• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU KEDUA dari TRILOGI MASTERING NLP NLP. in Action. First Class Therapy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU KEDUA dari TRILOGI MASTERING NLP NLP. in Action. First Class Therapy"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

First Class Therapy

NLP

in

Action

(2)

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak me-ngumumkan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara pal-ing lama 5(lima) tahun dan/atau dengan palpal-ing banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3)

First Class Therapy

by RH Wiwoho

INDONLP

Jakarta

NLP

in

Action

(4)

First Class Therapy

by RH Wiwoho

Copyright © 2008,

INDONLP

Jakarta

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh

INDONLP

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

ini tanpa izin tertulis dari Penerbit dan Pengarang. ISBN : 978-979-18003-1-0

NLP

in

Action

(5)

DAFTAR ISI

Pengantar xi

Dedikasi

BAGIAN PERTAMA : NLP MODEL xix

BAB 1 SISTEM REPRESENTASI 1

Modalitas 1

Kata yang Tidak Spesifik 6

Konteks 8

Five Tuple 8

Overlap 10

Eye Accessing Cues 12 Petunjuk Olfactory dan Gustatory 15

Gestur 15

Gerakan Samar-Samar 16 Perubahan Pola Napas 16 Nada dan Tempo Suara 17 Sistem Utama dan Sinestesia 17 Submodalitas 19

Strategi 22

Tujuh Strategi Dasar 23

BAB 2 RAPPORT 25

Pacing & Leading 25 Verbal Pacing and Leading (P/L) 27 Predikat yang Tidak Spesifik 34 Predikat yang Tidak Sesuai 34 Descriptive Pacing 35 Mirroring dan Non-verbal Pacing 38 Crossover Mirroring 41 BAB 3 ANCHORING 43 General Anchoring 43 Collapsing Anchors 53 Menyatukan Pembelajaran 62 Menciptakan Pengalaman 67

BAGIAN KEDUA : FIRST CLASS THERAPY 73

BAB 4 PERCAYA DIRI 75

Demam Panggung 75 Masalahnya Ada di Benak 76

(6)

Memprogram Ulang Kenyamanan 79 Kasus Demam Panggung Lainnya 82 Rujukan Internal dan Rujukan Eksternal 92 Perbedaan Submodalitas 94 Mengembangkan Rujukan Eksternal 100 Memprogram R/E 102 Keluwesan Lebih Bermanfaat 105 Memprogram R/I 107 Takut pada Figur Otoritatif 108 Rela Mati Demi Orang Lain 109 Egois, Peragu, dan Paranoid 112 Niat Baik Menghasilkan Kebaikan 136

BAB 5 KEPUTUSAN 143

Kreativitas 150 Apa Masalah Sebenarnya? 151 Solusinya Kreativitas 154 Pengambilan Keputusan dan Masalah Kegemukan 157 Pertimbangan Ekologis 165 Beda Orang Beda Cara 167 Diet Yoyo 173 Orang yang Tak Pernah Kegemukan Seumur Hidupnya 174 Makan Berlebihan 178 Butuh Kawan atau Butuh Makan? 180 Gladi Resik 188 Sayang Uang atau Sayang Badan? 189 Lakukan, Lihat Hasilnya, dan Adakan Penyesuaian 190

BAB 6 MOTIVASI 193

Memprogram Strategi Baru 200 Tak Punya Suara di Dalam 204 Rajin Bangun Tidur dan Insomnia 212 Latihan Berpasangan 218 Empat Gaya Motivasi 227 Mempelajari Gaya Motivasi Baru 233 Memanfaatkan Gaya Motivasi Baru 235

BAB 7 MANIAK 237

Menguak Submodalitas Penggerak 239

Latihan 244

Setelah Latihan 248

Kompulsi 254

Maniak Pizza 255

(7)

Diskusi 273 Sekali Lagi Tentang Kecepatan 274 Menangani Kasus Ekstrim 277 Penolakan 278 Implosion Therapy 279 Ekologi dan Konsekuensi 280 Pahami Konteksnya 284 Submodalitas Lain 287 Di Luar Kesadaran 290 Bulimia dan Anoreksia 290 Digigit Ular Emas 292 Menciptakan Kacamata Kuda 293

Latihan 294

BAB 8 ARAH BARU 301

Swish Pattern 301 Memberi Arah 310 Menggunakan Perbedaan Submodalitas 322 Kalibrasi 328

BAB 9 SALAH CETAK 333

Imprint 333

Imprint dan Cara Terbentuknya 335 Imprint Positif 338 Membuat Imprint Baru 340 Aplikasi Imprint Baru 342 Decision Destroyer 344 Imprint dan Perasaan Berdaya – Tak Berdaya 344 Imprint dan Problem Keuangan 348 Kontrol terhadap Uang 350 Tak Percaya Pada Siapa Pun 352 Anchoring 354 Asosiasi dan Disosiasi 359 Demonstrasi 366 Change History Technique 372

NLP GLOSSARY 391

BIBLIOGRAFI 401

Rujukan lain dalam NLP 403 Ucapan Terima Kasih 413

(8)
(9)

Buku ini didedikasikan untuk :

Richard Bandler

dan

John Grinder

dua jenius pencipta

Neuro Linguistic Programming (NLP)

Semua bahan tulisan Trilogi Mastering NLP dan buku-buku NLP saya yang lain diperoleh dari kedua pencipta NLP di atas. Jadi, sangatlah mungkin bila Pembaca menemukan tulisan atau kutipan yang sama di buku-buku yang lain, kare-na sumber acuannya sama

(10)
(11)

Pengantar

B

elasan tahun belajar dan mengajar Neuro

Linguistic Programming (NLP) sebagai

alat pembelajaran (educational tools), telah mendorong saya untuk membukukan model transformasi (terapi) yang luar biasa ini menjadi sebuah buku berjudul NLP In Action:

First Class Therapy, yang merupakan buku kedua

dari trilogi MASTERING NLP. Buku pertama telah terbit dengan judul Understanding NLP:

Communication Excellence, Positive Changes and Flexible Choices. Meskipun buku ini merupakan

kesinambungan dari buku pertama, namun dapat dibaca sebagai buku tunggal yang terpisah dari buku sebelumnya.

Di dalam ketiga buku Trilogi Mastering NLP saya, Pembaca akan menemukan banyak kasus pembelajaran yang berbentuk ’terapi’ dengan menggunakan attitude, techniques and

methodo-logy NLP, yang bersumber pada karya-karya

Richard Bandler dan John Grinder.

Kata therapist sendiri sebenarnya berasal dari ba-hasa Yunani therapeutes yang artinya pemerhati.

(12)

Sedang makna asli kata therapy adalah therapeuin, yakni melayani atau membantu. Meski sekarang arti terapi banyak bergeser menjadi penyembuh (healer), saya tetap ingin menjadi pemerhati ma-nusia.

Sebagai pemerhati, saya berpendapat bahwa sesi terapi tidak harus dilakukan di klinik. Bantuan bisa dilakukan di mana saja, kapan saja; di jalan, di dalam bus, di restoran, sambil menunggu anak bermain di mal, atau di dalam kelas ketika sebuah pelatihan berlangsung.

Saya memilih istilah first class untuk mengacu bahwa manusia adalah individu yang unik. Meski kembar sekalipun, akan selalu ada keunikan pada masing-masing individu. Jadi, sangat tidak mung-kin bila kita menyamakan seseorang dengan orang lain. Karenanya, setiap pribadi harus diper-lakukan secara khusus – first class. Metaforanya adalah ketika Anda naik pesawat terbang di kursi

first class, Anda akan diperlakukan secara khusus,

spesial dan boleh minta perbedaan pelayanan di-banding penumpang lainnya, meskipun duduk di kelas yang sama.

