• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR DOMINAN PENGELOLAAN TAMBAK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR DOMINAN PENGELOLAAN TAMBAK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR DOMINAN PENGELOLAAN TAMBAK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS

TAMBAK KABUPATEN BERAU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Erna Ratnawati dan Akhmad Mustafa

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jalan Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: ernaratn awati_ syam@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur dimana perikanan budidayanya termasuk budidaya tambak cukup menjanjikan untuk diusahakan dan dikembangkan adalah Kabupaten Berau. Namun demikian belum ada informasi tentang pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya di kabupaten tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor pengelolaan tambak yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung Kabupaten Berau . Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survei untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur. Sebagai peubah tidak bebas adalah produksi total tambak dan peubah bebas adalah faktor pengelolaan tambak yang terdiri dari 35 peubah. Analisis regresi berganda dengan peubah boneka digunakan untuk memprediksi produktivitas tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung Kabupaten Berau , Provinsi Kalimantan Timur sebesar 213 kg/ ha/musim yang merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng. Ada 12 peubah pengelolaan tambak yaitu: lama pengeringan, dosis pestisida saponin awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk super petroganik awal, tinggi air selama pemeliharaan, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan, dosis kapur dolomit susulan, lama pemeliharaan udang windu dan lama pemeliharaan ikan bandeng yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Hal ini menunjukkan bahwa produksi total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak dengan meningkatkan lama pengeringan dasar tambak dan tinggi air selama pemeliharaan serta dosis pupuk urea, TSP/SP-36 dan kapur atau melaksanakan remediasi tanah dasar tambak sebelum persiapan tambak.

KATA KUNCI: pengelolaan, produktivitas, tambak, Kabupaten Berau PENDAHULUAN

Salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur dimana sektor perikanannya cukup menjanjikan untuk diusahakan dan dikembangkan adalah Kabupaten Berau. Perikanan budidaya yang selama ini diusahakan di Kabupaten Berau adalah: budidaya kolam, budidaya keramba, budidaya laut dan budidaya tambak. Budidaya tambak di Kabupaten Berau terdapat pada enam kecamatan yaitu: Kecamatan Pulau Derawan, Talisayan, Biatan, Tabalar, Sambaliung dan Gunung Tabur. Sampai pada tahun 2009 pembudidaya tambak di Kabupaten Berau berjumlah 438 RTP yang memiliki luas sebesar 3.710,7 ha dengan jumlah produksi sebesar 309,2 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 7.448.100.000,- (Anonim, 2010). Dengan demikian, produktivitas tambak Kabupaten Berau termasuk rendah yaitu sekitar 85 kg/ha/tahun. Produktivitas tambak yang rendah ini masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak yang tepat.

Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya sangat bervariasi. Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya tambak di Sulawesi Selatan telah dilaporkan oleh berbagai peneliti terdahulu. Di Kabupaten Pangkep telah dilaporkan oleh Nessa (1985) dan Mustafa et al. (2010). Hanafi (1990) telah melakukan hal yang sama di tambak di Kabupaten Maros, Takalar, dan Bulukumba. Pengelolaan budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya di tambak Kabupaten Pinrang (Provinsi Sulawesi Selatan) telah diteliti oleh Mustafa dan Ratnawati (2007) dan di Kabupaten Bulukumba oleh Ratnawati et al. (2009). Khusus tambak di Kalimantan termasuk di Kabupaten Berau (Provinsi

(2)

Kalimantan Timur) belum pernah dilaporkan hasil penelitian mengenai pengelolaan yang dilakukan oleh pembudidaya tambak. Di tambak udang vaname intensif di Kabupaten Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat) telah dilaporkan oleh Utojo et al. (2010). Pengetahuan faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan produktivitas tambak. Pengelolaan tambak merupakan faktor penting setelah penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya tambak berkelanjutan (Karthik et al., 2005). Identifikasi dari peubah faktor pengelolaan tambak yang tidak mempengaruhi produktivitas tambak perlu diketahui supaya dapat diikuti oleh pembudidaya untuk mengefektifkan biaya produksi tanpa mempengaruhi produktivitas tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dominan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 1) yaitu di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Untuk mendapatkan informasi awal mengenai kegiatan budidaya tambak di Kabupaten Berau, maka dilakukan pertemuan dengan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau di Tanjung Redeb. Tambak terpilih ditentukan secara acak dari Peta Mapping Unit (Satuan Pemetaan) yaitu gabungan Peta Landscape (Bentuk Lahan) dan

Land Use (Penggunaan Lahan). Pembudidaya tambak dari tambak terpilih menjadi responden dalam

penelitian ini. Titik-titik pengamatan ditentukan posisinya dengan Global Positioning System (GPS). Peta yang menunjukkan titik-titik pengamatan dibuat dengan bantuan teknologi penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Citra satelit yang digunakan ada 4 scene citra ALOS AVNIR-2 dengan masing-masing akuisisi 16 Mei 2008 (2 scene), 17 September 2009 (1 scene) dan 16 Oktober 2009 (1 scene).

Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survei, termasuk untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur (Wirartha, 2006). Sebagai peubah tergantung atau peubah tidak bebas atau peubah respon dalam penelitian ini adalah produksi total tambak. Produksi total tambak merupakan total produksi udang windu dan ikan bandeng (Hanafi, 1990), sebab tambak yang terpilih semuanya melakukan budidaya secara polikultur antara udang windu dan ikan bandeng. Peubah bebas atau peubah prediktor adalah pengelolaan tambak yang terdiri atas 35 peubah. Sebagai peubah boneka dalam penelitian ini adalah: perlakuan remediasi terhadap tanah dasar tambak, keduk teplok, perbaikan pematang, sumber benih, adaptasi terhadap suhu dan salinitas, waktu penebaran benih, sistem pergantian air, serangan penyakit serta jenis hama dan penyakit.

Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum (minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi) dari data yang ada. Matriks korelasi digunakan untuk mengetahui adanya gejala multikolinearitas. Grafik plot PP (Probabilitas harapan dan Probabilitas pengamatan) digunakan untuk menguji kenormalan distribusi data. Scatterplot regresi digunakan untuk mengetahui adanya gejala heteroskedastisitas. Uji DW (Durbin-Watson) digunakan untuk mendeteksi adanya gejala autokorelasi. Dalam memilih persamaan regresi ganda ‘terbaik’ maka digunakan metode langkah mundur (backward) (Draper dan Smith, 1981).

Uji R2 yang disesuaikan (adjusted R2) digunakan untuk mengetahui besarnya peubah bebas

menjelaskan peubah tidak bebas. Uji F atau analisis ragam digunakan untuk menguji signifikansi model regresi. Model persamaan regresi berganda yang diuji adalah (Sokal dan Rohlf, 1981; Tabachnick dan Fidell, 1996):

Y = a + b1X1 + b2X2 + … + bnXn (Persamaan 1)

dimana :

Y = produksi total tambak

a = koefisien konstanta

b1,b2…bn = koefisien regresi

(3)

Seluruh data dianalisis dengan bantuan Program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15,0 (SPSS, 2006; Coakes et al., 2008).

HASIL DAN BAHASAN

Secara umum, tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung Kabupaten Berau dibangun pada lahan mangrove dimana lahan tersebut mungkin sangat mudah dikuasai oleh pembudidaya tambak. Sebagai akibatnya, luas petakan tambak tergolong cukup luas dari 4,0 ha sampai 60,0 ha dengan rata-rata 17,2 ha. Sebagai perbandingan dengan tambak di Sulawesi Selatan seperti di Kabupaten Pangkep adalah rata-rata luas petakan 2,44 ha (Mustafa et al., 2010), Kabupaten Maros 2,53 ha (Ratnawati et al., 2010b); Kabupaten Pinrang 1,80 ha (Mustafa & Ratnawati, 2007), Luwu Utara 1,94 ha (Mustafa et al., 2009) dan Kabupaten Bone 3,67 ha (Ratnawati et al., 2010a) yang menunjukkan luas petakan tambak di Kabupaten Berau lebih luas dari pada tambak di Sulawesi Selatan.

Produktivitas total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung berkisar antara 4,17 dan 620,00 kg/ha/musim dengan produktivitas rata-rata 212,96 kg/ha/musim (Tabel 1). Produktivitas tambak ini lebih rendah daripada produktivitas tambak di Sulawesi Selatan. Produktivitas tambak di Kabupaten Pangkep, Maros, Pinrang dan Bone berturut-turut: 622, 632, 499, dan 292 kg/ha/musim (Mustafa & Ratnawati, 2007; Mustafa et al., 2010; Ratnawati et al., 2010a,b). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tambak diduga sebagai akibat petakan tambak yang cukup luas. Hal ini dapat dimengerti bahwa semakin luas tambak yang dikelola oleh seorang pembudidaya tambak, maka semakin berkurang tingkat pengelolaan yang dilakukan karena pembudidaya tambak dibatasi oleh tenaga dan waktu serta kemungkinan dana. Dengan ukuran tambak yang lebih kecil cenderung pembudidaya tambak memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan tersebut untuk memperoleh produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) yang lebih banyak dibandingkan dengan tambak yang lebih luas di Kabupaten Luwu (Mustafa & Ratnawati, 2005). Islam et al. (2005) dan Milstein et al. (2005) menyatakan bahwa tambak yang lebih kecil akan lebih mudah dikelola dan produktivitasnya untuk udang windu lebih tinggi daripada yang berukuran lebih luas di Bangladesh.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur

(4)

Produksi yang dilaporkan dalam penelitian ini merupakan produksi total yaitu produksi udang windu dan ikan bandeng yang dipolikulturkan di tambak Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Udang windu dan ikan bandeng adalah komoditas yang dapat dipolikulturkan di tambak (Ranoemihardjo et al., 1979; Eldani & Primavera, 1981). Kedua komoditas tersebut secara umum menuntut kondisi lingkungan yang relatif sama, tetapi menempati relung ekologi yang berbeda dalam tambak. Perbedaan habitat makanan dari kedua komoditas tersebut yang menyebabkan tidak terjadi kompetisi di antaranya (Eldani & Primavera, 1981). Konsep dasar dari polikultur adalah jika dua atau lebih spesies ikan yang cocok dipelihara secara bersama-sama akan meningkatkan produksi (Reich, 1975 dalam Eldani & Primavera, 1981; Shang, 1986). Produktivitas tambak tersebut masih dapat ditingkatkan seperti dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Pengelolaan tambak yang dilakukan pembudidaya tambak Kabupaten Berau relatif beragam. Ada 35 peubah pengelolaan tambak yang dilakukan pembudidaya tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung yang telah diidentifikasi. Setelah dilakukan analisis matriks korelasi, ternyata banyak peubah pengelolaan budidaya tambak yang memiliki gejala multikolinearitas, sehingga hanya ada 25 peubah pengelolaan tambak yang dipilih untuk analisis lebih lanjut. Peubah pengelolaan budidaya tambak yang dipilih adalah peubah yang lebih mudah diukur. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (Gambar 2) dimana titik-titik mengikuti haris linier dan tidak ada gejala heteroskedastisitas (Gambar 3) dimana titik-titik tersebar tidak beraturan di sekitar 0 dari sumbu y. Pada Lampiran 1 terlihat bahwa R2 yang disesuaikan (adjusted R2) tertinggi (0,546) dan standar

galat estimasi (standard error of estimate) terendah (130,48984) didapatkan pada Model 13. Dalam hal ini Model 13 lebih baik dalam menjelaskan peubah bebas memprediksi peubah tidak bebas. Selain itu, karena standar galat estimasi lebih kecil dari standar deviasi produksi total tambak yang besarnya 193,7645 kg/ha/musim (Tabel 1), maka model regresi lebih baik dalam bertindak sebagai prediktor produksi total tambak daripada rata-rata produksi tambak itu sendiri. Selanjutnya dari hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan Model 13 dapat digunakan untuk memprediksi produksi tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung (P = 0,002).

Telah disebutkan sebelumnya bahwa R2 yang disesuaikan tertinggi adalah 0,546. Hal ini berarti bahwa 54,6% produksi total tambak dapat dijelaskan oleh peubah pengelolaan tambak yang meliputi: lama pengeringan, dosis pestisida saponin awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk super petroganik awal, tinggi air selama pemeliharaan, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan, dosis kapur dolomit susulan, lama pemeliharaan udang windu dan lama pemeliharaan ikan bandeng, sedangkan sisanya (45,4%) dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini.

Hasil analisis lebih lanjut didapatkan nilai koefisien konstanta dan koefisien regresi dari persamaan regresi (Tabel 2) yang terpilih dan selanjutnya digunakan untuk memprediksi produksi total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Peubah pengelolaan tambak yang berperan dalam menentukan produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung digambarkan dalam persamaan regresi sebagai berikut:

Y = 705,043 – 3,225X1 + 13,212X2 + 4,378X3 – 3,386X4 – 8,905X5 + 5,227X6 + 0,522X7 + 0,699X8 + 10,523X9 + 109,791X10 + 43,215X11 + 23.720 X12 (Persamaan 2)

dimana :

Y = produksi total tambak (kg/ha/musim)

X1 = lama pemeliharaan udang windu (hari) (P = 0,003) X2 = lama pengeringan (hari) (P = 0,014)

X3 = tinggi air selama pemeliharaan (cm) (P = 0,027) X4 = dosis pupuk urea awal (kg/ha) (P = 0,033)

X5 = dosis pupuk super petroganik awal (kg/ha) (P = 0,033) X6 = dosis pupuk TSP/SP-36 awal (kg/ha) (P = 0,092) X7 = dosis kapur dolomit awal (kg/ha) (P = 0,112) X8 = lama pemeliharaan ikan bandeng (hari) (P = 0,135) X9 = dosis pupuk urea susulan (kg/ha) (P = 0,170) X10 = dosis kapur dolomit susulan (kg/ha) (P = 0,187) X11 = dosis pupuk super organik susulan (kg/ha) (P = 0,193) X12 = dosis pestisida saponin awal (mg/L) (P = 0,287)

