalah yang dihadapi, mencoba untuk memperoleh pengalaman baru yang semua itu dapat menyebabkan seseorang remaja jatuh dalam penggunaan narkoba. 2. Faktor obat atau zat

Adanya perubahan nilai yang disebabkan oleh perubahan zaman sehubungan dengan arti dan alasan penggunaan zat-zat psikoaktif. Beberapa jenis obat yang digunakan sebagai tolak ukur status sosial tertentu. Dengan demikian mereka yang tidak menggunakan akan mengalami tekanan sosial yang kuat biasanya dari teman sebaya. Selain itu, ada keyakinan bahwa obat dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi beban masalah yang sedang dihadapi.

(4)

20  3. Faktor lingkungan

Faktor yang menyebabkan penyalahgunaan obat atau zat, antara lain :

a) Hubungan keluarga yang tidak harmonis

Mempunyai masalah dengan penggunaan obat atau zat, misalnya ibu terlalu dominan, overprotektif, ayah yang otoriter atau tidak peduli dengan keluarga atau orang tua yang memaksakan kehendak pada anak yang mendorong anak melarikan diri kedalam impian melalui obat. Kualitas hubungan keluarga yang buruk dapat menyebabkan penyalahgunaan obat atau zat terlarang juga dipengaruhi oleh kebiasaan anggota keluarga yang lain, seperti orang tua dan kakak yang juga menggunakan obat atau zat terlarang tersebut.

b) Pengaruh teman

Pengaruh teman sangat besar terhadap penyalahgunaan obat atau zat terlarang. Hukuman oleh kelompok teman sebaya, terutama pengucilan bagi mereka yang mencoba berhenti, dirasakan lebih berat dari pengguna obat itu sendiri.

B. Abstinence Self Efficacy

Abstinence Self Efficacy terdiri dari dua istilah yaitu abstinence dan self efficacy berikut penjelasannya:

(5)

1. Definisi Self Efficacy

Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada keyakinan tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1998). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan memperoleh hasil tertentu. Selain itu, Schultz (2005) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seorang individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan. Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seorang individu akan kemampuannya dalam melakukan tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Keyakinan ini memiliki pengaruh yang besar pada motivasi, afektif dan perilaku.

Self efficacy tidak hanya fokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy yang tidak hanya berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada keyakinan untuk melakukannya dengan baik (Bandura, 1998).

(6)

22  2. Dimensi Self-efficacy

Bandura (1998) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :

a) Tingkat (level)

Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b) Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

c) Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi

(7)

dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

3. Sumber Pembentuk Self Efficacy

Bandura (1998) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self efficacy antara lain: mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta kondisi fisiologis dan afektif (emotional arousal).

a) Mastery Experiences

Mastery experiences merupakan pengalaman belajar yang diperoleh melalui learning by doing atau experiental learning. Menurut Bandura (1998), mastery experiences merupakan sumber terbesar dalam pembentukan self efficacy karena aspek ini didasarkan pada pengalaman keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya self efficacy yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara lain: banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami, persepsi terhadap tingkat kesulitan, usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan, pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat dan banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.

b) Vicarious Experiences

Self efficacy dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan orang lain. Saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki

(8)

24  kemampuan yang sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil. Peran vicarious experience terhadap self efficacy, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya yang memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self efficacy. Pengamatan terhadap perilaku dan cara berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan.

c) Persuasi Verbal

Self efficacy juga dapat ditingkatkan melalui pernyataan yang disampaikan orang lain secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui proses persuasi verbal, sifatnya lemah dan biasanya untuk jangka waktu yang singkat. Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus menerus akan membentuk keyakinan yang relatif menetap.

d) Physiological and Affective State

Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu. Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang ketergugahan emosi yang tinggi lebih mampu bersikap tenang menghadapi

(9)

suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Selain itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya.

