2014
ISTIQOMAH
DR. ANTON MUHIBUDDIN
MENGENAL GULMA PADA
TANAMAN PADI DAN METODE
PENGENDALIANNYA SECARA
KIMIAWI
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam keluarga
gramineae atau rumput-rumputan dengan batang tersusun dari
beberapa ruas. Tanaman padi memiliki sifat merumpun, yang dalam waktu singkat bibit padi yang ditanam hanya satu batang dapat membentuk 20 sampai 30 anakan dalam satu rumpun(Sundaru, 1984). Dari sekian banyak varietas, tanaman padi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu golongan Indica dan golongan Yaponica. Padi golongan Indica pada umumnya terdapat di negara-negara yang termasuk daerah tropis sedangkan padi golongan Yaponica pada umumnya terdapat di negara-negara di luar daerah tropis. Padi yang ditanam di Indonesia banyak dari golongan Indica, walaupun ada beberapa yang menanam dari golongan Yaponica.
Perkembangan tanaman padi terbagi menjadi 3 fase (De Datta, 1981) adalah :
1. Fase vegetatif, yang dimulai dari pertumbuhan bibit sampai keluarnya promordia.
2. Fase reproduktif, yang dimulai dari keluarnya primordia sampai pembungaan.
3. Fase pemasakan, dimulai dari pembungaan sampai masak penuh atau saat pemanenan.
Fase vegetatif dimulai dengan keluarnya radikula dan pemunculan koleoptil yang merupakan tempat keluarnya daun muda.
2
Fase reproduktif dimulai tepat setelah jumlah anakan maksimum, tergantung dari jenis dan faktor lingkungan. Dengan adanya gulma pada fase vegetatif mauppun fase reproduktif pertumbuhan padi dapat terganggu, sehingga mengurangi hasil panen sebesar 16-87%.
Tanaman padi di Indonesia dibudidayakan pada lahan kering dan lahan basah. Tanaman padi yang ditanam di lahan kering disebut padi ladang (Upland Varieties) dan di lahan basah disebut padi sawah (Lowland Varieties). Faktor yang sangat penting pada tanaman padi di lahan basah adalah kebutuhan air. Air berguna untuk melunakan tanah sebagai media tumbuh, memudahkan dalam penyerapan unsur hara dan juga karena sifat tanaman itu sendiri yang merupakan tanaman air. Selain fungsi di atas penggenangan air dapat juga berfungsi membunuh beberapa jenis gulma (Sundaru, 1984).
1.2 Gulma
1.2.1 Pengertian Gulma
Pengertian gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu alang-alang masih berguna bagi manusia karena dapat mengurangi erosi dan meningkatkan bahan organik dalam tanah. Namun, bila tanah itu akan dipergunakan maka berubahlah statusnya menjadi gulma. Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki, terutama di tempat mana manusia bermaksud mengusahakan tanaman lain (Isely, 1962). Persaingan gulma dalam
3
memperebutkan unsur hara, air, cahaya matahari dan ruang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang tidak dikehendaki atau tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan memiliki pengaruh negatif, sehingga kehadirannya tidak dikehendaki manusia. Oleh karena itu tumbuhan apapun, termasuk tanaman yang biasa dibudidayakan (crop plants), dapat dikategorikan sebagai gulma bila tumbuh di tempat dan pada waktu yang salah (Rukmana dan Saputra, 1999). Gulma mempunyai sifat genetic plasticity yang besar dimana gulma dapat dengan mudah beradaptasi dengan tempat lingkungan tumbuhnya. Beberapa sifat gulma adalah : 1) mampu berkecambah dan tumbuh pada kondisi zat hara dan air yang sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman apabila lingkungan kurang baik untuk pertumbuhannya ; 2) tumbuh dengan cepat dan mempunyai pelipat gandaan yang relatif singkat, apabila kondisi menguntungkan ; 3) dapat mengurangi hasil tanaman budidaya walaupun dalam populasi sedikit ; 4) mampu berbunga dan berbiji banyak ; 5) mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak secara vegetatif. Biji gulma memiliki masa dormansi yang panjang (Mercado, 1979).
4 1.2.2 Klasifikasi Gulma
Gulma dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, antara lain sesuai dengan tempat tumbuh, bentuk daun, lama periode dalam siklus hidup dan beberapa kategori lain.
1. Berdasarkan sifat morfologi. Menurut Tjitrosoedirdjo et al., (1984), gulma dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu:
a. Golongan rumput-rumptan (grasses), yaitu semua tumbuhan gulma yang berasal dari keluarga Gramineae (Poaceae). Gulma ini ukurannya bervariasi, tumbuh bisa tegak maupun menjalar, hidup semusim atau tahunan. Ciri-ciri kelompok gulma yang tergolong kedalam keluarga rumput ini adalah batangnya umumnya mempunyai ruas-ruas dan buku. Jarak masing-masing ruas (internodus) bisa sama dan bisa pula berbeda dan bahkan ada yang cukup panjang, yang tidak sebanding dengan buku (internodus), batangnya ini ada yang menyebut dengan culm. Ciri lain dari kelompok ini adalah daunnya yang tidak mempunyai tangkai daun (ptiolus) tapi hanya mempunya pelepah/upih (vagina) dan helaian daun (lamina). Contoh dari gulma ini banyak sekali dan ditemukan pada berbagai tempat, baik di areal tanaman budidaya maupun di daerah yang terbuka, misalnya;
5
Paspalum conjugatum, Axonopus compressus, Leersea hexandra.
b. Golongan Teki-tekian (sedges), yang termasuk kedalam kelompok gulma ini adalah dari keluarga Cyperaceae. Ciri khas dari kelompok teki ini adalah batangnya yang berbentuk segitiga, dan pada sebagian besar sistim perakarannya terdiri dari akar rimpang (rhizome) dan umbi (tuber). Contoh gulma ini adalah; Cyperus rotundus,
Cyperus irinaria,dan lain-lain.
c. Golongan gulma berdaun lebar (broadleaves weeds), kelompok ini terdiri dari gulma yang berdaun lebar (luas) yang umumnya terdiri dari klas Dicotyledoneae, pertulangan daun umunya menyirip, misalnya: Ageratum conyzoides,
Eupatorium odoratum, Melastoma malabathricum, Phylanthus niruri,dan lain-lain.
2. Berdasarkan siklus hidup, menurut Ashton (1991), gulma dapat dikelompokkan pada beberapa golongan yaitu :
a. Annual (semusim), adalah tumbuhan gulma yang mempunyai daur hidup hanya satu musim atau satu tahunan, mulai dari tumbuh, anakan, dewasa dan berkembang biak. Contoh gulma semusim adalah:Ageratum
conyzoides, Stachytarpita sp.
b. Biennial (dua musim), yaitu tumbuhan gulma yang mempunyai daur hidup mulai dari tumbuh,
6
anakan,dewasa dan berkembang biak selama dua musim tetapi kurang dari dua tahun. Contoh gulma ini adalah:
Lactuca canadensis L.
c. Perinnial (gulma musiman atau tahunan), adalah tumbuhan gulma yang dapat hidup lebih dari dua tahun atau lama berkelanjutan bila kondisi memungkinkan. Contoh gulma ini adalah kebanyakan dari klas monocotyledoneae seperti;
Cyperus rotundus, Imperata cylindrical, dan lain-lain.
1.2.3 Gangguan Gulma Pada Pertanaman Padi
Menurut Sundaru (1984), tumbuhan pengganggu (gulma) padatanaman padi sawah dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a. Grasses atau gramineae (berbentuk rerumputan)
contoh: Echinochloa colonum, E. Crusgalli (L) Beauv,
Leptochloa Sp.
b. Broadleaved weeds (berdaun lebar)
contoh: Sphenoclea zylanica, Monochoria vaginalis, Jussiaea
Repens.
c. Sedges atau cyperaceae(sebangsa rumput teki)
contoh: Cyperus iria,Cyperus radiatus dan Fimbritylis Milliacea L.
Gulma berbentuk rerumputan memiliki daun sempit, tumbuh tegak dan berakar serabut. Gulma berdaun lebar tumbuh secara horizontal dan berakar serabut. Untuk jenis rumput teki mempunyai bentuk daun segitiga dan memiliki umbi atau akar tinggal. Jenis ini
7
sangat sulit diberantas, jika daunnya terpotong maka akan cepat tumbuh lagi. Kebanyakan jenis teki dan rumput akan tertekan pertumbuhannya bila digenangi air 5 sampai 10 cm. Beberapa gulma berdaun lebar tidak dapat diberantas dengan penggenangan (Sundaru, 1984).
Gulma daun lebar yang umum dijumpai antara lain Monocharia
vaginalis, Marsilea crenata, Salvinia molesta, dan Sphenochlea zeylanica.Dari golongan teki antara lain Cyperus difformis, Fimbrystilis miliacea, Scirpus juncoides, dan Cyperus haspan. Selain dari kedua
golongan gulmatersebut, dapat ditemukan juga dari golongan rumput antara lain Paspalum distichum, Leptochloa chinensis, Echinochloa crus
galli, dan Echinochloa colona.
Gulma menganggu pertanaman padi dengan berkompetisi dalam mendapatkan komponen alam yang dibutuhkan untuk hidup, yaitu faktor abiotik seperti cahaya, nutrisi, ruang tumbuh dan air. Gulma ada yang bersifat mengeluarkan zat racun yang disebut alelopati. Zat alelopati dapat menghambat atau mematikan tanaman padi. Pada saat gulma telah berada pada lahan padi maka akan sulit dikendalikan. Apabila di dalam lahan telah terinfestasi dengan benih gulma, maka harus dikendalikan dengan kombinasi dari kultur teknik dan kimia (Smith dan Shaw, 1966).
8
II. HERBISIDA PENGENDALI GULMA 2.1. Penggunaan Herbisida
Pengendalian gulma pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengubah keseimbangan ekologis yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup, 2002). Pengendalian dilakukan untuk menekan populasi gulma agar tidak merugikan secara ekonomi. Terdapat beberapa metode/cara pengendalian yang dapat dipraktekkan di lapangan. Menurut Sukman dan Yakup (2002), beberapa teknik pengendalian yang tersedia yaitu: pengendalian preventif, mekanis/fisik, kultur teknis, pengendalian hayati, pengendalian secara kimia dan pengendalian dengan upaya memanfaatkannya.
Pada sistem produksi pertanian modern, penggunaan herbisida merupakan salah satu faktor penyumbang dalam meningkatkan hasil pertanian. Meskipun demikian, penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma, kerusakan struktur tanah, pencemaran lingkungan hidup dan menimbulkan keracunan pada tanaman pokok. Permasalahan ini muncul ketika peningkatan kualitas hasil pertanian menjadi sorotan utama bagi masyarakat (Metusala, 2006). Saat ini penggunaan herbisida di dunia semakin meningkat, mencapai 49.6% dari volume total pestisida (Merrington et al., 2002). Penggunaan herbisida paraquat di Bengkulu khususnya gramoxone juga meningkat, mencapai lebih dari
9
100 ton per tahun. Hal ini karena kandungan racun dan bahan kimia yang dimiliki herbisida paraquat mampu mengendalikan gulma lebih cepat, lebih ampuh dan harganya lebih terjangkau serta lebih menghemat tenaga dibandingkan pengendalian secara mekanik (Djafaruddin, 1995).
Herbisida bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian gulma, serta memberikan keuntungan lebih dalam pemakaiannya. Menurut Sukman dan Yakup (2002) beberapa keuntungan yang didapatkan melalui pemakaian herbisida antara lain: a) dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu ; b) dapat mengendalikan gulma dilarikkan tanaman ; c) dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman ; d) lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar ; e) dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh ; f) dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa.
2.2. Klasifikasi Herbisida
Herbisida merupakan suatu bahan, jasad renik atau senyawa kimia, yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih proses-proses pada tumbuhan, seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan
10
hidupnya. Herbisida bersifat racun terhadap gulma dan terhadap tumbuhan. (Riadi, 2011).
Menurut Moenandir (2010), herbisida adalah kumpulan unsur-unsur kimiawi yang menyusun molekul, hanya sedikit saja yang berguna sebagai herbisida, zat kimia yang berperan sebagai herbisida tersebut dicirikan oleh gugusan-gugusan khusus. Gugusan-gugusan khusus tersebut dapat membunuh tanaman pada laju dosis tertentu.
Herbisida diklasifikan berdasarkan beberapa hal sesuai dengan tujuan penggunaan herbisida tersebut. Informasi tentang klasifikasi herbisida penting untuk dipahami karena berpengaruh terhadap cara penggunaan dan sasaran herbisida tersebut. Diantara klasifikasi herbisida adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan pada perbedaan derajat respon tumbuh – tumbuhan terhadap herbsida
A. Herbisida Selektif
Herbisida yang selektif adalah bahan kimia yang dapat membasmi spesies gulma tertentu tanpa merusak atau mengganggu spesies tumbuhan lainnya. Selektifitas biasanya didapatkan sebagai akibat dari cara pemakaian herbisida. Menurut Riadi (2011), selektifitas suatu bahan kimia tidak absolut dan mungkin tergantung pada hal-hal berikut : a) banyaknya bahan kimia yang digunakan ; b) cara pemakaian ; c) kadar air pada daun ; d) presipitasi setelah perlakuan ; e)
11
toleransi suatu spesies tumbuhan terhadap herbisida tertentu ; f) perbedaan kebiasaan tumbuh tumbuhan dan gulma.
B. Herbisida Non-Selektif
Herbisida non selektif adalah bahan kimia yang beracun untuk semua jenis tumbuhan. Herbisida jenis ini mungkin dipakai untuk memberantas berbagai jenis tanaman di suatu lahan. Menurut Tjitrosoedirdjo et al., (1984),efek herbisida non selektif jika diaplikasikan dalam suatu komunitas campuran maka dapat mematikan semua kelompok tumbuhan tertentu (gulma) dan mengganggu tanaman budidaya.
2. Berdasarkan pada waktu pemakaian
Ditinjau dari segi waktu pemberian herbisida dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, herbisida pra-tanam, herbisida pra-tumbuh, dan herbisida pasca tumbuh. Herbisida pra-tanam diaplikasikan pada lahan sebelum atau pada waktu tanah diolah tetapi belum ditanami. Herbisida pra-tumbuh diberikan sebelum gulma dan tanaman tumbuh. Herbisida pra-tumbuh akan mencapai maksimal jika tanahnya tidak berbongkah-bongkah. Herbisida pasca tumbuh disemprotkan bila gulma dan tanaman sudah tumbuh bersama-sama. Pada keadaan ini herbisida harus benar-benar selektif yaitu dapat mematikan gulma tetapi aman bagi tanaman budidaya. Selektifitas dapat ditingkatkan dengan memilih herbisida yang cocok untuk tanaman dan sesuai dengan gulma sasaran (Sasmita et al., 2005).
12
3. Berdasarkan tipe translokasi dalam tumbuhan A. Herbisida Kontak
Herbisida kontak adalah bahan kimia yang tidak bisa melakukan translokasi atau terangkut dalam seluruh bagian tumbuhan. Bahan kimia ini hanya membunuh tumbuhan atau bagian tumbuhan yang terkena langsung dengan herbisida. Jenis herbisida ini lebih efektif untuk gulma tahunan daripada gulma perennial. Beberapa dari herbisida ini tidak aktif saat di dalam tanah dan harus diberikan pada daun. Agar pengendalian gulma bisa efektif seluruh bagian daun harus mendapatkan herbisida ini. (Riadi, 2011). Hal tersebut berarti semakin banyak organ gulma yang terkena herbisida akan semakin baik daya kerja herbisida tersebut. Sehingga herbisida kontak umumnya diaplikasikan dengan volume semprot tinggi (600-800 L ha-1) sehingga seluruh permukaan gulma dapat terbasahi.
Daya kerja herbisida tersebut kurang baik bila diaplikasikan pada gulma yang memiliki organ perkembangbiakan dalam tanah, seperti umbi (teki) atau rizom (alang-alang) dan mata tunas pada ruas rumputan yang tertutup oleh pelepah daun, karena bagian tersebut tidak dapat terjangkau oleh herbisida. Sedangkan kelebihan yang dimiliki adalah daya kerjanya cepat terlihat. Herbisida ini umumnya diaplikasikan secara kontak bersifat selektif, seperti oksifluorfen,
13
oksadiazon, dan propanil, dan sebagian herbisida lainnya bersifat tidak selektif seperti paraquat dan glufosinat (Hardiastuti et al., 2005).
B. Herbisida Sistemik
Herbisida ini cepat terserap oleh rumput dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh dimana herbisida ini menghambat aktifitas meristematik. Hal ini mengarah pada terhentinya pertumbuhan. Herbisida sistemik bekerja dengan meracuni sistem fisiologis, mengganggu sintesis enzim serta menghambat metabolism gulma. Herbisida ini mudah ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan,oleh karena itu herbisida ini membunuh secara sistemik maka gejala yang ditimbulkan berlangsung secara bertahap dan kematian gulma berlangsung relatif lama. (Rukmana dan Saputra, 1999).
2.3. Bahan Aktif Herbisida
Sebagian besar jenis herbisida yang beredar saat ini adalah termasuk dalam golongan senyawa organik. Golongan, bahan aktif, dan jumlah formulasi herbisida yang terdaftar pada Direktorat Sarana Produksi tahun 2006 adalah sebagai berikut :
14
Tabel 1. Jenis Herbisida menurut Direktorat Sarana Produksi Tahun 2006.
Golongan Bahan Aktif Jumlah
Formulasi
Asetamina Butaklor 1
Propanil 1
Asam benzoat IPA dikamba 1
Benzotiadiazol Bentazon 1 Benzilat Flufenaset 2 Monoetanolamina glifosat 1 Triklopir 1
Triklopir butoksi ethyl ester
1
Bipiridilium Parakuat diklorida 13
Difenil eter, trifluoremetil Oksiflurfen 6 Dinitro-anilin Pendimetalin 1 Fenoksi Asam 2,4 D 1 2,4-D butil ester 3 2,4-D dimetil amina 61 2,4-D IBE 6
15 2,4-D natrium 1 2,4-D tri-iso-propanol amina 1 Butil sihalotop 1 Fenoksaprop-p-etil 1 Fluazitop-p-butil 1 Kalium MCPA 2 Fiprate Etiprol 2
Glisin Amonium glifosat 1
Amonium glufosinat 1 Diamonium glifosat 1 Dimetil amina glifosat 11
Glifosat 1
Iso propil amina glifosat 128
Kalium glifosat 2 Monoamonium glifosat 1 Sulfosat 1 Imidazolinon Imazapik 1 Imazapir 3 Imazetapir 2 Isoksazolidin Klomazon 1 Kloroasetanilida Metolaklor 1
16
Kuinolin Kuinklorak 2
Oksadiazol Oksadiargil 2
Okzadiazon 1
Piperidin Piperofos 1
Piridin Floroksipir 1-MHE 2
Pikloram 2
Natrium trifloksisulfuron 1
Pirimidin Etoksisulfuron 1
Sulfonamid pirimidin Penoksulam 1
Sikloneksanesion oksim Protoksidim 1 Sikloheksen Setosidim 1 Sulfonilurea Sinosulfuron 1 Tiokarbamat Tiobenkarb 2 Triazin Ametrin 16 Atrazin 1 Heksazinon 1 Metribuzin 2 Triazol Sulfentrazon 1 Urasil Bromacil 1 Urea Diuron 16 Siklosulfamuron 1 Tebutiuron 1
17
Urea, triazin Metil metsulfuron 19
Sulfonil urea Bentasulfuron metal 3
Etil klorimuron 2
Etil pirazosulfuron 1
Triasulfuron 2
Triazin Sianazin 1
Triazolinon Etil karfentrazon 1
Kandungan bahan aktif menentukan tipe toksisitas dan gejala keracunan pada tumbuhan atau gulma. Informasi bahan aktif yang terkandung dalam herbisida sangat penting bagi tipe pengendalian yang diinginkan. Beberapa golongan bahan aktif herbisida yaitu amida digunakan untuk mengendalikan kecambah gulma semusim, khusunya dari golongan rumputan. Herbisida ini lebih aktif bila diaplikasikan pada permukaan tanah sebagai herbisida pratumbuh. Mekanisme kerja utama herbisida yang tergolong dalam kelas amida adalah mempengaruhi sintesa asam nukleat dan protein. Butaklor, pretilaklor, alaklor, dan propanil termasuk dalam kelas amida ini. (Riadi, 2011).
Golongan Bipiridilium adalahgolongan yang pada umumnya termasuk dalam herbisida pasca tumbuh, tidak aktif apabila diaplikasikan lewat tanah dan tidak selektif. Paraquat dan diquat adalah contoh herbisida yang termasuk dalam kelas ini. Tumbuhan yang terkena herbisida akan menampakkan efek bakar dalam waktu relatif
18
singkat dan diikuti dengan peluruhan daun. Cahaya, oksigen, dan klorofil adalah prasarana utama yang diperlukan untuk menunjukkan efek racun tersebut. Herbisida Golongan triazine, turunan triazine terdiri atas lingkaran heterosiklik yang mempunyai tiga atom N (azoto) dan tiga atom C. Triazine berhasil membunuh banyak jenis gulma, terutama efektif terhadap benih yang sedang berkecambah. Golongan triazine tidak membunuh jagung, sorghum, dan tebu karena diuraikan oleh enzim atau diikat oleh zat glutathion. Enzim jagung menghidrolisa atom Cl dan menggantikannya dengan OH. (Riadi, 2011).
2.4. Mekanisme Kerja Herbisida
Mode kerja mengacu pada interaksi bahan kimia yang menganggu proses biologi yang diperlukan bagi pertumbuhan tumbuhan. Saat dikaitkan dengan pemakaian herbisida, inilah rantai peristiwa dari mulai tumbuhan kontak pertama dengan herbisida sampai pengaruh terakhir yang seringkali mengarah pada matinya tumbuhan. Menurut Weedscience (2011), klasifikasi mode of action/mekanisme kerja herbisida sebagai berikut :
19
Tabel 2. Klasifikasi Herbisida Berdasarkan MoA
WSSA
group Group Cara Kerja (MoA) HRAC Kelompok Kimia Bahan AKtif 1 A ACCase Inhibitors FOP’s dan
DIM’s Clodinafop ; Cyhalofop, Clethodim, Setoxydim 2 B ALS Inhibitors
(AHAS) Sulfonylurea’s Imidazolinone Metsulfuron, Triasulfuron Imazapyr, Imazethaphyr 5 7 6 C1 C2 C3 PS II Inhibitors (PSII) Triazine ; Uracil Triazolinone Ureas ; Amida Nitrile ; Phenylpiridazil Atrazin, Bromacil Amycarbazone Diuron ; Propanil Bromoxynil, Pyridate 22 D PS I (Electron
Diversion) Bipyridiliums Paraquat ; Diquat
9 G
H EPSP Synthase Glutamine Synthetase
Glycines
Phosphinic acid Glyphosate ; Sulfosate Glufosinate, Bialaphos 14 E PPO Inhibitors Diphenylethers Oxyflourfen 28 F2 HPPD’s Inhibitors Triketones Mesotrione, Tembotrione
Menurut Riadi (2011), klasifikasi herbisida yang ditranslokasikan (sistemik) dapat dibagi menjadi lima yaitu a) herbisida yang mengatur pertumbuhan ; b) herbisida yang menghambat aktifitas enzim ; c) herbisida yang menghambat aktifitas marisematik ; d) Herbisida yang menghambat fotosintesis ; e) herbisida yang menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel. Cara kerja pada
20
herbisida kontak yaitu menganggu proses fotosintesis dan membutuhkan komponen tertentu misalnya cahaya matahari.
2.5. Contoh Produk Herbisida
Produk perlindungan tanaman yang telah diproduksi dan beredar dipasaran umum diantaranya adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Contoh Produk Herbisida PT.Syngenta Indonesia
Pestisida Merek Dagang
Fungisida AMIRSTARTOP 325 SC ANVIL 50 SC BION-M 1/48 WP FILIA 525 SE REVUS 250 SC REVUS OPTI 440 SC RIDOMIL GOLD 4/46 WG SCORE 250 EC Herbisida CALARIS 550 SC FUSILADE 125 EC GRAMOXONE 276 SL LOGRAN 75 WG PARA-COL 250/180 SL TOUCHDOWN HI TECH 620 SL TOUPAN IQ 220 SL Insektisida ACTARA 25 WG AGRIMEC 18 EC ALIKA 247 ZC AMPLIGO 150 ZC ATABRON 50 EC CURACRON 500 EC CYMBUSH 50 EC MATADOR 25 EC MATCH 50 EC PEGASUS 500 SC PROCLAIM 5 SG TRIGARD 75 WP VIRTAKO 300 SC
21
Produk Profesional ACTELLIC 500 EC CRUISER 350 FS ICON 100 CS ICON 25 EC KLERAT 0,005 BB RIDOMIL GOLD 350 ES Benih NK ROGERS SG HILLESHOG ZERAIM GEDERA SYNGENTA FLOWERS FISCHER GOLDEN HARVEST YODER MUMS GOLDSMITH SEEDS GARST AGRISURE (Tricahyono et al., 2010).
22
III. JENIS GULMA DI LAHAN PADI 3.1 Pengelompokan Gulma
Pengamatan gulma tanaman padi di lahan percobaan dilakukan dengan mengamati jenis gulma yang menganggu petak lahan padi. Selain itu juga terdapat lahan khusus budidaya gulma atau disebut dengan nurseri gulma. Lahan budidaya gulma atau nurseri gulma digunakan sebagai stok gulma untuk pengujian herbisida.
Tabel 4. Jenis Gulma di R&D Syngenta
No Gulma Gambar
1 Eleusin indica
23
3 Axonopus compressus
4 Ottochloa nodosa
24
6 Echinochloa colonum
7 Cyperus rotundus
25
9 Leptochloa chinencis
10 Cyperus iria
26
12 Scirpus juncoides
13 Fimbristylis miliaceae
27
15 Asystasia intrusa
16 Cleome rutidosperma
28
18 Borreria alata
19 Alternanthera sp.
29
21 Ipomea tribola
22 Ludwigia adscendens
30
24 Spenoclea zeylanica
25 Marsilea crenata
31
27 Ludwigia octavalvis
Gulma diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, antara lain sesuai dengan tempat tumbuh, beda bentuk daun, lama periode dalam siklus hidup dan dalam beberapa kategori lainnya. Gulma yang ditemukan pada lahan percobaan dan lahan nurseri R&D Syngenta Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang beragam. Gulma yang ditemukan di lahan percobaan padi meliputi golongan rumput
Echinochloa crus galli. Golongan daun lebar Ludwigia adscendens, Limnocharis flava, Spenoclea zeylanica, Marsilea crenata, Monochoria vaginalis, Ludwigia octavalvis dan Leptochloa chinencis. Golongan teki Cyperus iria, Cyperus difformis, Scirpus juncoides dan Fimbristylis miliaceae. Hal ini sesuai dengan De Datta (1981) mengungkapkan
bahwa jenis gulma tanaman padi yang terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara dari golongan rumput diantaranya adalah Echinochloa
glabrescens, Echinochloa crus galli, dan Paspalum distichum. Golongan
32
teki Cyperus difformis, Cyperus iria, Fimbristylis littoralis, dan Scirpus
maritimus.
Gulma yang ditemukan pada lahan percobaan jagung R&D Syngenta Indonesia adalah meliputi golongan rumput Echinochloa
colonum, dan Digitaria adscendens. Golongan teki Cyperus rotundus.
Golongan berdaun lebar Cleome rutidosperma, Alternanthera sp.,
Commelina mudiflora dan Ipomea tribola. Gulma menyaingi tanaman
terutama dalam memperoleh air, hara, dancahaya. Tanaman jagung sangat peka terhadap tiga faktor ini selama periodekritis antara stadia V3 dan V8, yaitu stadia pertumbuhan jagung di manadaun 3 dan ke-8 telah terbentuk. Sebelum stadia V3, gulma hanya mengganggutanaman jagung jika gulma tersebut lebih besar dari tanaman jagung,atau pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan. Antara stadia V3dan V8, tanaman jagung membutuhkan periode yang tidak tertekan olehgulma. Setelah V8 hingga matang, tanaman telah cukup besar sehinggamenaungi dan menekan pertumbuhan gulma. Pada stadia lanjut pertumbuhanjagung, gulma dapat mengakibatkan kerugian jika terjadicekaman air dan hara, atau gulma tumbuh pesat dan menaungi tanaman(Lafitte 1994). Ipomea
tribola ialah jenis gulma yang menganggu tanaman gulma dengan cara
melilit. Gulma yang melilit dan memanjat tanaman jagung dapatmenaungi dan menghalangi cahaya pada permukaan daun, sehingga prosesfotosintesis terhambat yang pada akhirnya menurunkan
33
hasil (Violic, 200). Gulma lahan jagung juga sering disebut dengan gulma lahan kering.
Jenis gulma perkebunan ditemukan pada nurseri gulma R&D Syngenta Indonesia. Jenis gulma tersebut meliputi Golongan daun lebar
Agerantum conyzoides, Asystasia intrusa, Mikania micrantha, Borreria alata. Golongan rumput Eleusin indica, Paspalum conjagatum, Ottochloa nodosa,dan Axonopus compressus. Menurut Lubis dan
Hutauruk (1982) jenis gulma Mikania sp., Ottochloa nodosa, Borreria spp., Axonopus compressus, Paspalum spp., dan Agerantum
conyzoides adalah jenis gulma dominan pada pertanaman kelapa sawit
menghasilkan (TM) dan juga ditemukan pada pertanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM). Berdasarkan inventarisasi gulma yang dilakukan oleh Mangoensoekarjo dan Pancho (1975) sebagian besar gulma yang terdapat di perkebunan karet juga terdapat di perkebunan kelapa sawit.
34
IV. METODE PENGENDALIAN GULMA DENGAN HERBISIDA
4.1. Aplikasi Herbisida
Aplikasi herbisida pada gulma tanam pindah (investasi buatan) dilakukan setelah gulma mengalami kestabilan tumbuh, yaitu kondisi gulma tidak layu dan telah mampu beradaptasi dengan media tumbuh di pot atau baki. Menurut Mulyono (2003), perlakuan diberikan setelah gulma berumur 4 minggu setelah pindah tanam. Herbisida disemprotkan dengan menggunakan alat semprot bertekanan gas dengan berat 15 kg. Nozzle yang digunakan berjumlah 4 nozzle yang berada dalam 1 tangkai semprot.
Gambar 7. (a) Alat Semprot, (b) Proses Aplikasi Herbisida
35
Sebelum melakukan aplikasi herbisida alat semprot terlebih dahulu diatur dengan tekanan udara 1000 bar dan tekanan tempat keluarnya air dari nozzle 40 bar. Setelah itu, tarik besi penghubung antara selang pada tabung dan botol plastik sehingga tidak ada udara yang keluar dari lubang botol plastik tersebut. Kemudian aplikasikan herbisida tersebut pada gulma sasaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi herbisida ini, antara lain :
1. Gunakan pakaian khusus aplikator, sarung tangan, masker dan sepatu boat untuk keamanan aplikasi herbisida.
2. Dalam menyemprotkan herbisida menggunakan pembatas di bagian samping kanan dan kiri plot. Hal ini bertujuan melindungi plot lain dari kontaminasi herbisida lain yang disemprotkan. Sehingga dalam aplikasi ini setidaknya dibutuhkan 4 orang yang bertindak sebagai aplikator, 2 orang masing-masing memegang pembatas bagian kiri dan kanan dan seorang lagi sebagai pembawa air yang nantinya digunakan untuk membersihkan alat semprot ketika akan digunakan pada herbisida yang berbeda.
3. Untuk pergantian herbisida pada perlakuan yang berbeda, sebaiknya selang pada alat semprot dikalibrasi degan menggunakan air, hal ini bertujuan untuk meminimalisir adanya kontaminasi bahan aktif dari herbisida yang berbeda.
36
4. Dalam melakukan penyemprotan, aplikator harus memperhatikan arah angin yang bertiup sehingga penyemprotan pada tanaman merata.
4.2. Metode Aplikasi Herbisida Pada Lahan Padi
Bahan yang digunakan adalah herbisida dengan formulasi dan konsentrasi tertentu, benih padi varietas Ciherang, benih Echinochloa
crus-galli dan Leptochloa chinensis, air irigasi. Alat yan digunakan
adalah cangkul untuk menggemburkan lahan, bambu untuk meratakan lahan, alat semprot herbisida. Terdapat 17 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian dilakukan di blok C3, plot dengan ukuran 2x2 meter dengan total 31 plot percobaan.
Metode :
1. Cangkul tanah untuk menggemburkan lahan, bersihkan lahan dari sisa-sisa panen.
2. Lumpurkan lahan dan ratakan permukaan lahan dengan bambu.
3. Timbang benih padi seberat 20 gram, benih Echinochloa
crus-galli 5 gram dan benih Leptochloa chinensis 1 gram. Bungkus
dalam kain dan tali, rendam dalam air selama 24 jam, jumlah bungkusan benih disesuaikan dengan jumlah plot percobaan. 4. Taburkan benih tersebut di atas lahan secara merata.
5. Plot tidak dimasuki air hingga saat aplikasi, kondisi lahan yang kering menyebabkan gulma tumbuh pada plot.
37
6. Lakukan analisis vegetasi pada plot kontrol sebagai data pembanding jenis dan kerapatan gulma terhadap plot yang diberi perlakuan.
7. Aplikasi produk dilakukan saat Echinochloa crus-galli telah memiliki 3 daun.
8. Aplikasi produk menggunakan metode foliar spray 300 liter per hektar.
9. Plot dialiri air 2 hari setelah aplikasi.
10. Pemupukan tanaman dilakukan setelah pengamatan keracunan tanaman (fitotoksisitas) telah selesai dilakukan, dosis pupuk N, P dan K disesuaikan dengan anjuran setiap daerah dari BB Padi atau yang normal dilakukan petani di daerah tersebut. 11. Pengamatan dilakukan dengan indikator :
a. Besar % keracunan tanaman, pengamatan dilakukan pada hari ke 7, 15, 30 dan 45 hari setelah aplikasi.
b. Besar % penutupan lahan oleh gulma dilakukan pada hari ke 15, 30 dan 45 hari setelah aplikasi.
4.3. Uji Fitotoksisitas Herbisida Pada Tanaman Padi
Pengendalian gulma secara kimiawi dengan menggunakan herbisida memiliki efek yang lebih cepat dalam pelaksanaan pengendaliannya, dibandingkan jika dilakukan secara manual. Salah satu pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma
38
tetapi tidak merusak tanaman budidaya. Pemberian herbisida yang tidak sesuai aturan dapat meracuni tanaman pokok. Keracunan yang ditimbulkan dapat berupa terhambatnya pertumbuhan tanaman, klorosis daun dan gejala penyimpangan tanaman lainnya yang disebabkan oleh terhambatnya proses metabolisme yang menyebabkan stres tanaman pokok. Pengujian fitotoksisitas bahan aktif herbisida penting dilakukan untuk menganalisis takaran konsentrasi yang tepat. Percobaan dilakukan di lahan penelitian herbisida pada tanaman padi.
Bahan yang digunakan adalah padi varietas Ciherang, herbisida yang digunakan adalah herbisida yang mengandung 9 bahan aktif berbeda dengan konsentrasi dua kali dosis normal yang tertera pada label kemasan. Alat yang digunakan adalah cangkul, alat semprot herbisida.
Metode :
1. Sediakan herbisida dengan bahan aktif dan takaran sesuai dengan perlakuan.
2. Cangkul lahan dan lumpurkan, lahan berukuran 2x2 m2 per plot.
3. Rendam 20 gram benih padi dalam air selama 1 malam. 4. Taburkan benih padi pada masing-masing plot secara merata. 5. Biarkan tanah dalam keadaan berlumpur selama pembenihan
hingga muncul daun.
6. Alirkan air ke lahan untuk mencegah gulma tumbuh, karena tujuan penelitian hanya untuk melihat fitotoksisitas padi.
39
8. Aplikasi herbisida dilakukan pada 10 hari setelah sebar (HSS). 9. Lahan tidak diairi hingga 2 hari setelah aplikasi.
10. Masukkan air kembali pada 3 hari setelah aplikasi.
11. Pengamatan fitotoksisitas padi diamati pada 7, 15, 30 dan 45 hari setelah aplikasi. Pengamatan dilakukan dengan metode
skoring :
Tabel 5. Nilai Skoring Fitotoksisitas Padi
0 Tidak ada keracunan, 0%-5% bentuk dan warna daun muda tidak normal
1 Keracunan ringan, 5%-10% bentuk dan warna daun muda tidak normal
2 Keracunan sedang, 10%-20% bentuk dan warna daun muda tidak normal
3 Keracunan berat, 20%-50% bentuk dan warna daun muda tidak normal
4 Keracunan sangat berat, >50% bentuk dan warna daun muda tidak normal, daun mengering dan rontok sampai tanaman mati.
4.4. Studi Percobaan Daya Efikasi Herbisida dan Tipe Gejala Keracunan Gulma
Studi percobaan merupakan kegiatan secara khusus dengan tujuan untuk memperluas pemahaman tentang metode pengujian produk herbisida. Percobaan yang dilakukan adalah pengujian daya
40
efikasi berbagai produk herbisida yang mengandung bahan aktif tertentu dan tipe gejala keracunan yang tampak pada gulma sasaran.. Aplikasi dilakukan 5 hari setelah gulma ditanam yaitu tanggal 10 September 2012 dan 18 September 2012. Percobaan dilakukan mulai tanggal 5 September 2012 sampai tanggal 3 Oktober 2012.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah herbisida dengan dosis sebagai berikut : Cyhalofop (180 g b.a/h), Penoxsulam (25 g b.a/h), Pretilachor (500 g b.a/h), Bensulfuron-methyl (60 g b.a/h), Bispyribac-Na (50 g b.a/h), 2,4 D amine (1298 g b.a/h), Atrazine (2250 g b.a/h), Mesotrione (100 g b.a/h), Mesotrione + Atrazine (100 + 1000 g b.a/h) Glyphosate (900 g b.a/h) dan Paraquat (600 g b.a/h). Gulma yang digunakan adalah sebagai berikut. Gulma sawah rumput : Echinochloa
crus galli. Gulma sawah berdaun lebar : Ludwigia octovalvis, Ludwigia adscendens, Limnocharis flava, Monochoria vaginalis. Gulma sawah
teki : Fimbristylis miliaceae. Gulma ladang jagung rumput :Digitaria
adscendens dan Echinochloa colonum. Gulma ladang jagung berdaun
lebar : Phyllanthus niruri, Cleome rutidosperma, Ipomea triloba L.,
Commelina mudiflora.. Gulma kebun rumput : Paspalum conjugatum, Axonopus compressus, dan Eleusine indica. Gulma kebun berdaun
lebar : Borreria alata, Mikania micrantha dan Asystasia intrusa.Alat-alat yang digunakan yaitu alat semprot bertekanan gas udara dengan nozel biru, ember, gelas ukur, pengaduk, timbangan, spidol, botol plastik, bambu sebagai patok, baki sebagai tempat gulma sawah dan gulma ladang serta pot hitam sebagai tempat gulma kebun.
41
Pelaksanaan percobaan dimulai dengan menanam gulma pada masing-masing baki dan pot. Aplikasi herbisida dilakukan pada gulma umur 5 HST. Penyemprotan dilakukan dengan alat semprot bertekanan gas. Nozzle yang digunakan berwarna biru, terdapat 4 nozzle dalam satu tangkai. Penyemprotan dilakukan di ruang terbuka pada saat keadaan angin tidak kencang (maksimal 2 km/jam). Setelah disemprot gulma diletakkan sesuai dengan lingkungan tumbuh masing-masing. Gulma sawah pada lahan sawah yang terendam air sedangkan gulma ladang jagung dan kebun pada tempat terbuka di bawah naungan.
Pengamatan dilakukan dengan caramenganalisis daya efikasi bahan aktif herbisida dengan indikator presentase keracunan gulma pada hari ke 1, 5, 10 dan 15 HSA (Hari Setelah Aplikasi). Tingkat keracunan gulma yang disebabkan oleh aplikasi herbisidadilakukan secara visual scoring. Selang presentase keracunan gulma antara 0%-100%. Pengamatan daya efikasi herbisida terhadap gulma juga diamati pada stadia gulma yang berbeda, yaitu pada stadia benih (Echinochloa
crus-galli Perlakuan 3), stadia 2 daun dan 4 daun.
Pengamatan selanjutnya yaitu tipe gejala keracunan gulma yang terdapat pada sampel masing-masing perlakuan. Pengambilan sampel gejala keracunan gulma dilakukan pada saat gulma menunjukkan keracunan yang dapat diamati secara nyata dengan metode visual. Sampel diambil dari bagian gulma yang bergejala kemudian didokumentasikan.
42
4.5. Daya Efikasi Herbisida Terhadap Gulma Sawah
Tabel 6. Presentase Keracunan Gulma Sawah
P Bahan Aktif Gulma 1 Pengamatan (HSA) 5 10 15 1 Cyhalofop Echinochloa crss-galli 4 daun 0% 5% 30% 80% 2 Penoxsulam Echinochloa crus-galli 4 daun 0% 5% 10% 30% 3 Pretilachor Benih Echinochloa crus-galli
Echinochloa crus-galli 2 daun Echinochloa crus-galli 4 daun 90 % 5% 0% 90% 10% 5% 80% 30% 10% 70% 60% 20% 4
Bensulfuron-methyl 4 Daun Ludwigia octovalvis Ludwigia adscendens Limnocharis flava Fimbristylis miliaceae Monochoria vaginalis 0% 0% 0% 0% 0% 0% 10% 20% 5% 20% 5% 30 % 40 % 20 % 50 % 30% 70% 60% 30% 80% 2 Daun Ludwigia octovalvis Ludwigia adcendens Limnocharis flava Fimbristylis miliaceae Monochoria vaginalis 0% 0% 0% 0% 0% 30% 50% 60% 50% 60% 100% 100% 100% 100% 80% 100% 100% 100% 100% 100% 5 Bispyribac-Na 4 Daun Ludwigia octovalvis Ludwigia adscendens Limnocharis flava 0% 0% 0% 20% 50% 50% 70% 60% 100% 60% 70% 100%
43
Hasil presentase keracunan gulma sawah terhadap herbisida diperlihatkan dalam tabel 7. Pada perlakuan P1, P2. P3. P4. P5 dan P6 memiliki kandungan bahan aktif herbisida yang berbeda-beda. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida dengan bahan aktif yang berbeda berpengaruh nyata terhadap presentase keracunan dan kematian gulma sawah pada 1, 5, 10 dan 15 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
Pada hari pertama setelah aplikasi semua spesies gulma pada perlakuan menunjukkan tanda-tanda keracunan sebesar 0% . Hal ini dikarenakan bahan aktif pada perlakuan P1, P2. P3. P4. P5 dan P6 adalah termasuk herbisida sistemik. Menurut Rukmana dan Saputra (1999), herbisida sistemik mematikan gulma dengan meracuni sistem fisiologis, mengganggu sintesis enzim serta menghambatmetabolism gulma. Menurut Kuntohartono (1976), gejala keracunan gulma terhadap
Fimbristylis miliaceae Monochoria vaginalis 0% 0% 30% 30% 60% 60% 100% 100% 2 Daun Ludwigia octovalvis Ludwigia adscendens Limnocharis flava Fimbristylis miliaceae Monochoria vaginalis 0% 0% 0% 0% 0% 40% 60% 70% 50% 70% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 6 2,4 D amine Gulma sawah 4 Daun:
Ludwigia octovalvis Ludwigia adscendens Limnocharis flava Fimbristylis miliaceae Monochoria vaginalis 0% 0% 0% 0% 0% 30% 40% 60% 40% 50% 100% 100% 100% 60% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
44
herbisida sistemik akan parah pada sekitar 2-4 minggu setelah aplikasi. Pada hari ke 5 dan selanjutnya keracunan dapat diamati. Pada gulma sawah Echinochloa crus galli peningkatan signifikan presentase keracunan gulma yang paling tinggi adalah pada P1 yaitu herbisida dengan bahan aktif chyhalofop. Perlakuan terbaik berikutnya secara berurutan adalah P2 bahan aktif penoxsulam dan P3 bahan aktif pretilachor.
Hasil pengamatan 15 HSA pada herbisida chyhalofop, gulma telah teracuni 80% dan pada pretilachlor gulma telah teracuni 30%. Cyhalofop-butyl dan penoxsulam merupakan bahan aktif herbisida yang sering digunakan dalam pengendalian gulma padi sawah dengan hasil yang optimal. Jenis herbisida dengan bahan aktif cyhalofop pada dosis 200 g ha-1 mampu mengendalikan Echinochloa crus galli setidaknya 88% bila diterapkan di awal dan akhir post emergence (Ntanos et al., 2000). Namun daya efektivitas kedua bahan aktif herbisida tersebut belum mampu mengakibatkan gulma mati 100% pada hasilpercobaan, hal ini dikarenakan herbisida ini memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bereaksi. Menurut Ottis et al., (2004) herbisida berbahan aktif penoxsulam mampu mengendalikan hampir 99% pada 21 hari setelah aplikasi (HSA) secara pre emergence.
Presentase keracunan yang paling lambat terdapat pada P3 yaitu herbisida dengan bahan aktif pretilachor. Pengaplikasian herbisida ini juga diterapkan sebagai herbisida pra tumbuh yaitu untuk benih
45
signifikan presentase keracunan gulma yang paling tinggi adalah pada P6, P5 dan P4. Dengan bahan aktif berturut-turut 2,4- D amine, bispyribac-Na dan bensulfuron-methyl. Aplikasi herbisida yang memiliki kecepatan tertinggi dalam mengendalikan gulma sawah berdaun lebar adalah bahan aktif 2,4 D amine. Pada 1 HSA presentase keracunan gulma sebesar 0% hal ini dikarenakan 2,4-D amine ialah herbisida sistemik yang memerlukan proses translokasi ke seluruh tubuh sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meracuni gulma. 2,4-D amine dapat mengendalikan tumbuhnya rumput meskipun pemakaian utama adalah untuk mengendalikan gulma berdaun lebar. Hal ini dipengaruhi oleh selektivitas. Selektifitas suatu bahan kimia tidak absolut dan mungkin tergantung pada hal-hal berikut : a) banyaknya bahan kimia yang digunakan ; b) cara pemakaian ; c) kadar air pada daun ; d) presipitasi setelah perlakuan ; e) toleransi suatu spesies tanaman terhadap herbisida tertentu ; f) perbedaan kebiasaan tumbuh tanaman dan gulma (Riadi, 2011).
Sebanyak 4 dari 5 spesies yang diaplikasikan dengan herbisida 2,4 D amine mengalami kematian pada 10 HSA. Spesies gulma yang mengalami kematian adalah Ludwigia octovalvis, Ludwigia adscendens,
Limnocharis flava dan Monochoria vaginalis, sedangkan gulma yang
belum mencapai kematian pada 10 HSA adalah Fimbristylis miliaceae. Translokasi bahan aktif herbisida tertinggi terjadi setelah hari pertama hingga hari ke-10 mengalami kematian total yaitu 100%. Hasil penelitian Sofnie et.,al pada tahun 2000 menunjukkan bahwa radioaktivitas
46
herbisida 2,4 D amine pada akar maupun daun gulma tertinggi terjadi pada minggu ke-0 (1-7 hari) pada kondisi tanah normal maupun tanah yang dipadatkan 30% di atas normal.
Herbisida bispyribac-Na banyak digunakan untuk mengendalikan gulma jenis rumput dan teki pada ladang dan kebun. Pada dasarnya bispyribac-Na adalah jenis herbisida selektif untuk rumput namun daya selektivitas akan menurun jika diberikan dalam dosis yang tinggi atau terjadi resistensi gulma karena intensitas pemberian satu jenis herbisida secara berkelanjutan. Herbisida ini berhasil mematikan 3 dari 5 spesies gulma pada 15 HSA. Gulma tersebut adalah Limnocharis flava, Fimbristylis miliaceae dan
Monochoria vaginalis, sedangkan yang tidak mengalami kematian pada
15 HSA adalah Ludwigia octovalvis, Ludwigia adscendens. Herbisida dengan bahan aktif bensulfuron-methyl pada hasil percobaan memiliki kecepatan paling rendah dalam meracuni gulma. Hasil penelitian Shukor et al., (2012) menunjukkan bahwa aplikasi bernsulfuron-methyl dengan dosis 0.32 kg a.i/ha mampu mengendalikan Limnocharis flava beserta gulma peka yang lainnya. Gejala yang ditimbulkan berkembang secara lambat yang dimulai dari minggu pertama dan ke-3 setelah aplikasi (MSA).
5.7.2 Daya Efikasi Herbisida Terhadap Gulma Ladang Jagung
Hasil presentase keracunan gulma ladang terhadap herbisida diperlihatkan pada tabel 8. Dengan perlakuan P6, P7, P8 dan P9yang
47
memiliki kandungan bahan aktif yang berbeda-beda. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida dengan bahan aktif yang berbeda berpengaruh nyata terhadap presentase keracunan dan kematian gulma sawah pada 1, 5, 10 dan 15 HSA. Perlakuan yang mampu memberi efek keracunan tertinggi pada gulma adalah campuran herbisida atrazine + mesontrione. Semua spesies gulma mengalami kematian 100% pada 15 HSA. Pencampuran lebih dari satu bahan aktif herbisida merupakan alternatif untuk menciptakan herbisida yang berspektrum luas dalam pengendalian gulma. Atrazine merupakan bahan aktif yang bersifat sistemik dengan aksi menghambat rekasi fotosistem II, sedangkan mesontrione berperan untuk menghambat aktifitas enzim pembentuk pigmen karotenoid dan klotofil.
Tabel 7. Presentase Keracunan Gulma Ladang Jagung
P Bahan Aktif Gulma Pengamatan (HSA)
1 5 10 15
6 2,4 D amine Phyllanthus niruri
Ipomea triloba L. Cleome rutidosperma 0% 0% 0% 20% 30% 5% 50% 60% 10% 70% 100% 20% 7 Atrazine Phyllanthus niruri
Cleome rutidosperma Ipomea triloba L. Commelina mudiflora Digitaria adscendens 0% 0% 0% 0% 0% 0% 20% 30% 30% 10% 10% 10% 50 % 70% 70% 30% 20% 50% 100% 100% 100% 100% 10% 100%
48
Echinochloa colonum
8 Mesotrione Phyllanthus niruri
Cleome rutidosperma Ipomea triloba L. Commelina mudiflora Digitaria adscendens Echinochloa colonum 0% 0% 0% 0% 0% 0% 40% 30% 40% 30% 30% 60% 50% 80% 70% 60% 60% 70% 20% 100% 50% 40% 40% 40% 9 Mesotrione + Atrazine Phyllanthus niruri Cleome rutidosperma Ipomea triloba L. Commelina mudiflora Digitaria adscendens Echinochloa colonum 0% 0% 0% 0% 0% 0% 30% 80% 70% 60% 30% 60% 70% 100% 100% 100% 80% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Herbisida Atrazine (P7) memilki efektivitas menekan pertumbuhan gulma yang efektif setelah atrazine + mesontrione (P9). Spesies gulma yang mengalami kematian 100% adalah Phyllanthus
niruri, Ipomea triloba L., Commelina mudiflora, dan Echinochloa colonum. Atrazine tidak efektif dalam menekan pertumbuhan Digitaria adscendens. Gulma rumput ini hanya mampu mengalami keracunan
hingga 20% pada 10 HSA dan mengalami pemulihan 10% pada 15 HSA. Menurut Ridho (2011), atrazine efektif untuk mengendalikan gulma semusim.
49
Pada aplikasi mesontrione (P8) tidak mampu menekan pertumbuhan gulma hingga mencapai kematian total 100%. Pada 5 HSAsampai 10 HSA gulma mengalami keracunan berupa pemutihan atau bleaching pada daun dan batang, namun pada 15 HSA terjadi pemullihan. Proses pemulihan ditandai dengan tumbuhnya daun baru pada pucuk maristem gulma yang berwarna hijau. Presentase pemulihan gulma terjadi pada spesies Phyllanthus niruri (30%),
Ipomoea triloba L (20%), Commelina mudiflora(20%), Digitaria adscendens(20%) dan Echinochloa colonum (30%). Herbisida 2,4 D
amine efektif mengendalikan Phyllanthus niruri (70%) dan Ipomea
triloba L (100%) pada 15 HSA namun kurang efektif untuk Cleome rutidosperma (20%).
5.7.3 Daya Efikasi Herbisida Terhadap Gulma Perkebunan
Herbisida glyphosate dan paraquat adalah jenis herbisida yang berbeda berdasarkan mekanisme tipe translokasi dalam tumbuhan. Sistem translokasi yang berbeda ini menyebabkan respon keracunan yang berbeda pula terhadap gulma. Hasil presentase keracunan gulma ladang terhadap herbisida diperlihatkan pada tabel berikut.
Tabel 8. Presentase Keracunan Gulma Perkebunan
P Bahan
Aktif Gulma 1 Pengamatan (HSA) 5 10 15
10 Glyphosate Paspalum conjugatum Axonopus compressus 0% 0% 0% 0% 20% 10% 30% 20% 60% 40% 70% 50% 80% 60% 100% 80%
50 Borreria alata Eleusine indica Mikania micrantha Asystasia intrusa 0% 0% 30% 10% 60% 20% 100% 20% 11 Paraquat Paspalum conjugatum Axonopus compressus Borreria alata Eleusine indica Mikania micrantha Asystasia intrusa 60% 70% 30% 70% 80% 30% 80% 80% 50% 70% 100% 10% 60% 80% 50% 60% 100% 10% 40% 70% 40% 50% 100% 5%
Aplikasi herbisida perlakuan P10 (glyphosate) dan P11 (paraquat) pada gulma kebun memiliki pengaruh yang nyata terhadap presentase keracunan. Gulma pada perlakuan herbisida glyphosate mengalami keracunan secara bertahap dengan presentase kerusakan yang semakin meningkat. Mikania micrantha adalah spesies yang paling peka, yaitu mengalami kematian total 100% pada 15 HSA. Glyphosate adalah termasuk dalam golongan herbisida sistemik, herbisida ini bersifat non-selektif yang diserap oleh daun yang di angkut perlahan-lahan ke seluruh bagian tumbuhan. Glifosat efektif dalam membunuh berbagai tanaman, termasuk rumput , berdaun lebar , dan tanaman berkayu. Menurut Daud (2008), perlakuan Glyfosat 4 1/ha,
51
pada 7 HAS berhasil menurunkan persentase penutupan gulma hingga tertinggal 10 % kemudian menurun lagi menjadi 5 % pada 14 HSS dan akhirnya 0 % pada 21 HSS.
Respon yang cepat dapat dilihat pada herbisida paraquat (P11), seluruh spesies gulma mengalami keracunan di atas 10%. Mikania
micrantha memiliki presentase keracunan terbesar yaitu 80%, semua
daun menunjukkan gejala terbakar, ia tidak mampu melakukan fotosisntesis, sehingga pada 5 HSA mengalami kematian total 100%. Paraquat adalah herbisida golongan piridin yang bersifat kontak tidak selektif dan dipergunakan secara purna tumbuh. Di dalam jaringan tumbuhan, bahan aktif herbisida kontak hampir tidak ada yang ditranslokasikan. Jika ada, bahan tersebut ditranslokasikan melalui phloem. Karena hanya mematikan bagian gulma yang terkena, pertumbuhan gulma dapat terjadi sangat cepat. Dengan demikian, rotasi pengendalian menjadi singkat. Herbisida kontak memerlukan dosis dan air pelarut yang lebih besar agar bahan aktifnya merata ke seluruh permukaan gulma dan diperoleh efek pengendalian aktifnya yang lebih baik. Menurut Daud (2008) Tingkat pengendalian gulma tercepat dalam sistem TOT (Tanah Tanpa Olah) adalah perlakuan paraquat 3 1/ha (100% pada 7 HSA) namun Penurunan persentase penutupan gulma tertinggi juga pada perlakuan Paraquat 3 l /ha (100%).
52
5.7.4 Kemampuan Herbisida Mengendalikan Gulma Pada Stadia yang Berbeda
Aplikasi herbisida dapat ditentukan oleh bebarapa faktor, salah satunya yaitu berdasarkan stadia pertumbuhan tanaman utama dan gulma. terdapat beberapa macam herbisida dilihat dari waktu aplikasinya, yaitu herbisida pra tumbuh dan herbisida pasca tumbuh. Herbisida pra tumbuh bekerja dengan cara mematikan biji-biji gulma yang akan berkecambah di dalam maupun di atas permukaan tanah. Perlakuan aplikasi herbisida terhadap benih gulma dilakukan pada benih Echinochloa crus galli dengan herbisida berbahan aktif pretilachlor. Pada 1 HSA presentase perkecambahan benih adalah 10%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif herbisida mulai menekan perkecambahan. Hingga pada 15 HSA perkecambahan hanya terjadi 30%. 0 20 40 60 80 100 Pretilachor
Benih Echinochloa crus galli
1 HSA 5 HSA 10 HSA 15 HSA
Gambar 8. Histogram Presentase Keracunan Benih Echinochloa
53
Periode aktif herbisida pra tumbuh dalam mengendalikan gulma secara umum sangat bergantung pada jenis herbisida yang digunakan, dosis aplikasi, suhu, kelembaban tanah serta struktur tanah. Selain itu, aplikasi herbisida pra tumbuh memerlukan cukup banyak pelarut (Barus, 2003). Presentase perkecambahan semakin meningkat seiring dengan lamanya pengamatan. Hal ini berarti daya racun herbisida untuk menekan perkecambahan benih semakin menurun. Pengendalian gulma pasca tumbuh dibedakan pada stadia 2 daun dan 4 daun dilakukan pada perlakuan herbisida bensulfuron-methyl dan bispyribac-Na.Hal ini bertujuan untuk melihat efikasi herbisida pada tingkat stadia yang berbeda. 0 20 40 60 80 100
Gambar 9. Histogram Kematian Gulma 15 HSA Pada Bensulfuron-methyl
54
Pada gambar 9 dan gambar 10 menunjukkan bahwa pengendalian gulma pada stadia 2 daun lebih efektif dari pada stadia 4 daun. Semua jenis gulma sawah pada pengendalian fase 2 daun mengalami kematian total pada 15 HSA sedangkan pada stadia 4 daun gulma masih mengalami keracunan bertahap. Efektivitas berbeda ditunjukkan pada bispyribac-Na. Spesies gulma stadia 4 daun
Limnocharis flava, fimbristylis miliaceae dan Monochoria vaginalis
mengalami kematian total 100% namun pada Ludwigia octovalvis dan
Ludwigia adcendens belum mengalami kematian total.
5.7.5 Tipe Gejala Keracunan Gulma Terhadap Bahan Aktif Herbisida
Jenis bahan aktif herbisida menentukan mekanisme kerja herbisida dalam tubuh tumbuhan. Istilah mekanisme kerja herbisida disebut Mode of Action/MoA. Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh gulma bersifat khas. Tipe gejala ini tergantung dengan MoA herbisida yang diaplikasikan. Berdasarkan HRAC classification on mode of action (2000) bahan aktif herbisida yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Mode of Action Bahan Aktif Hetbisida
55
H erbisi da
dengan bahan aktif cyhalafop adalah jenis herbisida yang memiliki MoA ACCase. Gejala yang ditimbulkan pada gulma Echinochloa crus galli adalah daun mengalami penguningan, daerah maristem klorosis disertai dengan nekrosis dan bagian daun muda jika dicabut mudah terpisah dengan bagian tubuh utama gulma. Cyhalafop adalah Herbisida termasuk dalam grup herbisida ACCase (acetyl CoA carboxylase) inhibitors (Weed Science, 2011). Cyhalofop-butyl mengendalikan gulma dengan jalan menghambat kerja Asetil Koenzim-A Karboksilase. Enzim ini bertindak dalam biosintesis asam lemak pada jenis rumput-rumputan. Penghambatan asam lemak menyebabkan kehilangan lemak dan kematian secara bertahap pada proses pembelahan sel di titik tumbuh (California Departement of Pesticide Regulation, 2003). Bagian
1 Chyalafop ACCase 2 Penoxsulam ALS 3 Pretilachor VLCFA 4 Bensulfuron-methyl ALS 5 Bispyribac-Na ALS 6 2,4 D amine Auxin 7 Atrazine PSII 8 Mesotrione HPPD
9 Mesotrione + Atrazine HPPD+PSII
10 Glyphosate EPSPS
56
Echinochloa crus galli yang telah menguning mengalami perusakan
pada sel-sel tumbuhan atau organ-organ sel yang mengandung membran lipid sehingga mempengaruhi integritas membran dalam jaringan maristem.
Gejala keracunan gulma pada perlakuan herbisida dengan bahan aktif penoxsulam, bensulfuron-methyl dan bispyribac-Na memiliki kesamaan tipe gejala. Penyimpangan pada tubuh tumbuhan tersebut adalah mengalami kekerdilan, daun mengalami klorosis dan terhambatnya pertumbuhan tunas baru. Bahan aktif tersebut tergolong dalam ALS (acetolacetatesynthase). ALS bekerja dengan menghambat pembelahan sel secara cepat dimanaherbisida masuk ke dalam xylem dan floem, sehingga mencegah biosintesispercabangan rantai asam amino (Monaco, 2002). ALS menghambat sintesa asam amino yang sangat diperlukan sebagai protein tumbuhan.
2,4 D amine adalah herbisida yang memiliki sistem kerja merangsang pertumbuhan. Herbisida ini mengganggu pertumbuhan normal tumbuhan yang menyebabkan sel-sel pada urat-urat daun (leafy
veins) membelah dengan cepat dan memanjang, sementara sel-sel di
antara urat-urat tersebut tidak lagi membelah diri sehingga menghasilkan ikatan sempit yang panjang seperti daun muda. Kadar air juga meningkat sehingga membuat tanaman menjadi rapuh. Pembelahan sel dan tingkat respirasi meningkat, memacu pertumbuhan secara berlebihan sehingga tumbuhan itu mati. Respirasi meningkat dan fotosintesis menurun. Akar kehilangan kemampuannya dalam
57
menyerap unsur hara dari dalam tanah dan jaringan batang tidak dapat lagi mengangkut makanan ke seluruh bagian tumbuhan. Herbisida ini bekerja di dalam tubuh tumbuhan secara translokatif yaitu dengan sistem melewati phloem atau xylem (Ashton dan Monaco, 1991).
Penyimpangan pertumbuhan gulma pada bahan aktif pretilachor adalah daun berbentuk tidak simetris, terpilin-pilin, mengkerut dan ujung terminal (tumpul), tulang daun kaku serta tidak muncul tunas pada jaringan maristem. Gejala keracunan pada benih yaitu biji berkecambah namun tidak muncul tunas, jaringan yang terbentuk rapuh serta bentuk kecambah yang abnormal. Pretilachor memiliki kinerja VLCFA(Very Long Chain Fatty Acid). Plasmalemma terdiri atas protein dan lipids. Jadi, lipids dibutuhkan untuk sempurnanya plasmalemma. Organel-organel seperti khloroplast dan mitokondria dibungkus oleh membran, serupa dengan plasmalemma. Kuticula lipids dibutuhkan untuk menebalkannya, sehingga penguapan berkurang. VLCFA mencengah penebalan lipids lilin di atas kuticula. Pada kekentalan yang lebih tinggi membran-membran di dalam selpun dirusak sehingga isi organel berantakan (Matthes and Böger, 2002).
Gejala keracunan gulma yang diaplikasikan dengan herbisida atrazine adalah daun muda yang terbentuk berwarna pucat, daun mengalami klorosis atau kekuningan dari sisi luar dan kemudian layu. Atrazine termasuk herbisida yang memiliki kinerja PSII (Photosynthesis II). Translokasi bahan aktif atrazine ke dalam tubuh gulma menyebabkan elektron pada fotosistem II terakumulasi pada molekul
58
klorofil yang mengakibatkan oksidasi yang berlebihan dari yang dapat ditoleransi sel akibatnya tumbuhan mati.
Mesotrione termasuk dalam herbisida MoA HPPD (4-hydroxyphenyl-pyruvate-dioxygenase). Hasil pengamatan menunjukkan gejala gulma mengalami klorosis, pemutihan atau bleaching. Tunas baru yang muncul berwarna putih atau albino. Sebagian tumbuhan mampu melakukan pemulihan. Herbisida ini menyebabkan rusaknya klorofil sehingga tanpa klorofil tumbuhan tidak mampu melakukan fotosintesis dan mati. Pencampuran bahan aktif atrazine dan mesontrione menyebabkan gejala keracunan yang merupakan gabungan dari keduanya. Daun muda berwarna pucat, daun tua menguning mulai dari jaringan terluar. Benih gulma non target tumbuh memiliki warna daun albino. MoA herbisida campuran ini adalah HPPD (4-hydroxyphenyl-pyruvate-dioxygenase ) + PSII (Photosynthesis II).
Gejala keracunan gulma yang diapliaksikan dengan herbisida glyphosate adalah daun menguning, batang dan akar rapuh. Gulma mengalamai peningkatan kerusakan secara perlahan. Glyphosat merupakan herbisida bersifat sistemik yang efektif mengendalikan gulma berdaun lebar dan sempit. Cara kerja herbisida ini yaitu mempengaruhi metabolisme asam nukleat dan sintesa protein (menghambat pembentukan ikatan asam amino). Glyphosate bekerja secara EPSPS (Enolpyruvyl Shikimate-3-Phosphate). PenghambatanEPSPmenyebabkanpenipisanasamaminoaromatiktriptof an, tirosin, danfenilalanin, semua yang dibutuhkanuntuk
59
sintesisproteinatau untukjalur biosintesis yang untuk pertumbuhan (Ashton, 1991).
Herbisida paraquat adalah jenis herbisida kontak yang memiliki respon kerusakan yang cepat pada tumbuhan. Gejala kerusakan yang dihasilkan yaitu efek terbakar pada jaringan yang terkena herbisida, bagian yang terbakar kemudian layu. Tumbuhan dapat pulih melalui tumbuhnya tunas baru dari batang yang berada di bawah permukaan tanah. Paraquat termasuk herbisida yang memiliki MoA PSI (Photosynthesis Inhibitors) kerusakan membran sel, yang memungkinkan plasma sel keluar. Paraquat, diquat, linuron, ametryn, dan pyridate menunjukkan pengaruh sekunder karena dapat menghambat fotosintesis sehingga menyebabkan berkembangnya bahan beracun (Riadi, 2011).
60
DAFTAR PUSTAKA
Ashton and T. J. Monaco. 1991. Weed Sc ience : Principles and Practices (3rd ed). John Wiley and Sons, Inc. New York. 466 p. Badan Pusat Statistik. 2001. Statistika Indonesia. Available from
http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table.shtml.Accessed December 18th, 2001.
Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan.Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 103 hal.
Briggs, HF. 2000. Buku Informasi Produk Syngenta. Syngenta. Jakarta. California Departement of Pesticide Regulation. 2003. Public report.
Cyhalofop butyl. www.cdpr.ca.gov. [Maret 2011].
Daud, D. 2008. Uji Efikasi Herbisida Glifosat Sulfosat dan Paraquat pada Systim Tanpa Olah Tanah (TOT) Jagung. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008.
De Datta, S. K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons, Inc. New York, USA. 618p.
Direktorat Sarana Produksi. 2006. Pestisida Terdaftar (Pertanian dan Kehutanan). Direktorat Sarana Produksi, Direktorat Jenderal TanamanPangan, Jakarta, p.486-494.
Direktur Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2001. Kebijakan Pembangunan Pertanian Nasional. Makalah disampaikan pada Konferensi HIGI XV. Surakarta. 17-19 Juli 2001.
Djafaruddin. 1995. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (Umum). Bumi Aksara. Jakarta.
61
Hardiastuti, S. dan S. Budi S. 2005. Persiapan Lahan Tanpa Olah Tanah dengan Menggunakan Herbisida Paraquat dan Sulfosat serta Cara Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt).Prosiding Konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005.Hal IV-31-35.
Isely, D. 1962. Weed Identification and Control. Iowa State University Press. Ames, Iowa, USA. 400 p.
Kasasian, L. 1971. Weed Control in The Tropic. Leonard Hill Book Co., London. 307 hal.
Kuntohartono. 1976. Keselektifan Ametrina Terhadap Beberapa Varietas Tebu. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 6-14.
Lafitte, H.R. 1994. Identifying production problems in tropical maize: a field guide. CIMMYT, Mexico , D.F. p.76-84.
Lubis, R. A. dan Ch. Hutauruk. 1982. Pemberantasan gulma dengan herbisida pada tanaman kelapa sawit menghasilkane Pedoman Teknis 27. Pusat Penelitian Marihat. P. Siantar. 6p.
Mangoensoekarjo, S. dan J. V. Pancho. 1975. Rerumputan kebun karet, kelapa sawit, coklat, teh dan padi serta cara pemberantasannya. Bull. BPP Medan 6 (1): 13-18.
Matthes B. and Böger P. (2002), Chloroacetamides Affect The Plasma Membrane. Z. Naturforsch. 57c, 843-852.
Mercado, B. L. 1979. Introduction to Weed Science. Southeast Asia Regional Centre for Graduate Study and Research in Agriculture. p 37-69.
Merrington, G., L. Winder., R. Parkinson and M. Redman. 2002. Agricutural Polution : Environmental Problems and Practical Solutions.
62
Metusala, D. 2006. Studi Waktu Aplikasi dan Dosis Herbisida Campuran Atrazinedan Mesotrione pada Pengendalian Gulma Terhadap Hasil dan KualitasHasil Jagung (Zea mays). Skripsi (tidak dipublikasikan). Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi. 100 hlm. Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press. Malang.
103 hal.
Monaco, T.J., S.C. Weller, and F.M. Ashton. 2002. Weed Science. Principle and Practice. 4th Edition. John Wiley & Son, Inc. New York. p.338-339.
Mulyono, S., H. Pane., S. Wahyuni, dan Noeriwan B.S. 2003. Aplikasi herbisida residu rendah dalam pengendalian gulma padi walik jerami pada penyiapan lahan yang berbeda. hlm. 317-327. Dalam S. Agus, S.Y. Jatmiko, dan I.J. Sasa (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Ntanos, D.M., S.D. Koutroubas, and C. Mavrotas. 2000. Barnyardgrass (Echinochloa crus-galli) Control in Water-Seeded Rice (Oryza
sativa) with Cyhalofop-butyl. Weed Technol. 14: 383-388.
Ottis, B.V., R.E. Talbert, M.S. Malik, and A.T. Ellis. 2003. Pest Management: Weed Control With Penoxsulam (grasp.). AAES Research, Series. 517: 144-150.
Riadi, M., Rinaldi Sjahril., Elkawakib. S. 2011. Bahan Ajar Mata Kuliah : Herbisida dan Apliaksinya. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanudin. Makassar. 140 hal.
Rukmana dan Saputra. 1999. Gulma dan Teknik Pengendalian. Kanisius.Yogyakarta, 88 hal.