• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

54

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pengaturan Larangan Impor Beras Saat Musim Panen di Indonesia Ditinjau Dari Ketentuan World Trade Organization

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal (Ketenutan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012).

Sejauh ini produk beras Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dengan adanya liberalisasi perdagangan, sampai saat ini beras Indonesia dinilai belum mampu untuk bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia yang masih terus melakukan impor dari berbagai negara, pada Tahun 2014 Indonesia mengimpor beras dari Thailand sebesar 90.763 ton atau US$ 42,6 juta, disusul India 61.546 ton atau US$ 22,3 juta, Pakistan 8.950 ton atau US$ 3,33 juta. Vietnam berada di peringkat keempat dengan 6.206 ton atau US$ 3,3 juta, dan Myanmar 8.136 ton atau US$ 2,7 juta. Beberapa negara lainnya juga menjadi negara pengekspor beras ke Indonesia dengan kisaran sebesar 675 ton atau US$ 1,9 juta (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/10/).

Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan semakin merugikan dan memperburuk kondisi petani beras di Indonesia, Oleh karena itu, untuk melindungi petani beras dalam negeri, dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan pro petani dalam negeri, salah satunya adalah melalui ketentuan impor dan ekspor

(2)

commit to user

55

beras Indonesia. Ketentuan impor dan ekspor ini berisi tentang syarat-syarat impor dan ekspor, jenis beras yang dapat diimpor dan diekspor, serta aturan-aturan administratif mengenai impor dan ekspor beras. Dalam ketentuan impor dan ekspor beras Indonesia terdapat aturan mengenai larangan impor beras pada saat musim panen. Larangan impor beras pada saat musim panen akan meminimalisir masuknya beras dari negara lain ke Indonesia dan harga beras lokal akan terangsang naik, Dengan naiknya permintaan, secara otomatis pendapatan petani dapat meningkat. Hal ini akan mendorong petani untuk bekerjasama dengan pihal-pihak terkait guna meningkatkan produksi dan kualitas demi memenuhi permintaan beras dalam negeri. Meningkatnya pendapatan petani menjadi awal dari berkembangnya sektor pertanian Indonesia, khususnya komoditas beras, hingga perlahan-lahan Indonesia dapat memenuhi target swasembada pangan.

Beras merupakan komoditi strategis sebagai bahan pangan bagi masyarakat Indonesia, sehingga kegiatan produksi, penyediaan, pengadaan dan distribusi beras menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, kepentingan konsumen serta menciptakan stabilitas ekonomi nasional (Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008). Kedudukan beras memiliki peranan penting dalam kegiatan perdagangan internasional. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perjanjian khusus WTO yang memuat mengenai produk pertanian (termasuk beras). Indonesia sebagai anggota WTO secara otomatis terikat dan memiliki kewajiban untuk menaati seluruh aturan yang ditetapkan oleh WTO, termasuk aturan WTO mengenai perdagangan bebas produk pertanian, khususnya beras. Wujud dari kebebasan dalam melakukan transaksi perdagangan internasional ditandai dengan dihapusnya hambatan tarif dan hambatan non-tarif yang membuka jalan bagi negara-negara dalam melakukan kegiatan ekspor dan impor. Penghapusan kebijakan ini sangat menguntungkan negara-negara yang telah memiliki kekuatan dalam perdagangan, namun dikhawatirkan justru akan merugikan negara berkembang. Perdagangan bebas dikhawatirkan hanya menjadikan negara berkembang sebuah pasar yang potensial untuk dikuasai oleh negara yang perekonomiannya lebih maju.

Usaha pemerintah Indonesia dalam pengaturan impor beras dimulai pada Tahun 2004 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan

(3)

commit to user

56

Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004. Dalam KMPP Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 terdapat klausul mengenai larangan impor beras saat musim panen, yaitu dalam Pasal 3 ayat (1)

raya, selama panen raya dan 2 (dua) Pada perubahan kedua dalam KMPP Nomor 357/MPP/Kep/5/2004 ditambahkan keterangan di Pasal 3 ayat (

diperpanjang atau dipersingkat sesuai dengan pencapaian produksi padi pada masa

perubahan ketiga tidak merubah ketentuan mengenai larangan impor beras saat musim panen pada perubahan sebelumnya. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini juga memuat mengenai tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat impor beras. KMPP ini juga dapat dikatakan sebagai usaha pemerintah Indonesia untuk melindungi petani dalam negeri, usaha ini kemudian dipertegas dalam SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 mengenai tata niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen.

Pada perkembangannya, dikarenakan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004 tentang Ketentuan Impor Beras dinilai sudah tidak sesuai lagi, maka pada tanggal 11 April 2008, pemerintah Indonesia mencabut aturan tersebut dan menggantikannya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor (Permendag) 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012. Namun aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen masih dimuat sebagai berikut:

a. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras

Ketentuan impor dan ekspor beras memuat tentang aturan-aturan mengenai impor dan ekspor beras, mulai dari jenis beras yang dapat diimpor maupun diekspor, syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan impor dan ekspor beras, serta prosedur administratif terkait kegiatan impor dan ekspor beras, yang memiliki sistematika sebagai berikut.

(4)

commit to user

57

1) BAB I Ketentuan Umum (pasal 1 dan 2).

2) BAB II Impor Berasa Untuk Keperluan Stabilisasi Harga, Penanggulangan Keadaan Darurat, Masyarakat Miskin dan Kerawanan Pangan (pasal 3 dan 4). 3) BAB III Impor Beras Untuk Keperluan Tertentu (pasal 5, 6, dan 7).

4) BAB IV Impor Beras yang Bersumber dari Hibah (pasal 8 dan 9). 5) BAB V Ekspor Beras (pasal 10).

6) BAB VI Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor dan Ekspor Beras (pasal 11, 12, 13, dan 14).

7) BAB VII Pelaporan Pelaksanaan Impor dan Ekspor Beras (pasal 15, 16, 17, dan 18).

8) BAB VIII Sanksi (pasal 19, 20 , 21, 22, 23, dan 24). 9) BAB IX Lain-Lain (pasal 25, 26, dan 27).

10) BAB X Penutup (pasal 28, 29, dan 30).

Ketentuan umum Permendag ini menyebutkan bahwa beras merupakan komoditi strategis sebagai bahan pangan bagi masyarakat Indonesia, sehingga kegiatan produksi, penyediaan, pengadfaan dan distribusi beras menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, kepentingan konsumen serta menciptakan stabilitas ekonomi nasional. Aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen masih dimuat dalam Permendag ini. Perbedaan Permendag ini dari KMPP yang telah dicabut terletak pada jumlah ayat yang sebelumnya hanya dua ayat menjadi 4 ayat (lebih diperinci). Pasal 3 Permendag 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras mengatur sebagai berikut.

(1) Beras yang dapat diimpor untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan adalah Beras (pos tarif/HS 1006.30.90.00) dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen).

(2) Beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diimpor di luar masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya.

(3) Penentuan masa panen raya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri Pertanian.

(4) Pelaksanaan impor beras sebagaimana disebut pada ayat (2) dapat dikecualikan.

(5)

commit to user

58

Dari ketentuan diatas dapat dilihat adanya penjelasan mengenai kondisi yang memperbolehkan impor beras dan pengecualian terhadap larangan impor beras saat musim panen pada ayat (2).

b. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/8/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras

Permendag ini tidak merubah aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen yang ada pada Permendag sebelumnya. Perubahan dilakukan atas Pasal 10 dan Pasal 15 mengenai ketentuan ekspor beras.

c. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras

Permendag ini kembali merubah aturan dalam Pasal 3 menjadi berbunyi sebagai berikut:

(1) Beras yang dapat diimpor untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan adalah Beras (pos tarif/HS 1006.30.90.00) dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen).

(1a) Penentuan impor beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan Tim Koordinasi dengan mempertimbangkan: (a) Persediaan beras yang ada di Perusahaan Umum BULOG;

(b) Perbedaan harga rata-rata beras terhadap Harga Pembelian Pemerintah (HPP); dan/atau

(c) Perkiraan surplus produksi beras nasional.

(2) Beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diimpor di luar masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya.

(3) Penentuan masa panen raya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri Pertanian.

(4) Pelaksanaan impor beras sebagaimana disebut pada ayat (2) dapat dikecualikan.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat adanya tambahan penjelasan yang tercantum dalam ayat (1a) mengenai Tim Koodinasi yang bertugas untuk menentukan pelaksanaan impor beras dengan mempertimbangkan ketiga poin yang telah dicantumkan pula dalam ayat (1a).

Kebijakan yang mendasari ketentuan impor dan ekspor beras yang didalamnya terkandung aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen adalah:

(6)

commit to user

59

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO Agreement)

Pengesahan WTO Agreement dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional. Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan prinsip pacta sunt servanda wajib untuk mematuhi seluruh aturan WTO dalam melaksanakan kegiatan perdagangan internasional. Setiap kebijakan perdagangan yang dikeluarkan Indonesia tidak boleh melanggar ketentuan WTO dan merugikan negara anggota lain. Undang-Undang ini dapat pula dikatakan sebagai bukti Indonesia sebagai negara anggota yang tunduk terhadap aturan WTO.

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Definisi pangan telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Pangan yaitu, segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuh bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minum. Undang-Undang Pangan berisi aturan tentang penyelenggaraan pangan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan mandiri, ketersediaan pangan yang cukup, mempermudah dan meningkatkan akses pangan, meningkatkan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri maupun luar negeri, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012).

Impor pangan diatur dalam Pasal 36-40 Undang-Undang Pangan. Inti dari pengaturan impor pangan dalam Undang-Undang Pangan adalah impor pangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu seperti produksi pangan dalam negeri yang tidak mencukupi dan cadangan pangan nasional tidak

(7)

commit to user

60

mencukupi, namun terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi oleh negara pengekspor seperti batas kadaluarsa dan kualitas pangan. Undang-undang tentang Pangan ini menyesuaikan perkembangan eksternal dan internal mengenai pangan di Indonesia, seperti demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan kondisi aktual masyarakat Indonesia.

c. Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Undang-Undang tentang Kepabeanan mengatur mengenai teknis pelaksanaan perdagangan barang (lalu lintas barang masuk atau keluar) di daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Setiap barang impor yang masuk ke Indonesia tidak boleh melanggar aturan Undang-Undang tentang kepabeanan, setiap negara pengekspor pun harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang diatur dalam undang-undang ini. Bagi negara yang melanggar dan atau lalai memenuhi kewajibannya akan dikenakan sanksi yang besarannya telah ditentukan dalam undang-undang ini berdasarkan jenis pelanggarannya.

Dikaitkan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang diatur oleh WTO, WTO memiliki prinsip Non-discrimination, Transparency, Stability and predictability of trade regulation, Use of tariffs as instrument of protection, and Elimination if unfair competition. Negara-negara anggota WTO secara otomatis tunduk terhadap prinsip tersebut dan harus menyesuaikan kebijakan perdagangan negaranya dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional WTO. Prinsip-prinsip perdagangan ini diterapkan guna menciptakan kesinambungan kerjasama antar negara untuk menjalin perdagangan yang jujur dan berkeadilan (fair treatment). Namun di dalam ketentuan-ketentuan WTO terdapat pengecualian yang disebut dengan remedi perdagangan.

Remedi perdagangan, baik berupa Anti-Dumping, Anti-Subsidi maupun Tindakan Pengamanan (Safeguard), merupakan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang paling banyak digunakan oleh negara-negara importir anggota WTO untuk melindungi industri dalam negerinya. Kebijakan remedi perdagangan

(8)

commit to user

61

ini pun sangat penting untuk melindungi industri dalam negeri Indonesia. Selama ini Indonesia dibanjiri oleh produk-produk impor dengan harga dunping dan bersubsidi, tak jarang Indonesia mengalami lonjakan impor untuk produk-produk tertentu, tetapi di sisi lain produk ekspor Indonesia seringkali dituduh merupakan produk dumping dan produk bersubsidi, dan sering pula dilakukan inisisasi untuk dikenakan tindakan pengamanan. Ironisnya, sebagai salah satu negara yang paling banyak dituduh melakukan praktek dumping, Indonesia justru dikategorikan sebagai negara yang paling rendah dalam melakukan tuduhan dan penyelidikan dumping (Malangnya Komoditas Ekspor Indonesia, http://www.seputar-Indonesia.com). Tidak mengherankan apabila partisipasi Indonesia masih sangat minim dalam dominasi kasus-kasus perdagangan yang ada dalam Dispute Settlement Body (DSB). Terhambatnya ekspor Indonesia dan banyaknya produk impor yang masuk ke Indonesia mengakibatkan industri dalam negeri mengalami kerugian atau terancam mengalami kerugian yang berdampak pada menurunnya perekonomian, dan pada gilirannya berdampak pula terhadap menyempitnya lapangan kerja atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Melihat kondisi ini, sudah seharusnya Indonesia bersikap lebih proaktif mendayagunakan instrumen remedi perdagangan dalam rangka melindungi industri dalam negeri. Sistem hukum yang kuat baik dari segi substansi, struktur maupun kultutrnya, memiliki peran krusial terhadap efektivitas perlindungan industri dalam negeri, oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memperkuat sistem hukum remedi perdagangan.

Secara umum pengertian remedi perdagangan mengacu kepada tindakan atau kebijakan pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari impor terhadap industri dalam negeri. Remedi perdagangan ini diperlukan mengingat impor, baik yang dilakukan secara tidak jujur (unfair trade) maupun secara jujur (fair trade) dapat merugikan industri dalam negeri. Impor yang dilakukan secara tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah impor produk-produk asing dengan harga di bawah harga normal (harga dumping) dan impor produk-produk asing yang bersubsidi. Sedangkan impor yang dilakukan secara jujur tetapi dapat merugikan industri dalam negeri adalah impor yang jumlahnya melonjak secara cepat dan tidak wajar. Remedi perdagangan untuk mengantisipasi produk

(9)

commit to user

62

dumping dan produk bersubsidi diwujudkan dalam bentuk pengenaan bea masuk impor tambahan, yaitu Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atau Anti-Dumping Duties (ADD) dan Bea Masuk Imbalan (BMI) atau Countervailing Duties (CVD). Remedi perdagangan untuk mengendalikan dampak impor yang melonjak adalah tindakan pengamanan (safeguard) berupa bea masuk tambahan dan pembatasan impor.

Secara umum penerapan remedi perdagangan didesain untuk meratakan kembali lapangan permainan (to level the playing field) yang sempat terganggu akibat adanya praktek dagang yang curang yang dimainkan produsen asing atau akibat meningkatnya secara drastis kompetisi yang jujur dengan produsen asing. Dengan kalimat lain, tindakan Anti-Dumping dan Anti-Subsidi dimaksudkan untuk mengeliminasi keunggulan-keunggulan harga yang diperoleh kompetitor asing melalui praktek perdagangan curang, sedangkan tindakan pengamanan (safeguards) dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada industri domestik untuk melakukan penyesuaian dan meminimalisasi dampak-dampak yang berupa destabilisasi akibat lonjakan impor (William H. cooper, 2003 : 2).