4. Proses-Proses Self Efficacy

a) Cognitive Processes

Perilaku diatur oleh pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap kemampuan diri. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin tinggi tujuan yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang memberikan petunjuk positif dan dukungan terhadap performa. Individu yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.

b) Motivational Processes

Self efficacy memiliki peran penting dalam motivasi dan motivasi adalah hasil kognitif. Individu memotivasi dirinya dan membimbing tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki efficacy yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efficacy yang rendah menghubungkan kegagalan dengan kemampuan yang rendah. Dalam teori

(10)

expectancy-26  value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil tindakannya. Self efficacy berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.

c) Affective Processes

Keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami pada situasi atau kondisi yang sulit. Individu yang tidak yakin terhadap kemampuannya dalam mengontrol ancaman, memandang lingkungan sebagai sesuatu yang berbahaya. Mereka memperbesar tingkat kemungkinan keparahan dan khawatir terhadap hal yang jarang terjadi, sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki keberanian dalam melakukan kegiatan yang beresiko. Kecemasan tidak hanya dipengaruhi oleh coping, efficacy, namun juga keyakinan untuk mengontrol pemikiran yang mengganggu.

Perceived self efficacy yang berkaitan dengan mengontrol proses pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory efficacy yang dimiliki individu, maka semakin besar kesuksesan dalam

(11)

mengurangi habit yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta mengintegrasikan habit yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya hidup rutin.

d) Selection Processes

Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan coping mereka, namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat, individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan adalah salah satu contoh kekuatan self efficacy untuk mempengaruhi jalan kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi perceived self efficacy maka semakin luas pilihan karir, semakin besar minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka.

5. Abstinence Self Efficacy

Abstinence self-efficacy (ASE) terdiri dari dua istilah utama yaitu abstinence dan Self efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seorang individu akan kemampuannya dalam melakukan tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan menerapkan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu, dan abstinence merupakan suatu keadaan tanpa menggunakan narkoba.

(12)

28  Berdasarkan kedua istilah ini, maka oleh Groove (2012) mendefinisikan abstinence self-efficacy sebagai “the belief in one’s ability to abstain from using drugs and alcohol” yang berarti keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk menolak mengkonsumsi narkoba. Ilgen Mark (2005) mendefinisikan abstinence self efficacy sebagai keyakinan untuk abstain/tidak menggunakan narkoba dalam situasi yang spesifik seperti: keadaan emosi negatif, keadaan fisik yang negatif (dalam keadaan sakit fisik), ataupun adanya konflik interpersonal. Sejalan dengan hal ini Greenfield (dalam Majer, 2004) menjelaskan abstinence self efficacy sebagai kayakinan pecandu akan kemampuannya untuk menghadapi high risk situation tanpa menggunakan narkoba. Berdasarkan defisini pada ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa abstinence self efficacy merupakan keyakinan pecandu untuk dapat menjaga dirinya tetap bersih tanpa menggunakan narkoba pada saat berhadapan dengan situasi yang bersiko tinggi untuk terjadi relapse.

C. Cognitive-Behavioral Therapy

1. The Nature of Cognitive-Behavioral Therapy

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa kognitif dapat dimodifikasi dengan dua cara yaitu secara behavioral dan kognitif. Kognitif diubah secara langsung dengan mengubah pikiran yang maladaptif dan dapat juga secara tidak langsung dengan mengubah perilaku mereka yang tampak. Cognitive Behavioral therapy terdiri dari dua model yaitu cognitive restructuring therapy dan cognitive behavioral coping skills therapy. Kedua metode ini memiliki perbedaan ditinjau dari aspek: fokus terapi, tujuan, dan jenis terapinya, berikut perbedaannya:

(13)

No Aspek Model Teknik

Cognitive restructuring

Cognitive behavioral coping skills

1 Fokus terapi Malladaptive Cognitions

Adaptive cognition yang defisit

2 Tujuan terapi Melakukan substitusi terhadap malladaptive cognition

Menggunakan teknik coping skill

3 Contoh terapi Thought stopping, Rational emotive behavior therapy, Cognitive therapy Self instructional training, Problem solving therapy/training, Stress inoculation training, Cognitive behavioral couple therapy

2. Operationalizing Cognition : Making Private Thoughts Public

Menurur Spiegler (2003), isi pikiran dapat dioperasionalkan dengan cara:

a) Thinking about thinking

Hal ini berarti seseorang harus aware terhadap apa yang ia pikirkan, dan mampu mendengarkan apa yang ia pikirkan. Hal ini secara operasional dapat didefinisikan sebagai self-talk, yang berarti bahwa terdapat suatu hal yang diungkapkan oleh seorang individu kepada diri mereka sendiri pada saat ia sedang berpikir.

