• Tidak ada hasil yang ditemukan

Final Report Penilaian dan Pemetaan Konflik Tenurial: Studi Kasus Pemetaan Partisipatif Batas Desa Pangkalan Bulian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Final Report Penilaian dan Pemetaan Konflik Tenurial: Studi Kasus Pemetaan Partisipatif Batas Desa Pangkalan Bulian"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Final Report

Penilaian dan Pemetaan Konflik Tenurial: Studi Kasus

Pemetaan Partisipatif Batas Desa Pangkalan Bulian

(Report on land tenure assessment and mapping of claims of the local

population and local partners in selected pilot areas)

Gamin, Mohammad Sidiq, Berthold Haasler dan Yoga Travolindra

Kontributor: Working Group Tenure (WGT)

(2)

Kata Pengantar

Laporan ini disusun sebagai dokumen verifikasi untuk Tujuan Spesifik/Output-2 (Working Package 2): “Perancangan proses perencanaan yang partisipatif dan transparan serta pengambilan keputusan untuk pemilihan dan pengelolaan kawasan lindung”, dan sebagai laporan capaian Kegiatan Utama 2.1: “Mendukung berbagai dialog multi-stakeholder di tingkat lokal untuk penentuan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi serta penentuan batas-batas wilayahnya”, Sub–Kegiatan 2.1.2 “Penilaian konflik lahan dan pemetaan lahan kepemilikan (analisa pemegang hak dan stakeholder) dari masyarakat setempat dan partner lokal di area yang dipilih”.

Laporan ini merupakan kompilasi dari dua kegiatan yang saling melengkapi, yakni Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) untuk Fasilitator mengenai Pemetaan Konflik, yang dilaksanakan pada tanggal 24–29 November 2014 di Pusat Pendidikan dan pelatihan Kehutanan Bogor; dan Pemetaan Partisipatif dengan Pendekatan Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), yang dilaksanakan pada tanggal 5–14 Mei 2015 studi kasus di Desa Pangkalan Bulian Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Laporan ini berisi tentang proses dan hasil Pemetaan Partisipatif untuk Penilaian Tenurial dan Pemetaan Klaim atas Lahan, yang meliputi identifikasi sistem tenurial, pengguna dan pemanfaatan sumberdaya alam; kebijakan-kebijakan terkait; analisis aktor dan analisis kekuasaan.

Pendapat, pandangan dan rekomendasi yang disampaikan pada laporan ini adalah pendapat, pandangan dan rekomendasi dari penulis dan tidak mencerminkan pendapat resmi dari BMUB dan/atau GIZ.

Palembang, Juni 2015 Tim Penyusun

(3)

Singkatan/Akronim

BIOCLIME Biodiversity and Climate Change Project

Proyek Biodiversitas dan Perubahan Iklim

CBFM Community Based Forest Management

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

CLAPS Penilaian Sumber Penghidupan Masyarakat dan Penyaringan Produk

FAO Food and Agriculture Organization

Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pangan dan Pertanian

HHBK Non-Timber Forest Products

Hasil Hutan Bukan Kayu

KK Househould

Kepala Keluarga

KPHL Protection Forest Management Unit

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung

KPHP Production Forest Management Unit

Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi

KTH Forest Farmer Group

Kelompok Tani Hutan

MA&D Market Analysis and Development

(4)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... i

Singkatan/Akronim ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel... iv Daftar Gambar ... v 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 1 1.3. Manfaat ... 2 2 METODOLOGI ... 3 2.1. Kerangka Pendekatan ... 3

2.2. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ... 4

2.3. Pengumpulan Data ... 4

2.4. Analisis Data ... 5

3 DIKLAT PEMETAAN KONFLIK ... 6

3.1. Peserta DIKLAT ... 6

3.2. Pelaksanaan DIKLAT ... 7

3.3. Ringkasan Materi DIKLAT ... 7

4 STUDI KASUS PEMETAAN PARTISIPATIF DESA PANGKALAN BULIAN ... 11

4.1. Letak Geografis ... 11

4.2. Kondisi Umum Wilayah Desa Pangkalan Bulian ... 11

4.3. Sejarah Penguasaan Lahan di Desa Pangkalan Bulian ... 12

4.4. Aktor-aktor yang Berkepentingan terhadap lahan Desa Pangkalan Bulian ... 15

4.5. Peraturan yang Tersedia... 19

4.6. Sketsa Batas Desa Pangkalan Bulian ... 22

5 REKOMENDASI ... 24

(5)

Daftar Tabel

Tabel 1 Peserta Pendidikan dan Pelatihan Pemetaan Konflik di PUSDIK Kehutanan Bogor pada Tanggal 24-29 November 2014. ... 6 Tabel 2 Aktor-aktor yang berkepentingan di Desa Pangkalan Bulian dan

kondisinya. ... 15 Tabel 3 Koordinat titik-titik batas desa yang dikunjungi di lapangan ... 22

(6)

Daftar Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir Pemetaan Partisipatif Desa ... 3 Gambar 2 Teknik pengumpulan data dengan pendekatan partisipatif bersama

warga Desa Pangkalan Bulian, KPH Meranti, dan Dinas Kehutanan Sumsel ... 5 Gambar 3 DIKLAT Pemetaan Konflik untuk para fasilitator yang diselenggarakan

di Pusat Diklat Kehutanan pada tanggal 24-29 November 2014. ... 7 Gambar 4 Materi analisis gender dalam pengelolaan konflik sumberdaya alam. ... 8 Gambar 5 Materi pemetaan aktor dengan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA). ... 10 Gambar 6 Tim Kader Ahli (Fasilitator Daerah) untuk pemetaan konflik di

Sumatera Selatan. ... 10 Gambar 7 Letak geografis Desa Pangkalan Bulian. Dipetakan dari data spasial

desa BPS (2006) ... 11 Gambar 8 Desa Pangkalan Bulian Kec. Batanghari Leko Kab. Musi Banyuasin... 12 Gambar 9 Penelusuran sejarah penguasaan lahan di Desa Pangkalan Bulian

Bersama penduduk desa... 14 Gambar 10 Penelusuran batas-batas penggunaan lahan di Desa Pangkalan Bulian

dengan menggunakan sketsa desa. ... 14 Gambar 11 Peta aktor terkait lahan di Pangkalan Bulian dan hubungannya ... 17 Gambar 12 Salah satu tokoh masyarakat di sekitar Desa Pangkalan Bulian

(urutan ketiga dari kanan) yang dikonfirmasi mengenai batas marga di wilayah desa yang langsung berbatasan dengan Desa Pangkalan Bulian ... 17 Gambar 13 Pengecekan patok batas antar desa di wilayah Desa Pangkalan

Bulian ... 19 Gambar 14 Salah satu bukti surat keterangan penyerahan hak waris yang diakui

oleh keturunan marga di Desa Pangkalan Bulian ... 20 Gambar 15 Konfirmasi mengenai ketepatan batas-batas desa dalam sketsa batas

(7)

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan tenurial yang sering menyebabkan terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan sampai saat ini belum tertangani dengan baik. Pemetaan konflik secara tepat dan obyektif dirasa perlu dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan penyelesaian konflik secara menyeluruh dan adil. Para fasilitator, termasuk wakil dari masyarakat perlu memahami konflik tenure kehutanan secara tepat dan obyektif perlu dimiliki dan dikuasai para pihak sebagai cara untuk mendapatkan model penyelesaian konflik yang menyeluruh dan adil bagi para pihak yang terlibat konflik.

Sebuah studi kasus pemetaan partisipatif di tingkat desa telah dilakukan oleh GIZ BIOCLIME di Desa Pangkalan Bulian. Secara administratif, Desa Pangkalan Bulian terletak di Kecamatan Batanghari Leko Kabupaten Musi Banyuasin; dan secara geografis terletak di dalam kawasan KPHP Meranti, kawasan KPHK Dangku, dan berbatasan dengan beberapa areal perusahaan, yaitu Izin Usaha Pemanfaataan Hutan Tanaman Industri PT. SBB dan PT. Pakerin; perusahaan Minyak dan Gas PT. Chonoco Phyllips. Desa Pangkalan Bulian menjadi lokus untuk kegiatan ini karena Desa Pangkalan Bulian menjadi salah satu desa pilot project.

Studi kasus ini menerapkan metode Penilaian Secara Cepat Penguasaan Lahan/Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) sebagaimana yang diajarkan dalam Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Kehutanan di Bogor. Pendekatan RaTA digunakan untuk memetakan obyek tentang tanah, hutan, penggunaan lahan dan lain sebagainya; memetakan sejarah tentang bagaimana suatu kelompok masuk ke dalam wilayah hutan dan tanah/lahan; memetakan siapa saja aktor (subjek) yang memiliki klaim atas hutan dan tanah/lahan; mendesktipsikan bagaimana aturan adat atau negara mengaturnya; mendeskripsikan bagaimana hubungan para pihak terhadap hutan dan tanah/lahannya; serta melihat apa yang dimungkinkan dan apa yang tidak dimungkinkan dari situasi masalah konflik tenurial yang ditemukan. Kegiatan pemetaan dilakukan oleh beberapa fasilitator yang telah mendapatkan DIKLAT Pemetaan Konflik di PUSDIKLAT Kehutanan Bogor, dengan melibatkan perwakilan masyarakat, untuk membuat peta dasar/sketsa desa, pemetaan penggunaan lahan saat ini, serta penilaian tenurial dan klaim atas lahan di tempat atau wilayah desa.

Dari studi kasus ini hanya terbatas pada identifikasi awal dan pemetaan satu wilayah desa secara partisipatif dengan harapan pihak desa, kecamatan, dan pemerintah kabupaten dapat menggunakan hasilnya sebagai referensi untuk mendorong efektifnya upaya penyelesaian konflik bats desa dan konflik penggunaan lahan.

1.2. Tujuan

Tujuan utama kegiatan pemetaan partisipatif batas Desa Pangkalan Bulian adalah:

1. Pada tahap DIKLAT kegiatan ini bertujuan memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap, kepada para pemangku kepentingan tentang pemetaan konflik, analisis penyelesaian konflik dan pendokumentasian data konflik. Setelah mengikuti diklat ini diharapkan seluruh peserta mampu memetakan konflik sehingga dapat digunakan sebagai tahapan untuk melakukan resolusi konflik.

(8)

2. Pada tahap pelaksanaan STUDI KASUS kegiatan ini bertujuan untuk:

2.1. memetakan obyek tentang tanah, hutan, penggunaan lahan saat ini dalam bentuk sketsa Desa Pangkalan Bulian.

2.2. memetakan sejarah tentang bagaimana suatu kelompok masuk ke dalam kawasan hutan dan tanah/lahan di wilayah Desa Pangkalan Bulian. 2.3. memetakan siapa saja aktor (subjek) yang memiliki klaim atas hutan dan

tanah/lahan dan bagaimana hubungan para pihak terhadap hutan dan tanah/lahannya.

2.4. mengkaji bagaimana aturan adat atau negara mengatur sistem tenurial dan mengkaji apa saja yang dimungkinkan dan apa yang tidak dimungkinkan dari situasi masalah konflik tenurial yang ditemukan.

1.3. Manfaat

Hasil kegiatan ini berupa data dan informasi dasar wilayah desa dan sumberdaya lahan dan hutan sebagai sumber ferefensi awal mengenai batas wilayah desa, penggunaan lahan, pemetaan konflik tenurial, dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat setempat mengenai batas wilayah desa dan hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam.

(9)

2 METODOLOGI

2.1. Kerangka Pendekatan

Kerangka pendekatan kegiatan pemetaan ini menggunakan desain partisipatif, dengan metode Rapid Land Tenure Assessment (RaTA). Pendekatan ini dipilih berdasarkan pertimbangan, bahwa data dikumpulkan melalui keterlibatan penuh masyarakat desa dalam menentukan temuan-temuan di lapangan untuk proses pemetaan. Selanjutnya data/informasi tersebut didiskusikan bersama masyarakat melalui Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka memahami obyek pemetaan wilayah desa serta sumberdaya lahan dan hutan. di wilayah Desa Pangkalan Bulian.

Gambar 1 Kerangka Pikir Pemetaan Partisipatif Desa

Kerangka pendekatan pemetaan partisipatif ini (Gambar 1) dinarasikan sebagai berikut. Untuk mengenali obyek, sejarah, aktor, hubungan antar aktor dan situasi masalah konflik penguasaan tanah, pemetaan ini mengacu pada manual RaTA (Penilaian Cepat atas Penguasaan Tanah) bahwa pemetaan wilayah seperti halnya wilayah desa yang berkaitan dengan penguasaan tanah perlu digali dengan

(10)

cara pembacaan umum tentang penggunaan tanah dan konflik, analisis aktor, bermacam bentuk klaim historis dan klaim legal yang ditemukan, hubungan di antara klaim-klaim itu terhadap kebijakan dan beberapa hukum tanah (adat, agama, dll.), dan mekanisme pemecahan konflik (Galudra et al. 2013). Lebih lanjut, data/informasi dari lapangan dikaji dengan menggali informasi secara langsung melalui para pelaku, di wilayah desa dan mengamati situasi lingkungan sosial budaya setempat.

Pada tatanan pelaksanaannya, kegiatan ini dilaksanakan dalam dua tahap untuk saling melengkapi. Tahap pertama adalah pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) untuk para calon fasilitator lapangan tentang materi Pemetaan Konflik berbasis metode Rapid Land Tenure Assessment (RaTA). Tahap kedua adalah pelaksanaan kegiatan pemetaan partisipatif di tingkat desa Pilot Project. 2.2. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Berdasarkan tahapan pelaksanaannya, kegiatan pemetaan partisipatif ini dilaksanakan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Pemetaan Konflik dilaksanakan pada tanggal 24-29 November 2014. Diklat dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Bogor dengan kegiatan praktek lapang berlokasi di Desa Kiarasari Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.

2. Kegiatan pemetaan partisipatif dilaksanakan pada tanggal 5–14 Mei 2015 di Desa Pangkalan Bulian, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dimulai dari persiapan, kegiatan pengumpulan data di lapangan hingga penyelesaian peta partisipatif.

2.3. Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data difokuskan pada data penguasaan lahan dengan metode RaTA dan data distribusi sumberdaya lahan dan hutan, khususnya data Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Mengacu pada Galudra et al. (2013, ) setidaknya dengan metode RaTA ini dilakukan enam tahap penggalian data/informasi, yakni: (1) penempatan lokasi potensial, (2) dimensi/sejarah persaingan klaim, (3) analisis aktor, (4) penilaian: individu, kelompok, pemerintah dan pihak lain (pengetahuan asli, klaim hukum yang dirasakan, hukum adat, dll), (5) penelitian kebijakan: keputusan, hukum-hukum, peraturan, dll, dan (6) pilihan kebijakan/intervensi.

Pengumpulan data diawali dengan sosialisasi, diskusi kelompok terfokus (FGD). Dalam diskusi terfokus dilakukan pembuatan skets wilayah dan batas desa beserta penguasaan lahannya (tahap 1), penelusuran alur sejarah desa dan penguasaan lahan (tahap 2), identifikasi dan pemetaan para pihak yang berkepentingan terhadap lahan (tahap 3), serta identifikasi sebaran HHBK.

Berdasarkan data awal yang didiskusikan bersama masyarakat desa kemudian dilakukan pengecekan ke lapangan. Kegiatan pengecekan lapangan dilakukan terhadap batas-batas desa, bukti klaim lapangan terkait sejaran pemukiman masyarakat seperti makam leluhur, bekas pemukiman, serta lokasi habitat HHBK. Pendalaman informasi, pemahaman dan pandangan dari individu masyarakat, kelompok, pemerintah (tahap 4) dilakukan selama kegiatan. Sedangkan kajian kebijakan (tahap 5) dan penelusuran alternatif kebijakan (tahap 6) dilakukan melalui studi pustaka.

(11)

Gambar 2 Teknik pengumpulan data dengan pendekatan partisipatif bersama warga Desa Pangkalan Bulian, KPH Meranti, dan Dinas Kehutanan Sumsel

2.4. Analisis Data

Analisis RaTA digunakan untuk melihat penguasaan lahan di desa Pangkalan Bulian menjadi lebih jelas. Dengan menggunakan analisis RaTA pemetaan partisipatif ini bertujuan untuk: 1) menjelaskan pandangan umum tentang penggunaan lahan dan konflik yang menghubungkannya pada konteks tertentu misalnya politik, ekonomi, lingkungan, 2) mengidentifikasi dan menganalisis aktor, 3) mengidentifikasi berbagai bentuk pemahaman sejarah dan klaim legal oleh para aktor, 4) mengidentifikasi kelembagaan dan peraturan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan menganalisa hubungan berbagai klaim dengan kebijakan dan kebiasaan (customary) peraturan akan lahan, dan 5) mendeterminasikan pilihan kebijakan/campurtangan terhadap mekanisme resolusi konflik (Galudra et al. 2013).

(12)

3 DIKLAT PEMETAAN KONFLIK

3.1. Peserta DIKLAT

Diklat diikuti oleh 25 orang peserta yang berasal dari KPH, Dinas Kehutanan, Balai KSDA, BP4K, Perguruan Tinggi, Perusahaan, LSM dan Pengurus Desa yang berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1 Peserta Pendidikan dan Pelatihan Pemetaan Konflik di PUSDIK Kehutanan Bogor

pada Tanggal 24-29 November 2014.

No Nama Jenis Kelamin Asal Instansi

1 Tri Yulisman Eka Putra Laki-laki BP4K Musi Banyuasin 2 Fatkhur Rozi Laki-laki Desa Karang Panggung

3 Yendra Laki-laki Desa Karang Panggung

4 Afrianto Laki-laki Desa Pangkalan Bulian

5 Zaibani Laki-laki Desa Pangkalan Bulian

6 Hairul Sani Laki-laki Dishut Kab. Muba

7 Maryanta Laki-laki Dishut Kab. Musi Rawas

8 Hendrizal Laki-laki Dishut Provinsi Sumsel

9 Elvis Hitijahubessy Laki-laki KOMDA APHI Sumsel

10 Beni Anton Laki-laki KPH Rawas

11 Andriansyah Laki-laki KPHK Bangku Bentayan

12 Udi Setiawan Laki-laki KPHL Banyuasin

13 Yosua Rizki D.S. Laki-laki KPH Benakat Bukit Cogong

14 Abdul Muzawir Laki-laki KPH Lakitan

15 Angga Saputra Laki-laki KPH Meranti

16 Husni Zahir Fahmi Laki-laki LP Hutan Desa Kepayang 17 Dedi Zulkarnain Laki-laki Sekretaris HD Kepayang

18 Awalni Laki-laki Organisasi Pemuda Langit

Biru

19 Noorman A. Tjegame Laki-laki Simpul Jaringan Kerjasama Pemetaan Partisipatif (JKPP)

20 Asvic Helida Laki-laki UMP Palembang

21 Yulian Junaidi Laki-laki Universitas Sriwijaya

22 Beni Hidayat Laki-laki HaKI

23 Yetty Hastiana Perempuan UMP Palembang 24 Dede Wahyu Rahayu Perempuan KPH Lalan

(13)

3.2. Pelaksanaan DIKLAT

Pembukaan Diklat Pemetaan Konflik dilakukan oleh Bapak Agus (Kepala Bidang) yang didampingi oleh Bapak Iman Santoso (Koordinator WG-Tenure) dan Bapak Berthold Haasler (Team Leader GIZ-Bioclime). Acara ini dihadiri oleh jajaran Pusdiklat Kehutanan, Bapak Asep Yunan Firdaus (Sekretaris Badan Pengurus WG-Tenure), Ibu Wardah (GIZ BIOCLIME), Ibu Endang (Bagian Kerjasama Pusdiklathut), Bapak Dwi Rahmanendra (Widyaiswara Pusdiklathut), Ibu Widi (GIZ-Bioclime) dan Para Peserta Diklat.

Diklat Pemetaan Konflik terbagi menjadi dua sesi yaitu sesi pembelajaran teori/materi kelas yang berlokasi di Pusat Diklat Kehutanan dan sesi praktik lapang yang dilaksanakan di empat dusun (Pasir Bendera, Cibuluh 1, Cibuluh 2 dan Gunung Leutik) Desa Kiarasari Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.

Praktik lapang peserta di keempat dusun yang telah disebutkan diatas dilakukan dengan metode FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (depth interview) kepada masyarakat termasuk didalamnya para tokoh masyarakat dan kelompok ibu-ibu (terkait informasi seputar gender). Dalam sesi praktek ini peserta mencoba untuk mengaplikasikan beberapa materi kelas yang telah diberikan sebelumnya, meliputi RaTA, AGATA, Pendokumentasian data konflik, dan Analisis Gender.

Gambar 3 DIKLAT Pemetaan Konflik untuk para fasilitator yang diselenggarakan di Pusat Diklat Kehutanan pada tanggal 24-29 November 2014.

3.3. Ringkasan Materi DIKLAT

Sejauh ini persoalan konflik tenurial kehutanan masih banyak yang belum menemukan pola-pola penyelesaiannya. Di Provinsi Sumsel khususnya di empat kabupaten yang menjadi lokasi proyek Bioclime seperti Kab. Banyuasin, Kab. Muba, Kab. Mura dan Kab. Muratara, menunjukkan bahwa di banyak tempat di kawasan

(14)

hutan masyarakat secara de facto menguasai tanah-tanah dan sumberdaya alam meskipun tanpa perlidungan hukum. Ada kegiatan perambahan dan ada kegiatan pembalakan liar. Selain itu kawasan hutan produksi dan hutan lindung dirambah dan belum mampu dicegah; dan terjadi konflik lahan antara pemegang IUPHHK dengan masyarakat.