Remedi perdagangan yang digunakan Indonesia untuk melindungi neraca perdagangan dan produk beras dalam negeri adalah dengan menggunakan tindakan pengamanan (safeguard). Tindakan tersebut berwujud sebuah kebijakan larangan impor saat musim panen dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012. Tindakan safeguard diperlukan mengingat akibat konsesi-konsesi perdagangan sebagai komitmen terhadap liberalisasi perdagangan akan membuka pasar domestik dan membawa dampak lonjakan impor secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang tidak wajar. Walaupun tidak ada unsur-unsur kecurangan atau ketidak jujuran dalam praktek perdagangan eksportir asing, hal ini tetap merugikan atau berpotensi merugikan industri lokal. Tindakan safeguard sebagai remedi perdagangan baik berupa pengenaan bea masuk tambahan dan/atau pembatasan impor diperlukan untuk memberi kesempatan kepada industri lokal untuk berkembang dari ketatnya kompetisi asing. Industri lokal memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi persaingan selama

(10)

commit to user

63

masa remedi ini, baik dengan cara menambah modal atau meningkatkan performa dengan teknologi terbaru, sehingga di akhir masa remedi industri lokal bisa bersaing dengan eksportir asing (Nandang Sutrisno, 2007: 233).

Para ekonom beranggapan bahwa dalam prespektif WTO, remedi perdagangan adalah suatu bentuk proteksi terhadap impor yang mengarah pada inefiensi kesejahteraan ekonomi dan tidak lebih hanya diposisikan sebagai kebijakan terbaik kedua (second-best policy). Meskipun demikian, para ekonom telah menyepakati dimasukkannya remedi perdagangan ke dalam perjanjian perdagangan internasional, dalam hal ini WTO, sebagai pengecualian dengan motivasi insurance (jaminan) dan safety valve (katup pengaman) (Chad P. Bown, 2005: 515-527). Ketentuan mengenai remedi perdagangan penting untuk menjaga keutuhan perjanjian perdagangan internasional. Negara-negara anggota WTO tentunya akan enggan menandatangani perjanjian perdagangan internasional yang mengarah pada liberalisasi secara substansial apabila tidak ada jaminan perlindungan terhadap industri dalam negerinya. Selain itu, pemerintah negara anggota WTO akan merasa tertekan dalam melakukan negoisasi yang berkaitan dengan komitmen liberalisasi tertentu jika tidak ada pengecualian untuk pengamanan industri dalam negerinya. Namun, harus diakui bahwa mekanisme remidi perdagangan berupa safeguard ini sangat berpotensi untuk disalahgunakan sebagai usaha proteksi terselubung. Penyalahgunaan ini kontra produktif dengan paradigma liberalisasi perdagangan yang merupakan filosofi dasar dari WTO. Oleh karena itu, implementasi safeguard diatur secara ketat dalam ketentuan-ketentuan WTO, baik mengenai substansi maupun proseduralnya. Ketentuan-ketentuan WTO tentang remedi berupa safeguard diatur dalam Article XIX (Emergency Action on Imports of Particular Products) dan dijabarkan lebih lanjut dalam The Agreement on Safeguards (SG Agreement). Dalam penerapannya, mekanisme safeguard harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Nandang Sutrisno, 2007: 8):

a. Lonjakan impor, baik secara absolut maupun relatif.

b. Lonjakan impor tersebut merupakan akibat dari pemenuhan kewajiban berdasarkan perjanjian WTO.

(11)

commit to user

64

c. Kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang menghasilkan barang yang serua atau barang yang langsung tersaingi. d. Hubungan kausalitas yang menunjukkan bahwa kerugian atau ancaman

kerugian tersebut benar-benar disebabkan adanya lonjakan impor.

Pada dasarnya mekanisme safeguard memiliki beberapa persamaan dengan mekanisme Anti-Dumping dan Anti-Subsidi namun, mekanisme safeguard memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari mekanisme Anti-Dumping dan Anti-Subsidi. Pertama, mekanisme safeguard tidak mengharuskan adanya praktek perdagangan curang dari kompetitor asing seperti halnya dalam mekanisme Anti-Dumping dan Anti-Subsidi. Kedua, disamping menggunakan pengenaan bea masuk tambahan, tindakan safeguard dapat dilakukan melalui pembatasan kuantitas impor. Hal ini tidak sebagaimana tindakan Dumping dan Anti-Subsidi yang hanya dapat dilakukan melalui bea masuk tambahan. Ketiga, tindakan safeguard dapat diambil secara cepat dalam keadaan kritis, lain halnya dengan Anti-Dumping dan Anti-Subsidi yang hanya dapat diterapkan setelah melalui investigasi pendahuluan dimana para pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan dan menunjukkan bukti-bukti. Keempat, tindakan safeguard mengharuskan adanya kompensasi terhadap kompetitor asing yang terkena dampak tindakan tersebut. Apabila tidak ada kompensasi, maka kompetitor asing diberikan otoritas untuk melakukan penangguhan konsesi atau kewajiban lain (misalnya retalisasi yang sepadan).

Indonesia sendiri telah memiliki instrumen hukum yang mengatur mengenai tindakan safeguard. Adapun ketentuan tentang safeguard diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. Prosedur penyelidikan safeguard diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat meningkatnya impor di Indonesia dilakukan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Dengan adanya KPPI, pihak-pihak berkepentingan yang terkena dampak secara langsung dapat mengajukan

(12)

commit to user

65

permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada Komite. Pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak peningkatan produk impor menurut menurut Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan atas Pengamanan Industri dari Akibat Lonjakan Impor, adalah sebagai berikut:

a. Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

b. Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

c. Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri.

Tindakan safeguard hanya dapat dilakukan setelah dilakukan investigasi oleh otoritas yang kompeten berdasarkan prosedur yang telah ada sebelumnya. Namun apabila diperlukan, pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite dalam rangka perlindungan terhadap industri dalam negeri. Selanjutnya KPPI atas prakarsa sendiri dapat melakukan penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan/atau mengancam kerugian serius industri dalam negeri. KPPI harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan bukti-bukti kepada Komite dalam setiap proses pembuktian yang dilakukan. Kemudian Komite melakukan verifikasi atas data dan informasi yang diperoleh dari para pihak. Selanjutnya, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pengajuan permohonan tindakan pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite, berdasarkan hasil penelitian serta bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon, berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002, Komite memberi keputusan berupa:

a. Menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persayaratan yang ditentukan; atau

b. Menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan.

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon guna mengajukan pelaksanaan penyidikan lonjakan impor ke Komite. Menurut Pasal 3

(13)

commit to user

66

ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, untuk mempermudah proses penyidikan, pemohon harus melengkapi data sekurang-kurangnya memuat sebagai berikut:

a. Identifikasi pemohon.

b. Uraian lengkap barang terselidik.

c. Uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaingan. d. Nama eksportir dan negara pengekspor dan/atau negara asal barang.

e. Industri dalam negeri yang dirugikan.

f. Informasi mengenai kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius. g. Informasi data impor barang terselidik.