(14)

30  b) Assessing Cognitions

Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk menilai kognitif seorang klien yaitu melalui wawancara, self recording, direct self inventory, dan think aloud procedures. Masing-masing metode ini dapat menggali informasi mengenai kognisi seseorang. Keempat metode ini juga memiliki perbedaan dalam lima dimensi yaitu : timing, degree of structure, mode of response, nature of stimulus dan source of evaluation. Direct self report inventories terdiri dari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan area permasalahan yang dialami oleh seorang individu. Klien akan diinstruksikan untuk memberikan rating yang mengindikasikan seberapa sering mereka melakukan hal-hal yang tercantum dalam setiap pernyataan. Misalnya:

I hope I don’t make a fool of myself

This will be a good oppurtunity

It would crush me if she/he didn’t respon to me

Dalam Skala ini Klien diinstruksikan untuk mengungkapkan pikiran mereka pada saat terlibat dalam suatu simulasi atau melalui sebuah role playing. Pendekatan ini memiliki lima keuntungan yaitu : pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan terbuka, dapat secara tepat menentukan keadaan kognitif seorang klien pada saat simulasi, sesuai untuk semua jenis klien, mudah memperoleh keaslian keadaan kognitif

klien dari pada melalui ekspresi secara tertulis dan dapat juga digunakan pada anak berusia sembilan tahun.

(15)

c) Thoughts stopping

Metode ini didesain untuk menurunkan frekuensi dan durasi pikiran yang terganggu dengan cara melakukan interupsi atau menggantinya dengan pikiran yang lebih menyenangkan. Masalah yang dapat diselesaikan dengan thoughts stopping yaitu individu yang mangalami depresi (yang dapat memiliki pikiran “tidak ada sesuatupun yang akan menjadi lebih baik”), pikiran obsesif (selalu khawatir akan kontaminasi bakteri). Terdapat dua fase dalam thought stopping yaitu : melakukan interupsi terhadap pikiran yang terganggu, kemudian fokus terhadap pikiran yang lebih adaptif.

3. Cognitive Therapy

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa terapi ini menekankan bahwa belief maladaptif dapat diuji secara empirik. Terapi ini menekankan pada asumsi bahwa gangguan psikologis diakibatkan oleh kognitif yang terganggu dan terapi yang diberikan bertujuan untuk memodifiikasi kognitif tersebut. Terdapat beberapa aspek yang membedakan antara kognitif terapi dengan REBT yaitu :

No Aspek Model Terapi

REBT Cognitive Therapy

1 Pendekatan Deduktif Induktif

2 Dasar pendekatan Rasional Bukti empirik 3 Prosedur Instruksi, persuasi,

perdebatan Pengujian hipotesa empiris 4 Mekanisme Cognitive restructuring Kombinasi cognitive restructuring dengan overt behavioural intervention 5 Peran terapist Model of rational

thinking

Coinvestigator seeking empirical test of client

(16)

32  beliefs

6 Gaya terapist Konfrontasional Kolaboratif 7 Peran tugas yang

diberikan Melatih untuk membantah pikiran irasional dan melakukan congnitive restructuring Memperoleh bukti-bukti untuk

membangun belief yang tepat

a) The Cognitive therapy theory of psychological disorders

Beck menyebutkan kognitif yang maladaptif sebagai automatic thought yang menekankan pada pikiran klien yang mengalami gangguan. Secara spesifik automatic thought yaitu pikiran maladaptif yang muncul secara otomatis apabila mereka berada pada situasi tertentu atau mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan. Terdapat 6 cognitive distortion yang sering terjadi pada klien yaitu:

No Cognitive Distortion Definisi Contoh 1 Arbitrary Inferences Menarik kesimpulan tanpa bukti yang sesuai atau pada saat bukti yang sesungguhnya berlawanan/kontradiktif dengan kenyataan yang ada

Menyatakan bahwa ia mengalami tumor otak karena ia merasakan pusing.