Suatu pendalaman dari metode Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) dapat digunakan untuk memetakan konflik untuk memfasilitasi resolusi konflik. Selain itu Analisis Gaya Bersengketa (AGATA) dapat digunakan untuk memetakan para pihak berikut sikapnya dalam menghadapi konflik. Lebih lanjut analisis kebijakan akan digunakan untuk mengetahui pilihan intervensi (mekanisme penyelesaian konflik). Pendekatan-pendekatan ini dapat membantu para pihak memperoleh pengetahuan yang memadai tentang anatomi sebuah konflik menyangkut tanah di suatu tempat, sekaligus membuka jalan bagi penyelesaian yang adil dan permanen.

Gambar 4 Materi analisis gender dalam pengelolaan konflik sumberdaya alam.

Dengan menggunakan metode RATA, AGATA, HuMa-Win, dan Analisis Gender hasil assessment dan analisa tenurial akan memberikan gambaran tentang:

(1) Identifikasi penguasaan tahan/land tenure (tata kuasa). Gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak-pihak lainnya dalam suatu wilayah.

(2) Identifikasi alokasi lahan (tata kelola). Analisa ini untuk memahami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga menurut masyarakat setempat akan alokasi atau rencana pengelolaan wilayah tersebut. (3) Identifikasi ijin- ijin (tata ijin),yaitu ijin yang dikeluarkan di wilayah

tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah dan bahkan oleh masyarakat setempat

(15)

(4) Identifikasi wilayah kelola masyarakat, yaitu sketsa peta yang mengidentifikasi batas –batas kampung/desa dan atau batas wilayah adat.

(5) Identifikasi para pihak yang memiliki kepentingan serta gaya mereka dalam merespon permasalahan yang ada.

(6) Dokumentasi data-data dalam Database (HuMA-win)

Materi DIKLAT Pemetaan Konflik yang diselenggarakan di PUSDIKLATHUT Bogor pada tanggal 24–29 November 2014 berisi pengetahuan dasar tentang konflik pengelolaan sumber daya hutan, analisis konflik, pemetaan respon para pihak menuju resolusi konflik serta pendokumentasian data konflik, sebagai berikut:

#1. Kebijakan Kehutanan terkait Tenurial (Dr. Iman Santoso): Mengajarkan gambaran kebijakan kehutanan tentang penguasaan lahan dan peraturan perundangan lain yang terkait.

#2. Bina Suasana Pelatihan (Elok Budiningsih, Widyaiswara PUSDIKLATHUT): Bertujuan menciptakan suasana yang kondusif dalam proses pembelajaran yang meliputi perkenalan, kerjasama dan kreativitas.

#3. Kecerdasan Spiritual (Burhanudin JP, Widyaiswara PUSDIKLATHUT): Bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peserta diklat agar memahami siapa dirinya, berasal dari mana dan tujuannya mau kemana. Hal-hal yang dibahas meliputi pengertian dan makna kecerdasan spiritual, berbagai kecerdasan manusia (IQ, EQ, CQ, dan SQ), sinergitas IQ-EQ-SQ dan implementasi Sembilan Nilai Dasar Rimbawan.

#4. Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Andiko, SH, MH): Memaparkan penjelasan tentang definisi konflik dan kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia.

#5. Analisa Sosial (Usep Setiawan): Berisi penjelasan kerangka analisis sosial berbagai unsur masyarakat, cara pemetaan sosial di masyarakat, serta beberapa hal yang perlu dimiliki oleh assessor yang berkaitan dengan konflik.

#6. Rapid Land Tenure Assesment/RaTA (Ir. Martua T. Sirait, M.Sc): Merupakan suatu panduan praktis dan cepat dalam memahami tumpang tindih klaim atas sistem penguasaan tanah (land tenure).

#7. Analisis Gender dalam Pengelolaan Konflik SDH (Ir. Nani Saptariani): Memberikan penjelasan tentang define gender dalam masyarakat dan kaitannya dengan pengelolaan konflik sumber daya hutan.

#8. Analisis Gaya Bersengkata/AGATA (Dr. Gamin): Merupakan alat bantu untuk memeriksa sikap (gaya) para pihak dalam menghadapi sengketa.

#9. Perangkat Pengelolaan Data Konflik/Huma-win (Agung Wibowo, S.Hum): Huma-win adalah aplikasi sistem database konflik yang dibangun berdasarkan sistem operasi yang kompatibel dengan Windows. Database sebagai perangkat pencatatan terutama diperlukan bilamana kita harus menangani data dalam jumlah besar, yang sudah tidak mungkin lagi dapat ditangani hanya dengan mengandalkan daya ingat atau pencatatan sederhana. Melalui perangkat database ini data konflik menjadi lebih mudah diolah, dipelajari dan disimpulkan.

(16)

#10. Pengumpulan Data dengan RaTA dan Analisis Gender (Ir. Martua T. Sirait, M.Sc): Praktek di lapangan untuk mencoba mengumpulkan data dan mengaplikasikan materi teori terkait RaTA dan Analisa Gender.

#11. Memetakan Para Pihak dengan AGATA (Dr. Gamin): Praktek yang mencoba mengaplikasikan teori AGATA dalam memetakan obyek dan subyek konflik. #12. Mendokumentasikan Data Konflik (Agung Wibowo, S.Hum): Praktek

mendokumentasikan data konflik menggunakan aplikasi Huma-win berdasarkan data lapangan yang telah diambil pada saat kunjungan ke lokasi praktek lapang.

Gambar 5 Materi pemetaan aktor dengan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA)

Gambar 6 Tim Kader Ahli (Fasilitator Daerah) untuk pemetaan konflik di Sumatera

(17)

4 STUDI KASUS PEMETAAN PARTISIPATIF DESA PANGKALAN BULIAN

4.1. Letak Geografis

Desa Pangkalan Bulian Merupakan Salah satu Desa dari 16 Desa di wilayah Kecamatan Batang Hari Leko Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, berjarak 11 Km ke Kecamatan, 97 Km Ke Kabupaten, dan 206 Km Ke Provinsi. Letak geografis desa ini berkisar pada posisi 103°25’ BT sd 103°38’ BT dan berkisar antara 02°20’ LS hingga 02°38’ LS. Desa ini berbatasan dengan Sungai Bayat di sebelah utara, Desa Keban dan Desa Sungai Angit di sebelah selatan, Desa Ulak Kembang, Talang Buluh, dan Tampang Baru di sebelah timur, serta berbatasan dengan Desa Lubuk Bintialo dan Sungai Bayat Hulu di sebelah barat.

Gambar 7 Letak geografis Desa Pangkalan Bulian. Dipetakan dari data spasial desa BPS (2006)

4.2. Kondisi Umum Wilayah Desa Pangkalan Bulian

Desa Pangkalan Bulian mempunyai Luas 60.118 Ha. Luas tersebut meliputi 20 % Hutan Lindung (HL) dan 15 % Hutan Suaka Alam dan 65 % Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Pada 2015 ini desa Pangkalan Bulian memiliki penduduk 3100 jiwa dengan 732 kepala keluarga yang tinggal dalam empat dusun yakni Dusun I, Dusun II, Dusun III dan Dusun IV. Pendidikan warga masyarakat di sini dari tamat SD hingga tamat S2 telah ada. Penduduk Pangkalan Bulian menganut agama Islam, Kristen Katholik dan sebagian Kristen Protestan.

(18)

Lembaga adat yang diakui masyarakat adalah ex-marga yang hingga saat ini menjadi sandaran informasi terutama terkait batas antar desa. Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah bertani dengan tingkat kesejahteraan sedang. Peran perempuan dalam perekonomian adalah menyadap karet, membersihkan kebun, dan membuat kerajinan.

Iklim Desa Pangkalan Bulian sebagaimana dengan desa – desa lainnya yang berada di wilayah Indonesia mempunyai iklim penghujan dan Kemarau, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di desa pangkalan Bulian Kecamatan Batang Hari Leko.

Gambar 8 Desa Pangkalan Bulian Kec. Batanghari Leko Kab. Musi Banyuasin 4.3. Sejarah Penguasaan Lahan di Desa Pangkalan Bulian

Sebelum tahun 1908 di terdapat beberapa puyang yang pindah dari Jambi yaitu, Puyang Rebuk & Puyang Ranting yang merupakan pendiri utama dari Desa Pangkalan Bulian. Perpindahan para puyang saat itu adalah mencari pemukiman baru, yakni pada wilayah Batang Hari Leko, untuk menghindari Belanda. Adapun marga yang terdapat pada Desa Pangkalan Bulian yaitu : 1) Marga Sulai, 2) Marga Medang besar, 3) Marga Betung Tengah, 4) Marga Ikan Lebar, 5) Marga Durian Daun, dan 6) Marga Batang Hari Leko. Marga pada saat itu adalah pemerintahan setingkat camat pada saat ini. Saat itu, 3 pemukiman belum diakui Belanda karena mempertahankan adat dan tidak ikut aturan Belanda yang pada saat itu di pimpin oleh Depati Umar (Puyang Sirah). Puyang Sirah kemudian digantikan oleh anaknya (Pembarop Atip) yang menjadi pemimpin masyarakat, namun tidak juga diLantik oleh Belanda. Pembarep Atip kemudian digantikan lagi oleh Mas Tayib selaku Menantu Depati Umar.

Kepindahan pemukiman dari Durian Daun ke Batang Hari Leko dan Pangkalan Bulian, saat itu diminta Belanda. Adapun alasan Belanda memindahkan desa dari desa Durian Daun lalu ke Pangkalan Bulian tujuannya adalah untuk membuat pelabuhan/pangkalan jalan minyak di Manggul, Beruang Berani dan

(19)

seterusnya. Saat ini aset dari Belanda seperti jalur minyak, gedung, pemukiman tinggal bekas-bekasnya karena dirusak oleh warga dan TNI. Perusakan aset-aset Belanda tersebut dimaksudkan agar Inggris tidak masuk ke wilayah Pangkalan Bulian.

Saat itu bila masyarakat bersedia pindah pemukiman dari Durian Daun ke Pangkalan maka Belanda berjanji akan melantik Depati Atip, namun lagi-lagi Belanda ingkar janji. Setelah pindah dan Depati Atip tidak dilantik, dipilihlah Mas Tayib sebagai pemimpin masyarakat, namun tidak dilantik juga oleh kolonial Belanda. Pimpinan selanjutnya dipilihlah Depati Manan sebagai Pesirah I yang di sahkan oleh Belanda.

Pada periode 1908 sampai 1945, ada pesirah yang dilatih untuk menanam karet oleh Belanda dengan menggunakan bibit karet dari Brazil yang sampai saat ini masih ada bekas tanaman. Hingga kini lahan yang ada karet yang ditanam para puyang diakui sebagai tanaman warga masyarakat pada tanah puyangnya.

Periode tahun 1958 sampai dengan tahun 1973 warga mulai menanam karet di kawasan hutan. Pada tahun 1974 dilakukan kegiatan validasi luas desa. Dokumen-dokumen tanah yang dimiliki warga seperti SPH, bukti pesirah dan lainnya dibawa oleh BPN. Hingga saat ini dokumen-dokumen tanah tersebut tidak pernah kembali dan tidak pernah ada kabar beritanya.

Pada tahun 1984 marga dihapus kemudian diganti menjadi desa Dengan status desa ini, kemudian juru tulis masyarakat/penduduk desa diangkat menjadi kepala desa.

Pada tahun 1997 sampai pada tahun 1998 ada kegiatan suling minyak (tanah) untuk bahan baku obor dan lampu bagi pekerja chainsaw dan logging. Pada tahun ini terjadi kebakaran hebat hampir seluruh lahan sehingga mengakibatkan kebun-kebun karet dan durian mati. Akibat matinya kebun karet dan kebun durian warga yang ditanam dalam kawasan hutan adalah warga sekarang kesulitan membuktikan klaim lahan berdasarkan tanamannya. Kebakaran ini disinyalir berasal dari pembakaran lahan perusahaan.

Kemudian pada tahun 2005 Menteri Kehutanan memplot daerah pangkalan bulian sebagai hutan kawasan. PT. SBB, sebuah perusahaan yang bergerak pada Hutan Tanaman Industri (HTI), diketahui mulai hadir pada tahun 2011. Pada tahun 2013 dibentuklah Hutan Lindung Meranti Sungai Merah.

Kehadiran kawasan hutan, PT.SBB dan hutan lindung di wilayah Desa Pangkalan Bulian ini mulai mengusik ketenangan warga masyarakat. Warga yang telah memiliki garapan yang diperkirakan berada di dalam kawasan hutan sedikit tidak tenang dan memendam pertanyaan akan kepastian nasibnya.

Dari penelusuran sejarah ini dapat dianalisis bahwa sejak sebelum 1908 wilayah Pangkalan Bulian awalnya dikuasai oleh para puyang yang menghindar dari kekuasaan Belanda namun Belanda kemudian juga berkuasa hingga Panggalan Bulian. Warga menguasai lahan dengan menanam durian dan karet termasuk dalam kawasan hutan. Setelah Belanda tidak ada, pada era orde baru, struktur pemerintahan marga mulai dihilangkan oleh pemerintah RI kemudian diganti dengan Desa pada 1984. Penguasaan lahan oleh masyarakat mulai dibatasi oleh kekuasaan orde baru melalui BPN dengan adanya validasi luas desa pada 1973/1974 hingga pengambilan dokumen-dokumen pertanahan yang ada. Pada 1997-1998 perusahaan dirasakan mulai ikut menguasai lahan Pangkalan Bulian dengan adanya pembukaan lahan dengan dibakar. Kehutanan mulai menguasai kembali lahan pada 2005 dengan mengeplotkan kawasan hutan. Penguasaan ini

(20)

disusul PT SBB pada 2011 dan Kehutanan dalam hal ini KPHP Meranti pada 2013 dengan menetapkan HL Meranti Merah sebagai wilayahnya.

Gambar 9 Penelusuran sejarah penguasaan lahan di Desa Pangkalan Bulian Bersama penduduk desa

Gambar 10 Penelusuran batas-batas penggunaan lahan di Desa Pangkalan Bulian dengan menggunakan sketsa desa.

(21)

4.4. Aktor-aktor yang Berkepentingan terhadap lahan Desa Pangkalan Bulian

Saat ini ada 6 (enam) pihak utama yang masih berkepentingan terhadap lahan wilayah Desa Pangakalan Bulian. Aktor ini dapat dipisahkan dalam 2 (dua) isu, yakni isu penggunaan lahan dan isu batas antar desa. dalam isu penggunaan lahan terjadi perbedaan kepentingan atas lahan yang sama antara masyarakat Desa Pangkalan Bulian dengan KPHP Meranti dan PT. SBB. Masyarakat Desa Pangkalan Bulian adalah pihak yang berkepentingan terhadap wilayah desa untuk pemukiman, dan sumber penghidupannya yang telah dilakukan secara turun temurun sejak nenek puyang mereka. Pihak kedua yang berkepentingan terhadap lahan wilayah Desa Pangkalan Bulian adalah PT. SBB. Perusahaan ini berkepentingan terhadap lahan untuk keperluan berusaha tanaman industri kehutanan (Hutan Tanaman Industri). Menurut warga masyarakat sebagaian wilayah PT SBB adalah kebun karet masyarakat. Pihak ketiga yang mengklaim berhak atas sebagian wilayah Desa Pangkalan Bulian adalah yang dikenal masyarakat sebagai Kehutanan. Kehutanan menetapkan sebagian wilayah sebagai HP dan sebagian lagi sebagai HL. Penetapan HP dan HL ini sebagian dipandang masyarakat memasukkan kebun-kebun garapan warga.

Dalam isu batas antar desa, masyarakat Desa Pangkalan Bulian berpotensi belum sepakat mengenai batas desanya dengan Desa Keban, Desa Tampang Baru dan Desa Talang Buluh. Masyarakat Desa Pangkalan Bulian merasa batas wilayah desanya mengikuti batas marga yang terceritakan secara turun temurun menurut tokoh yang saat ini garis keturunannya masih kuat (Tabel 2).

Tabel 2 Aktor-aktor yang berkepentingan di Desa Pangkalan Bulian dan kondisinya.

Pihak Isu Kepentingan Kekuatan Kelemahan Sikap Sengketa Gaya Masyarakat

Ds P.Bulian 1. Lahan garapan yang masuk dalam wilayah KPHP dan PT SBB 2. Batas wilayah dengan desa tetangga Bermukim, berkebun Mendiami wilayah desa untuk hidup Memiliki bukti sejarah, secara fisik dekat dengan lahan Saksi sejarah, Pak Aprianto Kaur Pemerintaha n adalah anak Kepala Desa yang sekaligus pimpinan Marga terdahulu Tidak memiliki dokumen legal Tidak memiliki peta Ingin mendapatkan informasi lebih banyak, ingin tetap dapat mengelola kebunnya - Mempertaha nkan wilayah sesuai wilayah marga, - Bersedia pemetaan batas bersama dengan desa tetangga - Tidak mencantum kan / memasang peta desa karena belum jelas Kompromi Agitasi Kompromi Menghindari gesekan KPHP

(22)

Pihak Isu Kepentingan Kekuatan Kelemahan Sikap Sengketa Gaya saat ini adalah kebun warga melindungi kawasan hutan secara lestari wilayah

oleh Negara belum dapat mengelola seluruh wilayahnya bersama mengelola kawasan agar lebih bermanfaat, -Membiarkan garapan masyarakat yang di dalam kawasan KPHP Akomodasi PT. SBB Wilayah konsesi yang saat ini adalah kebun warga Memproduk-si wilayah konsesinya secara lestari SK Ijin Konsesi dari Menteri Kehutanan, memiliki personil yang baik Kurang komunikasi dengan masyarakat Belum terkonfirmasi membiarkan garapan masyarakat yang ada dalam wilayah konsesi Akomodasi Masyarakat

Ds Keban Wilayah yang ber-batasan dengan Ds P.Bulian Mendiami wilayah desa untuk hidup Belum

ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi

Masyarakat Ds Tampang Baru Wilayah yang ber-batasan dengan Ds P.Bulian Mendiami wilayah desa untuk hidup Belum

ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi

Masyarakat Ds Talang Buluh Wilayah yang ber-batasan dengan Ds P.Bulian Mendiami wilayah desa untuk hidup Belum

ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi Belum ter-konfirmasi

Pihak-pihak lain yang diketahui masyarakat beraktivitas di Desa Pangakalan Bulian adalah PT. Pinago (sawit), PT. Pakerin (HTI), dan PT. SBB (HTI) namun ketiganya dirasakan masyarakat tidak ada tarik menarik kepentingan atas lahan yang sama. Kalaupun awalnya ada wilayah yang merupakan garapan masyarakat tetapi saat ini telah diselesaikan kompensasinya.

Warga masyarakat merasa memiliki kekuatan (power) yang sama dengan pihak kehutanan (KPHP Meranti) maupun dengan PT. SBB. Kekuatan yang dimiliki masyarakat adalah sejarah pengelolaan lahan secara turun temurun dan posisi secara fisik masyarakat yang berada dekat dan secara intensif berinteraksi dengan lahan. Dengan posisi ini masyarakat secara fisik faktanya dapat menguasai lahan dengan melakukan penanaman karet, durian, pisang dan membuat pondok pemukiman. Namun secara dokumen legal administratif masyarakat merasa lemah atas lahan yang dalam kawasan hutan. Pasalnya mereka tidak memiliki dokumen maupun surat bukti apapun terhadap tanah terutaman yang berada dalam kawasan hutan. Dokumen yang pernah ada sebagaimana diceritakan dalam sejarah telah dibawa pihak pemerintah (BPN) ketika terjadi validasi luas desa pada 1974.

(23)

Gambar 11 Peta aktor terkait lahan di Pangkalan Bulian dan hubungannya

Gambar 12 Salah satu tokoh masyarakat di sekitar Desa Pangkalan Bulian (urutan ketiga dari kanan) yang dikonfirmasi mengenai batas marga di wilayah desa yang langsung berbatasan dengan Desa Pangkalan Bulian

(24)

Pihak kehutanan (KPHP Meranti) dipandang memiliki kekuatan hukum yang kuat mengingat instansi ini adalah KPHP Model Unit III Meranti di Kabupaten Musi Banyuasin yang telah ditetapkan sebagai KPHP Model dengan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.439/MenhutII/2012 tanggal 09/08/2012.. Namun meskipun memilik kekuatan legal secara administratif pihak KPHP Meranti secara fisik belum dapat menguasai apalagi mengelola seluruh kawasan hutan seluas ± 41.126 hektar.

Pihak PT. SBB juga dipandang memiki kekuatan yang besar mengingat selain memiliki bukti legal PT. SBB juga telah aktif mengelola wilayahnya. PT. SBB adalah sebuah perusahaan HTI yang telah memegang ijin konsesi dari Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor.249/Menhut-II/2009 dengan areal konsesi seluas 54.855,22 hektar.

Terhadap kondisi lahan garapan warga yang disinyalir menjadi areal PT. SBB dan Kehutanan (KPHP Meranti) ini warga merasa bingung dan tidak tahu akan kelanjutan pengelolaan kebunnya. Namun warga berharap mendapat informasi yang lebih banyak dan berharap masih diperbolehkan mengelola kebun yang telah digarapnya. Pihak Kehutanan (KPHP Meranti) menanggapi warga ini dengan sejuk bahwa masyarakat dipersilakan tetap mengelola garapannya namun dengan tetap memperhatikan kelangsungan fungsi kawasan hutan dan mentaati ketentuan pengelolaan hutan yang berlaku. Sedangkan pihak PT. SBB belum sempat dikonfirmasi sikapnya atas lahan yang bertampalan dengan masyarakat Desa Pangkalan Bulian tersebut. Sikap PT. SBB yang sempat diketahui oleh warga adalah ketika konsultan pemasangan batas kawasan PT. SBB melakukan pengecekan pal batas dan berniat mengganti nama pal batas dari HP menjadi SBB, namun hal ini dilarang warga sehingga tidak jadi dilakukan. Hingga saat ini lahan garapan warga yang disinyalir masuk dalam wilayah PT. SBB maupun KPHP Meranti masih tetap dapat dikelola seperti biasa.

Dari peta aktor yang terkait dengan wilayah Desa Pangkalan Bulian dapat dianalisis berdasarkan dua isu yang ada. Pertama, terhadap isu penggunaan lahan. Ketiga pihak baik Masyarakat Desa Pangkalan Bulian, KPHP Meranti, maupun PT. SBB kecenderungan untuk berkompromi (Tabel 2). Pihak masyarakat dan KPHP Meranti telah terkonfirmasi sama-sama ingin dapat mengelola kawasan hutan guna memenuhi kebutuhannya secara lestari. Sedangkan PT. SBB belum terkonfirmasi. Meskipun belum terkonfirmasi, PT. SBB selama ini masih membiarkan masyarakat yang berada dalam wilayah konsesinya. Dengan kondisi sikap ketiga pihak utama ini sangat penting dilakukan komunikasi yang lebih intensif mengenai bentuk pengelolaan bersama wilayah antara masyarakat Desa Pangkalan Bulian, KPHP Meranti, dan PT. SBB.

(25)

Gambar 13 Pengecekan patok batas antar desa di wilayah Desa Pangkalan Bulian

Kedua, terkait isu batas wilayah antar desa. Masyarakat Desa Pangkalan Bulian memiliki keyakinan bahwa batas wilayah desa telah sesuai dengan batas Marga terdahulu. Batas ini menurut pengurus desa telah disepati dengan marga lain. Pernah suatu saat ada warga desa Keban di bagian selatan melakukan pemancangan batas yang dinilai masuk wilayah desa Pangkalan Bulian. Setelah dihadapi oleh pengurus desa dengan memberikan pernyataan verbal, beberapa hari kemudian patok batas yang dimaksud sudah tidak ada lagi. Pada bagian utara-timur pernah terjadi ketegangan antara desa Pangkalan Bulian, Tampang Baru dan Desa Talang Buluh. Ketegangan dipicu oleh didirikannya pangkalan minyak oleh perusahaan minyak. Pangkalan tersebut dibentuk pos yang harus dijaga oleh petugas. Petugas jaga diminta dari warga masyarakat desa setempat dan digaji sebesar sepuluh juta rupiah sebulan. Saat itulah tiga desa tersebut merasa semua memiliki wilayah tempat pos didirikan. Akhirnya disepakati oleh ketiga desa batas wilayah. Namun ketika tim pemetaan partisipatif ini melakukan pengecekan lapangan pada lokasi batas bersama tersebut, terjadi ketidakjelasan batas fisik di lapangan yang berpotensi menjadi perebutan antar wilayah. Terhadap kondisi batas antar desa ini pengurus desa menyatakan siap untuk turun ke lapangan bersama dengan desa tetangga yang dapat dimaknai sebagai bentuk kompromi (Tabel 2) untuk memperjelas batas. Sementara pihak desa lain yang berbatasan belum dapat dikonfirmasi mengingat kegiatan saat ini terfokus kepada Desa Pangkalan Bulian. 4.5. Peraturan yang Tersedia

Peraturan-peraturan yang tersedia dikelompokkan kedalam peraturan pada tingkat masyarakat, peraturan pada tingkat desa, maupun peraturan dari pihak negara. Pada tingkat masyarakat sejak jaman marga difahami telah ada peraturan untuk mengelola wilayah hutan. Yang diingat masyarakat adalah dulu ada istilah hutan larangan, yakni wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh warga. Bila ada warga yang ingin masuk atau bahkan hanya melintas haruslah

(26)

melalui ijin pengurus marga. Wilayah hutan larangan ini sekarang justru dibuka oleh PT. SBB tapi tidak dengan ditebang habis semua. Hal ini menjadikan pertanyaan bagi warga masyarakat, mengapa kepada warga tidak boleh dibuka kok kepada perusahaan dibolehkan.

Gambar 14 Salah satu bukti surat keterangan penyerahan hak waris yang diakui oleh keturunan marga di Desa Pangkalan Bulian

Pada tingkat Desa difahami bahwa pembukaan lahan dapat dilakukan oleh setiap warga desa dengan meminta ijin kepada Kepala Desa. Kepala Desa menyampaikan ketentuan bahwa membuka lahan tidaklah diperkenankan pada areal yang telah dibuka warga lain dan tidak diperkenankan membuka di luar wilayah desa. Dengan mekanisme pembukaan lahan tersebut kemudian warga memahami bahwa ketika telah membuka dan mendapatkan ijin, maka kemudian lahan tersebut menjadi miliknya meski tidak memiliki bukti apapun atas kepemilikan lahan.

Pada tingkat pemerintah saat ini menurut Undang-undang Dasar 1945 pasal 33, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Implementasi dari UUD 1945 ini adalah kawasan hutan dipandang sebagai bumi yang mengandung air dan kekayaan alam didalamnya dan kemudian dikuasai oleh

(27)

negara untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan Undang-undang yang mengatur Kehutanan yakni UU No.5 tahun 1967 yang diamandemen dengan UU No, 41 tahun 1999 kawasan hutan dibagi menjadi fungsi Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), dan Hutan Konservasi (HK). Pada HP dapat dilakukan pengelolaan dengan ditebang habis, sementara pada HPT tidak diijinkan dikelola dengan ditebang habis tetapi dengan batas diameter tertentu.

Menurut pasal 21 UU No.41 tahun 1999 pengelolaan kawasan hutan dilakukan oleh negara dengan dapat memberikan ijin usaha pemanfaatan hutan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta indonesia, badan usaha milik pemerintah maupun badan usaha milik pemerintah daerah (pasal 27 UU No.41 tahun 1999). Sejalan dengan peraturan ini PT. SBB adalah pemegang Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yang dapat diberikan pada kawasan hutan dengan status HP dan HPT. Dengan melihat peraturan ini dapat dijelaskan bahwa pemberian wilayah yang dahulunya hutan larangan, menurut marga, kepada PT. SBB adalah sesuai dengan undang-undang dan berdasarkan penelusuran lapangan, pada wilayah HPT tersebut tidak dilakukan tebang habis oleh PT. SBB.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 6 tahun 2009 mengatur tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan. Peraturan ini merupakan bentuk dukungan terhadap pengelolaan kawasan hutan yang diatur melalui PP. 6 tahun 2007 jo PP 3 tahun 2008. Kehadiran KPHP Meranti sejalan dengan peraturan pemerintah tersebut dalam mengelola kawasan hutan.

Ijin usaha pengelolaan kawasan hutan dapat diberikan kepada masyarakat desa dalam bentuk Hutan Desa (HD) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49/Menhut-II/2008 jo P.14/2010 jo P.53/2011 tentang Hutan Desa. selain hak kelola masyarakat dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm) sesuai Permenhut Nomor P.37/Menhut-II/2007 jo P.13/2010 dan jo P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pernyataan pihak KPHP Meranti untuk mengajak masyarakat secara bersama mengelola kawasan hutan adalah sejalan dengan kedua Peraturan Menteri Kehutanan tersebut yakni dalam bentuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan.