Berikut disajikan data Volume dan Nilai impor, Volune dan Nilai Ekspor serta Neraca perdagangan Beras Indonesia sebelum diterbitkannya Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor beras dan yang menjadi alasan pemerintah Indonesia memberlakukan tindakan safeguard:

(14)

commit to user

67

Sumber: BPS, 2014

Gambar 1.2 Impor Komoditas Dominan Pertanian Tahun 2005-2009

Sumber: BPS, 2014

Gambar 1.3 Impor Komoditas Dominan Pertanian Tahun 2010-2013

(15)

commit to user

68

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada Tahun 2001-2003 terjadi kenaikan volume impor beras mencapai angka 1.438.103 Ton, hal ini lah yang kemudian menjadi alasan pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004, yang di dalamnya memuat larangan impor beras saat musim panen. Fakta yang tercermin dalam tabel diatas membuktikan bahwa KMPP ini efektif menurunkan volume impor beras Indonesia pada Tahun 2005 menjadi 195.015 Ton. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya liberalisasi perdagangan, lonjakan impor beras kembali terjadi pada Tahun 2007 hingga mencapai angka 1.396.598 Ton. Lonjakan impor ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004, yang dinilai sudah kurang efektif/sesuai dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, yang efektif menurunkan impor beras Indonesia menjadi sejumlah 289.274 Ton. Lonjakan yang sama kembali terjadi pada Tahun 2011 dimana volume impor beras Indonesia mencapai 2.744.261 Ton, hal ini mendorong pemerintah untuk kembali menyempurnakan aturan larangan impor beras Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, yang kembali menurunkan volume impor beras menjadi 472.675 Ton pada Tahun 2013. Pengaruh positif juga dapat dilihat dalam ekspor beras Indonesia, beras memang merupakan salah satu sektor unggulan pertanian Indonesia, namun beras tidak termasuk dalam komoditas dominan ekspor yang meliputi kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, kakao, manggis, mangga, nenas (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2014: 23), namun beras termasuk dalam kategori tanaman pangan sebagai berikut:

(16)

commit to user

69

Gambar 1.4 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2001-2004

Sumber: BPS, 2014

Gambar 1.5 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2005-2009

Sumber: BPS, 2014

Gambar 1.7 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2010-2013

(17)

commit to user

70

Sumber: BPS, 2014

Walaupun volume dan nilai ekspor tanaman pangan (termasuk didalamnya beras) cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, namun Growth Rate of Ekspor Index merangkak naik dalam periode Tahun 2001 sampai 2013, dari semula 11,66% menjadi 28,10% untuk volume (ton) dan 17,37% pada periode Tahun 2001 menjadi 2972% pada periode Tahun 2013. Fenomena ini membuktikan bahwa mekanisme safeguard yang diterapkan Indonesia efektif untuk melindungi petani dan produk beras dalam negeri. Mekanisme safeguard yang diterapkan secara bertahap memberi ruang bagi pemerintah dan petani dalam negeri untuk memperbaiki sistem produksi dalam negeri sehingga pada akhirnya dapat mengembangkan akses pasar produk unggulannya, namun kebijakan larangan impor saat musim panen yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia ini dipermasalahkan oleh Thailand dalam sidang ILA WTO. Berikut ini adalah analisis Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012, ditinjau dari ketentuan WTO:

a. Ditinjau dari General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) Tarif tidak secara tegas didefinisikan dalam GATT, melainkan hanya

dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor-impor (Taryana Sunandar, 1996: 10). Menurut John J. Harter,

dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah

(18)

commit to user

71

kekuasaan politik yang satu ke wilayah yang lain, atau tingkat pajak yang

dikenakan atas barang te : 11).

Selain hambatan tarif, negara seringkali menerapkan kebijakan perdagangan dalam bentuk hambatan non-tarif yang bentuknya sangat beragam. Hambatan non-tarif yang dilarang oleh GATT 1947 adalah sebagai berikut.

1) Menurut Article III, pajak dalam negeri dan pungutan-pungutan lainnya, demikian juga peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi perdagangan dalam negeri serta produksi tidak boleh diterapkan terhadap barang-barang impor atau produk dalam negeri dengan maksud untuk memberikan proteksi terhadap produk dalam negeri. Pengaturan kuota (quantitative regulation) atas film (exposed cinematograph films) dalam keadaan-keadaan tertentu diperkenankan menurut Article III: 10 dan IV). 2) Article IV mengharuskan adanya kebebasan transit melalui jalur yang paling

menguntungkan transit internasional, tanpa penundaan yang tidak perlu dan tanpa membedakan kewarganegaraan sarana transportasi atau barang yang diangkut. Suatu hambatan terhadap pengangkutan merupakan hambatan terhadap perdagangan.

Dalam keadaan-keadaan tertentu tindakan anti-dumping dan bea masuk imbalan diperkenankan oleh Article VI. Hambatan administratif terhadap perdagangan sejauh mungkin harus dibatasi menurut Article VII, VIII, dan IX. 3) Menurut Article X, negara-negara peserta berkewajiban untuk

mempublikasikan peraturan-peraturan hukum nasionalnya, demikian juga putusan pengadilan dan administratif yang berlaku umum dalam kaitannya dengan sesuatu produk tertentu. Ketiadaan informasi merupakan suatu hambatan non-tarif, karena mencegah persaingan adil.

4) Kuota atas impor maupun ekspor umumnya dilarang Article XI. Namun demikian pembatasan-pembatasan atas produk pertanian, pembatasan untuk melindungi neraca pembayaran, dan untuk melindungi industri baru di negara-negara berkembang di izinkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu menurut Article XI sampai dengan XV dan XVIII.

5) Dalam keadaan-keadaan khusus subsidi diperkenankan sesuatu dengan ketentuan Article XVI.

(19)

commit to user

72

6) Adanya perusahaan dagang negara dapat juga menjadi hambatan non-tarif. Namun dalam keadaan tertentu diperbolehkan sesuai Article XVII.

Tokyo Round yang berlangsung dari Tahun 1973-1979 merupakan putaran perundingan GATT yang membahas mengenai hambatan non-tarif secara mendalam. Tokyo Round menghasilkan sejumlah perjanjian (code) yang menyangkut hambatan non-tarif, salah satunya adalah The Agreement on Import Licensing Procedures. Perjanjian ini mengakui bahwa prosedur lisensi impor dapat memiliki kegunaan yang bisa diterima, tetapi prosedur lisensi impor dapat pula dinilai tidak layak sehingga menghambat perdagangan internasional. Perjanjian ini memastikan bahwa tindakan tersebut tidak merupakan suatu restriksi terhadap impor.

Ketentuan impor dan ekspor beras Indonesia yang menerapkan kebijakan larangan impor pada musim panen tidak melanggar ketentuan GATT 1994. Kuota atas impor dan ekspor pada umumnya dilarang dalam Article XI. Namun, pembatasan-pembatasan atas produk pertanian, pembatasan untuk melindungi neraca pembayaran, dan untuk melindungi industri baru di negara-negara berkembang di izinkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu menurut Article XI sampai dengan XV dan XVIII GATT 1994. Disini Indonesia sudah memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni volume dan nilai neraca perdagangan yang turun serta yang dilindungi adalah produk pertanian.

b. Ditinjau Dari Agreement on Agriculture (AoA)

Thailand mempermasalahkan larangan impor beras saat musim panen Indonesia karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan mengenai hambatan non-tarif dalam WTO. Hambatan non-non-tarif untuk produk pertanian diatur secara khusus dalam AoA, yaitu dalam Article 4.2 AoA, namun di dalam Article 5.1 AoA tentang Ketentuan Pengamanan Khusus, bahwa meskipun terdapat ketentuan pada alinea 1 (b) Article 2 GATT 1994, suatu negara dapat mengambil jalan lain dari alinea 4 dan 5 di bawah dalam kaitannya dengan produk pertanian, dalam hal ini kebijakan-kebijakan (measures) sebagaimana tersebut pada alinea 2 Article 4 dari Persetujuan ini telah dikonversikan kepada bentuk tarif, dan hal itu ditunjukkan pada jadwaln

(20)

commit to user

73

Volume impor produk yang bersangkutan memasuki wilayah pabean suatu negara anggota yang mengakui ketentuan, selama beberapa tahun melebihi tingkat batas tertentu (triggers levels) sehubungan dengan peluang akses yang berlaku sebagaimana ditetapkan pada alinea 4; atau tetapi tidak bersamaan. Harga produk impor yang masuk wilayah pabean suatu negara anggota yang mengakui ketentuan, berdasarkan harga impor Cost Insurance and Freight (CIF) dari pengapalan yang dinyatakan dalam mata uang dalam negeri yang bersangkutan, berada dibawah trigger price yaitu rata-rata harga selama periode 1986-1988 dari produk yang bersangkutan.

c. Ditinjau Dari Agreement on Import Licensing Procedures (ILA)

Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun sekali setiap akhir bulan September, kemudian notifikasi ini akan dikaji oleh Committee on Import Licensing setiap dua tahun sekali. Terkait permasalahan larangan impor beras saat musim panen antara Indonesia dan Thailand, aturan ILA yang berkaitan dan berpotensi untuk dilanggar diantaranya: 1) Article 1.2 tentang ketentuan-ketentuan umum bahwa anggota harus

memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan GATT 1994 yang relevan, termasuk segala lampiran dan protokolnya, sebagaimana ditafsirkan di dalam persetujuan ini, dengan tujuan mencegah distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedur-prosedur tersebut yang tidak wajar, dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan kebutuhan keuangan dan perdagangan dari negara anggota. Tidak ada di dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan bermaksud bahwa dasar, ruang lingkup atau masa berlakunya suatu tindakan yang sedang dilaksanakan melalui prosedur perizinan menjadi dipertanyakan menurut perjanjian ini (Soedjono Dirdjosisworo, 2004: 240).

2) Article 3.2 tentang Perizinan Impor Non-Otomatis, bahwa perizinan non-otomatis tidak boleh berakibat membatasi atau mengganggu impor yang menambah pembatasan yang sudah ada. Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis harus, dari segi ruang lingkup dan masa berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan harus tidak lebih

(21)

commit to user

74

membebankan secara administratif daripada yang sungguh-sungguh perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan.

3) Article 3.3 tentang Perizinan Impor Non-otomatis, bahwa dalam hal persyaratan perizinan untuk maksud selain pelaksanaan pembatasan kuantitatif, anggota harus menerbitkan informasi yang cukup agar anggota lain dan para pedagang dapat mengetahui dasar pemberitahuan dan/atau penjatahan izin yang bersangkutan.

Keberadaan ILA sering dirasakan sebagai beban negara berkembang yang terus menerus mendapat tekanan dari negara maju. Meskipun demikian, setiap anggota WTO yang merasa dirugikan akses pasarnya oleh kebijakan impor negara mitra dagangnya dapat menggunakan notifikasi ini sebagai sarana untuk menekan anggota WTO yang dituju, terlebih lagi anggota yang belum melakukan kewajiban notifikasi mereka. Thailand yang merasa akses pasarnya dirugikan akibat kebijakan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia menggunakan mekanisme ini untuk secara tidak langsung menekan Indonesia yang dalam hal ini belum melaksanakan kewajiban notifikasinya.

Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan WTO seperti GATT Article VIII mengenai bea dan formalitas terkait dengan impor dan ekspor, GATT Article X tentang Publikasi dan Tertib Administrasi Regulasi Perdagangan, dan Pasal-Pasal Notifikasi Import Licensing Procedures WTO sebagai dasar hukum ILA, serta sudut pandang remedi perdagangan (safeguard), aturan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia yang dimuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tidak melanggar aturan WTO karena, di dalam WTO sendiri terdapat pengecualian terhadap prinsip dan ketentuan WTO guna melindungi perekonomian dalam negeri. Disamping itu Indonesia telah memenuhi persyaratan untuk melakukan tindakan safeguard yaitu nilai impor yang terus naik dan nilai neraca perdagangan yang terus menurun selama kurun waktu empat tahun. Kebijakan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia memberi dampak positif terhadap neraca perdagangan beras Indonesia, hal ini dibuktikan dengan menurunnya defisit neraca perdagangan

(22)

commit to user

75

Indonesia dari 463,925US$ pada Tahun 2007 menjadi 122,913US$ pada Tahun 2008. Dampak positif juga dirasakan langsung oleh petani Indonesia karena harga beras lokal dapat terangkat, salah satu contohnya di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, Nilai Tukar Petani (NTP) Subsektor Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Selatan cenderung meningkat dari kurun waktu Tahun 2008-2013, yaitu secara berturut-turut senilai 104,52; 108,2; 114,23; 121,12; 124,63; 124,17 (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/1483). NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani yang diperoleh dari perbandingan antara Indeks Harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib).

Setiap angka NTP memiliki artinya masing-masing, sebagai berikut (http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/22#subjekViewTab1|accordion-daftar-subjek2):

1) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.

2) NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.

3) NTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.

4) NTP memiliki kegunaan dan manfaat sebagai berikut

Dari Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian. Dari Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Perkembangan Ib juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan. NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan

(23)

commit to user

76

konsumsi rumah tangga. Angka NTP menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat dilakukan.

Hal ini menunjukkan bahwa dengan terangkatnya harga beras lokal, maka petani dapat memperoleh keuntungan lebih dari produk yang mereka jual, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani lokal. Pembatasan impor beras dapat dikatakan sebagai wujud nyata nasionalisme yang dilakukan pada tingkat pemerintahan, pembatasan impor beras juga mendorong meningkatnya pengembangan produk pertanian yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pemerintah mulai bergerak untuk mendorong petani menanam beras khusus yang mempunyai spesifikasi khusus terutama beras Jepang misalnya untuk restoran Jepang dan kelas tinggi, serta beras yang dipakai untuk industri makanan dan minuman yaitu beras menir atau broken rice (http://m.detik.com/finance/read/2013/ 03/13/102153/2192489/459/). Larangan impor beras saat musim panen di Indonesia tidak melanggar ketentuan WTO karena dikeluarkan untuk melindungi produk beras dan petani dalam negeri karena lonjakan impor yang menyebabkan neraca perdagangan menjadi defisit, serta mendorong pemerintah melakukan evaluasi terhadap pertanian dalam negeri, sehingga dapat dibenahi dan dapat meningkatkan produksi dalam negeri. Pemerintah tidak serta merta menghentikan impor beras secara keseluruhan, melainkan melakukannya secara bertahap guna melatih petani dalam negeri untuk perlahan-lahan memperbaiki kualitas produk domestik.

2. Penyelesaian Keberatan Thailand Atas Larangan Impor Beras Saat Musim Panen di Indonesia

Larangan impor beras saat musim panen di Indonesia diangkat menjadi sebuah permasalahan dalam sidang Agreement on Import Licensing Procedure (ILA) WTO, tanggal 30 April 2009 oleh Thailand yang mengajukan keberatannya atas kebijakan tersebut dan meminta penjelasan tertulis Indonesia akan diberlakukannya larangan impor beras pada saat musim panen dalam kebijakan tata niaga impor Indonesia. Thailand menganggap bahwa kebijakan larangan impor beras pada musim panen demi melindungi petani ini tidak merujuk

(24)

commit to user

77

ketentuan WTO mengenai hambatan non-tarif yang berlaku. Thailand menggunakan haknya sebagai anggota WTO untuk meminta penjelasan atas kebijakan perdagangan Indonesia sesuai ketentuan Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO. Tiap anggota WTO dapat meminta klarifikasi tentang peraturan impor anggota WTO lainnya degan menotifikasi pertanyaan mereka ke Committee on Import Licensing WTO. Anggota yang menerima pertanyaan juga wajib menotifikasi jawaban atau tanggapannya ke Committee on Import Licensing agar semua anggota WTO mengetahuinya. Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO merupakan satu dari tujuh kebijakan yang wajib untuk dinotifikasi dalam ILA, kebijakan tersebut adalah:

a. Publikasi Tata Cara Permohonan Izin (Article 1.4(a))

Setiap anggota harus melakukan notifikasi ke Komite Import Licensing semua sumber informasi terkait dengan publikasi mengenai prosedur perizinan impor dan menyampaikan salinan publikasi tersebut ke Sekretariat WTO.

b. Kuesioner Kebijakan Impor yang Berlaku (Article 7.3)

Setiap anggota WTO harus menyediakan informasi yang mencakup isi kuesioner yaitu, perizinan impor dan prosedur administratif terkait (visa teknis, sistem pengawasan, rancangan patokan harga minimum, dan tinjauan administratif lainnya).

c. Penanda Tangan Tokyo Round (Article 8.2(b))

Tiap anggota WTO harus menginformasikan kepada Komite mengenai segala perubahan undang-undang dan regulasi dimaksud. Notifikasi pertama yang harus dilakukan oleh anggota bukan penandatangan Tokyo Round Code harus memuat teks lengkap undang-undang dan regulasi terkait yang mempunyai relevansi dengan kepentingan anggota lainnya sejak persetujuan WTO mulai berlaku. d. Prosedur Pengajuan Perizinan (Article 5.1-5.4)

Para Anggota yang melembagakan prosedur perijinan atau perubahan-perubahan atas prosedur tersebut harus melakukan notifikasi ke Komite dalam waktu 60 hari sejak dipublikasikan. Notifikasi dimaksud harus memuat informasi yang termasuk dalam daftar sebagaimana diatur dalam Article 5.2 (yakni, daftar produk yang ditataniagakan, kontak point untuk informasi yang absah, instnasi yang memberikan rekomendasi; tanggal dan nama publikasi diterbitkannya

(25)

commit to user

78

prosedur perijinan tersebut; indikasi otomatis tidaknya prosedur perijinan tersebut sesuai definisi Article 2 dan 3; bilamana perijinan itu bersifat otomatis, maka harus ada penjelasan mengenai tujuan dari tataniaga; namun apabila bersifat non-otomatis, maka harus ada penjelasan ketentuan yang diterapkan melalui perijinan tersebut; harus juga diindikasikan jangka waktu pengaturan prosedur perijinan dimaksud yang dapat diperkirakan batas waktunya, namun jika tidak bias maka harus ada penjelasan mengenai alas an tidak adanya informasi yang dapat diberikan). Setiap anggota WTO harus menotifikasi ke Committee on Import Licensing Procedures segala publikasi yang terkait.

e. Notifikasi Kebijakan Impor Negara Lain (Article 5.5)

Setiap Anggota WTO yang beranggapan bahwa Anggota WTO lainnya belum menotifikasikan prosedur tata-niaga atau perubahan terhadap kebijakan tata niaga tersebut menurut Article 5.1 5.3, dapat mengangkat masalah ini untuk meminta perhatian Anggota WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang telah dinotifikasikan.

f. Penundaan Kebijakan Impor WTO (Footnote 5 to Article 2.2)

Catatan kaki (Footnote) No. 5 atas Article 2.2 memungkinkan Negara berkembang yang bukan penandatangan Tokyo Round Code untuk menunda selama tahun, penerapan ketentuan termaktub pada Article 2.2(a)(ii) dan (a)(iii) yang terkait dengan ijin otomatis.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras mengatur bahwa Indonesia tidak menerima impor beras pada masa satu bulan sebelum panen dan dua bulan sebelum panen, hal ini dapat dikatakan sebagai pembatasan jumlah (kuota) beras yang masuk ke Indonesia. Thailand menyebutkan bahwa kebijakan larangan impor beras saat musim panen yang diterapkan oleh Indonesia tidak merujuk pada ketentuan hambatan non-tarif WTO yang berlaku. Ketentuan mengenai hambatan non-tarif dalam WTO yang dapat dijadikan rujukan adalah: a. Article X-3(a) dan X-1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

(26)

commit to user

79

reasonable manner all its laws, regulations, decisions and rulings of the kind described in paragraph 1 of this Article.

Setiap negara anggota harus memberlakukan rezim perizinan impor sesuai dengan kebijakan hukum, administrasi dan regulasi perdagangan WTO. Sedangkan Article XI:1 berbunyi:

whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory

Rezim perizinan impor di WTO menetapkan bahwa pembatasan kuota merupakan larangan pada impor.

b. Article 4.2 Agreement on Agriculture, Pasal ini mengatur tentang negara anggota tidak diperkenankan mempertahankan, terpaksa atau kembali kepada berbagai jenis kebijaksanaan yang diwajibkan untuk dikonversikan kepada tarif, kecuali untuk beberapa hal yang sesuai dengan Article 5 dan Lampiran 5. Kebijaksanaan tersebut meliputi import restrictions, variable import levies, minimum import price, discretionary import licensing, serta kebijaksanaan non-tarif melalui state trading enterprises, voluntary exportrestraints dan kebijaksanaan border lainnya selain tarif, baik kebijaksanaan tersebut dilakukan maupun tidak melalui negara khusus yang dikeluarkan dari ketentuan GATT 1947, tetapi bukan kebijaksanaan yang dikelola sesuai ketentuan balance of payments atau kebijaksanaan umum lainnya, ketentuan khusus non pertanian GATT 1994 atau persetujuan perdagangan multilateral lainnya pada lampiran 1A WTO Agreeement (Soedjono Dirdjosisworo, 2004: 33).

c. Article 1.2, 3.2, dan 3.3 Agreement on Import Licensing Procedures, Article 1.2 tentang ketentuan-ketentuan umum bahwa anggota harus memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan GATT 1994

(27)

commit to user

80

yang relevan, termasuk segala lampiran dan protokolnya, sebagaimana ditafsirkan di dalam Persetujuan ini, dengan tujuan mencegah distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedur-prosedur tersebut yang tidak wajar, dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan kebutuhan keuangan dan perdagangan dari negara anggota. Tidak ada di dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan bermaksud bahwa dasar, ruang lingkup atau masa berlakunya suatu tindakan yang sedang dilaksanakan melalui prosedur perizinan menjadi dipertanyakan menurut Perjanjian ini (Soedjono Dirdjosisworo, 2004: 240).

Article 3.2 tentang Perizinan Impor Non-Otomatis, bahwa perizinan non-otomatis tidak boleh berakibat membatasi atau mengganggu impor yang menambah pembatasan yang sudah ada. Prosedur-prosedur perizinan non-otomatis harus, dari segi ruang lingkup dan masa berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan harus tidak lebih membebankan secara administratif daripada yang sungguh-sungguh perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan.

Article 3.3 tentang Perizinan Impor Non-otomatis, bahwa dalam hal persyaratan perizinan untuk maksud selain pelaksanaan pembatasan kuantitatif, anggota yang bersangkutan harus menerbitkan informasi yang cukup agar anggota lain dan para pedagang dapat mengetahui dasar pemberitahuan dan/atau penjatahan izin yang bersangkutan.

Istilah sengketa internasional (international disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan badan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain (Szasz, 1970: 23). Suatu sengketa perdagangan internasional dapat muncul ketika suatu negara membuat sebuah regulasi atau peraturan yang bertentangan dengan ketentuan WTO. Article XIII menentukan kapan suatu negara peserta dapat menggunakan prosedur penyelesaian sengketa GATT dan WTO guna melindungi kepentingannya. Prosedur ini baru dimungkinkan apabila suatu negara peserta beranggapan bahwa keuntungan yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari

(28)

commit to user

81

perjanjian ini hilang atau terganggu, atau pencapaian salah satu tujuan dari perjanjian ini terganggu sebagai akibat:

a. Kegagalan negara peserta lain untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya menurut perjanjian ini.

b. Penerapan suatu tindakan oleh suatu negara-negara peserta lain apakah itu bertentangan dengan ketentuan perjanjian ini atau;

c. Adanya situasi-situasi lain.

Sistem penyelesaian sengketa yang diatur dalam WTO merupakan hasil dari perundingan Uruguay Round dan merupakan penyempurnaan dari sitem GATT 1947. WTO memiliki sistem untuk menyelesaikan sengketa di antara anggotanya yang dalam banyak hal terbukti unik dan berhasil.Sistem ini terdapat dalam kesepakatan WTO mengenai Penyelesaian Sengketa/ WTO Dispute Settlement Understanding (DSU). Sejak WTO didirikan pada tahun 1995, lebih dari 380 sengketa telah dibawa ke forum Penyelesaian Sengketa WTO. Beberapa dari sengketa tersebut sangat bernuansa politis dan mendapatkan perhatian yang luas dari media. Perlu ditambahkan bahwa anggota negara-negara berkembang telah sering menggunakan sistem ini dalam menyelesaikan sengketa dengan mereka, dan seringkali juga mereka menang dalam sengketa dengan anggota negara-negara maju (Peter Van den Bossche dkk, 2010: 98).

Menurut Article 3.7 DSU, sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa. Sistem ini sangat cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi dari pada proses pengadilan. Hanya jika proses konsultasi gagal, suatu sengketa dibawa ke panel penyelesaian sengketa WTO. Berdasarkan Article 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untuk memelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam lampiran-lampiran Persetujuan WTO (Selanjutnya disebut covered agreements), dan sekaligus menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut. Penjelasan-penjelasan ini harus dilakukan sejalan dengan kaidah-kaidah penafsiran hukum internasional publik, yang oleh Appellate Body di interpretasikan mengacu kepada kaidah penafsiran yang terdapat dalam Article 31 dan 32 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (atau Vienna Convention on the Law of Treaties). DSU

(29)

commit to user

82

mengingatkan, pada Article 3.2 dan 19.2, terhadap tindakan Judical Activism dengan menegaskan dua kali bahwa penyelesaian sengketa WTO tidak boleh menambahkan atau menghapus hak dan kewajiban anggota-anggota WTO.

Sistem penyelesaian sengketa WTO merupakan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan WTO sangat penting dalam rangka penerapan disiplin dan fungsi WTO secara efektif. Dibawah WTO hanya ada satu badan penyelesaian sengketa (DSB=Dispute Settlement Body) mengatur persengketaan yang timbul dari persetujuan yang terdapat pada Final Act. Jadi, dalam hal ini DSB mempunyai otoritas untuk menentukan Panels Adopts dan Appellate Reports, mempertahankan pengawasan dalam penerapan peraturan dan rekomendasi dan member kuasa dalam aturan pembalasan dalam hal-hal non-implementation of Recommendations (Syahmin AK, 2007: 252). Berikut ini adalah tahap-tahap dalam penyelesaian sengketa dagang di dalam WTO:

a. Konsultasi (Concultations)

Konsultasi adalah tahap pertama penyelesaian sengketa dan biasanya berlangsung dalam bentuk yang informal atau negosiasi formal, seperti melalui saluran diplomatik (Article 4 DSU). Konsultasi merupakan proses yang mengikat bagi para pihak karena dimuat dalam DSU dan menjadi peoses pertama sebelum para pihak mengajukan panel untuk menyelesaiakan sengketa. Menurut Article 4 DSU, konsultasi bersifat rahasia dan harus dibuat secara tertulis dan mengemukakan alasan timbulnya sengketa dan dasar hukum untuk pengajuan permohonan untuk konsultasi.

Berdasarkan DSU, terdapat suatu perkembangan baru mengenai penyelesaian sengketa melalui konsultasi (Huala Adolf, 2005: 97). Pertama, DSU memperkenalkan prinsip automatisasi (the principle of automaticity), prinsip ini berarti prosedur penyelesaian sengketa akan terus berlanjut secara otomatis atas dasar permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa. Bahkan, sesuai dengan Article 3 paragraph 3 DSU, pihak negara termohon dapat menghadapi kemungkinan pembentukan suatu badan panel setelah 10 (sepuluh) hari sejak permintaan konsultasi terhadapnya. Kedua, DSU menetapkan jangka waktu 10 (sepuluh) hari bagi termohon untuk memberi jawaban kepada pemohon untuk

(30)

commit to user

83

menyelenggarakan konsultasi. Apabila termohon menerima tawaran untuk berkonsultasi tersebut, maka mereka disyaratkan untuk menyelesaikan sengketanya secara bilateral dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hati) hari sejak permohonan untuk berkonsultasi diterima. Jadi waktu yang digunakan untuk berkonsultasi sejak permohonan konsultasi adalah 60 (enam puluh) hari. Menurut Article 4 paragraph 8 DSU, dalam keadaan darurat misalnya objek permasalahannya adalah barang yang dapat rusak, maka jangka waktunya dapat diperpendek. Dalam keadaan demikian itu, konsultasi dapat dilakukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak permohonan konsultasi dilayangkan. Apabila gagal, para pihak dapat meminta pembentukan panel dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari. Kemudian menurut Article 4 paragraph 11 DSU, pihak ketiga yang mempunyai kepentingan kepentingan di dalam suatu penyelesaian sengketa dapat meminta untuk turut serta dalam konsultasi apabila disetujui oleh kedua belah pihak yaitu pemohon dan termohon.

b. Jasa Baik, Konsiliasi dan Mediasi

Jasa Baik dan mediasi merupakan metode penyelesaian dengan mana negara ketiga memberikan bantuan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai (Chapter II The Hague Conference 1907). Dalam beberapa kasus, pihak yang memberikan jasa baik dapat pula berupa individu atau organisasi internasional. Dalam jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan dilakukannya penyelesaian, tanpa pihak-pihak ketiga itu sendiri secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi sengketa tersebut. Negara penyelenggara jasa baik tidak aktif dalam penyelesaian sengketa (Article X Pact of Bogota). Dalam kasus media, sebaliknya, pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran aktif dan ikut serta dalam negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaian dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak mengikat para pihak.

Istilah konsiliasi (conciliation) dalam arti luas mencakup berbagai ragam metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara lain atau badan penyelidik dan komite penasihat yang tidak berpihak (Dewa Gede Sudika Mangku, 2012: 154). Dalam pegertian sempit, konsiliasi berarti

(31)

commit to user

84

penuerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan tersebut tidak bersifat mengikat.

c. Pembentukan Panel (Establishment of Panels)

Pembentukan panel merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa di WTO apabila proses secara bilateral tidak berhasil. Permohonan pembentukan panel dibuat secara tertulis serta harus mencantumkan pokok-pokok perkara dan pengajuan permohonan untuk pembentukan panel (Article 4 paragraph (4)). Dalam praktik, permohonan tersebut juga mencantumkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam proses konsultasi, menunjukkan upaya atau tindakan suatu negara yang dipersengketakan dan memberikan ringkasan mengenai dasar hukum permohonannya (UNCTAD, 1994: 209).

Menurut Article 8 DSU, panel terdiri dari 3 (tiga) orang yang memiliki latar belakang dan pengalaman menyelesaikan sengketa dagang dalam GATT atau yang pernah mengajar hukum perdagangan internasional. Mereka adalah orang-orang netral yang dipilih bukan dari negara-negara yang sedang bersengketa. Mereka bisa pejabat (biasanya diplomat) atau orang-orang sipil.Sekretariat WTO memiliki nama-nama yang sesuai dengan kriteria tersebut dan dapat mengusulkan nama-nama untuk menyelesaikan suatu sengketa. Apabila para pihak setuju, komposisi panel dapat ditambahi menjadi 5 (lima). Permohonan ini harus dimintakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak pembentukan panel (Article 8 paragraph (5) DSU). Ketika para pihak tidak sepakat dengan komposisi atau susunan panel dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak pembentukannya maka masalah penetapan panel tersebut akan dilakukan oleh Dirjen WTO.

d. Banding (Appelleate Body)

Para pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding terhadap putusan panel. DSU mensyaratkan bahwa banding dibatasi untuk memperjelas interpretasi hukum atas suatu ketentuan atau Pasal dalam perjanjian WTO. Banding tidak dapat diajukan untuk mengubah bukti-bukti yang ada atau bukti baru yang muncul kemudian (Dian Triansjah Djani, 2002: 47). Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 (enam puluh) hari, sejak para pihak memberitahukan secara formal keinginannya untuk banding (Article 17 paragraph (5)). Namun, apabila

(32)

commit to user

85

Badan Banding (Appellate Body) tidak dapat memenuhi batas waktu tersebut maka ia dapat memperpanjang hingga maksimum 90 (sembilan puluh) hari. Untuk itu, ia harus memberitahukannya kepada DSB secara tertulis beserta alasan perpanjangan kapan laporan akan diberikan.

Tiga orang dari tujuh orang anggota tetap Badan Banding akan meneliti setiap adanya permohonan banding. Putusan yang dikeluarkannya dapat berupa penundaan atau perubahan atas suatu putusan panel. Hasil proses pemeriksaan dilaporkan dan disahkan oleh DSB. Namun laporan dan pengesahan keputusan badan banding ini masih tetap dapat dicegah apabila para pihak sepakat untuk tidak dilakukannya pengesahan tersebut (Huala Adolf, 2004: 149). Ada pengecualian mengenai penyelesaian sengketa di WTO bagi negara berkembang, misalnya dalam tingkat banding (Gabrielle Marceau, 2010: 6):

preferences to imports of goods from developing countries and Article VI of the GATS contains similar flexibilities for trade in services. The recent Appellate Body report on EC Generalized System of Preferences (GSP) seems to suggest that such preferences can be conditioned upon the respect of development-related requirements, if applied objectively and fairly. Arguably, access to energy is an inherent part of development and GSP schemes could arguably include energy-related criteria.

e. Pelaksanaan putusan (implementasi) dan rekomendasi

Tahap akhir pada proses ini adalah pelaksanaan putusan atau rekomendasi (Huala Adolf, 2004: 149). Article 21 paragraph (3) DSU menyebutkan bahwa hasil tersebut diserahkan langsung kepada para pihak dan mereka diberi waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melaksanakan putusan dan rekomendasi tersebut. Untuk memastikan agar pihak (yang kalah) melaksanakan rekomendasi atau putusan DSB, Article 21 paragraph (6) menegaskan bahwa DSB akan terus mengawasi pelaksanaan rekomendasi atau putusannya. Article tersebut juga merupakan ketentuan Article baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam GATT. Ketentuan pasal tersebut mencerminkan pula bahwa putusan atau rekomendasi DSB sifatnya mengikat. Dalam Article 22 paragraph (1), apabila para pihak khususnya pihak yang terkena kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, ternyata gagal melaksanakannya maka pihak lainnya dapat meminta wewenang

(33)

commit to user

86

DSB untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pihak lainnya itu. Tindakan kompensasi (ganti rugi) atau penangguhan konsensi atau kewajiban lainnya tersebut sifatnya adalah sementara. Apabila penangguhan ini dimintakan, pihak lainnya dapat menegosiasikannya dalam jangka waktu yang pantas. Namun, apabila dalam jangka waktu yang pantas ini tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat meminta arbitrase untuk menyelesaikannya.

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan bersifat final dan mengikat (N. Rosyidah Rakhmawati, 2006: 154). Arbitrase akan dilakukan oleh anggota-anggota panel yang menangani sengketa tersebut. Atau, apabila tidak tercapai kesepakatan, arbitrator akan ditunjuk oleh Dirjen WTO. Arbitrator bertugas selama 60 hari sejak berakhirnya jangka waktu yang layak tersebut (Article 22 paragraph (6)). Tugas utama arbitrator adalah menentukan apakah penangguhan konsensi atau kewajiban-kewajiban salah satu pihak tersebut pantas atau sebanding dengan kerugian yang dideritanya (Article 22 paragraph (7)).

Telah dipaparkan diatas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan di WTO namun, yang perlu diteliti lebih lanjut adalah, apakah keberatan yang diajukan Thailand atas kebijakan larangan impor beras saat musim panen dalam ketentuan impor dan ekspor Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu sengketa. Setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute) (Much. Ichwan, 2014: 2). Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja mengongat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara. Friedmann membagi sengketa menjadi dua yaitu, sengketa hukum (legal dispute) dan sengketa politik (political dispute). Friedmann mengemukakan bahwa karakteristik sengketa hukum adalah sebagai berikut:

a. Mampu diselesaikan oleh penerapan prnsip-prinsip tertentu dan aturan-aturan hukum internasional.

Gambar

Gambar 1.1 Impor komoditas Dominan Pertanian Tahun 2001-2004
Gambar 1.2 Impor Komoditas Dominan Pertanian Tahun 2005-2009
Gambar 1.4 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2001- 2001-2004
Gambar  2.1  Matriks  Kewajiban  Notifikasi  Agreement  on  Import  Licensing  Procedures WTO
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dengan DP. Pasien Skizofrenia Panti Rehabilitasi Cacat Mental dan Sakit Jiwa Nurussalam Sayung Demak.. Perempuan berusia paruh baya ini diantarkan oleh

Hasil penelitian ini adalah: (1) karakteristik produk modul IPA Terpadu berbasis SETS sebagai berikut: a) berbentuk modul cetak IPA terpadu berbasis SETS dengan

PERJANJIAN SEWA MENYEWA SAWAH MELALUI LISAN DI DESA POTOAN DAYA KECAMATAN PALENGAAN KABUPATEN PAMEKASAN DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM

Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37..

Brown Gibson adalah metode yang digunakan untuk menganalisis alternatif-alternatif lokasi yang dikembangkan berdasarkan konsep “Preferences Of Measurement”,

Potensi Penerimaan PAD Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Pantai (UPTD PPP) Sadeng dan LPPMHP

Fokus tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana masyarakat Kampung Sawah menggunakan sistem marga dan apakah nama marga yang dibangun oleh masyarakat Kampung Sawah Kota

Pemberian ekstrak daun kirinyuh dengan penambahan ekstrak daun salam sebagai insektisida selama 24 jam terhadap mortalitas nyamuk Aedes aegypti yang paling efektif