• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH PROFESIONALISME BIROKRASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA SEKRETARIAT DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN PROVINSI JAWA BARAT - repo unpas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS PENGARUH PROFESIONALISME BIROKRASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA SEKRETARIAT DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN PROVINSI JAWA BARAT - repo unpas"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang Penelitian

Memasuki era globalisasi dewasa ini salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah adalah bagaimana menampilkan aparat yang professional, memiliki etos kerja yang tinggi, keunggulan kompetitif dan kemampuan dalam menjalankan tugas serta fungsinya juga memenuhi aspirasi masyarakat serta terbebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Tantangan tersebut merupakan hal yang beralasan mengingat secara empirik masyarakat di daerah menginginkan agar aparat pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya dapat bekerja secara optimal yang akhirnya dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Citra buruk mengenai pelayanan publik telah menjadi ‘anekdot’ di dalam masyarakat, karena pelayanan yang diberikan cenderung tidak memuaskan dan sangat rumit. Persepsi tersebut muncul, karena para pelayan pada sektor publik bekerja dalam kerangka institusi dan hukum yang kaku, menghalangi efisiensi dan kemampuan merespon tuntutan publik, sehingga birokrasi publik bersikap terlalu formal dan bergantung pada peraturan tertulis.

(2)

2

mengambil keputusan manajer publik seharusnya dapat membuka diri untuk menerima kritik dari otoritas internal maupun publik, sehingga tidak merasa khawatir untuk mengambil keputusan dengan cepat yang sering menjadi opini negatif. Salah satu upaya untuk mengatasi citra buruk sektor publik tersebut dilakukan melalui peningkatan kompetensi pada sektor publik dengan cara melakukan peningkatan profesionalisme birokrasi.

Aparatur yang dibutuhkan saat ini, aparatur yang memiliki karakteristik kerja yang unggul, mampu beradaptasi terhadap situasi dan kondisi yang menuntut kemampuan diri dan kualitas kerja yang diharapkan untuk mengembangkan dirinya agar dapat bekerja secara mandiri menuju profesionalisme birokrasi yang handal dan terpercaya. Berkaitan dengan profesionalisme birokrasi Harits (2006: 6) menyatakan bahwa:

Profesionalisme birokrasi yang andal dimaksud aparatur atau pegawai yang bekerja pada setiap unit pelayanan pemerintahan dalam berbagai level, memiliki keahlian dan keterampilan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya dan memiliki tanggungjawab moral atau etika profesi dalam memberikan pelayanan kepada publik dan lingkungannya sebagai bagian dari kewajiban kebijakannya.

(3)

3

Kinerja pegawai dimaksud berkaitan dengan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai, baik secara perorangan maupun organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi dan tidak melanggar hukum sesuai dengan aturan moral dan etika organisasi. Pemahaman mengenai kinerja pegawai dikemukakan oleh Sentono dalam Dharma (1985: 2) sebagai berikut: “Kinerja/performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing”. Pelaksanaan suatu pekerjaan dinilai memenuhi standar yang baku bila mengacu pada hasil pekerjaan yang telah ditetapkan, sehingga mencapai hasil dan sasaran kerja yang telah ditargetkan dan dicapai secara maksimal, termasuk kinerja pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

(4)

4

Merujuk tugas pokok dan fungsi di atas, terlihat bahwa tugas yang diemban oleh Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dengan segala permasalahan yang dihadapinya mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Proses pencapaian tujuan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi akan semakin lancar, apabila kinerja pegawai berjalan dengan tepat sesuai dengan prosedur yang ada. Pada kenyataannya kinerja pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat tidak berjalan sesuai dengan aturan yang menyebabkan tidak lancarnya pelaksanaan kerja secara memadai.

Berdasarkan hasil penelitian awal, ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan rendahnya kinerja pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator masalah sebagai berikut:

(5)

5

2. Keandalan kerja pegawai masih rendah. Contohnya: pada Subbagian Kepegawaian dan Umum, dalam melaksanakan pengelolaan data kepegawaian tidak dilakukan dengan rapi dan terorganisir. Hal ini terlihat dalam kondisi di mana pegawai tidak terampil dalam mengelola data kepegawaian yang seharusnya disimpan dalam 1 berkas, kenyataannya disimpan dalam 5 berkas serta dalam format yang berbeda, sehingga data kepegawaian tidak terkelola dengan baik. Akibatnya ketika data seorang pegawai dibutuhkan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencarinya.

Tabel 1

Laporan Kinerja Pegawai

No. Jenis Kegiatan Ketentuan Realisasi Keterangan 1. Penyusunan

2. Pengelolaan data kepegawaian

Sumber: Hasil penelitian (2015).

(6)

6

melalui penulisan tesis dengan merumuskan judul: ANALISIS PENGARUH PROFESIONALISME BIROKRASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA SEKRETARIAT DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN PROVINSI JAWA BARAT.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka peneliti mengemukakan pernyataan masalah (Problem Statement), yaitu rendahnya Kinerja Pegawai yang diduga disebabkan oleh belum dilaksanakannya Aspek-aspek Profesionalisme Birokrasi secara penuh. Selanjutnya berdasarkan pernyataan masalah tersebut dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Berapa besar pengaruh Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai

pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. 2. Berapa besar pengaruh Profesionalisme Birokrasi yang ditentukan

(7)

7

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis besarnya pengaruh Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

2. Mengembangkan konsep teori pengaruh Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

3. Menerapkan secara teoritis Profesionalisme Birokrasi dalam memecahkan masalah Kinerja Pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis, hasil penelitian ini dapat mengembangkan khasanah keilmuan, khususnya Ilmu Kebijakan Publik yang berkaitan dengan Profesionalisme Birokrasi dan Kinerja Pegawai.

(8)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan kajian secara luas mengenai konsep dan kajian hasil penelitian sebelumnya yang digunakan dalam mendukung penelitian yang dilakukan dengan pembahasan variabel-variabel yang dibahas dalam penelitian ini. Beberapa hasil penelitian yang mengkaji aspek dan faktor dari fungsi administrasi secara luas dikemukakan dalam bahasan di bawah ini.

2.1.1. Hasil Penelitian Agus Hanafiah (2012)

Hanafiah (2012) melakukan penelitian tentang Analisis Dampak Kompetensi Pegawai terhadap Kinerja Pegawai pada Bidang Pengembangan Karir Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini didasarkan pada masalah pokok, yaitu Kinerja Pegawai rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh belum dijalankannya dimensi-dimensi Kompetensi Pegawai secara menyeluruh pada Bidang Pengembangan Karir Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat.

Pendekatan dalam penelitian ini tentang Kompetensi dan Kinerja Pegawai dilihat dari konteks kebijakan publik dan administrasi publik sebagai teori induknya untuk mengembangkan khasanah Ilmu Administrasi Publik.

(9)

9

untuk meneliti pengaruh Kompetensi Pegawai (X) sebagai variabel bebas terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebagai variabel terikat. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif melalui penggunaan Metode Analisis Jalur (Path Analysis) yang dimaksudkan untuk mengetahui besaran pengaruh variabel Kompetensi Pegawai terhadap Kinerja Pegawai pada Bidang Pengembangan Karir Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat.

(10)

10

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Kompetensi berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pegawai pada Bidang Pengembangan Karir Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat. Bahwa secara menyeluruh Kompetensi telah dilaksanakan dan dijalankan sesuai dengan faktor-faktor Kinerja Pegawai.

2.1.2. Hasil Penelitian Eri Kusmara Wardhana (2014)

Wardhana (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Cipta Karya, Kebersihan, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kota Banjar. Penelitian ini didasarkan pada masalah pokok, yaitu rendahnya Kinerja Pegawai yang diduga disebabkan oleh belum dijalankannya aspek-aspek Profesionalisme Birokrasi secara menyeluruh pada Dinas Cipta Karya, Kebersihan, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kota Banjar.

(11)

11

Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Cipta Karya, Kebersihan, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kota Banjar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan, Profesionalisme Birokrasi (X) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai (Y) Dinas Cipta Karya, Kebersihan, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kota Banjar sebesar 69,13%. Adapun pengaruh variabel lain () terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebesar 30,87%.

Selanjutnya pengaruh secara parsial Profesionalisme Birokrasi (X) yang terdiri dari tiga aspek Profesionalisme Birokrasi terhadap Kinerja Pegawai (Y) yaitu: Aspek Pengetahuan (X1) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebesar 36,47%, Aspek Keterampilan (X2) tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebesar -6,83% dan Aspek Ketaatan kode etik (X3) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebesar 39,49% Dari ke tiga Aspek Profesionalisme Birokrasi yang memberikan pengaruh dominan secara parsial terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Cipta Karya, Kebersihan, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kota Banjar, yaitu Aspek Ketaatan kode etik (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pegawai (Y) sebesar 39,49%.

(12)

12

2.1.3. Relevansi dengan Hasil Penelitian Terdahulu

Setelah memaparkan hasil penelitian dari Hanafiah (2012) dan Wardhana (2014), dapat dilihat relevansi keterkaitan antara hasil penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan peneliti pada tabel berikut ini:

Tabel 2

Relevansi Hasil Penelitian Terdahulu dengan Tesis Peneliti

No. Nama Peneliti/

(13)

13

Setelah memahami berbagai perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian peneliti, maka tampak tingkat keaslian penelitian ini, sehingga penelitian terdahulu menjadi daya dukung dan memberikan inspirasi bagi peneliti untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas dan orisinal.

2.1.4. Lingkup Administrasi Publik

Sebelum menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan profesionalisme birokrasi dan kinerja pegawai terlebih dahulu dikemukakan lingkup administrasi publik dan implementasi kebijakan publik sebagai konsep yang mengemukakan pendapat para ahli. Di samping itu untuk memperkuat kajian teoritik yang berkaitan dengan pemahaman administrasi publik dan implementasi kebijakan publik sebagai ciri bahwa tulisan ini membahas tentang kajian adminstrasi publik.

(14)

14

Perkembangan administrasi publik di suatu negara banyak dipengaruhi oleh dinamika masyarakatnya, di mana keinginan masyarakat tersalur melalui sistem politik, sehingga administrasi publik dapat merasakan tantangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat yang selalu berubah.

Administrasi publik (public administration) yang lebih dikenal di Indonesia dengan istilah administrasi negara, selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut administrasi publik, merupakan salah satu aspek dari kegiatan pemerintahan. Administrasi publik merupakan salah satu bagian dari ilmu administrasi yang erat kaitannya dengan proses politik, terutama kaitannya dengan perumusan berbagai kebijakan negara, sehingga administrasi publik itu sudah dikenal sesuai dengan keberadaan sistem politik di suatu negara. Oleh karena itu Kasim (1994: 8) menyatakan:

(15)

15

proses kegiatan kenegaraan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Kontek politik, administrasi publik sangat berperan dalam perumusan kebijakan negara. Hal ini dikemukakan oleh Henry Terjemahan Lontoh (1993: 33) yang menyebutkan bahwa: “For the later of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of public policy formulation and the major determinant of where this county is going”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa pada abad ke 20, birokrasi publik telah menjadi bagian dari kebijakan publik dan faktor penentu bagi proses peradaban yang sedang maju.

Administrasi publik telah dipandang sebagai bagian yang sama pentingnya dengan fungsi pelaksanaan kebijakan negara (public policy implementation). Birokrasi pemerintah telah menjadi wadah perumusan kebijakan negara dan penentu utama ke mana negara itu akan dituju. Pendapat tersebut di dukung oleh Gordon dalam Henry terjemahan Lontoh (1988: 21-22) yang menyatakan:

Birokrasi pemerintah semakin dituntut untuk menerapkan unsur-unsur efisiensi agar penggunaan sumber daya berlangsung secara optimal di sektor publik. Selain itu, dituntut adanya keahlian administratif sehingga dapat diwujudkan pemerintahan yang efisien atau dengan perkataan lain, pejabat dalam administrasi pemerintah dapat ditingkatkan menjadi lebih profesional.

(16)

16

Administrasi publik tercermin dari definisi dan individu yang bertindak sesuai dengan peranan dan jabatan sehubungan dengan pelaksanaan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan.

Pendapat tersebut secara implisit menganggap bahwa administrasi publik terlibat dalam seluruh proses kebijakan publik. Terminologi tentang kebijakan publik (public policy) itu sendiri menurut Wahab (1997: 2), bahwa “kebijakan publik menggunakan istilah yang berbeda-beda, karena memang ada yang menggunakan terminologi public policy dengan istilah kebijakan publik dan ada pula yang menggunakan istilah kebijaksanaan publik”. Tetapi tampaknya para ahli lebih banyak yang menggunakan istilah kebijakan publik. Istilah kebijakan mengarah kepada produk yang dikeluarkan oleh badan-badan publik yang bentuknya bisa berupa peraturan perundangan dan keputusan-keputusan, sedangkan kebijaksanaan lebih menitik beratkan kepada fleksibilitas sesuatu kebijakan. Adanya perbedaan pengertian tersebut sebenarnya karena munculnya dua konteks istilah yang berbeda, baik dalam konteks Indonesia maupun dalam konteks Inggris, sehingga mengembangkan pengertian dan makna yang berbeda dipahaminya.

(17)

17

dijalankan oleh lembaga-lembaga negara sebagai kebijakan negara yang harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Gordon dalam Kasim (1994: 12) menyatakan pemahanan mengenai peran administrasi publik sebagai berikut:

Administrasi publik mempunyai peranan yang lebih besar dan lebih banyak terlibat dalam perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Hal tersebut telah mempengaruhi perkembangan ilmu administrasi publik yang ruang lingkupnya mulai mencakup analisis dan perumusan kebijakan (policy analysis and formulation), pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan (policy implementation) serta Pengawasan Melekat dan penilaian hasil kebijakan tersebut (policy evaluation).

Administrasi publik pada dasarnya tercermin dari tindakan individu sesuai dengan peranan dan jabatan yang diimplementasikan melalui peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga negara baik legislatif, eksekutif dan peradilan negara yang berlaku pada suatu negara yang mengeluarkan peraturan dan perundangan tersebut. Hakekatnya administrasi publik terlibat dalam seluruh proses kebijakan publik untuk dijadikan landasan dalam melakukan dan memberikan pelayanan pada masyarakat sebagai implementasi kebijakan publik.

Menurut Atmosudirdjo (1982: 9) memberikan definisi administrasi publik sebagai “organisasi dan administrasi dari unit-unit organisasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan kenegaraan”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa organisasi dan administrasi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian tujuan. Sedangkan Kristiadi (1994: 3) menyebutkan:

(18)

18

Pendapat di atas, tampak bahwa tujuan negara di arahkan pada kesejahteraan rakyat dengan menyediakan fasilitas dan pelayanan yang prima pada masyarakat. Siagian (1994: 8) memberikan pengertian administrasi sebagai “keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara”.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pendekatan administrasi publik Indonesia berhubungan dengan peranan birokrasi pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah. Pengaruh perilaku aparatur dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan publik akan mewarnai budaya organisasi birokrasi yang pada gilirannya akan berpengaruh pada tingkat kinerja birokrasi dalam sistem administrasi publik secara keseluruhan.

Pendekatan administrasi publik sebagaimana diuraikan di atas, sangat berhubungan dengan aparatur pemerintah sebagai pembuat kebijakan publik. Hal ini dinyatakan oleh Wahab (1997: 41) yang menyebutkan bahwa:

Pembuat kebijakan publik adalah para pejabat-pejabat publik, termasuk para pegawai senior pemerintah (public bureaucrats) yang tugasnya tidak lain adalah untuk memikirkan dan memberikan pelayanan demi kebaikan umum (public good).

Pemahaman di atas, tampak bahwa pembuat kebijakan publik itu terdiri dari para pejabat publik yang bertugas menjadi pemikir guna memberikan pelayanan umum. Selanjutnya Wahab (1997: 48) yang mengutip dari Fisterbuch membagi kebijakan publik ke dalam lima unsur sebagai berikut:

1. Keamanan (security).

(19)

19

4. Kebebasan (liberty). 5. Kesejahteraan (welfare).

Penyelenggaraan berbagai kegiatan di atas, pada dasarnya merupakan kegiatan administrasi publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah. Adanya kesejajaran fungsi antara politik dan administrasi dalam praktek kenegaraan, menjadikan politik mempunyai hubungan yang erat sekali dengan administrasi telah membantah pendapat yang mendikotomikan antara politik dan administrasi sebagaimana dinyatakan Goodnow dalam Islamy (1994: 3) bahwa:

Pemerintah mempunyai dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government), yaitu fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik ada kaitannya dengan pembuatan kebijakan atau perumusan pernyataan keinginan negara (has to do with policies or expressions of the state will), sedangkan fungsi administrasi adalah yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (has to do with the execution of the policies).

Pendapat yang lain tidak sedikit yang menyatakan bahwa pada kenyataannya pakar administrasi menyetujui adanya dikotomi antara politik dan administrasi sebagaimana dikemukakan Goodnow. Karena pada dasarnya peranan birokrasi pemerintahan bukan saja melaksanakan kebijakan negara. tetapi juga berperan pula dalam merumuskan kebijakan. Peranan kembar yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah tersebut. memberikan gambaran tentang pentingnya administrasi publik dalam proses politik.

(20)

20

proses politik dalam sistem Demokrasi Pancasila yang telah dianut selama kurun waktu setengah abad. Dalam konteks perumusan kebijakan, maka peran administrasi publik sebagaimana dikemukakan Presthus dalam Kristiadi (1994: 24) bahwa: “Public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representative political bodies”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa administrasi publik menyangkut implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik.

Pernyataan Presthus di atas, mengindikasikan bahwa administrasi bukan sekedar melaksanakan kebijakan negara (public policy) melainkan juga terlibat dalam proses perumusan kebijakan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara pencapaian tujuan negara tersebut. Dalam konteks ini, maka administrasi publik tidak hanya berkaitan dengan badan-badan eksekutif melainkan pula seluruh lembaga-lembaga negara dan gabungan antar lembaga tersebut satu sama lainnya. Dengan demikian, perumusan kebijakan negara (public policy) yang semula merupakan fungsi politik telah menjadi fungsi administrasi publik.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa administrasi publik yang dalam tingkat operasional dilakukan oleh birokrasi pemerintah memiliki peranan yang lebih besar karena banyak terlibat tidak hanya dalam tingkat implementasi kebijakan (policy implementation), tetapi terlibat pula dalam tingkat perumusan kebijakan (policy formulation) dan evaluasi kebijakan (public policy evaluation).

(21)

21

administrasi publik tidak hanya memainkan peranan instrumental (instrumental role) saja melainkan juga aktif dalam peranan politik. Dengan demikian, perumusan kebijakan negara merupakan hal yang sangat penting dalam administrasi publik. Menurut White dalam Silalahi (1989: 17) menyebutkan bahwa: “Public administration consists of all those operations having for their purpose the fulfill or enforcement of public policy”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa administrasi publik terdiri dari semua kegiatan untuk mencapai tujuan atau melaksanakan kebijakan.

Administrasi publik mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, diantaranya melaksanakan kebijakan publik dengan penuh kesungguhan. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Piftner dan Presthus dalam Silalahi (1989: 18) yang menyebutkan bahwa: “Public administration may be defined as the coordination of individuals and group efforts to carry out public policy”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa administrasi publik kiranya dapat dirumuskan sebagai sarana koordinasi dari individu-individu dan kelompok dalam melaksanakan kebijakan negara.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa tampak hubungan antara kebijakan administrasi publik dan kebijakan negara yang pada unsurnya dapat dilihat dari fungsinya. Menurut Silalahi (1989: 21) tingkat perumusan haluan negara meliputi:

(22)

22

a. Mempunyai wewenang untuk menetapkan atau menentukan kebijakan yang harus diikuti oleh pemerintah.

b. Mempunyai wewenang untuk menyatakan kehendak publik dalam bentuk hukum.

c. Secara penuh memegang political authority.

2. Tingkat pelaksanaan haluan negara dalam pengertian administrasi negara mencakup tingkat pelaksanaan haluan negara dan sering disebut sebagai tingkat administrasi.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas sangatlah jelas bahwa terdapat hubungan antara kebijakan negara dengan administrasi publik dan keduanya berkaitan dengan politik, karena memang setiap kehendak politik masuk dalam kebijakan negara yang digariskan. Sedangkan di lain pihak, tingkat pelaksanaan kebijakan. yaitu birokrasi sebagai bagian dari administrasi publik juga aspirasinya masuk ke dalam penyusunan kebijakan negara.

Saat ini, para ahli administrasi publik tidak hanya secara tradisional mengartikan “public administration”, semata-mata hanya bersifat kelembagaan seperti halnya negara. Tetapi telah meluas dalam kriteria hubungan antara lembaga dalam arti negara dengan kepentingan publik (public interest). Dengan demikian dalam konsep demokrasi modern, menurut pemahaman Islamy (1994: 10) dikatakan sebagai berikut:

Kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara. Oleh karena itulah, maka kebijakan negara harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik.

(23)

23

tetapi satu sama lain sangat erat berkaitan dengan masalah-masalah kenegaraan. Selanjutnya Webster sebagaimana dikutip Wahab dalam Putra (2001: 81) merumuskan implementasi kebijakan sebagai berikut:

Implementasi kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden).

Implementasi kebijakan sebagai suatu tindakan melaksanakan keputusan negara, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan, keputusan pengadilan, perintah presiden maupun dekrit presiden. Pemahaman lebih lanjut tentang pelaksanaan kebijakan dirumuskan oleh Udodji dalam Putra (2001: 79) menyatakan bahwa: “The execution of policies is not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan dengan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Selanjutnya Anderson dalam Putra (2001: 165) menjelaskan bahwa Implementasi kebijakan publik merupakan kegiatan pengoprasian program yang mempunyai tiga pilar kegiatan, antara lain:

1) Organisasi, yaitu penataan sumber daya, unit-unit serta metode untuk menunjang agar program tersebut dapat berjalan.

2) Interpretasi, yakni penafsiran program agar menjadi rencana yang tepat sehingga dapat diterima dan dilaksanakan.

(24)

24

Implementasi kebijakan publik pada dasarnya melibatkan berbagai pihak meskipun dengan persepsi dan kepentingan yang berbeda, bahkan sering terjadi pertentangan kepentingan antar lembaga atau pihak yang terlibat. Van Meter dan Van Horn dalam Winarno, (2002: 102) membatasi implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut:

Sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencangkup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

Perlu ditekankan di sini bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

2.1.5. Lingkup Profesionalisme Birokrasi

(25)

25

a. Konsep Profesionalisme Birokrasi

Secara estimologi Ndraha (2000) menguraikan pengertian profesionalisme, sebagai berikut:

Profesionalisme berasal dari bahasa Inggris professionalism. Asal katanya profess (to lay claim to, pengakuan, pernyataan), kemudian profession (pekerjaan yang ditekuni dan dikuasai benar-benar), dan professional (seorang yang mempunyai profession, menurut cara yang sesuai dengan profession), serta professionalism adalah professional character, spirit, or methods. Pendapat di atas, menjelaskan bahwa profesionalisme berkaitan dengan pengalaman tentang sesuatu yang dikuasai sesuai dengan keahlian. Pamudji (1994: 20-21) lebih lanjut menyatakan bahwa profesionalisme berasal dari akar kata profesi, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah profession, yang berarti:

A vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving mental rather than manual work; as teaching engineering, writing, etc. Dari kata dasar profession ini kemudian muncul kata jadian professional yang artinya engage in special occupation for pay etc dan professionalism yang artinya professional quality, status etc.

(26)

26

Seseorang yang tergolong profesional, yang berarti memiliki atau dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan (pekerjaan) diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu, sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi, yang kesemuanya mendatangkan kepuasan pada warga masyarakat.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa profesionalisme sangat terkait dengan tingkat kemampuan seseorang dalam melaksanakan bidang pekerjaaannya, bekerja secara cepat dalam memproses suatu pekerjaan secara tepat, sehingga orang yang membutuhkan keahliannya merasa puas atas pekerjaan yang diselesaikannya tersebut. Pandangan lain tentang profesionalisme di ungkapkan oleh Storch dalam Martin dan Schinzinger terjemahan Widodo (1994: 197) bahwa:

Seorang profesional menganalisis problem atas dasar pengetahuan dalam bidang tertentu, dengan cara yang objektif dan independen dari kepentingan pribadi dan diarahkan pada kepentingan terbaik kliennya. Dalam kenyataan, tugas profesional adalah mengetahui apa yang terbaik bagi kliennya bahkan bila klien itu tidak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.

(27)

27

Profesionalisme merupakan suatu kemampuan dan keahlian untuk menghubungkan badan pengetahuannya dengan badan pengetahuan lain untuk mencapai tujuan bersama; kemampuan untuk membela perbedaan pendapat secara etik, tidak hanya dalam organisasi itu sendiri, melainkan juga perbedaan pendapat dari anggota-anggotanya.

Pandangan Martin dan Schinzinger tersebut di atas, tergambar bahwa kualitas penyelenggaraan tugas dan fungsi dari suatu badan (instansi pemerintah) membutuhkan kehadiran orang-orang (pegawai) yang memiliki pengetahuan yang memadai, memiliki kemampuan dan keahlian untuk membangun organisasi mencapai tujuan dengan menggunakan etika sebagai landasan dalam menciptakan sebuah komunikasi yang harmonis, baik secara internal maupun eksternal.

Secara konkrit pengertian profesionalisme dapat merujuk pada pandangan Pamungkas (1996: 206-207) yang mengemukakan bahwa:

Manusia profesional dianggap sebagai manusia berkualitas yang memiliki pengetahuan dan keahlian serta berkemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dalam cara berprilaku, analisa dan keputusan-keputuhannya. Hasil kerja secara profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah atau moral dan etika yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan keberhasilan, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan, baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya.

(28)

uraian-28

uraian di atas, tampak bahwa konsep profesionalisme berkaitan dengan seseorang yang harus memiliki kemampuan pengetahuan dan kemampuan keahlian yang didasari pada ilmu pengetahuan tertentu dalam melakukan pekerjaannya, mau menerima tanggung jawab moral terhadap masyarakat atau lingkungannya sebagai bagian dari kewajiban profesionalnya.

a. Ciri-ciri Profesionalisme

Profesionalisme dan kemajuan (progress) merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kemajuan suatu lembaga (institusi) atau organisasi ditentukan oleh keprofesionalan dari pengelolanya. Dengan demikian institusi atau organisasi yang semakin maju akan menuntut pula peningkatan profesionalisme. Bila tidak, institusi atau organisasi tersebut akan semakin tertinggal bahkan akan mengalami kemunduran, seperti dikatakan oleh Sanjaya (1996: 125) bahwa:

Kondisi persaingan saat ini menjadikan profesionalisme sebagai sumber kekuatan. Kunci terbesar untuk meraih keberhasilan pun terletak pada kemampuan meningkatkan profesionalisme, dalam arti melaksanakan aktifitas usaha secara efisien, efektif dan produktif, sehingga kondisi usaha dapat bertahan dan berkembang (survive).

(29)

29

1. Kapasitas atau stok keahlian yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Moral atau etika, dan perilaku atau tindak tanduk, baik secara individu maupun kelompok.

3. Pelayanan terhadap orang, masyarakat atau lingkungan.

Setiap kehidupan organisasi apapun bentuknya, kapasitas sumberdaya manusia yang unggul setidaknya-tidaknya harus memiliki ciri dari ketiga unsur tersebut di atas, agar memenuhi standar profesionalisme. Pandangan yang hampir senada dengan itu, dikemukakan oleh Martin dan Schinzinger terjemahan Widodo (1994:196) bahwa seorang yang profesional hares memenuhi kriteria umum sebagai berikut:

1. Mencapai standar prestasi (pengetahuan) dalam pendidikan, kemampuan bekerja, maupun kreatifitas dalam merekayasa yang membedakan mereka dari teknisi dan teknolog kerekayasaan (keahlian).

2. Mau menerima tanggung jawab moral, paling tidak yang paling dasar, terhadap masyarakat, maupun terhadap majikan, klien, kolega, dan bawahan, sebagai bagian dari kewajiban profesional mereka. Kriteria terakhir ini memberikan dimensi moral pada terminologi “profesionalisme” yang konsisten dengan fakta bahwa “perilaku yang tidak profesional” kerap digunakan sebagai sinonim dari “perilaku yang tidak etis”.

(30)

30

prinsip-prinsip pelayanan dan berdisiplin, bertangggungjawab serta mentaati etika dalam memberikan pelayanan yaitu kemampuan melayani masyarakat dengan memberikan pelayanan yang semakin efisien dan efektif sesuai dengan standar, pelayanan sehingga kinerja pelayanan pemerintahan menjadi produktif.

Bila merujuk pada pandangan Schein dalam Handoko (1997: 14) menguraikan karakteristik profesionalisme sebagai berikut:

1. Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum.

2. Para profesional mendapatkan status mereka karena mencapai standar kerja tertentu, bukan karena favoritisme atau karena suku bangsa atau agamanya dan kriteria politik atau sosial lainnya.

3. Para profesional harus ditentukan oleh suatu kode etik yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu di atas, profesionalitas seseorang berkaitan erat dengan kemampuan pengetahuan dan keterampilan dan rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan fungsi organisasi. Oleh karena itu seseorang yang dikatakan profesional dapat pula ditunjukkan dari kemampuan diskresi, yaitu kemampuan melayani masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, bekerja tanpa meminta petunjuk atau instruksi atasan. Hal itu dilakukan guna memudahkan masyarakat dalam memperoleh produk layanan pemerintah yang menjadi kebutuhannya.

(31)

31

sebagai partner klien. Profesionalisme tidak memandang perbedaan dan menuntut perlakuan yang sama bagi setiap masyarakat sebagai partner dan customer.

Setiap aparatur yang profesional harus mempunyai karakteristik seperti yang diuraikan tersebut dan tercermin dalam perilaku sehari-hari ketika berhadapan dengan masyarakat (demander) dari berbagai jenis layanan yang disediakan oleh pemerintah (provider), Seperti yang dikemukakan oleh Levoy terjemahan Effendi dan Purwandianto (1986: 17) bahwa “seorang profesionalisme pada umumnya bertindak bukan berdasarkan apa adanya atau kualitas tersembunyi, tetapi dapat dilihat dari penampilan profesional itu yang tampak”. Dengan demikian tampak bahwa reaksi orang terhadap terhadap profesionalisme tergantung dari cara, sikap dan ucapan orang tersebut dalam bertingkah laku.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Birokrasi

Profesionalisme birokrasi bukanlah suatu produk yang tercipta secara seketika, melainkan produk dari suatu proses yang dicapai melalui berbagai tahap dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi, memerlukan pemikiran yang tangguh dan kebijakan yang mantap dalam berbagai kegiatan bagi pengembangan aparat. Siagian (1990: 211), mengemukakan bahwa profesionalisme mencakup hal-hal berikut:

1. Perencanaan tenaga kerja (manpower planning). 2. Pengembangan sumber daya insani.

3. Citra pengetahuan dan ketrampilan (skills profile). 4. Jabatan struktural dan fungsional.

(32)

32

Guna memberdayakan organisasi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, maka sedini mungkin proses perencanaan sumberdaya manusia tenaga aparatur perintahan perlu di lakukan melalui proses rekruitmen yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan satuan unit pelayanan. Demikian pula dalam proses penempatan pada jabatan struktural atau jabatan fungsional perlu memperhatikan kualitas kepribadiannya yang berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman dan penguasaan teknologi, sehingga diperoleh orang-orang yang tepat pada posisi yang tepat pula. Di samping itu, untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya aparatur, maka diperlukan berbagai pendidikan pelatihan atau kursus keahlian bila dibandingkan dengan mengadakan pendidikan penjenjangan. Hal ini dikarenakan pembentukan kapasitas sumber daya manusia perlu disertai dengan berbagai pendidikan dan pelatihan teknis, sehingga ke depan sumberdaya manusia sebagai aparatus pemerintahan itu memiliki kemampuan atau kualitas dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut di atas dikemukakan oleh Pamudji (1994: 23) bahwa:

Untuk menciptakan Profesionalisme Birokrasi negara dalam konteks makro terkait kepada pengembangan sumber daya manusia, sedangkan dalam konteks mikro terkait dengan pengembangan karier. Kedua hal ini saling mengisi, dengan demikian profesionalisme akan dicapai melalui pendidikan dan latihan serta diperkaya dengan pengalaman praktek.

(33)

33

pelaksanaan kegiatan pelatihan teknis kepada setiap aparatus pemerintah yang memiliki tugas dan tangungjawab dalam melayani masyarakat terutama pada posisi front line seperti aparat yang bertugas di kelurahan dan kecamatan maupun dinas yang secara teknis operasional berhubungan langsung dengan masyarakat telah menyebabkan pelayanan pemerintahan menjadi kurang berkualitas di mata masyarakat. Oleh karena itu, cukup wajar bila Sanjaya (1996: 125) mengemukakan bahwa:

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar menjadi lebih profesional. Tentunya hanya dapat terlaksana apabila penguasaannya didasarkan pada skill, knowledge dan pendidikan yang menunjang, di samping motivasi dan orientasi attitude yang prima yang didasarkan pada loyalitas terhadap pekerjaan, jujur, objektif, memiliki dedikasi dan keinginan yang kuat untuk maju dan mengembangkan diri.

Pendidikan dan pelatihan teknis tentunya diselenggarakan dalam upaya membentuk sikap dan perilaku yang tanggap bagi setiap aparatur pemerintahan untuk bekerja melayani masyarakat sesuai dengan fungsi organisasi atau unit pelayanan pemerintahan.

(34)

34

Pola pengembangan profesionalitas pegawai itu dapat merujuk pada pandangan Rasyid (1997: 73) bahwa untuk menciptakan Profesionalisme Birokrasi terdapat beberapa segi yang perlu menjadi perhatian untuk dibenahi, yaitu: “(1) pola rekruitmen; (2) pemahaman atas komitmen profesional; (3) promosi karier; (4) kesejahteraan; (5) etika birokrasi”. Dengan demikian pembentukan aparat yang profesional harus dimulai sejak dari perekruitan sampai dengan perhatian terhadap kesejahteraan dari aparat itu sendiri, sehingga faktor-faktor tersebut akan senantiasa berkaitan satu dengan yang lain dalam pembentukan aparat yang profesional.

2.1.6. Lingkup Kinerja Pegawai

Kinerja mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Dengan kata lain kinerja diartikan sebagai pencapaian penugasan kawajiban dan outcome

yang dihasilkan pada fungsi jabatan atau aktivitas jabatan atau aktivitas selama periode waktu tertentu. Kinerja bukan hanya menyangkut kuantitas atau sejumlah hasil yang bisa dihitung, tetapi juga termasuk kualitas atau mutu pekerjaan. Menurut Moeheriono (2009: 60), menyatakan bahwa kinerja didefinisikan sebagai berikut:

(35)

35

Pendapat di atas, dapat ditafsirkan bahwa kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok pegawai telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisasi. Menurut Widodo (2005: 78) menyatakan bahwa: “kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan”. Pengertian mengenai kinerja tersebut, dapat diasumsikan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Selanjutnya Sedarmayanti (2001: 50) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut:

Kinerja mempunyai hubungan erat dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.

Pendapat tersebut menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses, maksudnya kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan produktivitas kerja, karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya untuk mengadakan pengukuran atau penilaian terhadap kinerja disuatu organisasi merupakan hal yang sangat penting.

(36)

36

diartikan sebagai pencapaian penugasan kawajiban dan outcome yang dihasilkan pada fungsi jabatan atau aktivitas jabatan atau aktivitas selama periode waktu tertentu.

Ungkapan tersebut menyatakan bahwa standar kinerja perlu dirumuskan guna dijadikan tolok ukur dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang diharapkan, kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang telah dipercayakan kepada seseorang. Standar dimaksud dapat pula dijadikan sebagai ukuran dalam mengadakan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dilakukan. Faktor-faktor yang dijadikan ukuran kinerja menurut pendapat Mitchell dalam Sedarmayanti (2001: 51) adalah: “faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation) yang dirumuskan sebagai berikut: Human performance = Ability + Motivation”. Kedua faktor ini merupakan prasayarat dari ukuran kinerja seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaan sebagai tanggungjawab terhadap tugas-tugasnya. Selanjutnya Mitchell dalam Sedarmayanti (2001: 51) mengemukakan mengenai pengukuran kinerja berdasarkan pada aspek-aspek kinerja sebagai berikut:

1. Kualitas kerja. 2. Ketepatan waktu. 3. Inisiatif.

4. Kemampuan. 5. Komunikasi.

(37)

37

1. Harapan mengenai imbalan. 2. Dorongan.

3. Kemampuan.

4. Kebutuhan dan sifat. 5. Persepsi terhadap tugas.

6. Imbalan internal dan eksternal.

7. Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja.

Ketujuh faktor tersebut merupakan standar pengukuran kinerja seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan, tugas dan tanggungjawab pegawai yang bersangkutan. Adapun tujuan pengukuran kinerja menurut Mahmudi (2007: 14) dikemukakan sebagai berikut:

1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi. 2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai.

3. Memperbaiki kinerja periode berikutnya.

4. Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment.

5. Memotivasi pegawai.

6. Menciptakan akuntabilitas publik.

Rumusan tujuan pengukuran kinerja tersebut merupakan tolak ukur pengukuran kinerja pada sektor publik untuk menentukan tingkat ketercapaian organisasi dalam mencapai tujuannya. Untuk mencapai keberhasilan suatu organisasi menurut Moeheriono (2009: 74) harus melihat critical success factor

(38)

38

Tabel 3

Critical Success Factor (CSF)

No. Keberhasilan Utama

Organisasi (CSF) Tujuan Strategik Indikator Kinerja 1. Layanan berkualitas

tinggi dan tepat 3. Sistem keuangan

yang baik dan teratur.

Menciptakan sistem Sumber: Moeheriono (2009: 75).

CSF merupakan area yang menggambarkan preferensi manajerial dengan memperhatikan variabel kunci yang dapat dipergunakan sebagai indikator kinerja atau sebagai masukan dalam menentukan indikator kinerja. Mahmudi (2007: 16-18) mengemukakan tentang tahapan kinerja sektor publik sebagai berikut:

1. Tahap perencanaan kinerja. Semua kegiatan harus didahului dengan adanya perencanaan, karena masa depan penuh dengan ketidakpastian dan kebolehjadian.

2. Tahap pelaksanaan kinerja. Setelah kontrak kerja disepakati, tahap berikutnya adalah implementasi, dalam hal ini manajer bertanggungjawab untuk melakukan pengorganisasian, pengkoordinasian, pengendalian, pendelegasian dan pengarahan kepada bawahannya.

3. Tahap penilaian kinerja. Kinerja dinilai untuk menentukan kesuksesan atau kegagalan. Penilaian kinerja digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tujuan organisasi.

(39)

39

5. Tahap pembaharuan dan pengontrakan ulang. Tahap untuk revisi tahap pertama, yaitu menetapkan kembali akuntabilitas kinerja yang harus dipenuhi organisasi.

Kelima tahap kinerja sektor publik tersebut dalam pelaksanaannya harus berjalan melalui proses sistematis. Untuk itu, perlu dibuat desain sistem manajemen kinerja yang tepat untuk mencapai kinerja optimal. Mahmudi (2007: 20) mengemukakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja sebagai berikut:

1. Faktor personal/individual, meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu.

2. Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader.

3. Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim. 4. Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau

infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organisasi.

5. Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

Berdasarkan sistem penilaian kinerja tradisional, kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, tetapi kenyataannya kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor personal seperti sistem, situasi, kepemimpinan atau kerja tim. Lebih lanjut Miner dalam Sudarmanto (2009: 12) mengemukakan 4 dimensi kinerja pegawai yang menjadi standar penilaian hasil kerja sebagai berikut:

1. Kualitas, yaitu tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan dalam bekerja.

(40)

40

3. Penggunaan waktu, yaitu tingkat ketidakhadiran, keterlambatan dan keefektipan kerja.

4. Kerjasama, yaitu kemampuan bekerjasama dengan orang lain, saling memahami dan pengertian.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor kinerja pegawai itu berkaitan dengan kualitas, kuantitas, penggunaan waktu dan kerjasama dalam melaksanakan tugas-tugas keorganisasian. Penilaian kinerja itu perlu dilakukan di dalam setiap organisasi. Begitu pula dalam organisasi pemerintahan, penilaian kinerja sangat penting perannya, karena dari hasil penilaian kinerja tersebut akan dapat dijadikan landasan ataupun dasar untuk peningkatan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat secara terus menerus. Di lain pihak, ukuran kinerja juga membantu masyarakat untuk mengevaluasi apakah tingkat pelayanan pemerintah setara dengan uang yang mereka keluarkan untuk pelayanan-pelayanan tersebut. Pengukuran kinerja yang lebih diarahkan pada masalah tertentu, yaitu bahwa penilaian kinerja adalah suatu sasaran dan proses sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan informasi untuk menentukan efisiensi dan efektivitas tugas-tugas organisasi dalam pencapaian sasaran.

2.2. Kerangka Berpikir

(41)

41

hubungan antara aspek-aspek yang terlibat dalam kontelasi masalah Profesionalisme Birokrasi dan Kinerja Pegawai.

Sobandi (2002: 64) mengemukakan konsep profesionalisme sebagai: “suatu tingkah laku, atau suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu profesi”. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa profesionalisme merupakan tingkah laku yang disertai kualitas keahlian dari seseorang yang menyandang profesi tertentu. Adapun profesionalisme birokrasi dikemukakan Siagian (2000: 163) sebagai berikut:

Profesionalisme birokrasi adalah keandalan pegawai dalam pelaksanaan tugas, sehingga tugas tersebut terlaksana dengan mutu yang tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh para klientele.

Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa profesionalisme birokrasi berkaitan dengan kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas yang disertai dengan kualitas, ketepatan dan kecermatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi. Menurut Martin dan Schinzinger terjemahan Widodo (1994: 192) mengemukakan aspek-aspek profesionalisme birokrasi sebagai berikut:

1. Aspek Pengetahuan, berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan secara baik dan jelas mengenai peraturan pelayanan, pemahaman bidang kerja dan kemampuan memberikan penjelasan.

2. Aspek Keterampilan, berkaitan dengan kehandalan menggunakan peralatan kantor, menguasai sistem operasional dan prosedur serta memahami kebutuhan atau keinginan publik.

(42)

42

seperti taat kepada kode etik, sikap dan perilaku melayani dan selalu menjaga citra organisasi.

Berdasarkan aspek-aspek profesionalisme birokrasi di atas, dapat dinyatakan bahwa setiap aparatur birokrasi dalam menjalankan tugasnya harus profesional yang memiliki aspek pengetahuan, aspek keterampilan dan aspek kode etik yang dapat memberi pengaruh terhadap kinerja pegawai. Adapun pemahaman kinerja pegawai, antara lain dikemukakan Mangkunegara (2004: 75) bahwa: “Kinerja pegawai adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Pengertian di atas dapat dipahami bahwa kinerja pegawai merupakan penampilan kerja atau hasil kerja dari seorang atau sekelompok orang pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya atau unjuk kerja secara optimal sebagai suatu proses pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut Mangkunegara (2004: 75) menyatakan 4 (empat) faktor Kinerja Pegawai yang menjadi standar penilaian hasil kerja sebagai berikut:

1. Kualitas Kerja yang meliputi ketepatan, ketelitian, keterampilan dan kebersihan.

2. Kuantitas Kerja meliputi output rutin dan non rutin atau ekstra.

3. Keandalan atau dapat tidaknya seorang pegawai diandalkan, yakni dapat tidaknya mengikuti instruksi, kemampuan, inisiatif, kehati-hatian serta kerajinan.

(43)

43

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor kinerja pegawai itu berkaitan dengan kualitas, kuantitas, keandalan dan sikap pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas keorganisasian. Setelah dijelaskan kerangka berpikir variabel Profesionalisme Birokrasi dan Kinerja Pegawai menurut ahli, selanjutnya dikemukakan keterkaitan antara kedua variabel yang dikemukakan oleh Harits (2006: 15) sebagai berikut:

(44)

44

Gambar 1

Paradigma Berpikir tentang

Profesionalisme Birokrasi dan Kinerja Pegawai

2.3. Hipotesis

Berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka berpikir di atas, penulis mengajukan hipotesis utama sebagai berikut:

(45)

45

(46)

46 BAB III

OBYEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Obyek Penelitian

Obyek penelitian merupakan wilayah atau daerah penelitian di mana peneliti melakukan penelitian. Objek penelitian dilakukan pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Uraian mengenai objek penelitian ini dibahas dalam paragraf di bawah ini.

3.1.1. Gambaran Umum tentang Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu bagian unit organisasi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh seorang Sekretaris. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 73 Tahun 2009, tugas pokok Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat yaitu, menyelenggarakan koordinasi perencanaan dan program Dinas, pengkajian perencanaan dan program, pengelolaan keuangan, kepegawaian, dan umum. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat mempunyai fungsi sebagai berikut:

(47)

47

Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya membawahkan unit organisasi sebagai berikut:

1. Subbagian Perencanaan dan Program

Subbagian Perencanaan dan Program mempunyai tugas pokok melaksanakan koordinasi perencanaan dan penyusunan program. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Subbagian Perencanaan dan Program mempunyai fungsi:

1) Pelaksanaan penyusunan bahan perencanaan dan program kerja Sekretariat dan Subbagian Perencanaan dan Program.

2) Pelaksanaan penyusunan bahan penyelenggaraan koordinasi perencanaan dan program Dinas yang meliputi kepariwisataan, kebudayaan, kesenian dan perfilman, pemasaran.

3) Pelaksanaan penyusunan bahan hasil koordinasi perencanaan dan program Dinas yang meliputi kepariwisataan, kebudayaan, kesenian dan perfilman, pemasaran.

4) Pelaksanaan pengkoordinasian perencanaan dan program UPTD. 2. Subbagian Keuangan

Subbagian Keuangan mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan di lingkungan Dinas. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Subbagian Keuangan mempunyai fungsi:

(48)

48

2) Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan teknis administrasi keuangan Dinas.

3) Pelaksanaan koordinasi pengelolaan keuangan pada UPTD. 3. Subbagian Kepegawaian dan Umum

Subbagian Kepegawaian dan Umum mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan administrasi kepegawaian, ketatalaksanaan, umum dan perlengkapan. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Subbagian Kepegawaian dan Umum mempunyai fungsi:

1) Pelaksanaan penyusunan bahan penyelenggaraan mutasi, pengembangan karir, kesejahteraan dan disiplin pegawai dan pengelolaan administrasi kepegawaian lainnya.

2) Pelaksanaan penyusunan bahan penyelenggaraan pembinaan kelembagaan, ketatalaksanaan dan rumah tangga.

3) Pelaksanaan administrasi, dokumentasi peraturan perundang-undangan, kearsipan dan perpustakaan.

4) Pelaksanaan tugas kehumasan Dinas.

5) Pelaksanaan pengelolaan perlengkapan Dinas.

3.1.2. Struktur Organisasi Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

(49)

49

organisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat secara utuh dikemukakan sebagai berikut:

Sumber: Perda Jabar No.21 Tahun 2008. Gambar 2 Struktur Organisasi

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

(50)

50

Kebudayaan Provinsi Jawa Barat beserta unit kerja yang diawahinya dapat dilihat pada bagan struktur berikut ini:

Sumber: Perda Jabar No.21 Tahun 2008. Gambar 2 Struktur Organisasi

Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

3.1.3. Kondisi Umum Pegawai Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

(51)

51

Tabel 3

Keadaan Pegawai berdasarkan Golongan dan Jabatan

No. Nama NIP Gol. Jabatan

1. H. Agus E. Hanafiah, S.Sos.,M.A.P

19720207 199202 1 002 IV/a Sekretaris

2. Drs. H. Rohana, MM. 19640914 198603 1 016 IV/a Kasubbag Kepegawaian & Umum

3. Nurwiyoto, S.Sos., M.Si 19671128 199003 1 003 IV/a Pelaksana 4. Dra. Diah Purnamawati 19650318 199303 2 003 III/d Pelaksana 5. Hj. Rita Mutiawati, S.A.P 19620921 198803 2 003 III/d Pelaksana 6. Sujoko, S.Sos 19681203 198903 1 008 III/d Pelaksana 7. Agus Sutikno, S.Sn. 19671123 200003 1 003 III/d Pelaksana 8. Tapip Wahyu N., S.Pd. 19660608 199403 1 009 III/d Pelaksana 9. Rusmadi 19671208 199003 1 006 III/b Pelaksana 10. Cecep Darmawan 19621023 199203 1 002 III/b Pelaksana 11. Memi Sumiarsih 19670929 199203 2 008 III/b Pelaksana 12. Misja 19650120 199308 1 001 III/b Pelaksana 13. Suciningrum 19610420 199103 2 003 III/b Pelaksana 14. Silfian Anggraeni, S.Sos. 19800405 201001 2 004 III/b Pelaksana 15. Irwan Setiawan, S.S. 19831029 201001 1 002 III/b Pelaksana 16. Ecep Sulaeman, A.Md. 19741202 199602 1 001 III/a Pelaksana 17. Ace Supriatna, A.Md. 19801122 200901 1 001 II/d Pelaksana 18. Wawan Winardi B. 1962060 2198103 1 006 II/d Pelaksana 19. Martodjo 19580610 199103 1 003 II/c Pelaksana 20. Ruhiman 19750206 200701 1 005 II/c Pelaksana 21. Kadarisman 19690508 200701 1 018 II/c Pelaksana 22. Asep Sulaeman 19660708 200901 1 001 II/b Pelaksana 23. Yuli Purnomo 19740708 200901 1 001 II/b Pelaksana 24. Rani Jaelani 19791221 200901 1 001 II/b Pelaksana 25. Erna Ratna Mutiara 19760721 201001 2 001 II/b Pelaksana 26. Caca 19690709 200701 1 011 II/b Pelaksana 27. Sukaeri 19600407 198503 1 007 II/a Pelaksana 28. Abdurohim 19640927 200701 1 002 II/a Pelaksana 29. Silvy Saptia 19860215 201412 2 002 II/a Pelaksana 30. Ason Soegiarto 19600406 200604 1 001 I/c Pelaksana 31. Ujang Rustandi 19780602 200901 1 002 I/c Pelaksana 32. Nunung Jubaedah, SE.Ak.

M.Si.

(52)

52

No. Nama NIP Gol. Jabatan

34. Hj. Euis Nurhayati, S.Pd. 19600924 199012 2 001 III/d Pelaksana 35. Ernita, S.Sos 19690103 199003 2 005 III/d Pelaksana 36. Tika Sartika, S.Pd 19661104 199303 2 006 III/d Pelaksana 37. Eva Purnamawati, BA. 19610320 198603 2 005 III/c Pelaksana 38. Siti Komalasari 19681030 198903 2 004 III/c Pelaksana 39. Erliah 19581116 198102 2 001 III/b Pelaksana 40. Tintin Sumartini 19600116 198203 2 002 III/b Pelaksana 41. Sri Setyaningsih 19581224 198303 2 005 III/b Pelaksana 42. Rully Siti Fatia 19630115 198803 2 007 III/b Pelaksana 43. Asep Wahyu 19610915 198708 1 001 III/b Pelaksana 44. Isuy Suryati 19611116 198903 2 003 III/b Pelaksana 45. Mohamad Taofik 19640719 198903 1 004 III/b Pelaksana 46. Siti Aminah 19660917 199003 2 005 III/b Pelaksana 47. Dedeh Mardhiyah 19680801 199103 2 005 III/b Pelaksana 48. Rusfandi, SE. 19820106 201001 1 002 III/b Pelaksana 49. Acep Tedi Kustedi 19600927 198503 1 008 III/b Pelaksana 50. Heri Wibowo, SST 19750629 200701 1 005 III/a Pelaksana 51. Soleh 19651019 198810 1 001 III/a Pelaksana 52. Andi Rahman I., A.Md. 19770523 201101 1 001 II/d Pelaksana 53. Saeful Anwar 19830519 200901 1 001 II/b Pelaksana

54. Iwan Darmawan, SH. 19621218 198703 1 006 III/d Kasubbag Perenc. & Program 55. Dra. Heni Fajria R.,

M.Hum.

19640613 199103 2 004 IV/a Pelaksana

56. Dra. Al Kustiati 19640315 199103 2 005 III/d Pelaksana 57. Asep M., S.Sos., MM. 19671216 199303 1 003 III/b Pelaksana 58. Soni I., S.Pd.,MM 19790812 201001 1 004 III/b Pelaksana 59. M. Hardirat M., S. Sos. 19820711 201101 1 002 III/b Pelaksana 60. Oktiani Pratiwi, S.I.Kom. 19841023 201101 2 004 III/b Pelaksana 61. R. Fajar Anggadiputra, SE 19890620 201101 1 001 III/a Pelaksana 62. Nasim 19600212 199001 1 001 II/d Pelaksana Sumber: Sekretariat Disparbud Provinsi Jawa Barat (2015).

(53)

53

3.1.4. Gambaran Umum Kinerja Pegawai pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

Gambaran umum mengenai kinerja Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, dijabarkan ke dalam pelaksanaan beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2014 yang dikemukakan sebagai berikut:

1. Kegiatan penyelenggaraan administrasi perkantoran pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dengan alokasi anggaran sebesar Rp.2.370.449.000 realisasi anggarannya sebesar Rp.2.175.119.776 atau 91,76% dan fisik 100%. Output – terpenuhinya kebutuhan dasar administrasi perkantoran dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, melalui: honorarium tim pengadaan barang dan jasa 1 kegiatan, lembur PNS 12 bulan, pengadaan ATK, cetakan dan alat teknik 12 bulan, benda pos berupa materai dan prangko selama 12 bulan, belanja berlangganan telepon, listrik, air, surat kabar, internet, TV kabel selama 12 bulan. Outcome – terselenggaranya administrasi perkantoran pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

(54)

54

canopy, pengadaan sepeda, AC, komputer, laptop, printer, dispenser, kamera, handycam, infokus, penguat sinyal. Outcome – terpenuhinya sarana dan prasarana kantor, pengadaan sarana dan prasarana kantor dalam mendukung kegiatan kerumahtanggaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat administrasi perkantoran pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

3. Kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana kantor pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dengan alokasi anggaran sebesar Rp.3.919.440.800 realisasi anggarannya sebesar Rp.3.820.544.917 atau 97,48% dan fisik 100%. Output – perpeliharanya sarana dan prasarana perkantoran pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, melalui: honorarium tim pengadaan barang dan jasa 6 OK, belanja BBM 12 bulan, pajak bumi dan bangunan 1 tahun, perawatan kendaraan bermotor roda empat 13 unit, perawatan kendaraan bermotor roda dua 10 unit, STNK roda empat 13 unit, STNK roda dua 13 unit. Outcome – terpenuhinya pemeliharaan sarana dan prasarana kantor pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

(55)

55

Draft Laporan Kinerja Semester, Draft Laporan Kinerja Tahunan, Draft LAKIP Disparbud Jabar, Draft LKPJ Disparbud Jabar, Draft LPPD, Draft Perubahan RKA/DPA, Draft LKPJ Gubernur, Renstra OPD, pengadaan berkas pendukung, pengadaan laporan pertanggungjawaban, pengadaan laporan realisasi anggaran triwulan, pengadaan laporan keuangan interim semester I s.d. IV, pengadaan laporan keuangan tahunan. Outcome – meningkatnya kinerja Dinas melalui penyediaan dokumen perencanaan dan pelaporan capaian kinerja serta keuangan kegiatan dalam rangka mewujudkan akuntabilitas kinerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

3.2. Metode dan Desain Penelitian

3.2.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory survey. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan bahwa metode ini tidak hanya menjelaskan atau menggambarkan fakta empiris di lapangan tetapi juga akan menjelaskan analisis pengaruh, hal ini didasarkan pada pendapat Singarimbun (1982: 4) yang menyatakan bahwa “penelitian explanatory

(56)

56

Berdasarkan pendapat di atas, maka metode explanatory survey metode yang berkaitan dengan menyoroti hubungan atau pengaruh variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesis yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya. Dengan demikian selain menggambarkan potret terhadap obyek yang dikaji, juga menjelaskan hubungan-hubungan dari beberapa variabel, menguji hipotesis-hipotesis, membuat prediksi maupun implikasi.

Berdasarkan metode penelitian tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode explanatory survey, yaitu penelitian yang menyoroti hubungan atau pengaruh antara variabel penelitian dengan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

3.2.2. Desain Penelitian

Penelitian merupakan suatu proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu yang lama dengan menggunakan metode tertentu. Penerapan metode tersebut dalam praktek penelitian diperlukan desain penelitian yang sesuai dengan kondisi dan situasi penelitian. Menurut Nazir (2011: 84) “Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian”. Dengan demikian jelas terlihat bahwa proses penelitian terdiri dari perencanaan penelitian dan pelaksanaan penelitian atau proses operasional penelitian.

(57)

pengukuran-57

pengukuran variabel, memilih prosedur dan teknik sampling, alat-alat untuk mengumpulkan data kemudian membuat coding, editing dan memproses data yang dikumpulkan.

3.3. Variabel dan Operasional Variabel Penelitian

3.3.1. Variabel Penelitian

Penelitian ini meliputi dua variabel, yaitu Profesionalisme Birokrasi sebagai Variabel Bebas (X) yang meliputi 3 aspek, yaitu: Pengetahuan; Keterampilan dan Ketaatan Kode Etik.Adapun Kinerja Pegawai sebagai Variabel Terikat (Y) yang meliputi 4 faktor, yaitu: Kualitas Kerja, Kuantitas Kerja, Keandalan dan Sikap.

3.3.2. Operasional Variabel Penelitian

Operasional variabel penelitian dirumuskan untuk mendukung pemahaman operasional dari variabel-variabel yang digunakan, variabel-variabel tersebut dirumuskan sebagai berikut:

1. Variabel Profesionalisme Birokrasi (X), yaitu keandalan pegawai dalam pelaksanaan tugas, agar tugas tersebut terlaksana dengan mutu yang tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

(58)

58

sesuai dengan moral ataupun etika pada Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Selanjutnya secara keseluruhan variabel yang akan dioperasionalkan dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Operasional Variabel Profesionalisme Birokrasi

Variabel Aspek-aspek Indikator No.

Item

Profesionalisme Birokrasi

(X)

1.Pengetahuan. 1. Memahami peraturan kerja. 2. Memahami bidang kerja. 3. Mampu memberikan

penjelasan.

1 2 3 2.Keterampilan. 1. Terampil menggunakan

peralatan.

2. Mengerti prosedur kerja. 3. Memenuhi keinginan publik

sesuai.

4 5 6 3.Ketaatan kode etik. 1. Memiliki rasa

tanggungjawab. 2. Bekerja sesuai aturan. 3. Menjaga citra organisasi.

7 8 9 Sumber: Martin dan Schinzinger terjemahan Widodo (1994: 291), diolah oleh

peneliti 2015.

(59)

59

Tabel 5

Operasional Variabel Kinerja Pegawai

Variabel Faktor-faktor Indikator No.

Item

Kinerja Pegawai

(Y)

1. Kualitas Kerja. 1. Ketepatan Kerja. 2. Ketelitian Kerja. 3. Mutu Kerja.

10 11 12 2. Kuantitas Kerja. 1. Jumlah Hasil Kerja.

2. Waktu Penyelesaian. 3. Target yang Dicapai.

13 14 15 3. Keandalan. 1. Dapat Dipercaya.

2. Keterampilan Kerja. 3. Inisiatif Kerja.

16 17 18 4. Sikap. 1. Kemampuan Komunikasi.

2. Pribadi yang Menarik. 3. Pandai Bergaul.

19 20 21 Sumber: Mangkunegara (2004: 75), diolah oleh peneliti 2015.

3.4. Populasi Penelitian

(60)

60

Tabel 6

Populasi Sasaran (Responden) N = 60

No Unit Kerja Jumlah (Orang)

1. Subbagian Perencanaan dan Program 7

2. Subbagian Keuangan 21

3. Subbagian Kepegawaian dan Umum 32

Jumlah 60

Sumber: Hasil Penelitian (2014).

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan, yaitu studi dengan mempelajari buku-buku atau bahan-bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

2. Studi lapangan, yaitu studi pengumpulan data yang langsung terjun ke lapangan dengan cara sebagai berikut:

a. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan langsung ke lapangan serta mencatat fenomena penting yang ada relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti.

(61)

61

c. Angket, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyebarkan daftar pernyataan secara tertulis kepada responden yang menjadi sampel, dalam hal ini pegawai Sekretariat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Angket yang digunakan dalam penelitian ini bersifat tertutup, artinya setiap alternatif jawaban sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tinggal memilih mana yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Penjaringan jawaban responden menggunakan kuesioner dengan teknik

Rating Scale, yaitu melalui pengukuran pada tingkat skala ordinal atau berjenjang dengan kategori pada tabel sebagai berikut:

Tabel 7

Bobot Nilai Pernyataan

No Pernyataan Bobot Nilai

Positif Negatif

Sangat Tidak Setuju (STS).

5 Sumber: Likert dalam Al-Rasid (1994).

3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Gambar

Tabel 2 Relevansi Hasil Penelitian Terdahulu dengan Tesis Peneliti
Tabel 3
Tabel 6 Populasi Sasaran (Responden) N = 60
Tabel 7 Bobot Nilai Pernyataan
+7

Referensi

Dokumen terkait

@ H@wッイ、@エッ@pdf@cッョカ・イエ・イ@M@uョイ・ァゥウエ・イ・、@I@

Peningkatan kualitas tenaga kerja bidang kepariwisataan dan kebudayaan melalui program pengembangan pendidikan dan pelatihan secara menyeluruh, agar setiap penyelenggaraan

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah pertama bahwa langkah-langkah implementasi kebijakan secara parsial belum menyeluruh dilaksanakan oleh pegawai UPTD Parkir

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian awal yang dilakukan di Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Barat, ditemukan adanya indikator yang berkaitan

Berdasarkan permasalahan tersebut, jelaslah bahwa faktor manusia menjadi titik tolaknya, faktor manusia yang dimaksud peneliti adalah pegawai yang

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, ilmu, pengetahuan, mengenai fungsi fungsi manajemen umumnya, dan fungsi motivasi pada pegawai khususnya,

penilaian khusus masyarakat terhadap profesionalisme aparatur meliputi terdapat 4 empat dimensi yaitu: 1 Pengetahuan, 2 Kecakapan melaksakan tugas, 3 Keterampilan dan 4 Kecakapan

Jabatan pengelola kepegawaian membutuhkan 9 orang pegawai dengan latar belakang pendidikan, yaitu minimal jenjang D-3 Diploma III bidang akuntansi, manajemen sumber daya manusia, Ilmu