2 Overgeneralization Menarik kesimpulan umum berdasarkan pada satu buah kejadian

Menyimpulan bahwa dirinya tidak akan pernah sukses setelah mengalami kegagalan pada tahap awal

3 Selective Membuat kesimpulan

(17)

Abstraction mengabaikan konteks secara keseluruhan

menyukainya karena tidak disapa ketika

berpapasahan disuatu tempat yang ramai 4 Personalization Melakukan atribusi

yang salah dari kejadian eksternal terhadap diri sendiri Berpikir bahwa orang-orang yang tertawa sedang menertawakan dirinya

5 Polarized Berpikir secara ekstrim,

hitam-putih, all or-none fashion Merasa miskin setelah kehilangan dompet 6 Magnifications atau minimizations Memandang sesuatu sebagai hal yang sangat penting atau tidak penting dibandingkan keadaan yang

sebenarnya

Berpikir bahwa diriya adalah penulis yang buruk karena banyak kesalahan yang ia lakukan dalam papernya atau sebaliknya berpikir bahwa dirinya adalah penulis yang hebat setelah mendapatkan koreksi yang banyak

b). Proses dalam Cognitive Therapy

Dalam proses pelaksanaan terapi kognitif dan terapi perilaku, pertama sekali dilakukan analisis fungsional yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai target intervensi dan jenis teknik intervensi yang sesuai. Skinner menjelaskan analisis fungsional sebagai salah satu cara pengukuran tentang perilaku. Selanjutnya

(18)

34  Kanfer & Philips (1970) menjabarkan mengenai model konseptualisasi masalah klinis yang disebut dengan SORC. S adalah stimulus atau antacedent conditions yang menghasilkan perilaku, O merupakan variabel organismik yang berkaitan dengan perilaku bermasalah yang terdiri dari isi pikiran dan emosi, R adalah respon dan C adalah konsekuensi dari perilaku tersebut. Berkaitan dengan analisa fungsional, terapi kognitif memiliki tujuan sebagai berikut:

• Memperbaiki proses informasi yang salah pada klien

• Memodifikasi pikiran yang irasional pada klien yang dapat menimbulkan perilaku dan emosi yang maladaptif

• Memberikan keterampilan dan pengalaman kepada klien untuk menciptakan pikiran yang adaptif

Terapist dan klien bekerja sama untuk mengidentifikasi pikiran yang disfungsional lalu memberikan challenge/tantangan terhadap pikiran tersebut. Dalam terapi kognitif partisipasi kien berupa tugas rumah merupakan bagian yang penting dalam terapi. Kolaborasi antara klien dan terapist memegang peranan yang penting sehingga perlu untuk membangun hubungan terapeutik yang baik agar terapi dapat berjalan efektif.

Ahli terapi kognitif akan membantu klien untuk mengenali pikiran yang disfungsional melalui socratic dialogue. Klien akan diberikan pertanyaan yang mudah untuk dijawab yang selanjutnya

(19)

mengarahkan klien untuk mengenali pikiran yang disfungsional dan automatic thought. Terapist akan menginstruksikan klien untuk memandang automatic thought sebagai hipotesis yang selanjutnya akan diverifikasi. Terapist dan klien akan membuat tugas-tugas rumah yang berperan sebagai investigasi untuk menguji hipotesa tersebut, proses ini disebut sebagai collaborative empiricism. Setelah klien belajar untuk melakukan challenge terhadap pikiran mereka yang disfungsional, selanjutnya diajarkan untuk menggantinya dengan pikiran yang adaptif.

c). Cognitive Interventions

Intervensi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring berperan untuk mengubah kognitif klien secara langsung, misalkan seseorang yang mengalami phobia, terapist dan klien akan menganalisa logika yang salah pada diri klien dan selanjutnya terapist akan memberikan informasi yang relevan mengenai proses yang dapat membuat ketakutan tersebut memiliki ketakutan yang tidak realistik.

Klien akan diinstruksikan untuk mencatat automatic thought mereka yang meliputi situasi yang memunculkan pikiran tersebut, emosi, logika yang salah, dan respon yang irasional dalam situasi tersebut. Hal ini dapat dilakukan dalam three column technique. Generating alternative interpresentation merupakan aspek yang

(20)

36  penting dalam cognitive restructuring misalkan seseorang yang cemas dalam menghadapi ujian akhir dan berpikir bahwa “aku bodoh“, dalam hal ini pikiran klien akan diganti menjadi pikiran yang lebih adaptif seperti “aku paham semua materi dengan baik“ dan “untuk menjawab dan menuliskannya dengan tepat membutuhkan waktu“.

Reatribution of responsibility dapat membantu klien untuk yakin bahwa diri mereka memiliki kontrol yang baik dalam mengatasi dampak negatif yang terjadi, misalkan seorang wanita yang cemas dalam menghadapi kencan pertamanya, melalui socratic dialogue terapist akan membantu klien untuk menikmati kencan tersebut dan paham bahwa dirinya tidak dapat mengontrol perasaan teman kencannya. Decatastrophizing merupakan bentuk reatribusi spesifik yang berguna untuk mengantisipasi konsekuensi yang mungkin terjadi pada diri klien, metode ini sering diberikan kepada klien yang mengalami gangguan kecemasan. Melalui soctratic dialogue, terapist akan membimbing klien untuk melihat masalah yang ia alami dalam sudut pandang yang tidak berbahaya, misalkan sakit kepala lebih diakibatkan oleh kelelahan, lapar atau stres daripada dikarenakan oleh tumor otak.

(21)

D. Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy dalam Meningkatkan

Abstinence Self Efficacy Pecandu

Penyalahgunaan narkoba atau dalam DSM IV-TR (2000) disebut sebagai substance abuse. Gejala-gejala (substance abuse) meliputi ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan, mengasuh anak atau ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, penggunaan obat-obatan pada situasi yang berbahaya dan cukup sering mengalami konflik dengan orang lain akibat penggunaan obat-obatan tersebut. Salah satu upaya untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba dapat berupa usaha melakukan rehabilitasi di pusat rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO).

Sarafino (2006) menjelaskan bahwa rehabilitasi pecandu narkoba merupakan suatu proses yang panjang dan tidak mudah untuk dilakukan, hal ini terjadi karena pecandu rentan untuk mengalami relapse. Senada dengan penjelasan Sarafino, Minervini (2011) menyatakan bahwa tantangan dan hambatan yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangatlah berat, seorang pecandu harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah “rusak” dalam kehidupan mereka baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Pecandu harus berjuang melawan sugesti yang akan berada terus dalam kehidupan mereka bahkan mungkin juga mereka akan membawa sugesti ini sampai akhir kehidupannya.

Relapse yang dialami oleh pecandu dapat disebabkan oleh high risk situation atau disebut juga situasi yang beresiko tinggi untuk memicu penggunaan narkoba. High risk situation dapat berupa: tekanan psikologis, masalah keluarga,

(22)

38  sakit yang dihubungkan dengan masalah medis, hubungan sosial, berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan (Leshner dalam National Institute on Drug Abuse, 2009). Thersiah Lubis (dalam Candraresmi, 2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seorang pecandu untuk dapat menghindari relapse, salah satunya adalah keyakinan untuk mampu melepaskan diri dan menolak untuk tetap tidak menggunakan narkoba. Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011) juga memberikan penjesalan yang senada dengan Candraresmi, ia menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan seorang relapse adalah faktor keyakinan akan kemampuan yang ia miliki. Seorang individu yang tidak yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba maka akan semakin mudah untuk mengalami relapse. Berbeda halnya dengan individu yang yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba, maka akan tidak mudah mengalami relapse. Sejalan dengan hal ini, Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) juga menjelaskan bahwa salah satu yang dapat menyebabkan pecandu relapse adalah keyakinan akan kemampuannya yang rendah. Keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk menolak dan tetap tidak menggunakan narkoba sehingga tidak mengalami relapse disebut sebagai abstinence self-efficacy (Majer, 2004).

Abstinence self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba dalam situasi yang dapat memicu penggunaan narkoba/high risk situation. Ilgen (2005) menjelaskan bahwa abstinence self efficacy menentukan seorang individu untuk merasa, berfikir, dan memotivasi untuk berperilaku tidak menggunakan narkoba. Individu yang

(23)

memiliki keyakinan akan kemampuannya akan memandang high risk situation sebagai tantangan yang harus dikuasai dan dihadapi, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari. Menurut Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011), cara untuk meningkatkan abstinence self efficacy adalah dengan meningkatkan kemampuan coping skill. Dengan meningkatnya kemampuan coping skill maka individu akan semakin mampu untuk mengidentifikasi teknik coping skill yang efektif untuk menghadapi high-risk situation dan selanjutnya akan semakin yakin untuk menolak penggunaan narkoba. Hal inilah yang kemudian dapat menurunkan kemungkinan untuk relapse. Berbeda halnya dengan individu yang memiliki kemampuan coping skill yang rendah atau tidak efektif maka akan semakin menurunkan keyakinanya untuk mampu menolak penggunaan narkoba pada saat berada dalam high risk situation hingga akhirnya menimbulkan relapse. Hubungan ini terjadi karena individu yang memiliki kemampuan coping skill yang baik maka akan semakin meningkatkan keyakinannya untuk mendapatkan hasil yang menyenangkan atau hasil yang positif pada saat tidak menggunakan narkoba (Hagman,2004).

Gwaltney (dalam Sylvest, 2004) juga menjelaskan bahwa individu yang mengalami kesulitan mempertahankan periode abstinence atau mengalami relapse memiliki kemampuan coping yang rendah. Faktor lain yang dapat menyebabkan seorang individu memiliki abstinence self efficacy yang rendah adalah penilaian individu akan reaksi emosional atau reaksi fisik yang ia alami. Perubahan emosional atau fisiologis yang dialami dapat diinterpretasikan sebagai tanda bahwa tubuhnya menginginkan narkoba, begitu pula apabila muncul emosi negatif

(24)

40  seperti rasa bersalah, marah maka dinilai sebagai situasi yang membutuhkan penggunaan zat. Pola pikir atau penilaian seperti ini oleh Beck (dalam Spiegler, 2003) disebut juga sebagai pikiran irasional. Senada dengan hal ini, Sudiyanto (2007) menjelaskan bahwa selain coping skill yang rendah, para pecandu juga memiliki pikiran irasional berkaitan dengan penggunaan narkoba. Chiang (2006) juga menjelaskan bahwa pecandu perlu untuk merestrukturisasi pikirannya yang irasional, pikiran yang irasional ini dapat berupa pengharapan yang tidak rasional akan manfaat penggunaan narkoba seperti: narkoba dapat membantu penyelesaian masalah, meningkatkan harga diri, tanpa narkoba maka akan mengurangi kemampuan fisik untuk bekerja dan mampu mengatasi berbagai masalah sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini maka pecandu perlu untuk membangun status kognitif yang rasional (cognitive restructuring) sehingga menjadi adaptif sehingga semakin yakin akan kemampuannya dalam menghadapi high risk situation.

Bernard P. Rangé1 (2012) dalam bukunya yang berjudul Cognitive-Behavior Therapy for Substance Abuse menjelaskan bahwa salah satu teknik untuk membantu meningkatkan kemampuan pecandu untuk tidak menggunakan narkoba adalah dengan mengidentifikasi pikiran irasional dan melakukan restrukturisasi. Hal ini akan membuat pecandu mampu untuk menginterpretasi situasi pemicu penggunaan narkoba dengan baik sehingga melemahkan hasrat/keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Keadaan ini semakin memperjelas bahwa selain dibantu untuk mampu melakukan teknik coping, pecandu juga perlu untuk merestrukturisasi pikirannya yang irasional.

(25)

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa teknik coping skill dan restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari cognitive behavioral therapy (CBT). Menurut Spiegler, intervensi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring berperan untuk mengubah kognitif klien secara langsung. Pecandu akan diinstruksikan untuk mencatat automatic thought (pikiran yang muncul dengan segera) mereka yang meliputi situasi yang memunculkan pikiran tersebut, emosi, logika yang salah, dan respon yang irasional dalam situasi tersebut, sedangkan dalam coping skill memberikan intervensi berupa peningkatan keterampilan coping skill untuk mengajarkan klien dalam mengahadapi situasi yang memunculkan masalah baginya. Berdasarkan penjabaran ini, maka peneliti menilai bahwa perlu untuk memberikan CBT tidak hanya dengan menggunakan teknik coping skill tetapi juga menggunakan teknik restrukturisasi kognitif untuk membantu pecandu untuk meningkatkan abstinence self efficacy.

Penelitian ini akan menggunakan CBT dengan cara berkelompok. CBT berkelompok atau Group Cognitive Behavioral Therapy merupakan bentuk pelaksanaan CBT dengan melibatkan beberapa orang klien. Ciri utama pendekatan berkelompok ini adalah fokus pada keterbukaan dalam berinteraksi, mampu menyediakan ruang dan peluang kepada klien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui kewujudan unsur-unsur terapeutik dalam CBT kelompok seperti dukungan sesama anggota, peluang untuk mencoba tingkah laku baru dan respon, adanya pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, saling percaya, saling memberi perhatian, saling memahami dan saling membantu.

(26)

42  E. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy

2. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy

3. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan teknik restrukturisasi kognitif dan coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy 4. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan restrukturisasi kognitif

dan coping skill lebih efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy dibandingkan dengan pemberian restrukturisasi kognitif dan coping skill secara terpisah

Referensi

Dokumen terkait