Saya ingat mendiang Milton H. Erickson, seo-rang wizard yang fleksibilitasnya banyak meng-ilhami eksisnya NLP. Dalam sebuah sesinya

(13)

Erickson mengisahkan sebuah metafora proses terapi:

Saya ingin memberi ilustrasi yang terjadi dalam keseharian kita. Suatu hari dalam perjalanan pu-lang dari sekolah, saya melihat seekor kuda tersesat yang kelihatan sangat kehausan dan sedang mencari air minum. Mungkin si pemilik tidak menyadari bahwa salah seekor kudanya terpisah dari rom- bongannya. Saya naik ke pelananya, pegang tali kendalinya dan berseru, ”Giddy Up!” sambil meng-arahkannya ke jalan raya. Saya tahu bahwa kuda ini akan berjalan ke arah yang tepat, meski saya tidak tahu ke mana persisnya. Kuda itu melaju de-ngan cepat. Kadang ia berjalan melenceng ke sawah dan tugas saya adalah mengarahkannya ke jalan di mana SEHARUSNYA ia berjalan. Dan, akhir-nya setelah berjalan empat mil dari pertama kali kuda itu saya temukan, ia berbelok ke sebuah la-han pertanian dan si pemiliknya berujar, ”Ah, jadi BEGINILAH caranya si manis pulang. Anak muda, di mana kamu menemukannya?” Saya menjawab, ”Kira-kira empat mil dari sini.” ”Bagaimana kamu tahu bahwa kuda ini di sini TEMPATNYA?” Saya menjawab, ”Saya tidak tahu. KUDA ini yang tahu. Yang saya lakukan hanya mengarahkannya ke ja-lan.” Saya kira beginilah seharusnya sesi terapi di-jalankan.

(14)

Saya setuju dengan pendapat Erickson. Beginilah seharusnya terapi dijalankan. Lebih jauh Erickson, sebagai therapeutes, memberi contoh:

Di sebuah seminar, seorang pemuda mendekati dan meminta tolong, ”Bibiku tinggal di Milwaukee. Ia kaya raya, taat beribadah, dan tidak suka pada ibuku. Ibuku juga tidak menyukainya. Bibi punya pembantu yang setiap pagi datang untuk mengurus rumah, mencuci, menyetrika, dan memasak. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang besar, rajin ke gereja tapi tidak memiliki teman. Setiap ia pergi ke gereja, pulangnya ia selalu ngeloyor diam-diam. Sudah sembilan bulan ini ia mengalami depresi be-rat. Aku mengkuatirkannya dan mohon Anda mam-pir dirumahnya dan melakukan sesuatu untuknya. Aku satu-satunya kerabat yang dipercayainya.“ Jadi, kita berhadapan dengan kasus seorang wanita kaya yang depresi. Saya memperkenalkan diri secara panjang lebar… lalu meminta ijin untuk berkeli-ling di rumahnya. Selama berkeliberkeli-ling saya mem-perhatikannya sebagai wanita kaya, hidup sendiri, nganggur, ke gereja namun tidak mau bertemu de-ngan siapa pun, lalu pulang secara diam-diam pu-la.

Saya terus berkeliling ruang demi ruang… sampai saya melihat 3 anggrek ungu Afrika yang baru saja

(15)

mekar di potnya. Akhirnya saya tahu apa yang mes-ti saya lakukan dan terapi sepermes-ti apa yang cocok untuknya.

Saya memintanya, “Saya ingin Anda membeli se-tiap anggrek ungu Afrika yang Anda temui…. Semuanya jadi milik Anda. Saya juga ingin Anda membeli beberapa ratus pot bunga dan menyemai tunas anggrek itu seperti yang sudah Anda lakukan terhadap ketiga anggrek Anda itu. Segera sesudah tu-nas itu berakar cukup kuat, untuk setiap informasi mengenai kelahiran bayi kirimkan sebuah anggrek. Kalau mendengar ada pertunangan, perkawin-an, atau kematiperkawin-an, kirimkan juga anggrek Anda. Kalau ada bazaar, ikutkan anggrek Anda untuk di-pamerkan.”

Sampai suatu saat anggrek ungu Afrikanya telah mencapai dua ratus pot. Karena harus merawat dua ratus tanaman, ia menjadi sibuk memotong dan membersihkannya. Akhirnya ia menjadi “Ratu” Anggrek di Milwaukee dengan ratusan teman ba-runya itu.

Semuanya berubah hanya dengan satu kali kun-jungan. Saya hanya menunjuk ke arah yang tepat dan berkata: “Giddy Up!” Dan ia melakukan sisa terapinya sendiri.

(16)

Itulah hal terpenting dalam terapi. Anda menemu-kan potensi klien Anda dan kemudian mendorong dia melakukannya, dan cepat atau lambat ia akan ‘mahfum’ dengan sendirinya.

Tampak jelas bahwa Erickson adalah pemerhati manusia yang baik. Dalam bahasa saya, ia adalah contoh pemerhati kelas atas (first class therapist). Ia memahami keunikan kliennya. Ia pahami apa persisnya yang dibutuhkan oleh kliennya dalam upaya memperoleh pembelajaran baru. Kemudian dia membantu dengan mengarahkan-nya secara cukup rinci.

Erickson juga memiliki keyakinan bahwa bila kliennya dapat melakukan perubahan, kredit poin seharusnya diberikan kepada kliennya. Peran terapis hanya membantu mengarahkan pada kon-disi yang tepat, dan dari situ klien dapat mempe-lajari sesuatu, dan melakukan perubahan. Setiap perubahan yang terjadi adalah upaya si klien sen-diri.

Buku NLP in Action: First Class Therapy yang merupakan catatan saya selama menjadi pemer-hati (baik sebagai pembelajar maupun pengajar) ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi ‘NLP Model’ yang perlu dipahami sebelum ma-suk ke bagian kedua. Bagian kedua – First Class

(17)

Therapy - terdiri dari enam bab. Setiap bab

me-wakili satu pembelajaran. Pembaca yang tertarik mengetahui informasi lebih jauh tentang buku dan referensi NLP dapat membacanya di bagian akhir.

Format training tetap dipertahankan dalam buku ini, sehingga saya berharap sambil membaca buku ini, Anda bayangkan diri Anda menjadi ba-gian dari peserta training, yang kadang diselingi dengan interupsi, klarifikasi, debat, demonstrasi dan celetukan spontan.

Saya berharap buku ini bisa merangsang lahirnya lusinan, ratusan bahkan mungkin ribuan praktisi

First Class Therapy di Indonesia.

Selamat menjadi pemerhati manusia.

Jakarta, 10 April 2008

(18)
(19)

Rapport

Pacing & Leading

L

angkah pertama dalam semua intervensi

terapi adalah mengidentifikasikan dan memanfaatkan model dunia klien. Pacing adalah menyamakan dengan ‘model dunia’ yang dimiliki oleh orang lain, sehingga akan terjadi kedekatan hubungan (rapport). Pacing dilakukan dengan memberi umpan balik pada komunikasi verbal dan nonverbalnya, yang bisa menciptakan sebuah situasi di mana kita (mungkin sebagai terapis, atau sebagai apa pun) berfungsi sebagai mesin biofeedback.

Dalam pacing, terapis menggunakan komunikasi verbal serta perilaku analognya untuk

(20)

menyama-kan diri dengan klien. Terapis menyamamenyama-kan sis-tem outputnya, sehingga sinkron dengan sissis-tem output klien. Bila pacing sudah cukup terjalin, klien akan merasakan pengalaman input indera-winya melalui perilaku terapis, sebagai informasi yang langsung berkaitan dengan sistem output-nya. Keharmonisan ini menyebabkan kedekatan hubungan (rapport) dan keutuhan (oneness). Setelah pacing terjalin, langkah kedua dari proses terapi adalah leading, yaitu mengarahkan klien ke arah tujuannnya. Para praktisi NLP yakin bahwa keadaan ketidakcukupan sumberdaya adalah aki-bat langsung salah satu di antara kemungkinan berikut: kedangkalan “model dunia” atau keti-dakselarasan konteks. Karena itu, tugas terapis adalah mengarahkan klien ke sebuah model du-nia di mana tersedia sumberdaya yang cukup.

Leading adalah sebuah proses di mana terapis

mulai melakukan overlap dari keadaan sekarang (present state) ke keadaan yang diinginkan klien (desired state). Proses leading membuat terapis dapat membimbing klien untuk memperluas model dunianya, yang nantinya menciptakan fleksibilitas perilaku klien, sehingga klien itu akan memiliki lebih banyak pilihan atau alternatif.

(21)

Verbal Pacing and Leading (P/L)

Ada sejumlah pola terapeutik yang bisa membuat terapis melakukan pacing dan kemudian leading secara verbal. Verbal P/L adalah proses menya-makan dan kemudian mengarahkan perilaku, dengan memanfaatkan kata-kata untuk menjalin kedekatan hubungan dan mencapai tujuan yang diinginkan klien.

Seperti yang sudah dibahas dalam uraian sistem representasi, seorang klien menjabarkan peng- alamannya berdasarkan modalitas inderawinya: V, A, K, O, G. Uraian pengalamannya ini berva-riasi tergantung dari preferensinya. Dalam kasus klien dan terapis menggunakan bahasa yang sama, memanfaatkan preferensi yang sama, kedekat-an hubungkedekat-an (rapport) lebih mudah terjalin. Persoalannya adalah ketika klien dan terapis me-miliki preferensi yang berbeda. Dalam kasus ini, jalinan kedekatan hubungan sulit terjadi, seakan-akan mereka berbicara dengan bahasa yang ber-beda; persis seperti pengguna bahasa Indonesia berkomunikasi dengan pengguna bahasa Rusia, yang tidak saling memahami bahasa lainnya. Kegagalan berkomunikasi kerapkali mengarah ke kebingungan dan ketidakpercayaan.

(22)

Ketika terapis menggunakan teknik pacing de-ngan menggunakan predikat dari sistem repre-sentasi yang sama, kedekatan hubungan terjalin. Teknik ini disebut sebagai menyamakan

predi-kat.

Ketika kedekatan hubungan terjalin – dengan menyamakan predikat – terapis dapat mulai mengarahkan klien dengan menggunakan teknik

overlap, yang akan memperluas model dunia klien

dan melancarkan seluruh modalitas lainnya. Kerapkali pengalaman yang ‘mengganjal’ atau kejadian traumatik direkam dalam sistem repre-sentasi yang ada di kesadaran klien, sedangkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk membuat perubahan yang diinginkan berada di luar ke-sadarannya.

Contoh penyamaan predikat Kinestetik Klien: “Beberapa bulan terakhir ini saya merasa depresi. Saya merasa seperti lepas pegangan dalam banyak hal.”

Terapis: “Tampaknya Anda ingin terlibat penuh dengan apa yang terjadi di sekeliling Anda; dan punya kendali terhadap kehidupan Anda.”

(23)

K: “Benar sekali.”

T: “Baiklah. Mari kita mulai dengan perasaan apa persisnya yang Anda rasakan sehingga Anda men-jadi depresi.”

Contoh penyamaan predikat Visual

K: “Saya amati hidup saya mandek. Maju tidak

mundur pun tidak.”

T: “Coba fokus-kan pada tujuan Anda, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya yang Anda ingin-kan.”

K: “OK. Coba saya bayangkan kembali.”

T: “Buatlah gambaran yang jelas apa persisnya yang Anda inginkan.”

Contoh penyamaan predikat Auditori K: “Saya ingin membicarakan masalah saya.”

T: “Saya akan dengarkan apa yang Anda katakan. Masalah apa persisnya yang ingin Anda

(24)

K: “Saya punya masalah dengan perilaku suami saya yang sering mabuk-mabukan, namun tak seorang pun mau mendengarkan apa akibatnya buat saya.”

T: “Kedengarannya hal ini menarik untuk kita

bahas. Mungkin lebih baik kalau Anda mulai dari

awal, sehingga saya dapat mendengarkannya de-ngan lebih utuh.”

K: “Memang, sebaiknya saya menceritakan se-muanya agar lebih jelas.”

Contoh lain dalam proses pacing and leading: K: “Ketika saya melihat kembali kehidupan saya beberapa tahun terakhir ini, saya mengamati bah-wa saya tidak melakukan apa-apa. Apalagi kalau saya melihat kehidupan rekan-rekan saya; hal itu membuat saya nampak dungu dan sia-sia.

T: “Tampaknya saya paham apa maksud Anda.”

K: “Saya ingin punya arah hidup.”

T: “Coba Anda gambarkan, hidup seperti apa yang Anda idamkan?”

(25)

K: “Saya membayangkan diri saya punya relasi yang kokoh di sebuah perusahaan yang saya sukai dan pekerjaannya juga saya sukai.”

T: “Sekarang, mari kita fokuskan pada kata relasi. Apa Anda punya relasi dengan seseorang sekarang ini?”

K: “Ya. Saya punya pacar yang cantik sekali.”

T: “Ketika Anda bayangkan sedang bersamanya,

apa yang Anda rasakan?”

K: “Saya merasa nyaman dan dekat.”

T: “Apa relasi ini kedengarannya seperti yang Anda harapkan?”

K: “Ya.”

T: “Nah, bagaimana dengan persoalan peker-jaan?”

K: “Saya kuliah manajemen dan setelah tamat saya akan jadi manajer.”

T: “Ketika Anda membayangkan diri Anda

(26)

K: “Ya.”

T: “Apa yang Anda katakan pada diri sendiri ke-tika menjadi manajer?”

K: “Pada saat itu saya mempertanyakan dapatkah saya meraihnya melalui kuliah yang sedang saya jalani dan ketika saya bertanya hal ini, saya jawab sendiri bahwa hal itu mustahil.”

T: “Apakah Anda dengan mudah bisa memberi diri sendiri pesan positif seperti: Anda dapat menjadi manajer Andal dan itu semua bisa di-dapat lewat kuliah?”

K: “Saya kira bisa.”

T: “Dapatkah Anda melakukannya sekarang

un-tuk melihat apa rasanya?”

K: “Baik.” (Jeda sejenak).

T: “Bagaiman hasilnya?”

K: “Memuaskan.”

Dalam transkrip di atas, terapis menggunakan teknik sistem overlap untuk mengarahkan

(27)

hambatan yang mungkin muncul saat klien men-jalani tujuan hidupnya. Tampaknya hambatan-nya ada di sistem auditorialhambatan-nya, khusushambatan-nya pesan apa yang dibicarakan dengan dirinya.

Langkah Pacing/Leading melalui Sistem Repre-sentasi

1. Dengarkan kalimat yang diutarakan oleh klien.

2. Kenali kata kerja, kata keterangan, dan kata sifat (predikat) dalam kalimatnya.

3. Kenali sistem representasi mana yang ber-hubungan dengan predikatnya.

4. Tentukan sistem representasinya.

5. Putuskan informasi apa yang ingin Anda ko-munikasikan dengan klien.

. Buat informasi ini sedemikian rupa, sehingga sama dengan preferensi klien.

7. Utarakan kalimat itu.

8. Buat titik potong dan mulai menjabarkan pengalaman klien melalui lebih dari satu sistem representasi.

9. Tukar uraian Anda ke sistem representasi lainnya.

10. Teruskan langkah ini sampai semua parame-ter Five Tuple (V, A, K, O, G) ada di dalam uraian pengalaman klien.

(28)

Predikat yang Tidak Spesifik

Teknik lain untuk verbal P/L adalah dengan menggunakan kata kerja yang tidak spesifik, yakni predikat yang tampaknya tidak masuk dalam sistem representasi mana pun. Karena pre-dikat ini netral, ketika digunakan otomatis dapat menjalin kedekatan hubungan.

Contoh:

K: “Saya merasa kurang percaya diri ketika

menge-mudikan kendaraan.”

T: “Saya mengerti.”

K: “Ketika saya ada di belakang setir dan mulai mengendarai mobil, saya merasa cemas.”

T: “Jadi, pengertian saya adalah ketika menyetir mobil Anda ingin mengalami perasaan yang ber-beda.”

Predikat yang Tidak Sesuai

Ketika predikat tidak sesuai, perasaan kedekatan tidak terjalin dan dalam banyak kasus hasilnya justru kebingungan.

(29)

Contoh:

K: “Saya melihat hidup saya tidak maju-maju.”

T: “Apa rasanya?”

K: “Saya tidak merasakan apa-apa. Saya hanya ingin mendapatkan kejelasan bagaimana men-jalani hidup dengan baik.”

T: “Namun, aspek penting dari sebuah terapi adalah Anda bisa merasakan kembali apa pun yang Anda rasakan.”

K: “Tampaknya saya tidak paham maksud

Anda.”

T: “Mengapa Anda membohongi perasaan Anda

sendiri?”

K: “Ah, saya jadi tambah bingung.”

Descriptive Pacing

Descriptive pacing adalah sebuah bentuk verbal pacing di mana terapis menawarkan sebuah

per-nyataan verbal deskriptif (sesuai dengan yang di-lukiskan) dari perilaku yang sedang terjadi pada klien. Saat klien mendengar (baik sadar maupun tidak) uraian dari perilakunya yang cocok

(30)

de-ngan perilaku ia sebenarnya, sebuah biofeedback

loop (lingkaran umpan balik biologis) terjadi.

Satu kali umpan balik seperti ini terjadi, seperti halnya semua jenis pacing, sebuah perasaan akrab muncul.

Terapis dapat membuat descriptive pacing melalui dua cara. Pertama, dengan melakukan observasi dan mendengarkan klien termasuk pernyata-an ypernyata-ang sedpernyata-ang diutarakpernyata-an oleh klien pada saat itu, yang nampak melalui kanal panca indera- nya. Kedua, agak mirip, hanya saja terapis meng-gunakan ‘bentuk linguistik’ yang bisa membuat klien merasa dipahami (terutama pengalaman in-ternalnya). ‘Bentuk linguistik’ seperti ini dikenal sebagai mind reading dan biasanya memasukkan predikat yang menjabarkan proses internalnya se-cara tidak spesifik.

Contoh: mengingat meragukan mengerti mempelajari memutuskan memikirkan mengalami menyadari memahami

(31)

memperhatikan mempercayai

Seperti halnya dalam semua jenis pacing, sekali terjalin hubungan, terapis dapat mulai meng-arahkan (leading) ke arah tujuan klien. Leading biasanya lebih mudah dalam descriptive pacing karena terapis cuma menambahkan beberapa sugesti di dalamnya. Umumnya, bila Anda mu-lai membuat pernyataan yang dapat dibuktikan seperti menjabarkan perilaku atau menggunakan

mind reading untuk menjabarkan proses internal

klien, sugesti apa saja yang disisipkan dalam uraian itu akan mudah diterima oleh klien. Orang cen-derung untuk menolak atau menerima seluruh pernyataan tanpa memeriksa dengan teliti setiap bagian dari pernyataan itu. Bagian dari pernyata-an ypernyata-ang bisa dibuktikpernyata-an (pada saat itu oleh klien) biasanya akan membuat seluruh pernyataan itu otomatis diterima.

Contoh descriptive pacing dan mind reading:

Klien memasuki ruangan, setelah sepintas me-lihat sekeliling lalu duduk di samping terapis. Klien duduk diam dengan tangan di atas pa-hanya; kakinya ditumpangkan, bernapas dengan dalam dan cepat.

(32)

T: “Saat Anda duduk dengan kaki ditumpang-kan dan punggung Anda bersandar di kursi, Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana persis-nya terapi ini akan dijalankan.”

K: (Mengangguk-anggukkan kepala,

seakan-akan menyetujui pernyataaan di atas).

T: “Sementara Anda duduk, mendengarkan

su-ara saya, Anda dapat menarik napas panjang dan mulai santai.”

K: (Menarik napas panjang lalu membuangnya.

Menurunkan kaki dan mulai mengambil sikap duduk yang santai).

T: “Sementara Anda mulai santai, Anda boleh mulai memikirkan persoalan apa yang membawa Anda ke sini. Dan setelah Anda menemukannya, kita bisa segera mulai mendiskusikannya.”

K: “Sejak kematian anak saya beberapa waktu yang lalu, saya menjadi depresi.”

Mirroring dan Non-verbal Pacing

Pacing dapat dilakukan secara nonverbal

(33)

perilaku analog klien dengan cara memberi um-pan balik perilaku itu pada klien. Ketika terapis menyamakan langsung perilaku klien, efek seper-ti bercermin (mirroring) muncul, di mana klien menjadi saksi atas perilakunya sendiri. Lingkaran umpan balik seperti ini menghasilkan keutuhan (oneness), yang kerap kali berlanjut pada muncul-nya kepercayaan dan keakraban.

Ada sejumlah perilaku yang dapat dicermin lang-sung, antara lain: pola napas, kualitas suara, pos-tur badan dan gerakan badan. Seorang terapis dapat dengan mudah menjalin keakraban baik disadari maupun tidak, dengan menyamakan di-rinya dengan pola napas klien. Dalam kasus ini, klien akan melihat turun naiknya napas di dada terapis sama dengan kecepatan dan kedalaman napasnya sendiri.

