Pembentukan Karakter Islami Berbasis Substansi Cerita Wayang Kulit
Oleh: Soediro, S.H.,LL.M
A. Pengertian Wayang
Menurut kamus besar bahasa Indonesia wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh pada pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang (Pusat Bahasa, 2008).
Wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang (Supriyo, 2008).
Wayang kulit disebut juga wayang purwa. Menurut terjemahan bebas, purwa artinya permulaan. Sebagaimana dimaklumi, kulit adalah “permulaan” dari tubuh, sehingga wayang kulit identik juga dengan istilah wayang purwa. Cerita wayang kulit bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India. Itulah sebabnya, menurut para ahli, istilah purwa tersebut juga berasal dari kata parwa yang berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata.
Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba artinya zaman dulu. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman dahulu (Supriyo, 2008).
Budayawan Ir. Sri Mulyono dalam bukunya yang berjudul “Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang” (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yaitu kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya tersebut didasarkan kepada tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis¬toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di “Ensiklopedia Indone-sia” halaman 987. Sementara menurut Kitab Centhini, tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri dengan menggunakan daun lontar.
Kata `wayang' disinyalir berasal dari kata `wewa¬yangan', yang artinya bayangan. Hal ini sesuai dengan kenyataan pada pagelaran wayang kulit yang menggunakan kelir berupa selembar kain putih, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang dengan penonton di balik kelir itu. Gerakan-gerakan wayang melalui bayangan pada kelir itulah yang disaksikan oleh penonton.
Namun sekarang, penonton justru lebih suka melihat wayang di depan kelir, atau di belakang dalang. Pada masa dulu pagelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri dari saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan sindhen pada masa itu belum ada. Wayang yang disebut puppet shadow oleh orang Barat, kini merupakan entertaintment dengan menggunakan berbagai peralatan tambahan termasuk tata suara, tata lampu, instrumen musik modern, dan lain-lain.
Mengutip pendapat Sri Mulyono, Dr. Purwadi dalam buku berjudul “Seni Pedhalangan Wayang Purwa” mengetengahkan bahwa seni pedalangan mengandung banyak bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat ruhaniah daripada jasmaniah. Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan hanya wayangnya, melainkan masalah yang tersirat dalam lakon wayang itu. Seumpama orang melihat kaca rias, bukan melihat tebal tipisnya kaca itu, melainkan bayangan di kaca itu. (Purwadi, 2007:15)
Dalam bahasa Jawa, wayang disebut juga ringgit yang merupakan kirata basa dari karipta miring karana dipun anggit ( dibentuk miring karena dikarang). Itulah sebabnya wayang Nampak seperti manusia yang berdiri dalam posisi miring. Uniknya pada wayang proporsi tangan lebih panjang dari ukuran tangan manusia karena diperlukan untuk mempermudah gerkan dan mempercantik penampilan.
Wayang kulit pernah mengalami masa kejayaan di masa lampau, bahkan pada masa penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Para wali menggunakan cerita dan pertunjukan wayang kulit yang telah disisipi oleh ajaran-ajaran dan kaidah-kaidah Islam sebagai media penyebaran agama Islam. Hal ini dapat terwujud karena cerita-cerita wayang memiliki cerita yang menggambarkan tentang kehidupan manusia yang mengajarkan kepada kita untuk menjalani hidup pada jalan yang benar, di mana dalam hal ini agama Islam juga mengajarkan hal yang sama sehingga mudah bagi para wali untuk memasukkan ajaran Islam ke dalam cerita wayang (Winoto, 2006).
Pada saat ini jumlah pentas wayang kulit relatif mengalami penurunan. Pada banyak event masyarakat yang membutuhkan hiburan, campur sari dan organ tunggal lebih dipilih daripada pagelaran wayang kulit. Muncul spekulasi dugaan bahwa menurunnya minat masyarakat terhadap pertunjukan wayang adalah relatif mahalnya biaya pentas, di samping juga waktu pementasan semalam suntuk yang dirasakan melelahkan. Apalagi kondisi masyarakat perkotaan yang tinggal di areal padat penduduk dan minimnya tanah lapang yang juga mengurangi kesempatan bagi masyarakat untuk menyaksikan pentas wayang kulit.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang diduga juga berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa, Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang. Pada umumnya wayang kulit mengambil cerita dari epos Mahabharata dan Ramayana. Tetapi dalam praktinya cerita wayang kulit tidak dibatasi hanya dengan pakem (standar) tersebut. Ki dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan). Beberapa cerita wayang kulit bahkan diambil dari cerita Panji yang biasanya dipentaskan pada pertunjukan ketoprak .
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat. Pembahasan kita lebih khusus tentang wayang kulit, sehingga tentang wayang golek tidak banyak dibicarakan.
B. Pembuatan
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau atau kulit sapi yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, setiap wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm hingga 80 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang berupa tatah besi berujung runcing berbahan dari baja berkualitas baik. Tatah baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang runcing, pipih, lengkung, baik yang berukuran kecil atau besar, yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda-beda Pada dasarnya tatah tersebut digunakan untuk membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang menampakkan detail wayang terlihat ketika disorot lampu . Bagian-bagian tubuh seperti lengan atas, siku dan tangan dihubungkan dengan tulang kerbau atau sapi sebagai sendi yang mudah digerakkan. Belakangan, logam kuningan dan plastik menjadi alternatif lain untuk menggantikan fungsi tulang di atas.
Setelah ditatah, wayang kemudian diberi warna atau disungging. Pada umumnya, cat yang digunakan adalah cat sablon yang penyampurannya menggunakan air. Untuk warna keemasan yang dibutuhkan umumnya menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel, bisa juga dengan cat bront yang berwarna keemasan mengkilat. Dalam praktik, wayang yang menggunakan prada lebih disukai karena hasilnya jauh lebih baik. Warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang menggunakan cat bront.
Wayang kemudian dipasang pada gapit untuk membuatnya bias menancap pada batang pisang atau gedebog. Dulu, sebagian besar wayang menggunakan gapit tanduk kerbau atau sapi. Tetapi karena mahal, sekarang banyak gapit yang dibuat dari fiber atau kayu. Meski tidak sebaik tanduk, namun dua bahan ini juga dapat dipergunakan.
Dalam satu kotak wayang, pada umumnya terdiri dari sekitar 200 buah wayang, Jumlah tersebut sudah dapat digunakan untuk pementasan serial Ramayana dan Mahabharata. Selain wayang baku, pada umumnya dilengkapi dengan wayang dagelan, wayang setan, pohon, binatang, prajurit, dan senjata.
Wayang disimpan dalam kotak kayu yang pada umumnya berukuran 70 x 160 cm terbuat dari kayu jati, nangka, mahoni, atau kayu keras yang berkualitas baik. Di Surakarta, kayu suren menjadi pilihan utama. Kayu tersebut berminyak, ringan, dan bersuara empuk ketika beradu dengan cempala yang dipegang oleh dalang. Kotak juga digunakan untuk meletakkan keprak yaitu beberapa lembar logam
tipis yang dibunyikan oleh kaki kiri dalang. Wayang gagrak Surakarta menggunakan 5 lembar, Banyumas 3 lembar, dan Mataram (Yogyakarta) 1 lembar. Untuk Gagrag Banyumas dan Yogya menggunakan bungkul yaitu logam yang dijepit oleh ibu jari kaki kanan dalang. Logam terbaik untuk membuat keprak adalah perunggu. Namun kebanyakan dalang menggunakan baja putih (monel) atau baja biasa yang harganya lebih murah.
C. Iringan wayang
Pentas wayang kulit diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Menurut beberapa literatur, gamelan yang digunakan dalam pagelaran wayang oleh para wali hanya laras pelog. Namun sekarang pentas wayang lengkap dengan gamelan pelog dan slendro. Dalam perkembangannya, pentas wayang bisa juga diramaikan dengan menampilkan pelawak, penari, bahkan tidak jarang juga menambahkan alat musik diatonis dalam pentas. Organ, terompet, dan drumd set menjadi terbiasa hadir dalam pentas wayang modern. Oleh karenanya ketika acara limbuk cangik atau gara-gara kerap terdengar alunan lagu dangdut atau jaipong lengkap dengan jogednya.
D. Dalang Wayang Kulit
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo, Ki Joko Edan (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono, almarhum Ki Sugino Siswocarito, dan Ki Sugito Purbocarito (gaya Banyumas), Almarhum Ki Timbul Hadi Prayitno, almarhum Ki Hadi Sugito, almarhum Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto , Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo). Dalang-dalang muda gaya Solo yang sekarang populer misalnya Ki Enthus Susmono (Tegal), Ki Agus Wiranto, Ki Warseno Slank, Ki Purbo Asmoro, Ki Mangun Yuwono, Ki Tantut Sutanto, dan Ki Prasetyo Bayu Aji. Sedangkan dalang lokal gagrag Banyumas angkatan muda misalnya Ki Eko Suwaryo (Kebumen), Ki Kukuh Bayu Aji dan Ki Bagus Marwoto (Banyumas). Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito. Pesinden muda yang terkenal misalnya Nyi Sunyahni, Nyi Sulani, dan Nyi Nurhana. Pesinden asal luar negeri misalnya Megan (Amerika) dan Hiromi Kano (Jepang).
E. Tokoh Panakawan dalam Wayang Kulit Jawa
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh panakawan yang tertua bernama Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh
Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru (Manikmaya), raja para dewa. Ismaya adalah adik dari Batara Siswaya (Togog, Hyang Antaga). Mereka bertiga berasal dari satu butir telur yang merupakan anak dari Sangyang Tunggal yang menikah dengan Dewi Rekatawati. Karena marah, maka Sanghyang Tunggal membanting telur itu dan menjelma menjadi sosok manusia. Ini adalah versi yang berkembang di Banyumas yang berasal dari naskah Purwacarita.
Asal-Usul dan Kelahiran
Selain versi Banyumas tersebut, ada beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa. Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan.
Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan
mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Siswaya (Antaga), yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh
Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Panakawan selanjutnya adalah Gareng adalah salah satu dari empat punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan wayang. Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”. Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk. Dulunya, Gareng berujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Janggan Samara Santa, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Janggan Samara Santa bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan.
Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama. Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Parikenan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), Oleh karena itu kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan pethelnya").
Dalam kisah Ambangun Candi Saptaharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja").
Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga.
Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.
Bagong
Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang Banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Carub Bawor.
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata kudi.
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa.
Bagong pada zaman Kolonial
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya. Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.
Bagong versi Jawa Timur
Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki dua orang anak , yaitu Bagong dan Sarangaja. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut. Dalam versi ini adik Bagong memang jarang dipentaskan namun ada lakon tertentu di mana Sarangaja keluar seperti lakon Adeg'e Khayangan Suralaya di mana pada cerita ini menceritakan Asal usul Bagong dalam versi Jawa Timur. Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya.
Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.
Dalam versi dakwah Islam, Semar adalah lambang sifat Nabi Muhammad SAW yaitu fathonah (cerdas). Bawor adalah lambang sifat sidik (benar), Gareng adalah dapat dipercaya (amanah0, dan Petruk menyampaikan ajaran (tabligh). Empat panakawan mendampingi Pandhawa Lima yang merupakan representasi rukun Islam yaitu Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji.