SKRIPSI
IDENTIFIKASI
DRUG THERAPY PROBLEMS
(DTPs)
PADA PASIEN LANJUT USIA YANG
MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
VIVIN DIAH AYU PURWORINI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS
SKRIPSI
IDENTIFIKASI
DRUG THERAPY PROBLEMS
(
DTPs
) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG
MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
VIVIN DIAH AYU PURWORINI
(050911007)
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul:
IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Airlangga untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 21 Agustus 2013
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Vivin Diah Ayu Puworini
NIM : 050911007
Fakultas : Farmasi
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil tugas akhir yang saya tulis dengan judul:
IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan kelulusan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Surabaya, 21 Agustus 2013
Vivin Diah Ayu Purworini
Lembar Pengesahan
IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
SKRIPSI
Dibuat untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2013
Oleh:
VIVIN DIAH AYU PURWORINI NIM : 050911007
Skripsi ini telah disetujui Tanggal 21 Agustus 2013 oleh:
Pembimbing Utama Pembimbing Serta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniayang dilimpahkan-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “IDENTIFIKASI
DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA
YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP (Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)” ini dengan baik.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Umi Athiyah, Apt., M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga atas fasilitas, sarana dan prasarana yang diberikan selama penyelesaian pendidikan sarjana.
2. Ibu Yunita Nita, S.Si., MPharm., Apt. selaku dosen pembimbing
utama yang telah membimbing, mengarahkan serta memberi masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Yuni Priyandani, S.Si., Apt., Sp.FRS dan Ibu Ana Yuda, S.Si.,
Apt. selaku dosen pembimbing serta I dan II selaku pembimbing serta kedua yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran baik dalam penyelesaian skripsi ini
4. Ibu Ekarina Ratna Himawati, M.Kes., Apt dan Ibu Dra. Wahyu
Utami Apt., M.Si, MM. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran sehingga membangun sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Ibu Dra.Tutiek Purwanti, M.,Si, Apt., selaku dosen wali yang telah
6. Para dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah mendidik dan membimbing serta membantu penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
7. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Departemen Farmasi Komunitas
yang telah membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Keluarga tercinta terutama Ayah dan Ibu yang telah memberikan
perhatian, kasih sayang, pengorbanan luar biasa, dorongan semangat dan doa selama penyelesaian skripsi ini dan masa studi saya.
9. Teman-teman skripsi satu Project Grant: Carissa, Risadyla,
Christina Ayu, Yuchyil dan Dewi atas kekompakan dan kerja samanya selama penulisan skripsi. Semoga sukses untuk semua.
10. Teman-teman kelas A angkatan 2009 Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga atas kerja sama, dukungan dan semangat, semoga sukses untuk semua.
11.Teman-teman angkatan 2009 Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga atas kekompakannya.
12.Apoteker Pendamping (Mbak Devi, Mbak Vuri dan Mbak Ishma)
dan karyawan-karyawan yang ada di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya atas segala bantuan dan kerjasama dalam penelitian ini sehingga dapat terselesaikan skripsi ini.
13.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
terimakasih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.
RINGKASAN
IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP
(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)
VIVIN DIAH AYU PURWORINI
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Pada lanjut usia terjadi perubahan fisiologis, perubahan farmakokinetika, dan perubahan farmakodinamika. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian lebih khususnya dalam hal perawatan kesehatan. Banyaknya gangguan kesehatan pada lanjut usia mengakibatkan penggunaan dan kebutuhan terkait obat meningkat. Apabila kebutuhan
terkait obat atau drug related need (DRN) tersebut tidak terpenuhi maka
dapat menimbulkan masalah terkait terapi obat atau drug therapy problems
(DTPs). Selain itu peningkatan penggunaan obat atau polifarmasi
mendorong kejadian DTPs semakin meningkat pula pada lanjut usia. Oleh
karena itu dibutuhkan peran Apoteker dalam mengidentifikasi DTPs
potensial dan/ atau aktual, menyelesaikan DTPs aktual, dan mencegah
DTPs potensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya
kejadian DTPs pada pasien lanjut usia yang mendapat pelayanan resep di
Apotek Farmasi Airlangga,
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non
probability sampling yaitu sampling jenuh atau sensus. Sampel yang digunakan adalah seluruh pasien lanjut usia yang menebus obat dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga pada bulan Februari 2013 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu berusia ≥ 60 tahun, pasien lanjut usia dan/atau keluarga pasien yang menebus obat dengan resep, dapat berkomunikasi baik dan bersedia menjadi responden. Dari 65 pasien lanjut usia yang menebus obat dengan resep yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 59 lanjut usia, dimana ada 2 responden diantaranya datang dua kali sehingga total resep responden sebanyak 61 resep.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interview
dengan menggunakan instrumen berupa lembar persetujuan (informed
consent), daftar pedoman interview, Patient Medication Record (PMR), DRP registration form V5.01 (PCNE Classification) yang dimodifikasi (van
tujuh kategori DTP menurut Cipolle,Strand and Morley (2004) yaitu terapi obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat tidak
efektif, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, Adverse Drug Reaction
(ADR), dan ketidakpatuhan.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 7 kategori DTPs menurut Cipolle,
Strand and Morley (2004) kejadian DTPs yang teridentifikasi adalah
ketidakpatuhan (59,68%), ADRs (32,26%), dan kebutuhan akan terapi obat
tambahan (8,06%). Kategori DTPs ketidakpatuhan disebabkan pasien memilih untuk tidak minum obat (24), pasien tidak memahami petunjuk pemakaian obat dengan benar (13), lupa minum obat (7) dan produk obat tidak tersedia untuk pasien karena kosong pabrik atau sedang habis di
apotek (4). Pada kategori ADRs disebabkan oleh adanya interaksi obat (36)
dan obat dikontraindikasikan pada pasien karena faktor risiko (3). Dari 36 potensi interaksi obat lima diantaranya karena interaksi obat dengan makanan (pisang). Sedangkan obat yang dikontraindikasikan dengan pasien adalah fenilpropanolamin dan kofein pada pasien hipertensi dan kodein pada pasien asma. Adanya kondisi baru yang membutuhkan terapi obat tambahan (5) merupakan penyebab dari kategori kebutuhan akan terapi obat tambahan. Kondisi baru tersebut terjadi pada pasien yang mengaku kolesterol tinggi, batuk dan sesak.
Dari hasil penelitian mengenai identifikasi DTPs pada pasien lanjut
usia yang mendapat pelayanan resep di Apotek Farmasi Airlangga pada
bulan Februari 2013 menunjukan tingginya kejadian DTPs kategori
ketidakpatuhan pada lanjut usia yang dapat mempengaruhi tidak tercapainya outcome terapi yang diharapkan. Oleh karena itu peran apoteker dalam pelayanan dan monitoring penggunaan obat pada lanjut usia perlu
ditingkatkan untuk mencegah dan mengatasi DTPs sehingga tingkat
pengetahuan dan kepatuhan lanjut usia meningkat serta outcome terapi
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) ON GERIATRIC PATIENTS WITH PRESCRIPTION
(Study At Farmasi Airlangga Pharmacy Surabaya)
VIVIN DIAH AYU PURWORINI
Physiological changes that occur in the aging process make the geriatric more susceptible to disease therefore the use of medication in geriatric increased. Drug related needs that do not be resolved can lead to Drug Therapy Problem (DTPs). The aim of this study was to investigate DTPs in geriatric patients at Farmasi Airlangga Pharmacy in Surabaya, Indonesia.
The study was a cross sectional study with non-probability sampling technique. Data was obtained by interviewing patients (≥ 60 years old) and/or their families. DTPs of geriatric patients who filled a prescription at Farmasi Airlangga Pharmacy in February 2013 were identified by the researcher. A DTP registration form and patient medication record (PMR) were used to document the data.
Results showed that a total of 59 geriatric patients presented and 61 prescription at the Pharmacy during February 2013. There were 44 (72,13%) geriatric patients found to have DTPs both actually and potentially. A number of 18 (29,51%) geriatric patients experienced more than 1 DTPs categories. The DTPs categories found in geriatic patients were 5 (8,06%) needs additional drug therapy, 20 (32,26%) adverse drug reaction
(ADR), and 37 (59,68%) non-compliance. The cause of adverse drug
reaction was drug-drug/drug-food interaction (39) and drug contraindicated due to risk factors (3). Furthermore, the cause of non-compliance was mostly patient prefers not to take the medication.
In conclusion, DTPs in elderly patient that happened in February 2013 at Farmasi Airlangga pharmacy were quite high. Pharmacists need to increase drug therapy monitoring. Pharmacists have a responsibility to resolve actual DTPs and to prevent potential DTPs.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... ... iv
KATA PENGANTAR ... ... v
RINGKASAN ……. ... ... vii
ABSTRAK……….. ... ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Tinjauan tentang Pharmaceutical care ... 6
2.2 Tinjauan tentang Drug Therapy Problems (DTPs) ... 8
2.2.1 Definisi DTPs ... 8
2.2.2 Kategori DTPs ... 8
2.3 Tinjauan tentang Lanjut Usia ... 14
2.3.1 Definisi Lanjut Usia ... 14
2.3.2 Perubahan Kondisi pada Lanjut Usia ... 14
2.3.4 Perubahan Farmakodinamika ... 18
2.3.5 Masalah Terkait Obat pada Lanjut Usia ... 18
2.3.6 Tinjauan Obat yang Biasa Digunakan untuk Pasien Lanjut Usia ... 20
2.4 Tinjauan tentang Resep ... 21
2.4.1 Definisi Resep ... 21
2.4.2 Isi Resep ... 22
2.5 Tinjauan tentang Patient Medication Record (PMR) ... 22
2.5.1 Tinjauan Mengenai Dokumentasi... 22
2.5.2 Tinjauan Mengenai PMR ... 23
2.6 Tinjauan tentang Penelitian Survei ... 25
2.7 Tinjauan tentang Apotek ... 28
2.7.1 Definisi Apotek ... 28
2.7.2 Fungsi Apotek ... 28
2.7.3 Pelayanan Farmasi di Apotek ... 28
2.7.4 Tinjauan tentang Apotek Farmasi Airlangga ... 29
2.8 Penelitian Terdahulu ... 30
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ... 32
BAB IV METODE PENELITIAN ... 34
4.1 Jenis Penelitian ... 34
4.1.1 Tujuan Penelitian... 34
4.1.2 Waktu Pengumpulan Data ... 34
4.2 Sumber Data Penelitian ... 34
4.3 Lokasi penelitian dan Waktu Penelitian ... 35
4.4 Populasi ... 35
4.5 Sampel ... 35
4.5.1 Teknik Pengambilan Sampel ... 35
4.5.3 Jumlah Sampel ... 36
4.6 Metode Pengumpulan Data ... 36
4.7 Variabel Penelitian ... 37
4.8 Instrumen Penelitian ... 43
4.9 Definisi Operasional ... 43
4.10 Uji Validitas Instrumen ... 45
4.11 Analisis Data ... 47
BAB V HASIL PENELITIAN……….……. 48
5.1 Gambaran Umum Penelitian ... 48
5.2 Uji Validitas………. ... 48
5.3 Gambaran Umum Responden………. ... 50
5.3.1 Jenis Kelamin………….. ... 50
5.3.2 Usia………... 50
5.3.3 Riwayat Gangguan Kesehatan ... 50
5.3.4 Sumber Dana Pembelian Obat ... 52
5.4 Obat dalam Resep……….. ... 52
5.5 Identifikasi Drug Therapy Problems ... 53
5.5.1 Penyebab Kebutuhan akan Terapi Obat Tambahan……… ... 55
5.5.2 Penyebab ADRs ……….… 55
5.5.3 Penyebab Ketidakpatuhan ... 58
BAB VI PEMBAHASAN……….……... 60
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN……… 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel IV.1 Variabel penelitian ………. 37
Tabel V.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden………... 50
Tabel V.2 Distribusi Usia Responden ………... . 50
Tabel V.3 Distribusi Riwayat Gangguan Kesehatan…….…………. ... 51
Tabel V.4 Distribusi Jumlah Riwayat Gangguan Kesehatan………….... .. 51
Tabel V.5 Sumber Dana Pembelian Obat ………. 52
Tabel V.6 Distribusi Jumlah Obat Dalam Resep……… 52
Tabel V.7 Obat yang Sering Diresepkan ... 53
Tabel V.8 Jumlah Drug Therapy Problems ... 54
Tabel V.9 Distribusi Kategori Drug Therapy Problems ... 54
Tabel V.10 Distribusi Penyebab Kebutuhan akan Terapi Obat Tambahan….………... 55
Tabel V.11 Distribusi Penyebab ADRs………..………... 56
Tabel V.12 Obat-obat yang menimbulkan interaksi.………... 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Lembar Informasi Penelitian ... 79
Lampiran 2 Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 81
Lampiran 3 Daftar Pedoman Interview... 82
Lampiran 4 Catatan Penggunaan Obat Pasien ... 85
Lampiran 5 DTP Registration Form V5.01 (PCNE Classification) yang dimodifikasi ... 88
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien dimana apoteker bertanggung jawab atas kebutuhan pasien terkait obat, mengoptimalkan semua terapi obat pasien,
meningkatkan outcome pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas
hidup tiap pasien (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Outcome yang
dimaksud adalah mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit, mencegah suatu
penyakit atau gejala (Hepler & Strand, 1990). Keberhasilan outcome yang
diuraikan tersebut tergantung dari setiap tenaga kesehatan mengkontribusikan keahliannya untuk menyelesaikan masalah pasien yang relevan dengan praktek keahliannya (Strand et al.,1990). Guna mencapai outcome pasien yang diharapkan apoteker berperan penting menjamin
terapi obat teruatama melakukan identifikasi drug therapy problems (DTPs)
yang bersifat potensial dan aktual, penyelesaian DTPs yang bersifat aktual
serta pencegahan DTPs yang bersifat potensial (Cipolle, Strand & Morley,
2004; Hepler & Strand, 1990).
Definisi DTPs adalah kejadian yang tidak menyenangkan yang
dialami oleh pasien karena terapi obat dan mengganggu dalam mencapai tujuan terapi yang diinginkan. Masalah ini diidentifikasi selama proses assessment, sehingga dapat diselesaikan melalui perubahan tindakan yang
diberikan pada tiap individu yang berbeda dalam regimen terapi obat. DTPs
rendah, reaksi obat yang tidak diinginkan, dosis terlalu tinggi dan ketidakpatuhan (Cipolle, Strand & Morley, 2004).
Pengertian yang hampir sama dengan DTPs juga dijelaskan oleh
Hepler, yang disebut dengan Drug Related Problems (DRPs), yaitu suatu
peristiwa atau keadaan yang terkait dengan terapi obat secara aktual atau
potensial yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya outcome yang
optimal dari suatu pengobatan. Kategori DRPs menurut Hepler and Strand
(1990) ada delapan yang meliputi terapi obat yang indikasinya tidak ada,
obat tidak sesuai indikasi, terapi obat yang salah, dosis obat kurang, ADR,
interaksi obat, dosis obat berlebihan dan kegagalan menerima obat (Hepler and Strand, 1990).
Pada bulan Januari 1996 sampai Desember 2002 ditemukan lebih
dari 26.238 kasus DTPs yang diidentifikasi dan diselesaikan pada 5136
pasien dengan rincian tidak perlu terapi obat 6%, perlunya penambahan
terapi obat 28%, obat tidak efektif 8%, dosis terlalu rendah 20%, Adverse
Drug Reactions (ADRs) 14%, dosis terlalu tinggi 5% dan ketidakpatuhan (noncompliance) 19% (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Para ahli setuju beberapa obat yang sama sering memberikan efek yang berbeda pada pasien lanjut usia dan dewasa muda karena perubahan terkait usia pada tubuh manusia menyebabkan perbedaan jalan respon tubuh dengan obat (Beers, 2001). Hasil penelitian di Brasil menyebutkan dari 97 sampel pasien lanjut usia yang menderita diabetes dan atau hipertensi ditemukan 284 kasus DRPs, sedikitnya 92,3% pasien tersebut mengalami satu kategori DRPs.
Kategori DRPs yang paling banyak terjadi adalah ketidakpatuhan (55,63%)
dan ADR (23,59%) (Neto et al., 2011)
fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif dan intrinsik (Departemen kesehatan, 2006). Perubahan tersebut menyebabkan pada pasien lanjut usia sering menderita penyakit yang beragam dan diterapi dengan obat dalam macam yang banyak. Hasil penelitian menyebutkan 78% lanjut usia menderita tidak kurang dari 4 macam penyakit, 38% menderita lebih dari 6 macam penyakit, dan 13% menderita lebih dari 8 macam penyakit (Rahmawati et al., 2009). Hasil penelitian di Australia dalam sehari 87% pasien lanjut usia wanita dan 83% pasien lanjut usia pria menggunakan paling sedikit satu obat dengan resep, dan 44% pasien lanjut usia wanita dan 35% pasien lanjut usia pria menerima satu obat tanpa resep (Elliot, 2006). Selain itu hasil penelitian di Belanda menyebutkan prevalensi sering lupa pada usia 40-50 tahun sebanyak 40,7% dan usia 70-85 tahun sebanyak 51,6% (Commissaris, Ponds, and Jolles, 1998)
Prevalensi penggunaan banyak obat yang tinggi dikombinasi dengan perubahan terkait proses penuaan pada farmakokinetik dan farmakodinamik membuat pasien lanjut usia mudah mengalami masalah terkait terapi obat (Vinks et al., 2006). Kombinasi tersebut menyebabkan
pasien lanjut usia berisiko tinggi mengalami ADR. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa pada pasien lanjut usia mengalami ADR hampir enam
yang paling tepat (Rahmawati et al., 2008). Hasil penelitian di Taiwan pada
193 pasien lanjut usia didapatkan tiga kategori DRPs yang sering terjadi
pada pasien lanjut usia yakni 35% obat tidak dapat diminum atau ditelan oleh responden terutama pada pasien DM rawat jalan, 12 % obat yang diterima berpotensi timbul interaksi antar obat dan 11% pemberian duplikasi obat yang tidak tepat (Chan et al., 2012).
Dari data-data tersebut DTPs yang paling sering terjadi pada lanjut
usia adalah kategori ADR dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu peran
apoteker diperlukan dalam mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi DTPs pada pasien lanjut usia agar tujuan terapi yang diinginkan tercapai. Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi jenis dan jumlah persentase kejadian
DTPs yang terjadi pada pasien lanjut usia di Apotek Farmasi Airlangga.
Apotek Farmasi Airlangga dipilih karena masih sedikit penelitian mengenai
DTPs pada pasien lanjut usia di apotek. Selain itu salah satu visi Apotek
Farmasi Airlangga adalah mengembangkan pharmaceutical care dimana
fungsi apoteker adalah mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan DTPs.
1.2 Rumusan Masalah
DTPs apa yang terjadi pada pasien lanjut usia yang mendapat obat
atas resep dokter di Apotek Farmasi Airlangga?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi adanya DTPs pada pasien lanjut usia yang
1.4 Manfaat
(1) Bagi peneliti untuk menambah wawasan peneliti tentang DTPs
pada pasien lanjut usia.
(2) Bagi Apoteker dapat digunakan sebagai sumber infomasi untuk
meningkatkan peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian.
(3) Bagi masyarakat penelitian ini bermanfaat untuk tercapainya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pharmaceutical care
Pharmaceutical care adalah tanggung jawab pemberian terapi obat
untuk mencapai outcome tertentu yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien (Hepler & Strand, 1990). Menurut KepMenkes pelayanan kefarmasian merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Menurut Cipolle pharmaceutical care adalah pelayanan
kefarmasian yang berorientasi pada pasien dimana apoteker bertanggung
jawab atas kebutuhan pasien terkait obat dan bertanggung jawab mengoptimalkan semua terapi obat pasien, tanpa melihat dari mana obat berasal (resep, nonresep, alternatif, atau obat tradisional), meningkatkan outcome pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup tiap
pasien (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Outcome yang dimaksud adalah
mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit, dan mencegah suatu penyakit atau
gejala (Hepler & Strand, 1990). Keberhasilan tercapainya outcome tersebut
tergantung banyak faktor, termasuk pengetahuan (obat dan penyakit), adanya informasi dari pasien, kemampuan komunikasi apoteker, dan yang
paling penting apoteker diterima oleh anggota lain dari health-care team
(Hughes, 2001).
Apoteker menggunakan proses pharmacotherapy workup untuk
mengambil suatu keputusan, untuk membuat taksiran drug related needs
pasien, identifikasi DTPs, mengembangkan sebuah rencana care, dan
dan aman. Guna mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah masalah
terapi obat, apoteker harus memahami bagaimana pasien mengalami DTPs
(Cipolle, Strand & Morley, 2004).
Fungsi utama apoteker dalam model pharmaceutical care sebagai berikut
(Hughes,2001):
1.Mengumpulkan data pasien. Mengumpulkan data-data spesifik
pasien yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah terkait obat sehingga apoteker tepat dalam mengambil keputusan terapi dan managemen pasien.
2.Identifikasi masalah. Data yang dikumpulkan dapat digunakan
untuk mengidentifikasi masalah yang terkait dengan obat, seperti pemilihan obat untuk terapi, rute pemakaian, toksisitas hingga
kegagalan outcome terapi.
3.Mengembangkan rencana terapi dan outcome yang ingin dicapai.
Terapi obat tercapai bila memberikan respon klinis positif meliputi sembuh dari penyakit, mengeliminasi atau gejala penyakit berkurang, menghentikan atau memperlambat proses penyakit dan mencegah muncul penyakit atau gejala.
4.Evaluasi pilihan terapi.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain: khasiat, keamanan, ketersediaan, biaya dan kesesuaian dan kemudahan.
5.Regimen terapi individu.
2.2 Tinjauan Tentang Drug Therapy Problems (DTPs) 2.2.1 Definisi tentang DTPs
Definisi DTPs adalah kejadian yang tidak menyenangkan yang
dialami oleh pasien karena terapi obat dan mengganggu dalam mencapai tujuan terapi yang diinginkan. Masalah ini diidentifikasi selama proses assessment, sehingga dapat diselesaikan melalui perubahan tindakan yang diberikan pada tiap individu yang berbeda dalam regimen terapi obat (Cipolle, Strand & Morley, 2004).
Pengertian yang hampir sama dengan DTPs juga dijelaskan oleh
Hepler & Strand, yang disebut dengan Drug Related Problems (DRPs),
yaitu suatu peristiwa atau keadaan yang terkait dengan terapi obat secara
aktual atau potensial yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya outcome
yang optimal dari suatu pengobatan (Hepler and Strand, 1990). Kejadian
DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman
pasien dan diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Strand et al, 1990).
2.2.2 Kategori DTPs
Menurut (Cipolle, Strand & Morley, 2004) DTPs dikategorikan menjadi 7
yaitu:
1. Terapi obat yang tidak diperlukan (Unnecessary drug therapy).
Penyebab :
1) Pasien menggunakan obat yang tidak sesuai dengan
indikasi yang dialami saat itu.
2) Penggunaan produk obat lebih dari satu pada kondisi
yang seharusnya dapat diterapi dengan satu obat.
3) Pengobatan lebih baik dilakukan dengan terapi tanpa
4) Pasien menerima terapi obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang seharusnya efek samping tersebut bisa dihindari.
5) Pasien menerima obat untuk terapi masalah yang timbul
karena drug abuse, merokok, dan alkohol.
Contoh : pasien menerima tiga produk laxative yang berbeda
pada usaha untuk mengatasi konstipasi
2. Kebutuhan akan terapi obat tambahan (Needs additional drug
therapy). Penyebab :
1) Kondisi pasien yang memerlukan adanya terapi obat
yang baru.
2) Terapi obat pencegahan untuk mengurangi resiko
timbulnya kondisi baru yang tidak diinginkan pasien.
3) Kondisi media yang memerlukan adanya terapi obat
tambahan untuk mendapatkan efek yang sinergis. Contoh : Pasien yang mengidap pneumonia resiko tinggi dan
karena itu membutuhkan vaksin pneumococcal.
3. Obat tidak efektif (ineffective drug).
Penyebab :
1) Obat yang diberikan bukan yang paling efektif untuk
kondisi pasien.
2) Kondisi medis sulit disembuhkan dengan obat yang
diberikan.
3) Dosage form tidak tepat.
Contoh : JT’s hipertrigliseridemia tidak efektif mengobati dengan Colestid (kolestipol) 8 gram dua kali sehari karena obat ini tidak efektif mengurangi tingginya trigliserida.
4. Dosis terlalu rendah (Dosage too low).
Penyebab :
1) Dosis terlalu rendah untuk memberikan respon yang
diinginkan
2) Interval pemberian dosis terlalu jarang untuk
memberikan respon yang diinginkan.
3) Adanya interaksi obat yang menurunkan jumlah obat
aktif.
4) Durasi pemberian obat terlalu pendek untuk mencapai
respon yang diinginkan.
Contoh : dosis sehari 10 mg glipizide terlalu rendah untuk mengontrol glukosa darah pasien.
5. Dosis terlalu tinggi (Dosage too high).
Penyebab :
1) Dosis terlalu tinggi
2) Interval pemberian obat terlalu pendek
3) Durasi terapi obat yang terlalu panjang
4) Interaksi obat yang menyebabkan reaksi toksik pada
produk obat.
5) Dosis obat yang diberikan terlalu cepat.
6. ADR (Adverse Drug Reaction). Penyebab :
1) Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan
yang tidak ada hubungan dengan dosis.
2) Dibutuhkan obat lain yang lebih aman dikarenakan
pasien memiliki faktor risiko.
3) Interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan dan tidak tergantung dengan dosis.
4) Regimen dosis diberikan atau diganti terlalu cepat.
5) Produk obat menyebabkan reaksi alergi
6) Produk obat yang dikontraindikasikan karena pasien
memiliki faktor risiko.
Contoh : pada pasien timbul ruam pada bagian torso dan lengan
disebabkan Cotrimoxazole yang diminum untuk
mengobati infeksinya.
7. Ketidakpatuhan (Noncompliance).
Penyebab :
1) Pasien tidak memahami petunjuk
2) Pasien memilih tidak meminum obat
3) Pasien lupa minum obat
4) Obat terlalu mahal bagi pasien
5) Pasien tidak dapat menelan/menggunakan obat
dengan sendiri dengan tepat.
6) Obat tidak tersedia.
Contoh : pasien tidak dapat mengingat pemakaian tetes mata timolol sehari dua kali untuk glaukomanya.
Menurut pustaka lain DTPs juga sering disebut Drug Related
dan potensial. DRPs aktual adalah DRPs yang sedang terjadi pada pasien
yang harus diatasi secepatnya sedangkan DRPs potensial adalah DRPs yang
belum terjadi tetapi ada kemungkinan terjadi. Fungsi kategori DRPs
(Strand et al, 1990).
1. Menggambarkan bagaimana terjadinya ADR
2. Menunjukkan peran yang nyata dari farmasis di masa depan
3. Untuk mengembangkan suatu proses yang sistematik
sehingga dapat memberi efek yang positif terhadap pasien.
4. Pembagian peran antara farmasis dengan profesi kesehatan
lain dalam prakteknya menjadi jelas.
5. Pharmacy educator seharusnya memiliki keuntungan
dengan adanya kategorisasi ini karena pembagian DRPs
telah jelas.
Kategori DRPs menurut Hepler and Strand (1990) :
1.Indikasi yang kurang tepat (Untreated indications).
Pasien memiliki masalah pengobatan dimana membutuhkan terapi obat (sebuah indikasi untuk penggunaan obat) tetapi tidak menerima obat yang sesuai dengan indikasi
Contoh : Pasien dengan penyakit vaskular tidak menerima pengobatan untuk anemia yang juga ternyata dideritanya. Pengobatan terfokus pada kondisi primer, sedangkan masalah baru tidak teridentifikasi/tidak terobati.
2.Terapi obat tetapi mendapat obat produk yang salah (Improper
drug selection).
Contoh : Jika seorang pasien menerima terapi kombinasi padahal dengan terapi tunggal menghasilkan efektifitas yang sama.
3.Dosis obat kurang (Subtherapeutic dosage).
Pasien mempunyai masalah pengobatan yang diterapi dengan dosis obat terlalu sedikit.
Contoh : Terapi antibiotik untuk infeksi dengan kadar yang kurang optimal
4.Dosis obat berlebihan (overdose).
Pasien mempunyai masalah pengobatan yang diterapi dengan dosis obat yang terlalu tinggi.
Contoh : Peningkatan dosis asam nikotinat berhubungan dengan reaksi kulit yang parah. Obat dapat terakumulasi dalam waktu lama dan menghasilkan komplikasi toksik.
5.Adverse Drug Reactions (ADR).
Pasien mempunyai masalah terapi obat yang menghasilkan reaksi
samping obat yang tidak diinginkan atau ADR.
Contoh : Eritromisin estolat sebagai antibakteri memiliki efek samping gangguan hati (hepatitis)
6.Interaksi obat (Drug Interaction)
Terapi obat tetapi kemungkinana ada interaksi obat, obat-hasil laboratorium, obat-makanan, obat-obat tradisional.
Contoh :
- Pasien yang mengalami efek samping sebagai hasil dari
interaksi fisika/ kimia antara beberapa obat dengan konsumsi makanan.
- Pasien yang melakukan tes laboratorium untuk diagnosis
7.Terapi obat obat yang indikasinya tidak ada (Drug use without indication).
Pasien menggunakan obat tanpa adanya indikasi yang valid. Contoh : Penggunaan bersama obat antiparkinson dan antipsikosa padahal pasien tidak ada riwayat gejala extrapiramidal.
8.Kegagalan mendapatkan obat (Failure to receive medications).
Pasien yang mempunyai masalah pengobatan yang mengakibatkan tidak menerima obat (misalnya karena alasan pharmaceutical, fisiologi, sosiologi, atau ekonomi).
Contoh : Terjadi dispensing obat yang salah oleh praktisi
kesehatan.
2.3 Tinjauan tentang Lanjut Usia 2.3.1 Definisi Lanjut Usia
Warga lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Pemerintah RI, 1998). Penggolongkan manula menjadi 4 berdasarkan WHO (Nugroho, 2006) yaitu :
a. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,
b. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun,
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2.3.2 Perubahan Kondisi pada Lanjut Usia
Respon klinis pengobatan tergantung pada kondisi farmakokinetik dan farmakodinamik. Pada lanjut usia perubahan farmakologis
menyebabkan lebih mudah mengalami masalah terkait obat (Midlov, P.,
menurun yang berakibat terjadi peningkatan reaksi obat yang tidak diinginkan dan mengalami kesulitan untuk sembuh dari reaksi yang ditimbulkan obat tersebut. (Koda-Kimble, M.A et al., 2009).
Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien lanjut usia berbeda dari pasien muda. Pada lanjut usia terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem GIT, sistem genitorinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya (Departemen Kesehatan RI, 2006). Proses kemunduran fungsi fisiologis ini terjadi sedikit demi sedikit tanpa berhenti dan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap banyak penyakit (Koda-Kimble, M.A et al., 2009).
2.3.3 Perubahan Farmakokinetika
Bioavabilitas obat yang diberikan secara oral tergantung pada banyak faktor, termasuk absorpsi yang melalui mukosa GIT dan liver. Sebagian besar informasi farmakokinetik obat lebih banyak ditujukan pada pasien yang berusia kurang dari 65 tahun, padahal faktanya sebagian besar obat digunakan lanjut usia. Informasi obat penting diketahui karena terdapat perbedaan farmakokinetika pada dewasa muda dan lanjut usia. Guna mencegah akumulasi obat, maka dokter mengurangi dosis atau
meningkatkan interval pendosisan (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T.
2009). a. Absorpsi
Sebagian besar obat diberikan secara oral. Absorpsi obat yang diberikan secara oral tergantung fungsi ventrikel, usus, dan aliran darah ke
terkait usia terjadi pada absorpsi obat pada fisiologi GIT. Perubahan terkait usia pada saluran GIT memberikan efek pada absorpsi obat termasuk penurunan sekresi asam lambung, pengosongan lambung yang lama, perpindahan obat ke usus yang pelan, dan berkurangnya aliran darah di GIT (Hutchison and O’Brien., 2007). Untungnya, sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi pasif, dan perubahan fisiologis penuaan tampak memiliki sedikit pengaruh pada bioavalibilitas obat (Dipiro et al., 2011).
Beberapa obat yang diabsorpsi secara transpor aktif, kemungkinan terjadi penurunan bioavailabilitas obat (misalnya, kalsium dalam
pengaturan hypochlorhydria). Namun, kenyataannya first-pass effect yang
menurun pada hati dan atau metabolisme dinding usus menghasilkan peningkatan bioavailabilitas dan kadar obat pada plasma yang lebih tinggi
seperti propranolol dan morfin (Dipiro et al., 2011). Obat yang diberikan
selain melalui oral dapat dianjurkan pada pasien lanjut usia. Rata-rata absorpsi obat yang diberikan secara injeksi intramuskular atau subkutan kemungkinan lebih efektif pada lanjut usia karena mengurangi perfusi
jaringan darah (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009).
b. Distribusi obat
mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan (Departemen Kesehatan RI, 2006). c. Metabolisme
Hepar adalah organ yang paling penting dalam metabolisme sebagian besar obat. Metabolisme obat tergantung pada aliran darah hepatik dan dengan semakin bertambah usia seseorang maka massa hepar semakin berkurang dan aliran darah hepar menurun. Metabolisme obat juga tergantung pada fungsi dan kapasitas enzim yang memetabolisme obat di hati. Enzim yang paling berperan dalam metabolisme adalah sitokrom p450
(Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T., 2009). Enzim sitokrom p450 adalah
salah satu enzim yang berperan pada reaksi fase 1. Reaksi kimia yang terjadi pada proses metabolisme dibagi dua yaitu reaksi fase 1 dan reaksi fase 2. Reaksi fase 1 biasanya terganggu dengan bertambahnya usia sedangkan reaksi fase 2 tidak terganggu dengan bertambahnya usia (Hughes, 2001).
d. Ekskresi
Perubahan yang paling sering terjadi terkait penuaan dapat dilihat pada ekskresi atau eliminasi. Obat diekskresi melalui ginjal atau dimetabolisme pada hati (Beers, 2000-2001). Fungsi ginjal akan mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia. Perubahan fungsi ginjal
dievaluasi dengan menggunakan Clearence creatinine (ClCr), perkiraan
Banyak obat yang dieliminasi melalui ginjal. Oleh karena itu satu hal yang perlu diperhatikan adalah banyak penyakit yang dapat dialami oleh lanjut usia yang dapat menurunkan fungsi ginjal. Diabetes dan hipertensi
adalah dua penyakit umum yang dapat menurunkan fungsi ginjal (Midlov,
P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009). 2.3.4 Perubahan Farmakodinamik
Efek farmakodinamik obat tergantung pada konsentrasi obat di reseptor, respon pada reseptor dan mekanisme homeostatis. Perubahan terkait usia pada farmakodinamik mungkin dapat terjadi pada reseptor atau signal-transduction level. Perubahan farmakodinamik dengan penuaan sulit dipelajari daripada perubahan farmakokinetika dan sedikit fakta yang
menjadi dasar mekanisme perubahan farmakodinamik (Midlov, P., Kragh,
A., & Eriksson, T. 2009).
Pada umumnya peningkatan sensitivitas farmakodinamik pada banyak obat terjadi pada pasien lanjut usia. Beberapa obat yang mengalami perubahan secara farmakodinamik yang perlu diwaspadai seiring dengan bertambahnya usia adalah CNS depressants dan warfarin
yang dapat meningkatkan sensitivitas; antihipertensi, tricyclic
antidepressants, phenotiazine antipsychotics dan diuretik yang dapat meningkatkan risiko hipotensi postural; golongan obat antipsikotik yang
dapat meningkatkan risiko dyskinesia tardive dan golongan
β-adrenoreceptor blocking agents yang dapat menurunkan sensitivitas (Hughes, 2001)
2.3.5 Masalah Terkait Obat pada Lanjut Usia
Penggunaan obat yang berlebihan (Overuse of Medications)
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan multiple drug secara
usia. Hasil survei menyatakan bahwa lanjut usia rata-rata menerima dua sampai sepuluh obat resep dan nonresep tiap hari (DiPiro. 2011). Polifarmasi pada lanjut usia kemungkinan dapat
meningkatkan risiko ADR, geriatric syndrome termasuk perusakan
kognitif dan delirium, jatuh dan fraktur pinggul, dan pembesaran pada saluran urin; mengurangi aktivitas fisik dan menganalisis pekerjaan sehari-hari yang dikontrol dihubungkan dengan jumlah obat yang diresepkan; dan polifarmasi dapat meningkatkan biaya untuk berobat (Hanlon, Schmader, Ruby, & Weinberger, 2001).
Resep yang tidak tepat (Inappropriate Prescribing)
Peresepan yang tidak tepat didefinisikan sebagai pengobatan diluar batas peresepan yang berlaku pada standar pengobatan. Pada umumnya fenomena ini terjadi pada lanjut usia (DiPiro et al., 2011). Obat pada resep yang tidak tepat juga didefinisikan obat yang seharusnya dihindari oleh pasien lanjut usia karena tidak efektif dan tak ada gunanya berisiko tinggi (Elliot, 2006). Ada tiga pendekatan utama untuk mengukur resep yang tidak tepat yaitu (Hanlon, Schmader, Ruby, & Weinberger, 2001):
1. Obat yang harus dihindari
2. Peninjauan ulang penggunaan obat
3. Peninjauan klinik yang dipakai kriteria eksplisit
Penggunaan obat yang rendah (Underuse)
usia, termasuk penurunan fungsi, kematian, dan penggunaan pelayanan kesehatan (DiPiro et al., 2011)
Ketidakpatuhan pengobatan.
Ketidakpatuhan terkait faktor pasien, kondisi, terapi, dan sistem kesehatan dan sosial. Sekitar 40,7% pasien usia 40-50 tahun dan 51,6% pasien usia 55-65 tahun mudah lupa. Kelupaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain penurunan fungsi pada proses penuaan, terlalu sibuk, kurang perhatian, konsentrasi yang kurang dan faktor-faktor lain. Hal ini salah satu penyebab pada pasien lanjut usia cenderung tidak patuh. Di samping itu, ketidakpatuhan dapat didefinisikan lebih dari satu hal termasuk tidak menebus resep, menghentikan penggunaan obat sebelum obatnya habis dikonsumsi, atau mendapat informasi obat berlebih atau kurang dari pada yang dicantumkan pada etiket. Lanjut usia mungkin tidak patuh pada regimen obat karena kemungkinan terjadi efek yang tidak diinginkan, ketidakmampuan membaca etiket produk, atau informasi mengenai penggunaan obat yang tidak dipahami. Kadang-kadang, harga juga menjadi alasan yang umum mengapa pasien lanjut usia tidak menebus resep (DiPiro et al,. 2011; Commissaris, Ponds and Jolles, 1998).
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari 62 pasien lanjut usia yang menjadi Anggota Posyandu Lansia Amanah Kecamatan Gubeng Surabaya sebanyak 93 obat yang digunakan berasal dari resep. Obat yang banyak diresepkan untuk pasien lanjut usia antara lain metformin, amlodipin, allupurinol, bisoprolol, captopril, glibenklamid dan nifedipin. Selain itu suplemen makanan yang paling banyak diresepkan adalah vitamin B kompleks (vitamin B1, B6, B12) dan glukosamin (Ningrum, K.P., 2012).
Hasil penelitian di Brasil menunjukkan bahwa obat yang paling banyak digunakan pada pasien lanjut usia adalah antihipertensi, antiaritmia,
hipnotik, sedative dan ansiolitik, antiulcer dan antidepresif, nitrat dan
antidiabetes oral. Sebagian besar obatnya adalah ACE inhibitor
(captopril-54,6%), diuretik tiazid (HCT dan indapamide-39,6%), asam asetisalisilat (29,3%), diazepam (24%), nifedipin (15%), antipsikotik fenotiazin (chlorpromazine dan thioridazine-15%), ranitidin (13%), beta blocker (atenolol dan propranolol-12,4%) dan amitriptyline (12,4%) (de Oliveira et al, 2011; Vinks et al, 2006).
2.4 Tinjauan tentang Resep 2.4.1 Definisi Resep
Resep adalah sebuah permintaan obat yang dikeluarkan oleh dokter, dokter gigi, atau praktisi kesehatan lain yang berlisensi. Resep menandakan suatu obat tertentu dan dosis yang akan diberikan untuk pasien tertentu pada waktu tertentu. Pada umumnya, resep obat juga disebut sebagai resep dokter oleh pasien (Scott, S, 2005).
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Departemen Kesehatan RI, 2004).
2.4.2 Isi Resep
Bagian komponen dari resep sebagai berikut (Scott, S, 2005) :
1. Informasi mengenai nama dan alamat penulis resep
2. Informasi mengenai pasien seperti nama lengkap dan alamat
pasien.
3. Tanggal penulisan resep.
4. Simbol R/ yang berasal dari bahasa Latin recipe yang artinya
ambilah atau superscription.
5. Obat yang diresepkan atau inscription.
6. Petunjuk pemberian obat ke apoteker atau subscription.
7. Petunjuk bagi pasien atau signa ( untuk dituliskan dalam etiket).
8. Refill, label khusus dan atau petunjuk lain.
9. Tanda tangan penulis resep
2.5 Tinjauan tentang Patient Medication Record (PMR) 2.5.1 Tinjauan Mengenai Dokumentasi
Masalah yang perlu didokumentasikan adalah aktivitas yang
berhubungan dengan pharmaceutical care yakni DRP. Apabila ditemukan
DRPs (Drug-Related Problems), maka langkah farmasis : melihat identitas
obat, penyakit alergi yang menyebabkan DRP, analisa jenis DRP, tindakan
yang akan dilakukan untuk mengatasi DRP, rekomendasi yang akan
diberikan oleh farmasis, outcomes yang diharapkan. Selain itu aktivitas lain
yang perlu pendokumentasian adalah konsultasi dengan tenaga kesehatan lain, konseling pada pasien (sediaan farmasi, perbekalan kesehatan, pasien penyakit kronis), penilaian terhadap pemahaman pasien, konsultasi/saran
terhadap self-care yang diberikan pada pasien, rujukan dan lain-lain
(Hughes, 2001).
2.5.2 Tinjauan Mengenai PMR
Salah satu bentuk dokumentasi untuk aktivitas pelayanan
kefarmasian adalah catatan penggunaan obat pada pasien (Patient
Medication Record). Patient Medication Record (PMR) adalah catatan penggunaan obat setiap pasien yang bersifat rahasia dan hanya boleh ditulis serta disimpan oleh apoteker (Departemen Kesehatan RI, 2008). Latar
belakang perlunya PMR karena ada peningkatan jumlah obat yang
diresepkan maupun over the counter (OTC) yang dikonsumsi per individu
setiap tahunnya, meningkatnya jumlah pasien yang mendapatkan obat meningkatkan peluang terjadinya kesalahan dalam pengobatan dan obat yang diresepkan rawan terjadi interaksi antar obat atau bahan lain seperti
makanan sehingga menyebabkan ADR (Rees, JA, 1996).
Prioritas penggunaan PMR dilakukan pada semua pasien terutama
(Winfield, 1998)
1.Pasien yang memiliki kriteria umur tertentu yaitu:
penderita tua berumur lebih dari 60 tahun
2.Pasien yang memiliki penyakit tertentu seperti:
asma,
epilepsi dan
diabetes;
3.Pasien yang menggunakan obat tertentu seperti:
antikoagulan,
oral kontrasepsi dan
steroid;
4.Pasien yang memiliki kebutuhan tertentu seperti:
sensitif terhadap penisilin,
terapi obat yang banyak dan
confusion
PMR dibangun untuk membantu apoteker mendeteksi dan mencegah
masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan DRPs. Di dalam
PMR secara normal akan memuat semua obat yang diminum oleh pasien
termasuk obat OTC yang dibeli di apotek atau tempat lain. Berikut data-data
yang perlu dicatat dalam PMR (Winfield, 1998):
1. Data pasien : Nama
Alamat dan kode pos
Nomer telepon
Jenis Kelamin
Usia dan tanggal lahir
Pekerjaan
Alergi obat
Riwayat penyakit
2. Identitas dokter : Nama
Nomer telepon
3. Data obat : Nama obat
Kekuatan
Bentuk sediaan
Jumlah obat
Dosis
Tanggal resep
Tanggal pelayanan
4. Keterangan tambahan tentang adanya alergi obat pada pasien,
resistensi terhadap obat, penyakit kronik yang pernah dialami pasien. Nomor produksi atau nomor lisensi pada obat.
Manfaat lain adanya PMR adalah dapat membantu apoteker untuk
melakukan konseling secara tepat pada pasien (Departemen Kesehatan RI, 2008; Rees, JA,1996).
2.6 Tinjauan Tentang Penelitian Survei
Metode pengumpulan data pada penelitian survei menurut Notoatmodjo (2010) ada dua macam yaitu :
1. Penelitian survei dengan wawancara (interview)
Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, di mana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan
orang tersebut (face to face). Jadi data tersebut diperoleh
2. Penelitian survei dengan angket (kuesioner)
Yang dimaksud dengan angket, adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (orang banyak). Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan sebagainya.
Dilihat dari bentuknya wawancara dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain (Notoatmodjo, 2010) :
a. Wawancara Tidak Terpimpin (Non Directive or Unguided
Interview)
Sebenarnya semua wawancara itu terpimpin, yakni dipimpin oleh keinginan untuk mengumpulkan informasi atau data, tetapi wawancara tidak terpimpin disini diartikan tidak ada pokok persoalan yang menjadi fokus dalam wawancara tersebut. Sehingga dalam wawancara ini pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan itu tidak sistematis, melompat-lompat dari satu peristiwa atau topik ke peristiwa atau topik lain yang tanpa berkaitan.
b. Wawancara Terpimpin (Structured Interview)
Interview jenis ini dilakukan berdasarkan pedoman-pedoman berupa kuesioner yang telah disiapkan masak-masak sebelumnya.
Sehingga interviewer tinggal membacakan
pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada interviewee. Pertanyaan-pertanyaan
dan pengolahannya dapat dengan cermat dan teliti, (2) hasilnya
dapat disajikan secara kualitatif dan kuantitatif, (3) interviewer
dapat dilakukan oleh beberapa orang, karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang seragam.
c. Wawancara Bebas Terpimpin
Wawancara jenis ini merupakan kombinasi dari wawancara tidak terpimpin dan wawancara terpimpin. Terdapat unsur kebebasan tetapi ada pengarah pembicaraan secara tegas dan mengarah. Wawancara ini mempunyai ciri fleksibilitas (keluwesan) tetapi arahnya jelas. Oleh karena itu, sering dipergunakan untuk menggali gejala-gejala kehidupan psikis antropologis. Unsur keluwesan tersebut tergantung dari keterampilan pewawancara dalam memanipulasikan kondisi psikologis yang tepat dan menyusun ke dalam pokok-pokok hal (pedoman interview) yang
sifatnya masih mentah. Interviewer diberi kebebasan untuk
mengolah sendiri pertanyaan sehingga memperoleh jawaban-jawaban yang diharapkan. Dengan berpedoman pada pola ini pewawancara melakukan wawancara dalam suasana atau dengan
cara sesantai mungkin, interviewee secara bebas dapat
memberikan informasi selengkap mungkinMeskipun terdapat unsur kebebasan, tetapi ada pengaruh pembicaraan secara tegas dan mengarah.
d. Free Talk dan Diskusi
Apabila di dalam suatu wawancara terjadi suatu hubungan yang
sangat terbuka antara interviewer dan interviewee, maka di sini
sebenarnya kedua belah pihak masing-masing menduduki
dwifungsi, yakni masing-masing sebagai “information hunter”
kedua belah pihak denagn hati terbuka bertukar pikiran dan perasaan, dan seobjektif mungkin mereka saling memberikan keterangan-keterangan. Maka dalam situasi demikian ini,
berlangsunglah suatu “free talk” atau bericara bebas. Di sini
interviewer sebenarnya bukan hanya bertindak sebagai pencari
data, tetapi juga sebagai suggester, motivator, dan educator
sekaligus.
2.7 Tinjauan Tentang Apotek 2.7.1 Definisi Apotek
Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2004). Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Pemerintah RI, 2009).
2.7.2 Fungsi Apotek
Fungsi apotek adalah sebagai tempat pengabdian apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, dan sebagai sarana farmasi untuk melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat dan sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Departemen Kesehatan RI, 2008).
2.7.3 Pelayanan Farmasi di Apotek
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atau resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Pemerintah RI, 2009).
2.7.4 Tinjauan Tentang Apotek Farmasi Airlangga (FFUA, 2010) Apotek Farmasi Airlangga berlokasi di Jl. Dhramawangsa No. 33 Surabaya. Latar belakang pendirian apotek adalah untuk meningkatkan kemampuan para Apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga utamanya kemampuan profesionalisme Apoteker. Apotek Farmasi Airlangga merupakan Apotek Pendidikan yang pertama berdiri di Indonesia. Sebagai Apotek Pendidikan, Apotek Farmasi Airlangga
mempunyai moto “No Pharmacist No Service” sehingga pada saat apotek
buka akan selalu ada apoteker yang bertanggung jawab pada pelayanan kefarmasian yang diberikan.
Visi Apotek Farmasi Airlangga adalah menjadi Apotek yang mandiri, inovatif, terkemuka dan sebagai pelopor pengembangan pharmaceutical care. Sedangkan Misi Apotek Farmasi Airlangga sebagai berikut :
1. Mendukung penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesi
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang menggunakan metoda dan teknologi pembelajaran modern.
2. Mengembangkan ilmu pengetahuan kefarmasian melalui
penelitian di bidang pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan kebutuhan dan untuk kepentingan masyarakat.
3. Melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat dalam
4. Berinteraksi dan bekerjasama ditingkat nasional dan internasional secara efektif dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian, industri, rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan lainnya, lembaga pemerintahan, organisasi profesi serta kelompok masyarakat lain untuk kepentingan kualitas pendidikan, penelitian dan pelayanan.
5. Menghasilkan revenue bagi Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga dan bagi kemajuan perkembangan apotek.
2.8 Penelitian Terdahulu
Cara peneliti terdahulu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan kejadian masalah terkait terapi obat pada pasien lanjut usia antara lain:
1. Catatan resep (Prescription record).
Pada bulan Juni 2002 sampai Februari 2003 di 16 apotek di negara Belanda bagian selatan. Responden dipilih secara random dari resep pasien lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas, menerima enam atau lebih obat yang diresepkan. Pasien yang dirawat dirumah dengan perawat dan yang dirawat di rumah sakit termasuk kriteria eksklusi.
DRP diidentifikasi dan diputuskan sesuai dengan National Prescribing
Guidelines seperti the Standards for Dutch general practitioners and therapeutic handbooks. Kategori DRP potensial yang diidentifikasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu terkait pasien yaitu ketidakpatuhan;
terkait prescriber seperti obat tidak sesuai indikasi, duplikasi obat, dosis
tidak tepat, tidak menggunakan sesuai petunjuk; dan terkait obat seperti
kontraindikasi, interaksi antar obat. ADR. Data dianalisis dengan
menggunakan Microsoft Access dan SPSS. Hasilnya dari 763 masalah
sepertiga dari populasi yang diteliti lima atau lebih masalah terkait obat yang terjadi teridentifikasi (Vinks et al., 2006).
2. Wawancara dan dari catatan kartu rekam medis, kartu catatan pemberian
obat yang ditulis oleh perawat, serta dokumen lain yang diperlukan. Penelitian bersifat deskriptif, pengambilan data dilakukan secara prospektif pada 100 pasien dengan kriteria pasien berumur lebih dari 60 tahun dan menjalani rawat inap di bangsal Bougenville IRNA I bagian Penyakit Dalam RSUP dr.Sardjito. Data diambil pada 2 periode waktu yaitu bulan Januari – Februari 2006 dan bulan Agustus-Oktober 2006. Pengambilan data pengobatan pasien dilakukan melalui kartu rekam medis, kartu catatan pemberian obat yang ditulis oleh perawat, serta
dokumen lain yang diperlukan. Identifikasi DRP terkait dengan
pemilihan obat yang tidak tepat dilakukan melalui diskusi dengan klinisi. Analisis data selanjutnya dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa problem pemilihan obat yang tidak tepat terjadi ada 48 kasus (Rahmawati et al., 2008).
3. Kuesioner
Pada bulan januari dan Desember 2007 dilakukan pada 154 pasein lanjut
usia di lima institusi long term di Brasil. Sampel yang dipilih lanjut usia
yang berusia 60 tahun ke atas. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner yang diadaptasi dari metode the Dader, Pharmacotherapeutic
Follow-up. 381 DRP teridentifikasi yaitu kesulitan mendapatkan obat, ketidakpatuhan, kurang pengetahuan mengenai obat yang diresepkan,
adanya interaksi obat dan swamedikasi adalah DRP yang paling sering
BAB III
KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Drug Related Need
(DRN)
- Indikasi
- Efektivitas
- Aman
- Kepatuhan
Drug Therapy Problems (DTPs):
1. Terapi obat tidak diperlukan.
2. Kebutuhan terapi obat
tambahan.
3. Obat tidak efektif.
4. Dosis terlalu rendah
5. Dosis terlalu tinggi
6. Adverse Drug Reaction (ADR)
7. Ketidakpatuhan.
Peran Apoteker dalam Pharmaceutical care
Identifikasi DTPs Pasien Lanjut usia
- Terjadi perubahan fisiologis -Terjadi perubahan farmakokinetik
dan farmakodinamik - Rentan terhadap penyakit
Pasien lanjut usia memiliki karakteristik terjadi perubahan fisiologis, perubahan farmakokinetika, perubahan farmakodinamika, dan rentan terhadap penyakit sehingga perlu diperhatikan pada saat penggunaan obat. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut pada saat menggunakan
obat mengalami hambatan untuk mencapai outcome terapi yang diinginkan.
Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus pada pasien lanjut usia mengenai ketepatan dalam memenuhi kebutuhan terkait terapi obat yang
biasa disebut Drug Related Need (DRN) yang meliputi indikasi, efektivitas,
aman dan kepatuhan. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi secara tepat
maka akan muncul masalah terkait obat yang disebut Drug Therapy
Problems (DTPs) yaitu ketidaktepatan indikasi menimbulkan masalah terapi obat tidak diperlukan dan kebutuhan terapi obat tambahan, ketidakefektivitasan menimbulkan obat tidak efektif dan dosis terlalu rendah, ketidakamanan timbul bila dosis terlalu tinggi dan ADR, serta ketidakpatuhan pasien. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan
identifikasi DTPs baik yang potensial dan dan/atau aktual yang terjadi pada
pasien lanjut usia. Di sini salah satu peran apoteker dalam Pharmaceutical
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
4.1.1 Berdasarkan tujuan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2010). Pada
penelitian ini gambaran yang ingin dilihat adalah kejadian DTPs yang
terjadi pada lanjut usia dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga. 4.1.2 Berdasarkan waktu pengumpulan data
Berdasarkan waktu pengumpulan data penelitian ini dengan
pendekatan cross sectional. Pendekatan cross sectional merupakan suatu
penelitian dimana tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian kepada subjek dilakukan observasi hanya sekali saja.
4.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung diperoleh dari obyek, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data dimana data telah tersedia (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini sumber data primer diperoleh dari data hasil wawancara pada pasien lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan resep pasien lanjut usia di Apotek Farmasi
Airlangga. Sedangkan sumber data sekunder adalah PMR pasien bila ada di
4.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Februari 2013.
4.4 Populasi
Populasi adalah sebuah himpunan (set) dari individu-individu,
unit-unit, atau unsur-unsur yang mempunyai ciri-ciri yang sama (Zainuddin, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien lanjut usia dengan resep di Apotek Airlangga pada bulan Februari 2013.
4.5 Sampel
Sampel adalah himpunan bagian (subset) dari populasi (Zainuddin,
2011). Kegunaan sampling didalam penelitian ini antara lain : menghemat
biaya, mempercepat pelaksanaan penelitian, menghemat tenaga, memperluas ruang lingkup penelitian, dan memperoleh hasil yang lebih akurat (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah seluruh pasien lanjut usia dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Februari 2013.
4.5.1 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling pada dasarnya dapaat dikelompokkan menjadi dua
yaitu Probability Sampling dan Non Probability Sampling. Pada penelitian
ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Non Probability yaitu
teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.
Teknik Non Random Sampling yang digunakan adalah sampling jenuh atau
sensus (Sugiyono, 2010).
jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2010). Besar sampel pada penelitian ini sebanyak pasien lanjut usia dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga pada bulan Februari 2013 yang memenuhi kriteria inklusi.
4.5.2 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat digunakan sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi pada penelitian ini sebagai berikut:
1.Berusia 60 tahun ke atas
2.Pasien dan/atau keluarga pasien yang menebus obat dengan resep
di Apotek Farmasi Airlangga
3.Berkomunikasi dengan baik.
4.Bersedia menjadi responden.
4.5.3 Jumlah sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini seluruh pasien lanjut usia dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Februari 2013.
4.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek penelitian (masyarakat) sehingga sering disebut penelitian noneksperimen. Penelitian
survei ada dua macam yaitu penelitian survei dengan wawancara (interview)