Sama halnya dalam semua jenis pacing, terapis dapat dengan mudah mengarahkan klien dengan melakukan overlap keadaan sekarang menuju ke-adaan yang diinginkan. Bila keakraban sudah cu-kup terjalin, terapis dapat mengubah perilakunya dan klien akan dengan enak mengikuti keadaan baru, keadaan yang diinginkannya.

Contoh: Klien memasuki ruangan terapis dan duduk. Klien duduk dengan melipat tangan;

(34)

ke-dua kakinya menapak di lantai; napasnya mem-buru dan satu-satu. Terapis memperkenalkan dirinya dan duduk. Terapis mulai mengadopsi postur badan dan pola napas klien. Setelah tukar perkenalan, klien mulai menceritakan masalah-nya. Terapis terus bercermin (menyamakan non-verbal) beberapa saat sambil mendengarkan klien menceritakan masalahnya. Ketika keakraban ter-jadi, terapis mulai mengarahkan klien dengan cara menarik napas dalam dan memperlambat pola napasnya. Terapis mengamati bahwa klien mengikuti arahannya dengan napas yang sama. Akhirnya, terapis melepaskan lipatan tangannya dan klien melakukan hal yang sama.

Dari contoh di atas, teknik bercermin

(mirror-ing) dan nonverbal pacing dimanfaatkan bukan

hanya untuk menjalin keakraban, namun juga membantu klien ke arah yang lebih nyaman dan terbuka.

Langkah melakukan Mirroring

1. Tentukan bagian dari perilaku klien. 2. Samakan diri Anda dengan perilaku itu. 3. Pertahankan kesamaan perilaku ini antara

tiga sampai tujuh menit (untuk menjalin ke-akraban hubungan).

4. Tentukan perubahan perilaku yang diingin-kan.

(35)

5. Jalankan perilaku langkah 4 itu. . Amati respon klien.

Crossover Mirroring

Agar dapat menjaga integritas masing-masing (klien dan terapis), terapis harus sangat berhati-hati menyamakan perilaku yang mungkin mem-bahayakan kesehatannya, seperti menyamakan pola napas orang berpenyakit asma atau memiliki masalah arthritis.

Crossover Mirroring adalah menyamakan salah

satu sistem output klien dengan salah satu sistem

output terapis. Crossover biasanya lebih halus

(ter-samar) daripada direct mirroring. Terapis dapat, misalnya, menggunakan kecepatan suaranya sama dengan kecepatan napas si klien; atau, tera-pis dapat menepuk-nepuk dengkulnya sama de-ngan kecepatan klien mengetuk-ketukan telapak sepatunya ke lantai.

Langkah melakukan crossover mirroring

1. Pilih satu perilaku yang saat itu sedang di-lakukan oleh klien yang ingin Anda sama-kan.

2. Tentukan sistem mana dari perilaku Anda yang dapat Anda gunakan untuk

(36)

menyama-kan dengan perilaku klien.

3. Sinkronkan sistem output Anda dengan sis-tem output klien.

4. Amati respon klien.

Dengan menggunakan mirroring dan/atau

cross-cover mirroring, terapis menjalin keakraban

hubungan dengan klien, baik disadari maupun tidak. Terapis dapat juga melakukan pacing lebih dari satu sistem dengan menyamakannya dengan multi sistem, seperti menyamakan predikat dan menyamakan postur tubuh. Ada kemungkinan tak berhingga bagi terapis yang kreatif untuk menjalin keakraban dengan klien. Ketika jalin-an keakrabjalin-an terjadi, ljalin-angkah berikutnya adalah mengarahkan (leading) klien menuju ke sebuah model dunia di mana tersedia lebih banyak sum-berdaya, pilihan dan alternatif.

Pacing adalah bagian tak terpisahkan dari semua

proses terapeutik. Sangat mungkin bagi terapis untuk secara elegan mengarahkan klien, baik le-wat cara verbal (melalui sistem representasi V, A, K, O, G) dan/atau cara nonverbal (melalui perila-ku analog). Karena manusia memanifestasikan di-rinya secara utuh (gestalt), mengarahkan klien le-wat sistem komunikasi dan informasi yang sudah dibahas di atas akan berdampak menyeluruh.

Referensi

Dokumen terkait