(5)

Dari 25 peubah faktor pengelolaan tambak yang dikaji dalam penelitian ini ternyata hanya 12 peubah yaitu: lama pengeringan, dosis pestisida saponin awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk super petroganik awal, tinggi air selama pemeliharaan, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan, dosis kapur dolomit susulan, lama pemeliharaan udang windu dan lama pemeliharaan ikan bandeng (Persamaan 2) yang merupakan peubah pengelolaan budidaya yang berpengaruh secara nyata dalam menentukan produktivitas total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Tiga belas peubah pengelolaan tambak lainnya yaitu: perbaikan pematang, dosis kapur pertanian awal, dosis pupuk super organik awal, lama pengangkutan benih, padat penebaran udang windu, padat penebaran ikan bandeng, volume pergantian air, frekuensi pergantian air, dosis pupuk TSP/SP-36 susulan, dosis super petroganik susulan, terjadi serangan penyakit, jenis penyakit dan waktu terjadi penyakit.

Tabel 1. Statistik deskriptif semua peubah yang diamati dalam penentuan peubah pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Provinsi Kalimantan Timur (n = 34)

Peubah Minimum Maksimum Rata-rata Standar deviasi

Produksi total (kg/ha/musim) 4,17 620 212,96 193,7645

Luas (ha) 4 60 17,2 12,33

Lama pengeringan (hari) 0 21 7,8 5,33

Perbaikan pematanga) 0 1 0,8 0,43

Dosis pestisida saponin awal 0 25 10,5 1,2926

Dosis kapur dolomit awal (kg/ha) 0 1000 55,83 211,23

Dosis kapur pertanian awal (kg/ha) 0 50 3,21 10,6844

Dosis pupuk urea awal (kg/ha) 0 300 19,43 52,3289

Dosis pupuk TSP/SP-36 awal (kg/ha) 0 100 12,03 21,221

Dosis pupuk super petroganik awal (kg/ha) 0 30 1,47 6,0964

Dosis pupuk super organik awal (kg/ha) 0 10 0,79 2,3016

Lama pengangkutan benih (jam) 1 8 3,06 1,9336

Padat penebaran udang windu (ekor/ha) 3333 80000 13607 15046,55

Padat penebaran ikan bandeng (ekor/ha) 0 13333 2218 2427,44

Tinggi air selama pemeliharaan (cm) 10 70 41,4 15,34

Volume pergantian air (%) 10 50 28,4 7,83

Frekuensi pergantian air (kali/bulan) 1 2 1,97 0,171

Dosis pupuk urea susulan (kg/ha) 0 100 7,84 19,5755

Dosis pupuk TSP/SP-36 susulan (kg/ha) 0 50 4,51 9,8391

Dosis super petroganik susulan (kg/ha) 0 20 0,74 3,5102

Dosis super organik susulan (kg/ha) 0 50 1,63 8,5959

Dosis kapur dolomit susulan (kg/ha) 0 20 0,59 3,43

Terjadi serangan penyakitb) 0 1 0,7 0,45

Jenis penyakitc) 0 1 0,7 0,45

Waktu terjadi penyakit (hari) 0 75 41,8 26,39

Lama pemeliharaan udang windu (hari) 90 180 114,9 24,5

Lama pemeliharaan ikan bandeng (hari) 0 210 154,5 68,06

a) 0 = Tidak; 1 = Ya b) 0 = Tidak; 1 = Ya

(6)

Dari Persamaan 2 terlihat bahwa koefisien konstanta sebesar 705,043 yang berarti produktivitas total tambak dapat diprediksi mencapai 705,043 kg/ha/musim kalau tidak ada kontribusi dari peubah pengelolaan tambak. Hal ini menunjukkan bahwa peubah pengelolaan tambak yang meliputi: lama pengeringan, dosis pestisida Saponin awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk super petroganik awal, tinggi air selama pemeliharaan, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan, dosis kapur dolomit susulan, lama pemeliharaan udang windu dan lama pemeliharaan ikan bandeng berpengaruh besar terhadap produktivitas total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung.

Pengeringan tambak yang dilakukan pembudidaya tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung sangat bervariasi, dari ada pembudidaya tambak yang tidak melakukan pengeringan sampai melakukan pengeringan dasar tambak selama 21 hari dengan rata-rata 7,8 hari. Dari Persamaan 2 dan Tabel 2 terlihat bahwa koefisien regresi dari lama pengeringan dasar tambak adalah sebesar 13,212 yang menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 hari lama pengeringan dasar tambak akan meningkatkan produktivitas total tambak sebesar 13,212 kg/ha/musim. Dalam hal ini, pengeringan

Gambar 2. Grafik PP (Probabilitas harapan dan Probabilitas pengamatan) normal dari standar regresi sisa untuk menguji kenormalan distribusi data

Gambar 3. Grafik pencar regresi untuk mengetahui adanya gejala heteroskedastisitas

(7)

tanah dasar tambak yang baik dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi tanah, mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan mengurangi senyawa toksik seperti H2S dan CH4, sehingga kondisi tanah dasar tambak menjadi lebih baik. Tanah tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung tergolong tanah sulfat masam dan tanah gambut ang dicirikan dengan kandungan pirit dan bahan organik yang tinggi. Pengeringan tanah dasar tambak dapat meningkatkan proses oksidasi tanah sehingga dapat mempercepat proses penguraian bahan organik yang berdampak pada kondisi tanah yang lebih baik. Namun demikian, pengeringan dasar tambak yang terlalu lama dalam kondisi cuaca cerah dapat berdampak pada perubahan struktur tanah yang menjadi berdebu. Seperti dikata-kan oleh Stevenson (1982 dalam Meagaung et al., 2000) bahwa pengeringan tanah dalam waktu lama akan mempercepat rusaknya struktur tanah, sehingga mikroorganisme tanah tidak dapat melakukan proses dekomposisi bahan organik secara optimum. Akibatnya, kelekap yang tumbuh pada saat budidaya banyak yang terlepas dan membusuk yang dapat menurunkan kualitas air.

Walaupun ada berbagai pestisida anorganik yang digunakan oleh pembudidaya tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, tetapi pestisida organik masih dominan digunakan seperti saponin. Rata-rata pembudidaya tambak di Kabupaten Berau hanya mengaplikasikan saponin dengan dosis sekitar 10 mg/L. Biji tanaman teh mengandung 10-15% saponin yang efektif dalam mematikan hama ikan yang tidak diinginkan, namun tidak mematikan udang. Di tambak Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, para pembudidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) mengaplikasikan sapo-nin dengan dosis 20 mg/L pada salinitas tambak lebih rendah dari 20 ppt dan saposapo-nin dengan dosis 15 mg/L pada salinitas lebih besar 20 ppt (Mustafa et al., 2010). Oleh karena itu, peningkatan dosis saponin dalam pemberantasan hama awal secara nyata berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Menurut Primavera (1993) dan Shariff et al. (2000), saponin tidak hanya mematikan hama ikan yang tidak diinginkan, tetapi juga dapat merangsang pergantian kulit dalam budidaya udang. Saponin dosis 2-3 mg/L selama 24 jam diaplikasikan untuk merangsang pergantian kulit pada udang windu dan saponin dosis 20-30 mg/L direkomendasikan untuk pembasmian penyakit bintik hitam (blackspot disease) pada udang (Shariff et

al., 2000). Saponin dosis 5-25 mg/L telah digunakan dalam pembasmian infeksi protozoa di tambak

(Baticados & Paclibare, 1992). Saponin dapat juga berfungsi sebagai pupuk organik yang dapat merangsang pertumbuhan alga di tambak (Liao et al., 2000).

Tabel 2. Koefisien konstanta dan keofisien regresi peubah bebas dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Provinsi Kalimantan Timur

B Standar Galat

(Konstan) 705,043 176,226 4,001 0,001

Lama pengeringan (hari) 13,212 4,914 2,688 0,014

Dosis pestisida Saponin awal (mgL) 23,72 21,695 1,093 0,287

Dosis kapur dolomit awal (kg/ha) 0,522 0,315 1,658 0,112

Dosis pupuk Urea awal (kg/ha) 3,386 1,484 2,282 0,033

Dosis pupuk TSP/SP-36 awal (kg/ha) 5,227 2,958 1,767 0,092 Dosis pupuk Super Petroganik awal (kg/ha) -8,905 3,912 -2,28 0,033 Tinggi air selama pemeliharaan (cm) 4,378 1,836 2,385 0,027

Dosis pupuk Urea susulan (kg/ha) 10,523 7,402 1,422 0,17

Dosis pupuk Super Organik susulan (kg/ha) 43,215 32,113 1,346 0,193 Dosis kapur Dolomit susulan (kg/ha) 109,791 80,475 1,364 0,187 Lama pemeliharaan udang windu (hari) -3,225 0,98 -3,29 0,003 Lama pemeliharaan ikan bandeng (hari) 0,699 0,45 1,554 0,135

Model Peubah

Koefisien yang Tidak

t Signifikansi

(8)

Dari Persamaan 2 dan Tabel 2 terlihat bahwa banyak sarana produksi tambak yang terkait dengan tanah dan air tambak seperti pupuk dan kapur memberikan pengaruh terhadap produktivitas tambak Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung (Kabupaten Berau). Hal ini sangat terkait dengan tanah tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung yang tergolong tanah sulfat masam dan tanah gambut. Kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut juga menyebabkan rasio C:N tanah yang tinggi. Untuk menurunkan rasio C:N tanah yang tinggi ini, maka penambahan pupuk yang mengandung N seperti Urea menjadi penting agar mineralisasi bahan organik oleh mikroorganisme dapat lebih baik. Oleh karena itu, penambahan dosis pupuk urea dapat meningkatkan produktivitas tambak Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Apalagi pembudidaya tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung hanya mengaplikasikan pupuk urea sebesar 19,43 kg/ha, suatu dosis yang tergolong rendah untuk budidaya tambak dengan teknologi sederhana pada tanah bermasalah.

Pada tanah sulfat masam dan tanah gambut kandungan fosfor sangat rendah, disamping ketersediaannya yang juga rendah karena terikat oleh Fe (besi) dan Al (aluminium) tanah. Sebaliknya fosfor merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama dalam transformasi energi metabolik (Kuhl, 1974). Unsur P juga merupakan penyusun ikatan pirofosfat dari ATP (adenosine trifosfat) yang kaya energi dan merupakan bahan bakar untuk semua kegiatan biokimia di dalam sel hidup serta merupakan penyusun sel yang penting (Noggle & Fritz, 1986). Oleh karena itu, penambahan dosis pupuk TSP/SP-36 dapat meningkatkan produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Dalam hal ini peningkatan 1 kg pupuk TSP/SP-36 dapat meningkatkan produktivitas tambak sebesar 5,227 kg/ha (Tabel 2, Persamaan 2) Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung.

Dari Persamaan 2 dan Tabel 2 terlihat juga bahwa penambahan dosis kapur dolomit awal dan susulan dapat juga meningkatkan produksi total tambak. Dari Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata pembudidaya tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung hanya mengaplikasikan kapur dolomit awal dan susulan dengan dosis masing-masing 55,83 dan 0,59 kg/ha. Dosis ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang diaplikasikan oleh pembudidaya tambak di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung sebagian tergolong tanah sulfat masam dan tanah gambut yang memiliki derajat kemasaman yang tinggi dan unsur toksik yang juga tinggi. Oleh karena itu, tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung membutuhkan upaya remediasi baik berupa pengeringan dan pembilasan tanah dasar tambak maupun dengan pengapuran. Dengan demikian, pengapuran dapat menyebabkan peningkatan produksi tambak, sebab pengapuran dapat memperbaiki kualitas tanah berupa peningkatan pH dan penurunan unsur toksik.

Tinggi air tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung berkisar dari 0,10 sampai 0,70 m dengan rata-rata 0,41 m. Rata-rata tinggi air dalam tambak tergolong rendah untuk budidaya udang windu, seperti dikatakan oleh Chiang et al. (1989) bahwa kedalaman optimum untuk udang windu pada saat penebaran adalah 0,30-0,60 m dan selanjutnya kedalaman air meningkat mencapai 1,00-1,20 m. Sebaliknya, kedalaman air tambak tersebut tidak bermasalah dalam budidaya ikan bandeng, sebab ikan bandeng dapat dipelihara pada tambak dangkal (0,30-0,40 m) (Padlan et al., 1975; Chiang et al., 2004).

KESIMPULAN

Rata-rata produksi total tambak Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur sebesar 213 kg/ha/ musim yang merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng. Ada 12 peubah pengelolaan tambak yaitu: lama pengeringan, dosis pestisida saponin awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk super petroganik awal, tinggi air selama pemeliharaan, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan, dosis kapur dolomit susulan, lama pemeliharaan udang windu dan lama pemeliharaan ikan bandeng yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung. Hal ini menunjukkan bahwa produksi total tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak dengan meningkatkan lama pengeringan dasar tambak

(9)

dan tinggi air selama pemeliharaan serta dosis pupuk urea, TSP/SP-36 dan kapur atau melaksanakan remediasi tanah dasar tambak sebelum persiapan tambak.

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2010. Laporan Tahunan 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Berau, Tanjung Redeb. 70 hlm.

Baticados, M.C.L. and Paclibare, J.O. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. In: Shariff, M., Subasinghe, R.P. and Arthur, J.R. (eds.), Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila. pp. 531-546.

Chiang, F. –S., Sun, C. –H. and Yu, J. –M. 2004. Technical efficiency analysis of milkfish (Chanos

chanos) production in Taiwan- an application of the stochastic frontier production function. Aquac-ulture 230, 99-116.

Coakes, S.J., Steed, L. and Price, J. 2008. SPSS: Analysis without Anguish: Version 15.0 for Windows. John Wiley & Sons Australia, Ltd., Milton, Qld. 270 pp.

Draper, N.R. and Smith, H. 1981. Applied Regression Analysis. Second Edition. John Wiley & Sons, New York. 709 pp.

Eldani, A. and Primavera, J.H. 1981. Effect of different stocking combination of growth, production and survival rate of milkfish (Chanos chanos Forskal) and prawn (Penaeus monodon Fabricius) in polyculture in brackishwater ponds. Aquaculture 23: 59-72.

Flegel, T.W. 1996. A turning point for sustainable aquaculture: the white spot virus crisis in Asia shrimp culture. Aquaculture Asia 1: 29-34.

Hanafi, A. 1990. Socio-economic and managerial profiles of brackishwater aquaculture in South Sulawesi. Jurnal Perikanan Budidaya Pantai 6(2): 97-114.

Islam, M. S., Milstein, A., Wahab, M. A., Kamal, A. H. M. and Dewan, S. 2005. Production and eco-nomic return of shrimp aquaculture in coastal ponds of different management regimes.

Aquacul-ture International 13, 489-500.

Karthik, M., Suri, J., Saharan, N. and Biradar, R.S. 2005. Brackish water aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane district of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and geographical information system. Aquacultural Engineering 32: 285-302.

Kuhl, A. 1974. Phosphorus. In Stewart, W.D.P. (ed.). Algal Physiology and Biochemistry. Botanical Mono-graphs. Volume 10. Blackwell Scientific Publication, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne. pp. 636-654.

Leung, P.S., Tran, L.T. and Fast, A.W. 2001. A logistic regression of risk factors for disease occurrence on Asian shrimp farms. In: Leung, P.S. and Sharma, K.R. (eds.), Economics and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia: A Collection of Research Papers based on the ADB/NACA Farm Performance Survey. Network of Aquaculture Centres in Asia-Pasific, Bangkok. pp. 113-128. Liao, I.C., Guo, J.-J. and Su, M.-S. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Taiwan, Province of

China. In: Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R. and Subasinghe, R.P. (eds.), Use of Chemicals in

Aquacul-ture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center AquaculAquacul-ture Department, Tigbauan,

Iloilo, Philippines. pp. 193-205.

Meagaung, W.M., Nessa, M.N., Hanafi, A. dan Jalaluddin, M.N. 2000. Faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap akumulasi bahan organik pada tambak udang intensif. Lingkungan &

Pembangunan 20(1): 43-51.

Milstein, A., Islam, M.S., Wahab, M.A., Kamal, A.H.M. and Dewan, S. 2005 Characterization of water quality in shrimp ponds of different size and with different management regimes using multivari-ate statistical analysis. Aquaculture International 13, 501-518.

Mustafa, A. dan Ratnawati, E. 2005. Faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak tanah sulfat masam (Studi kasus di Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia II(7): 67–77.

Mustafa, A. dan Ratnawati, E. 2007. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur 2(1): 117-133.

(10)

Mustafa, A., Sapo, I. dan Paena, M. 2010. Studi penggunaan produk kimia dan biologi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal

Riset Akuakultur 5(1): 115-133.

Mustafa, A. Ratnawati, E. dan Sapo, I. 2010. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. 16 hlm.

Mustafa, A., I. Sapo dan E. Ratnawati. 2009. Survei penggunaan produk kimia pada berbagai sistem budidaya di tambak Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009: Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. hlm. 54-65.

Nessa, M.N. 1985. Pengaruh Faktor Pengelolaan dan Lingkungan terhadap Daya Hasil Tambak (Kasus

Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan). Disertasi S3 Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,

Bogor. 213 hlm.

Noggle, G.R. and G.J. Fritz. 1986. Introduction to Plant Physiology. Second edition. Prentice-Hall of India, Private Ltd., New Delhi.

Padlan, P. G., Poernomo, A. and Alikunhi, K. H. 1975. Year-round, multiple cropping to increase pro-duction of milkfish, Chanos chanos, from shallow brackish water ponds. Bulletin of Shrimp Culture

Research Centre I(2), 79-98.

Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Rev. Fish. Sci. 1: 151-201.

Ranoemihardjo, B.S., Kahar, A. and Lopez, J.V. 1979. Results of polyculture of milkfish and shrimp at the Karanganyar provincial demonstration ponds. Bulletin of Brackishwater Aquaculture

Develop-ment Center 5(1&2): 334-350.

Ratnawati, E., Mustafa, A. dan Rachmansyah. 2008. Faktor status pembudidaya, kondisi dan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak tanah sulfat masam Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur 3(2): 275-287.

Ratnawati, E., Mustafa, A. dan Utojo. 2009. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi udang windu di tambak Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam: Prosiding Seminar

Nasional Perikanan 2009: Teknologi Penangkapan Ikan, Permesinan Perikanan, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Sosial Ekonomi Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah

Tinggi Perikanan, Jakarta. hlm. 617-626.

Ratnawati, E., Mustafa, A. dan Utojo. 2009. Faktor status pembudidaya, kondisi dan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap nilai produksi total tambak di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009: Teknologi Penangkapan Ikan, Permesinan Perikanan, Teknologi Pengaolahan Hasil Perikanan, Sosial Ekonomi Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. hlm. 627-634. Shang, Y.C. 1986. Pond production systems: stocking practices in pond fish culture. In: Lannan, J.E.,

Smitherman, R.O. and Tchobanoglous, G. (eds.), Principles and Practices of Pond Aquaculture. Or-egon State University Press, Corvallis, OrOr-egon. pp. 85-96.

Shariff, M., Nagaraj, G., Chua, F.H.C. and Wang, Y.G. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Malaysia and Singapore. In: Arthur, J.R., C.R. Lavilla-Pitogo, C.R. and Subasinghe, R.P. (eds.), Use of

Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture

De-partment, Tigbauan, Iloilo, Philippines. pp. 127-141.

Sokal, R.R. and Rohlf, F.J. 1981. Biometry: The Principles and Practice of Statistics in Biological Research. Second edition: W.H. Freeman and Co., New York. 859 pp.

SPSS (Statistical Product and Service Solution). 2006. SPSS 15.0 Brief Guide. SPSS Inc., Chicago. 217 pp.

Tabachnick, B.G. and Fidell, L.S. 1996. Using Multivariate Statistics. Third edition. Harper Collins Col-lege Publishers, New York. 880 pp.

(11)

Lampiran 1. Ringkasan model dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur

Model R R2 R 2 yang Disesuaikan Standar Galat Estimasi Durbin-Watson 1 0,864a 0,746 0,07 186,866 2 0,864b 0,746 0,163 177,288 3 0,864c 0,746 0,239 169,055 4 0,863d 0,745 0,299 162,263 5 0,863e 0,744 0,351 156,113 6 0,862f 0,743 0,395 150,666 7 0,861g 0,742 0,432 146,031 8 0,860h 0,739 0,462 142,137 9 0,858i 0,737 0,489 138,466 10 0,857j 0,734 0,512 135,358 11 0,849k 0,722 0,516 134,756 12 0,844l 0,713 0,526 133,447 13 0,843m 0,711 0,546 130,49 14 0,834n 0,695 0,542 131,068 15 0,818o 0,67 0,526 133,375 16 0,814p 0,663 0,537 131,839 1,909

m. Prediktor: (Konstan), lama pemeliharaan ikan bandeng, dosis pestisida saponin awal, lama pengeringan , tinggi air selama pemeliharaan, lama pemeliharaan udang windu, dosis pupuk urea awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk super petroganik awal, dosis kapur dolomit susulan, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan.

(12)

Lampiran 2. Analisis ragam dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur

Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Signifikansi 13 Regresi 881394,684 12 73449,557 4,314 0,002m Sisa 357579,553 21 17027,598 Total 1238974,238 33 Model

m. Prediktor: (Konstan), lama pemeliharaan ikan bandeng, dosis pestisida saponin awal, lama pengeringan, tinggi air selama pemeliharaan, lama pemeliharaan udang windu, dosis pupuk urea awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk super petroganik awal, dosis kapur dolomit susulan, dosis pupuk TSP/SP-36 awal, dosis pupuk urea susulan, dosis pupuk super organik susulan

Gambar

Gambar  1. Lokasi  penelitian  di  Kecamatan  Pulau  Derawan  dan  Sambaliung,  Kabupaten Berau,  Provinsi  Kalimantan  Timur
Gambar  3. Grafik  pencar  regresi  untuk  mengetahui  adanya  gejala heteroskedastisitas

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme masuknya virus HIV kedalam SSP adalah dengan cara Mekanisme masuknya virus HIV kedalam SSP adalah dengan cara.. menumpang pada monosit yang terinfeksi virus menumpang

Hasil tersebut menunjukkan bahwa biji alpukat kering memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada yang segar, hal ini berkorelasi positif dengan

Persamaan regresi linier yang digunakan dalam perhitungan kedalaman air, mempunyai koefisien korelasi lebih baik dibandingkan dua fungsi sebelumnya, Sementara itu Gambar

Dari pembahasan di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan membahas permasalahan-permasalahan yang timbul dari kecurangan yang dilakukan pedagang

Sesuai dengan hasil laboratorium mengenai bakteri Total coliform dan e.coli pada air laut yang ada di pesisir pantai teluk amurang yaitu memenuhi syarat