Pada wilayah yang telah diberikan ijin usaha kepada perusahaan sebagaimana pada PT. SBB masyarakat dapat bekerjasama dengan perusahaan pemegang ijin melalui skema Kemitraan yang diatur dengan Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Msyarakat melalui Kemitraan Kehutanan.

Terkait tanah warga yang diyakini merupakan tanah nenek puyang secara turun temurun dapat dilakukan pendalaman dan penyelesaian sesuai payung hukum yakni Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014 dan Nomor 8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.

Penyelesaian Batas Desa dengan desa tetangga dapat mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 tahun 2006 tanggal 10 Oktober 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Disini diatur tata cara penegasan batas, pengesahan batas dan penyelesaian perselisihan.

(28)

4.6. Sketsa Batas Desa Pangkalan Bulian

Sketsa Desa Pangkalan Bulian hasil pemetaan partisipatif ini menyajikan: (a) informasi mengenai batas desa dengan desa tetangga, (b) informasi penggunaan lahan dan (c) sebaran sumberdaya hutan khususnya hasil hutan bukan kayu (HHBK) (Lampiran 1). Batas wilayah desa dengan desa tetangga didatangi beberapa titik batas di lapangan bersama tokoh desa yang mengetahui batas-batas tersebut dan sebagian atas petunjuk Kepala Desa dan Kepala Urusan Pemerintahan (Tabel 3). Garis batas luar Desa Pangkalan Bulian ditarik menurut pemahaman dan informasi masyarakat, baik berupa batas alam maupun batas imajiner yang dipahami informan.

Tabel 3 Koordinat titik-titik batas desa yang dikunjungi di lapangan

No Latitude Longitude Y_Proj X_Proj Keterangan 1 -2,52 103,47 9721886,93 330171,65 Sp Sg Gedembo 2 -2,35 103,54 9740279,416 337090,65 Jmbtan Batas 3 -2,34 103,54 9741759,60 337097,44 Sungai Pisang Hutan 4 -2,40 103,50 9734992,84 332438,19 J Hulu S Kedembo 5 -2,38 103,61 9737527,93 345352,03 S Tb Pb 6 9709771,36 331226,34 Bts Pbulian_Keban 7 9711210,30 331225,41 Perkebunan Kien 8 9704706,95 343451,58 Bts S Angit_Pbulian 9 -2,54 103,59 9719013,37 343790,38 Sungai B Ibul 10 -2,56 103,58 9716440,66 342632,06 Sungai Merah 11 -2,56 103,58 9716419,41 342612,07 Muaro Sei Kukui

Gambar 15 Konfirmasi mengenai ketepatan batas-batas desa dalam sketsa batas desa oleh tim fasilitator kepada Kepala Desa Pangkalan Bulian

(29)

Berdasarkan penggunaan lahan yang diidentifikasi, wilayah Desa Pangkalan Bulian digunakan untuk pemukiman, kebun karet, kebun karet belukar, hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), hutan Lindung (HL), suaka margasatwa (SM), perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI). Menurut informasi warga bahwa pembukaan lahan oleh masyarakat berawal dari sungai menuju ke arah darat dengan jarak sekitar 1,5 kilometer atau 1500 meter.

Hasil hutan bukan kayu yang masih melimpah baik yang umumnya dimanfaatkan diantaranya bambu, durian, jeruk, karet, rotan, sialang madu. Sebaran yang dapat digambarkan berdasarkan pengecekan lapangan umumnya yang terlewati jalur transek baik melalui jalan darat maupun jalan sungai.

(30)

5 REKOMENDASI

Untuk batas wilayah dan penggunaan lahan di tingkat desa:

1. Perlu dilakukannya pemetaan batas desa bersama dengan desa tetangga yang berbatasan khususnya Desa Keban, Desa Tampang Baru, dan Desa Talang Buluh. Desa lain yang berlu bersama melakukan pemetaan batas adalah Desa Lubuk Bintialo, Desa Angit, dan Desa Ulak Kembang. Hal ini perlu dilakukan mengingat batas wilayah yang dipetakan baru sebagian saja dan baru dari satu pihak Desa Pangkalan Bulian. Pelibatan pemerintah kabupaten dalam hal ini Badan Pemberdayaan Desa tidak dapat dilewatkan dalam pemetaan batas antar desa ini.

2. Sketsa Desa Pangkalan Bulian ini dapat dijadikan media informasi mengenai batas wilayah dengan desa lain. Ketidaksepakatan mengenai batas bila ditemukan dapat diselesaikan melalui mekanisme point pertama.

3. Perlu ditindaklanjuti komunikasi intensif oleh KPHP Meranti terkait skema pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat Desa Pangkalan Bulian, maupun antara masyarakat Desa Pangkalan Bulian dengan PT. SBB. Komunikasi ini dapat melibatkan pihak Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi yang menyangkut skema HD dan HKm maupun Balai Pemantauan dan Pengujian Hasil Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah di Palembang yang terkait dengan skema Kemitraan.

(31)

6 KESIMPULAN

Sebagian batas wilayah Desa Pangkalan Bulian telah diketahui dan diakui oleh masyarakat desa maupun oleh desa tetangga, namun sebagian lagi masih memerlukan kejelasan baik di lapangan maupun di peta. Pihak desa Pangkalan Bulian menyatakan siap melakukan kegiatan pemetaan batas desa bersama dengan desa tetangga.

Masih terdapat beberapa wilayah yang diklaim dan digunakan oleh lebih dari satu pihak yakni antara masyarakat Desa Pangkalan Bulian dan PT. SBB maupun masyarakat Desa Pangkalan Bulian dengan KPHP Meranti. Para pihak berpotensi untuk saling mengakomodasi dan bersedia berkompromi untuk menyelesaikan kepentingan yang berbeda atas lahan yang sama.

(32)
(33)

Published by

Kantor Terdaftar

Bonn dan Eshborn, Jerman BIOCLIME

Biodiversity and Climate Change Kantor Jakarta:

GIZ ICCTF/GE LAMA I

Gedung Wisma Bakrie II. 5th Floor Ruang ICCTF Jl. HR. Rasuna Said Kavling B-2

Jakarta Selatan 12920 Telp: +62-21-9796-7614 Fax: +62-21-5794-5739 Kantor Palembang:

Jl. Jend. Sudirman No. 2837 KM. 3,5 Palembang

Telp: +62-711-353176 Fax: +62-711-353176

Penulis: Gamin, Mohammad Sidiq, Berthold Haasler dan Yoga Travolindra Kontributor: Working Group Tenure (WGT)

Photo Credits: BIOCLIME, Mohammad Sidiq (2015) I www.BIOCLIME.org E [email protected] FB BIOCLIME Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pikir Pemetaan Partisipatif Desa
Gambar 2  Teknik pengumpulan data dengan pendekatan partisipatif bersama warga  Desa Pangkalan Bulian, KPH Meranti, dan Dinas Kehutanan Sumsel
Tabel 1 Peserta Pendidikan dan Pelatihan Pemetaan Konflik di PUSDIK Kehutanan Bogor  pada Tanggal 24-29 November 2014
Gambar  3  DIKLAT  Pemetaan Konflik untuk para fasilitator yang diselenggarakan  di  Pusat Diklat Kehutanan pada tanggal 24-29 November 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait