• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KOMUNITAS MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU MENJANGAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh Gede Ari Yudasmara 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KOMUNITAS MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU MENJANGAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh Gede Ari Yudasmara 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMUNITAS MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU MENJANGAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh Gede Ari Yudasmara1

Abstrak: Penelitian tentang komunitas makroalga di perairan Pulau Menjangan kawasan Taman Nasional Bali Barat telah di-lakukan menggunakan metode plot ganda berukuran 1 x 1 m untuk mengidentifikasi jenis makroalga pada 3 stasiun di per-airan Pulau Menjangan. Spesies makroalga yang ditemukan ada 24 jenis yang tergolong ke dalam 3 kelas, yaitu Cholorophyceae dengan 10 jenis, Phaeophyceae dengan 3 jenis, dan Rhodophyceae dengan 11 jenis. Penyebaran makroalga di per-airan Pulau Menjangan lebih didominasi oleh kelas Cholorophyceae, Rhodophyceae, dan Phaeophyceae dengan nilai RF sebesar 35,29, 33,33, dan 31,37. Sedangkan komposisi makroalga di perairan Pulau Menjangan yang paling tinggi dari kelas Cholorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae dengan nilai RD sebesar 35,88, 32,94, dan 31,18.

Kata kunci: Makroalga, pulau Menjangan, frekuensi relatif, dan densitas relatif.

Pendahuluan

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumber daya alam yang sangat produktif, baik sebagai sumber kehidupan, sumber pangan, tambang mineral, kawasan rekreasi atau pariwisata (Bengen, 2000).

Salah satu bagian dari ekosistem tersebut dan memiliki peranan penting bagi kehidupan beranekaragam biota laut adalah alga. Alga merupakan salah satu organis-me tingkat rendah yang keberadaannya sangat organis-melimpah, termasuk di negara kita yang menjadi habitat bagi 88 jenis alga dari seluruh alga yang ada di dunia (Tomasicik

et al, 1997).

1

Gede Ari Yudasmara adalah staf edukatif pada Jurusan Budidaya Kelautan Universitas Pendi-dikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.

(2)

Sebagai salah satu organisme yang banyak dijumpai hampir di seluruh pesisir Indonesia, terutama di pesisir yang mempunyai rataan terumbu karang, makroalga menempati posisi sebagai produsen primer yang menyokong kehidupan organisme lain pada tropik level yang lebih tinggi di dalam perairan. Selain itu, makroalga juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya, yaitu sebagai tempat ikan berlindung, biofilter bagi laut, serta dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan (Campbell et al., 2003). Makroalga umumnya hidup di dasar laut dan substratnya berupa pasir, pecah-an karpecah-ang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut.

Salah satu lokasi di Bali yang terkenal memiliki ekosistem terumbu karang dengan rataan terumbu yang cukup luas adalah Pulau Menjangan. Menurut hasil kajian Yudasmara dan Kariasa (2008), terumbu karang yang ditemukan di Pulau Menjangan meliputi 18 famili hard coral dan 3 jenis soft coral dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 34,42 %. Dari hasil kajian ini memberikan gambaran bahwa kondisi lingkungan seperti ini, sangat memungkinkan bagi makroalga untuk dapat hidup dan berkembang biak, yang didasari oleh karakteristik dari makroalga yang umumnya hidup pada substrat berupa pasir, pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut. Untuk itu, studi ini akan mencoba menjawab bagaimana jenis, komposisi, dan distribusi makroalga di Pulau Menjangan, sehingga nantinya dapat disusun suatu informasi yang komprehensif me-ngenai komunitas makroalga di perairan Pulau Menjangan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif eksploratif, yaitu untuk menggambarkan atau menguraikan sifat dari suatu fenomena atau keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan dan mengkaji penyebab dari gejala-gejala tertentu. Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan data jenis, komposisi, dan distribusi makroalga saat ini.

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data makrolaga di lapangan menggunakan teknik sampling dengan metode plot ganda berukuran 1 x 1 m, sedangkan tahap kedua adalah mengidentifikasi jenis, komposisi dan distribusi makroalga, sedangkan untuk lingkungan perairannya, seperti kecepatan arus, kedalaman, suhu, dan salinitas, di-amati dengan menggunakan bantuan alat water quality checker.

Analisis komposisi, dan distribusi makroalga di Pulau Menjangan, dihitung ber-dasarkan besaran dari kepadatan, kepadatan relatif, frekuensi, dan frekuensi relatif dengan rumus menurut Soegianto (1994), yaitu:

(3)

Kepadatan Relatif (RD) : RDi = ni/n

Frekuensi (F) : F = Ji/K

Frekuensi Relatif (RF) : RFi = Fi/F

Dengan ni = jumlah total individu untuk spesies i, A = luas total habitat yang di-sampling, n = jumlah total individu dari semua spesies, Ji = jumlah kuadran di mana spesies i terdapat, dan K = jumlah total kuadran yang didapat, dan F = jumlah fre-kuensi semua spesies.

Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian

Dari hasil pengamatan dan pengambilan sampel di perairan Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat, makroalga yang ditemukan sangat beragam dan hampir merata ditemukan pada setiap stasiun pengamatan. Kondisi pantai yang khas di Pulau Menjangan, di mana dikelilingi oleh hamparan karang yang memiliki kontur karang-nya merupakan perpaduan dari berbentuk datar (flat) ke kontur yang tiba-tiba ber-ubah drastis menjadi terjal atau dalam istilah selam disebut “drop off”, ditambah dengan terdapatnya gua-gua pada dinding gugusan karang tersebut. Oleh karena itu, lokasi pengamatan hanya dilakukan pada bagian selatan pulau, karena hanya bagian ini yang memiliki hamparan pantai yang luas, selebihnya berupa hamparan tebing-tebing karang yang curam.

Secara keseluruhan dari 3 stasiun pengamatan, yaitu Pos I, Pos II, dan Dermaga Pura, didapatkan 24 spesies makroalga yang berasal dari 3 kelas, yaitu Chlorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae.

Tabel 1. Makroalga di Perairan Pulau Menjangan

No Kelas Famili Spesies

1 Chlorophyceae Udoteaceae Ulvaceae Caulerpaceae Zignemataceae Hyneaceae Valoniaceae Anadyomenaceae Siphonocladeceae Udoteaceae Halimeda tuna Ulva fasciata Caulerpa lentillifera Spirogrya sp Hypnea valentiae Valonia ventricosa Anadyomene stellata Dictyocphaeria cavernosa Halimeda macrophysa 2 Phaeophyceae Dictyoceae Sargassaceae Dictyoceae Padina australis Turbinaria ornata Padina minor

(4)

3 Rhodophyceae Sargassaceae Rhodomelace Solieraceae Solieraceae Sargassaceae Corallinaceae Gellidiaceae Solieraceae Hypneaceae Solieraceae Sargassaceae Corallinaceae Sargassum Polycystum Gracilaria Coronapifolia Eucheuma denticulatum Jania ungulata Sargassum cinereum Titanophora pulchra Gelidiella taylori. Joly Euchema edule. Koetzig

Hypnea asperi Euchema sp

Sargassum playophyllum Amphiroa fragilissim

Beragamnya jenis-jenis makroalga yang ditemukan, maka dapat ditentukan pola dis-tribusi dan komposisinya di Perairan Pulau Menjangan yang dipresentasikan melalui nilai densitas relatif dan frekuensi relatif. Hasil yang didapatkan disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

35.88 32.94 31.18 35.29 31.37 33.33 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

Chlorophyceae Phaeophyceae Rhodophyceae

P e rs e n ta s e Densitas Relatif Frekuensi Relatif

Gambar 1. Densitas Relatif dan Frekuensi Relatif Makroalga

Selain jenis, distribusi, dan komposisi makroalga, kondisi lingkungan biofisik kawasan Pulau Menjangan juga ikut diamati dengan melakukan pengukuran kualitas perairan Pulau Menjangan, seperti yang tertera pada Tabel 2 berikut ini.

(5)

Tabel 2. Kondisi Kualitas Perairan Pulau Menjangan Stasiun Temp (º C) Turbiditas (NTU) pH Salinitas ( 0/00) DO (mg/l) BOD5 (mg/l) NH3 (mg/l) 1 29 0,0550 7,6 28,8 7,87 0,12 nihil 2 29 0,0331 7,6 28,9 8,00 0,12 nihil 3 29 0,0305 7,7 28,9 7,89 0,12 nihil Baku mutu alami < 5 7 – 8,5 alami > 5 20 Nihil Kriteria penilaian (Kepmen Negara LH No. 51, 2004)

2. Pembahasan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, makroalga yang ditemukan di perairan Pulau Menjangan dapat dikatakan cukup beragam dengan 24 spesies yang berasal dari 3 kelas, yaitu Chlorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae. Ciri-ciri umum dari kelas-kelas makroalga yang ditemukan di perairan Pulau Menjangan adalah per-tama, kelas Chlorophyceae mengandung klorofil dalam jumlah yang banyak sehingga alga ini berwarna hijau; memiliki holdfast; thallus ada yang berbentuk lembaran, stolon, silindris ataupun struktur tubuhnya bersegmen, ada yang mengandung kapur serta percabangan, dichotomous, dan trinornous. Sebagian besar Chlorophyceae yang ditemukan di perairan Pulau Menjangan memiliki thallus yang berbentuk lembaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kadi (1996), bahwa makroalga kelas Chlorophyceae umumnya memiliki thallus ada yang berbentuk filamen, lembaran, dan silindris. Sebagian dari kelas ini, seperti Caulerpa ditemukan pada substrat berpasir. Menurut Nybakken (1988), Caulerpa cenderung mendominasi daerah bersubstrat pasir di zona sublitoral. Kedua, kelas Phaeophyceae yang karakteristiknya antara lain mengandung pigmen klorofil dan fikosantin sehingga alga ini berwarna coklat; memiliki holdfast; thallus berbentuk berbentuk kipas, lembaran, terdapat garis-garis berambut radial, mengalami pengapuran, ada juga yang berbentuk silindris, morfologi daun seperti terompet dengan tepi bergerigi. Sebagian dari kelas ini, seperti Dictyota ditemukan menempel pada substrat karang mati di rataan terumbu karang. Menurut Teo dan Wee (1983), makroalga tersebut dapat ditemukan di daerah yang agak terlindung pada zona litoral dan sublitoral, sedangkan kelas ketiga adalah Rhodophyceae, alga kelas ini memiliki karakteristik di mana pigmen tubuhnya selain mengandung klorofil juga mengandung fikoeritrin sehingga disebut alga merah; memiliki holdfast; thallus ada yang berbentuk silindris, berduri rapat, percabangan berselang-seling, ada yang berbentuk berbentuk pipih, permukaan thallus licin, ada yang thallusnya herbaceous, ataupun silindris. Sebagian dari kelas ini, seperti Amphiroa ditemukan melekat pada substrat karang mati di rataan terumbu karang. Hal ini sesuai dengan pernyataan

(6)

Sulistijo dan Atmaja (1980), bahwa Amphiroa umumnya melekat pada substrat karang mati di zona sub litoral yang berombak pada perairan laut dangkal. Menurut Teo dan Wee (1983), makroalga tersebut dapat hidup epifitik pada jenis Sargassum.

Dari Tabel 1 di atas, memperlihatkan bahwa makroalga yang ditemukan paling banyak di perairan Pulau Menjangan berasal dari kelas Rhodophyceae, yaitu 11 spesies, diikuti kelas Chlorophyceae sebanyak 10 spesies, dan terendah dari kelas Phaeophyceae sebanyak 3 spesies. Kelas Rhodophyceae paling banyak dijumpai di perairan Pulau Menjangan, hal ini dimungkinkan oleh respon Rhodophyceae terhadap lingkungan habitatnya lebih baik daripada kelas yang lain. Artinya alga dari kelas Rhodophyceae ini lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan perairan Pulau Menjangan. Hal ini akan berbeda apabila dibandingkan dengan jenis-jenis makroalgae dari kelas Chlorophyceae. Alga dari kelas ini biasanya ditemukan tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan sehingga kondisinya menjadi lebih rentan. Kerentanan yang dimaksud karena adanya gangguan dari aktivitas manusia pada habitatnya seperti, misalnya aktivitas wisata, aktivitas transportasi (menambatkan perahu) dan lain sebagainya, akibatnya jumlah dari jenis makroalga ini relatif lebih sedikit dari-pada kelas Rhodophyceae walaupun relung hidupnya lebih luas. Sedangkan alga dari kelas Phaeophyceae paling sedikit diperoleh, hal ini disebabkan karena habitatnya yang sulit dijangkau yakni pada daerah dengan perairan yang lebih dalam.

Untuk kondisi ekologis perairan Pulau Menjangan, secara umum tergolong cukup baik. Hal ini terlihat dari berbagai jenis makroalga yang hidup, tersebar dengan cukup merata di Perairan Pulau Menjangan, sehingga hampir semua lokasi pengamat-an ditemukpengamat-an 3 kelas alga tersebut. Kondisi ini, kemungkinpengamat-an disebabkpengamat-an kualitas perairan Pulau Menjangan yang tergolong masih baik. Dari 7 parameter yang diuji (Tabel 2), tidak ada parameter yang melebihi atau melewati ambang batas baku mutu air laut untuk biota laut sesuai Kepmen Negara LH No. 51 tahun 2004. Kondisi kualitas perairan ini tidak terlepas dari keadaan Pulau Menjangan yang tidak berpenduduk, letaknya yang cukup jauh dari mainland (Pulau Bali) dan berada di sekitar laut ter-buka, sehingga limbah antropogenik tidak ada. Hal ini bisa dilihat dari parameter Amonia (NH3), BOD5 dan Turbiditas yang nilainya sangat rendah. Secara tidak langsung BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbon-dioksida dan air (Davis dan Cornwell (1991) diacu dalam Effendi (2003). BOD5 me-rupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan, di mana per-airan yang mempunyai nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan diuraikan secara biologis dengan melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Proses

(7)

oksidasi aerobik akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut sampai pada tingkat terendah dan mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob yang berdampak terhadap kematian organisme. Menurut Lee et al. (1978), tingkat pence-maran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD5-nya yang terbagi dalam 4 (empat) kategori, yaitu (1) Nilai BOD5 < 2,9 mg/l termasuk kategori tidak tercemar; (2) nilai BOD5 antara 3,0 - 5,0 mg/l termasuk kategori tercemar ringan; (3) nilai BOD5 antara 5,1 - 14,9 mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan (4) nilai BOD5 > 15 mg/l termasuk kategori tercemar berat, sehingga jika dibandingkan dengan hasil yang didapat maka perairan Pulau Menjangan masuk kategori belum tercemar.

Kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan, tidak hanya ditentukan oleh kondisi biofisik dan kimia perairan tetapi juga karena media hidup dari alga ter-sebut. Perairan Pulau Menjangan yang didominasi oleh terumbu karang yang cukup luas dan hidup mengelilingi Pulau Menjangan, telah menjadikan media hidup yang baik bagi makroalga. Karang dapat menjadi media hidup bagi alga karena sebagian besar makroalga hidup dengan cara menempel, terutama pada substrat yang keras seperti pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut. Keberadaan makroalga tersebut diperjelas dari hasil penelitian Yudasmara dan Kariasa (2008) dan Yudasmara (2010) yang memberikan gambaran bahwa pada ketiga stasiun pengamatan, ditemukan karang mati maupun pecahan karang (rubble) persentasenya cukup tinggi. Secara detail dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini 10.50% 4.06% 17.10% 27% 13% 27% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00%

Pos I Pos II Dermaga Pura

stasiun pengamatan p e rs e n ta s e abiotik dead coral

Gambar 2. Persentase Komponen Abiotik dan Dead Coral di Pulau Menjangan

(8)

Dari Gambar 2 di atas, terlihat bahwa persentase dead coral sebesar 22,44 % dan komponen abiotik 10,55 % dari ketiga stasiun pengamatan yang cukup besar, maka kemungkinan kehadiran makroalga di perairan juga cukup besar, mengingat terda-patnya media untuk hidup. Hasil penelitian Yudasmara (2008) juga menyebutkan bahwa 5,7% karang mati yang ditumbuhi alga (dead coral with algae), sehingga ada keterkaitan antara kehadiran makroalga dengan ekosistem terumbu karang.

Keterkaitan ekosistem terumbu karang dengan makroalga sangat erat, di satu sisi memberikan dampak positif namun di sisi lain dapat memberikan dampak negatif. Positifnya, makroalga merupakan biota yang sangat penting dalam ekosistem terumbu karang karena berperan sebagai produsen primer. Akan tetapi karena ke-mampuannya untuk tumbuh secara cepat, dapat berdampak negatif terhadap komu-nitas karang yang tumbuhnya lambat, sehingga jika pertumbuhannya tidak diken-dalikan maka komunitas makroalga akan segera mendominasi ekosistem terumbu karang dan pada akhirnya mengancam keberadaan terumbu karang di perairan.

Dari beragamnya jenis-jenis makroalga yang ditemukan, maka dapat pula di-gambarkan bagaimana pola distribusi dan komposisinya di Perairan Pulau Menjangan. Gambar 2 di atas, memberikan penjelasan bahwa persentase kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan cukup tinggi dan hal ini berarti kondisi lingkungan perairan telah mendukung kehidupan dari makroalga. Selain itu, densitas relatif dan frekuensi relatif ini akan menunjukkan bagaimana pola distribusi dan kom-posisi masing-masing kelas makroalga tersebut. Hasil persentase di atas menunjukkan bahwa kelas Chlorophyceae lebih mendominasi dibandingkan dengan Phaeophyceae dan Rhodophyceae, meskipun jenis yang ditemukan lebih sedikit dari Rhodophyceae. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa kelas Chlorophyceae lebih dapat ter-adaptasi dengan baik terhadap kondisi lingkungan perairan dibandingkan kelas makroalga lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena habitat kelas ini yang lebih banyak hidup di dekat daratan atau dengan kedalaman yang rendah sehingga lebih banyak memperoleh bahan organik yang umumnya berasal dari daratan serta perolehan intensitas matahari untuk proses fotosintesis yang lebih besar, dibanding-kan oleh kelas Rhodophyceae dan apalagi kelas Phaeophyceae yang lebih banyak di-temukan di perairan yang lebih dalam yang sudah tentu intensitas mataharinya juga ikut berkurang. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pola distribusi kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae tergolong clumped,sedangkan Rhodophyceae me-miliki pola distribusi random.

Kondisi di mana frekuensi relatif dan densitas relatif dari ketiga kelas makro-alga yang tergolong cukup tinggi, apabila dikaitkan dengan ekosistem terumbu karang yang ada, maka keadaan ini kemungkinan akan memberikan dampak yang negatif

(9)

bagi keberadaan terumbu karang. Mengingat kemampuan dari makroalga yang mampu tumbuh secara cepat dan lambat laun akan dapat mendominasi dalam skala besar, sehingga mampu menurunkan tutupan karang hidup di perairan Pulau Menjangan. Dari hasil penelitian ini, ada hal yang dapat dipetik, yaitu tingginya keha-diran makroalga di perairan dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang yang hidup di sana.

Simpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Makroalga yang ditemukan di perairan Pulau Menjangan terdiri atas 3 kelas, yaitu: Cholorophyceae dengan 10 jenis, Phaeophyceae dengan 3 jenis, dan Rhodophyceae dengan 11 jenis.

2. Penyebaran makroalga di perairan Pulau Menjangan lebih didominasi oleh kelas Cholorophyceae, Rhodophyceae, dan Phaeophyceae dengan nilai RF sebesar 35,29, 33,33, dan 31,37. Sedangkan komposisi makroalga di perairan Pulau Menjangan yang paling tinggi dari kelas kelas Cholorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae dengan nilai RD sebesar 35,88, 32,94, dan 31,18.

3. Pola distribusi makroalga dari kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae tergolong

clumped (membentuk rumpun),sedangkan Rhodophyceae memiliki pola distribusi secara random.

4. Adanya keterkaitan antara ekosistem terumbu karang dengan kehadiran makro-alga, yang digambarkan dari nilai frekuensi relatif dan densitas relatif makroalga yang cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 33,33.

5. Keberadaan ekosistem terumbu karang di perairan sangat besar pengaruhnya ter-hadap kehadiran makroalga, terutama dalam hal penyediaan media untuk hidup, sehingga kondisi terumbu karang akan menggambarkan kondisi dari makroalga. 6. Kehadiran makroalga di perairan dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi

ekosistem terumbu karang.

Daftar Pustaka

Atmadja, W.S. dan Sulistijo. 1988. Beberapa Aspek Vegetasi dan Habitat Tumbuhan Laut Bentik di Kepulauan Seribu. Jakarta: P3O. LIPI.

Atmadja, W.S., A. Kadi, dan Sulistijo Rachmaniar. 1999. Pengenalam Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI.

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

(10)

Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2003. Biologi Jilid 2 (Alih bahasa oleh Wasmen Manalu). Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Bogor: MSP-IPB.

Hoek, C. Van Den, D.G. Mann and H.M. Johns. 1998. Algae: An Introduction to Phycology.

3rd. Cambridge: University Press.

Kadi, A. 1996. Pengenalan Jenis Algae Hijaudalam Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan dari Marine

Biology. Jakarta: PT. Gramedia.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Usaha Nasional.

Sze, P. 1986. A Biology of The Algae. USA: Wm. C. Brown Communications Inc.

Teo, L.W and Wee, Y.C. 1983. Seaweeds of Singapore. Singapore: Singapore University

Press.

Tomascik T., Mah AJ, Nontji A, and Moosa MK, 1997: The Ecology of The Indonesian

Seas 1: 438-440, 443-446, 474-477, 583-585; 2: 770-781. Singapore: Periplus.

TNBB (Taman Nasional Bali Barat). 2003. Information Kit.

Trono, G.C and E.T. Ganzon. 1980. an Illustrated Seaweed Flora of Catalagon Batangas Phillippines. Phillippines: A. Bautista Press.

Wahyono, U. 1991. Potensi Sumberdaya dan Produksi Rumput laut. . Jakarta: Direktorat Bina Produksi. Direktorat Jenderal Perikanan

Yudasmara, A. 2008. Analisis Kondisi dan Potensi Terumbu Karang Di Pulau Menjangan Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Nasional Agritek Vol. 17 Edisi Ulang Tahun Ke-18. Universitas Pertanian Malang.

Yudasmara, A. 2010. Model Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Disertasi. IPB Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan mengenai fungsi dan bauran pemasaran, serta analisis margin pemasaran, farmer’share, rasio keuntungan

Rasa memiliki artinya seseorang memiliki kesadaran akan tanggung jawab yang harus dilakukan khususnya dalam hal belajar; disiplin berarti seseorang menunjukkan perilaku taat

Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, rasio bobot kering antara tanaman jabon dan petai tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada belimbing wuluh,

Dari hasil analisis fitokimia diketahui bahwa ekstrak kulit kayu gerunggang mengandung senyawa xanton dan beberapa komponen kimia penyusun senyawa ini

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan

Eceng gondok (eichhornia crassipes) merupakan tanaman sebagai gulma air yang pertumbuhannya sulit terkendali yang dapat hidup mengapung pada sungai, rawa, danau serta

Tidak semua musik tema sebuah film menuntut ilustrasi musik orkestra berskala besar,banyak film yang sering menggunakan musik tema hanya dengan satu instrumen musik

Manfaat bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah aransemen musik pendidikan antara lain mampu membuat aransemen musik dalam bentuk ansambel musik untuk siswa Sekolah Menengah