• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menguak kebenaran ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam kegiatan perkuliahan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Menguak kebenaran ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam kegiatan perkuliahan - USD Repository"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

_

MENGUAK KEBENARAN

ILMU

PENGETAHUAI\

DAI\ APLII(ASII\TYA

DALAM

KEGIATAN

PERIruLIAHAN

Oleh: Paulus Wahanat

Abstract

In

discussing about lecturing (teaching and leaming) at the

higher

education,

ie

are

usually

too much

corremed

with

the approaches, methods, media

of

lecturing,

bu!

do--sgldom

or

even

olro

pay attention to the objectives

of

lecturing. W9 are too much

o.",rpi"Owith

changing

from

one method

of

lecturing

to

another,

for eiample,

from

active leaming method, contextual method,

corr

stnrctiviJtic

metho4

student-based

curriculum,

schoolbased

curri

ctilurIl'

competence-based

curriculum, up

to

curriculum

of

lesson

unit level.

such a complicated

thinking

is

futile

unless people are reaL ty concerned

with

directions and objectives

of

the lectgring

activi.

ties.

In

term

of

lecturing

ffi

a

way

of

thinking,

the planned activi-ties, we need previously

to

find

out

the

direction

and the goals

of

the'activiti"r,'-d

then we may draw

our

attention

to

the methods in order

to

reachthe targeted goals. The targeted goals

of

lecturing are

making

students

think clearly and distinctly, making

students

can

find

tf,"

tn

A

of

scientific knowledge, malcing students become

problem finders and problern

tolY.tt:

'

A,

academic activities,

the lecturing

processes should be

held

scientifically.

In

addition

to

obtaining

clear

scientific

sfirffs,

tUe tecturing activities should zupport the students

to find

the tnrth

of

science.

After

comprehending all

t)?es

of tnrth, we may start

to find

out the description

of

scientific tnrttr, as the targeted goal to pursue

in the

scientilic

activities. Furthermore, we may

try

to reveal and

to

find the tnrth

of

scientific knowledge

in

the lecturing activities' Through

finding

out the

deicriptim of

the

truth

during the lectqring

actiiities, wJexpect t9

have appropriate orientation and

,t

pr of-i*pfemeriing

ttre tecturing-activities

in

order

to

reach the

ffi;*

jo'"fr

of

leciring. ny

reaihing

the goals

of lect'ring,

the
(2)

Jumal Filsafat Vol.l8, Nomc 3, Dcsetnbcr 200t

students

are

expected

to

frnd

some

benefits

from the

lecturing activities. Then the activities

will

not be considered as burden

for

the

studentg

but

rather as the activities

resulting

in

mental

rictr

ness, generating enlightenment, and increasing students' abilities.

Keywords

:

I

ecturing

activities, I ecturing obi ectives, targeted goals,

enlightenment, scientific

tntth,

mental richness

-A.

PENDAIII,]LUAI\

Kita

mematrami batrwa

ilmu

pengetahuan merupakan suatu proses kegiatan

berpikir

yang

memiliki

tujuan

Qeleologis), untuk memperoleh pengetahuan yang

jelas ftejelasan)

serta memperoleh pengetahuan

yang

benar ftebenaran) tentang

yang

dipikirkannya

atau yang diselidikinya. (The

Liang

Gie,1997: hal- 94-109).

Perguruan

Tinggr,

sebagai lembaga

ilmiah,

merupakan

tempat berbagai macam kegiatan

ilmu

pengetahuan dalam rallgka mengUsahakan tercapainya tujuan kegiatan

ilmiah.

Salah satu kegi-atan pokok untuk mengusahakan

ilmu

pengetahuan tersebut adalah kegiatan perkuliatran. Kegiatan perkuliahan diharapkan dapat me-ngantar, mendampingi mahasiswa mengusahakan demi tercapainya kejelasan dan kebenaran tentang pokok kajian tertentu.

Agar kegiatan

ilmiah

dalam perkuliahan dapat sampai pada

tujuan yang dikehendaki,

perlu

pemahaman tentang kebenaran

il-miah. Dalam upaya membahas kebenaran

ilmiah,

tulisan

ini

terle-bih

dahulu merupakan pengertian kebenaran,

jenis-jenis

kebenar-an, teori tentang kebenaran. Selanjutnya membahas salah satu

jenis

kebenaran,

yaitu

kebenaran

ilmiah,

sebagai kebenaran

yang

me-mang diusahakan dan dijadikan tujuan dalam kegiatan

ilmiah.

Pada

bagian

akhir

ditempatkan pembahasan kegiatan perkuliahan seba gai kegiatan

ilmiah

yang mengusatrakan tercapainya kejelasan dan kebenaran

ilmu

pengetahuan.

B. Menemukan

Pengertian

Kebenaran

"Kebenaran" merupakan kata benda. Namun janganlatr

(3)

Paulus Wahan4 Menguak Kefunaron lbru...

Sebagaimana sifat-sifat lain pada umumnya,

kita

dapat me-nemukan serta mengery-lnya- pada hal yang

memiliki

sifat

b.r.urg.

kutan, demikian pula sifat

"benar"

tentu saja

juga

dapat

dicari

dan

dapat ditemukan dalam

halhal

yang

memiliki

;ifat

i.benar',

terse

but. Misalnya

sifat'bersih"

dapat ditemukan pada udara yang ber-sih, lantai yang bersih; sifat

"tenang"

dapat ditemukan dalam sua-sana kelas yang tenang, suasana

hati

yang tenang. Demikian pula sifat

"benar"

padaumumnya dapat ditemukan pada

hathal

berikut: pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan yang

be

nar, penyataanyang benar, penjelasan yang benar, pendapat yang

.hr*, qqqng*

yang

benar,

informasi yang benar, berita yang benar, tindakan yang benar, kebijaksan aan

yaigbenar.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa

sifat

..benar,'

da

pat berada pada kegiatan

berpikir

maupun hasil pemikiran yang

da

pat diungkapkan dalam bahasa lisan maupun terhrlis, yung

u"irput

jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, beriia,

tinda

kan, peraturan.

Hasil

pemikiran pada pokoknya menunjukkan ada atau tidak-adanya hubungan antara yang diterangkan dengan yang

menerangkan.

Misalnya

yang

menunjukkan

adarrya hubungan: udara bersih, lampu menyala, rumah terbakar api, binatang

meng-gigit

orang, oftulg makan mangga. Pernyataan yang menunjukkan

tidak-adanya hubungan antara

yang

diterangkan dan

yang

mene-rangkan dinyatakan dengan menggunakan

kata ,tidakr.

Contoh,

pasar sayur

ni

tidak

bersih, tanaman

padi tidak

subur, kambing

tidakhidnp

di air, manusia tidakbersayap.

Hasil

pemikiran

dikatakan benar,

bila

memahami bahwa ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata memang ada hubungan, atau memahami bahwa

tidak

ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, dan temyata memang

tidak

ada hubungan. Hasil pemikiran

dikata

kan s413fu,

bila

memahami bahwa ada hubungan antara yang

dite

rangkan dengan yang menerangkan, padahal tidak ada, atau

mema-hami bahwa

tidak

ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, padahal ada.

C.

JenisJenis Kebenaran

Karena kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan, untuk

membahas adanya berbagai kebenaran,

kita

perlu mengetahui
(4)

Jumal Filsdlt

Vollt,

Nonra 3, Ilcsc'rnbcr 2fl)E

pula

berkenaan dengan kebenaran pengetahuan

juga

dapat

digo-iongkan

atas dasar beberapa

kriteria

(Tim

Dosen

Filsafat

Ilmu

fa*uttas

Filsafat

UGM,

2003:

hal.

136-138).

Pertoma,

atas dasar sumber atau asal dari kebenaran pengetahuan, dapat bersumber ar>

tara

lain dari:

fakta empiris ftebenaran empiris), wahyu atau kitab suci ftebanaran walryu),

fiksi

atau fantasi ftebenaran

fftsl).Kebe-naran pengetahuan

perlu dibgktikan

dengan sumber atau asal dari pengetahuan terkait. Kebenaran pengetatruan empiris hanrs

dibuk-tikan

dengan sifat yang ada dalam obyek empiris (yang didasarkan pengamatan inderawi) yang menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut. Kebenaran wahyu sgmbernya berasal dari wahyu atau

ki

tab suci yang dipercaya sebagai ungkapan

tertulis

dari wahyu-

Se-hingga

Vrrg

.*jadi

acuan

perrbuktian

kebenaran walryu adalah

wahyu

atau

kitab

suci yeng

mertrpakan

tertulis

dari wahyu.

Se-dandkan kebenaran

fiksi

atau fantasi bersunrber pada hasil

p€miki

r"r,

f*ri

atau fantasi

dari

orang bersangkutan. Dan yang menjadi acuan pembulctiannya adalatr ahn pemikiran

fiksi

atau fantasi yang

terwujud

dalam ungkapan

lisan

atau

tertulis, visual

atau

auditil

atau dalam ungkapan

keempat-empatnya-Kedua, atas dasar cara atau sarana

yang

digrmakan untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan. Antara

lain

dapat

menggun-kan:

indera

ftebenaran

inderawi), akal

budi

ftebenaran

intelekt*

al), intuisi

(kebenaran

intuitif),

iman ftebenaran iman). Kebenaran pengetahuan perlu dibuktikan dengan safirna yang dig,unakan rmtuk

meriperoleh

pengetahuan

terkait.

Kebenaran pengetatruan

indera

wi

(penglihatan) hanrs

dibuktikan

dengan kemampuan

rldera

ur

tut

menangkap

hal

atau obyek

inderawi

dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan

tentang warna,

ilffig,

uluran

besarlkecilnya obyek, -serta adanya

suatu

lerak

atau perubahan. Sesuai dengan perspektif penglihatan disadari batrwa penangkapan penglihatan sering

tidak

tepat.

Kita

mengalami

tipu

mata.

Misalnya, bintang

yang

semestinya besar tarnpak

di

penglihatan sebagai

bintang

kecil;

sepasang

rel

kereta api yang

r.hu*rrryu

sejajar ternyata tampak di penglihatan sebagal Vang semakin npnciut

di

kejauhan. Kebenaran intelektual didasar'

lan

paaa pemakaian akal

budi

atau

pemikiran

agar

daplt

berpikit

r.ru*

lu*r,

yaitu

mengikuti

kaidatlkaidah berpikir

logis,

sehing-ga

tidak

mengalami keiesatan dalam

berpikir.

Kebenaran

intuitil

Iidasarkan pudu

prrr-gkapan

bathin

sec,ya langsung

(konkursif

(5)

Parlus Wahana, fulengaak Kebnoran llmr...

nalaran terlebih dahulu

(diskursif).

Sedangkan kebenaran iman

di

dasarkan pada pengalaman hidup yang berdasarkan pada keperca

yaan omng bersangkutan.

Ketiga,

atas dasar bidang atau lingkup kehidupan, membuat pengetahuan diusahakan dan dikembangkan secara berbeda.

Anta-ra lain, pengetahuan agama (kebenaran agama), pengetahuan moral

(kebenaran moral), pengetahuan seni (kebenaran seni), pengetatnr

an

budaya (kebenaran budaya), pengetahuan sejarah (kebenaran

historis),

pengetahuan

hukum

(kebenaran

yuridis),

pengetahuan

politik

(kebenaran

politik).

Kebenaran pengetahuan perlu dipahami berdasarkan bahasa atau cara menyatakan

dari

lingkup/bidang ke-hidupan

terkait. Misalnya,

penilaian

baik

atas tindakan dalam bi-dang moral

tentu

saja

perlu

dibedakan dengan penilaian

baik

terr

tang hasil karya dari bidang seni.

Keempat, atas dasar tingkat pengetahuan yang diharapkan

dan 6ip.rolehnya:

yaitu

pengetahuan

biasa

seharihari

Qrdinary

btowledge)

memiliki

kebenaran yang sifatnya subyektif, amat

ter-ikat

pada subyek

yang

mengenal, pengetahuan

ilmiah

(pcientific

browledge) menghasilkan kebenaran

ilmiah,

pengetahuan

filsafati

@hilosofical lotowledge) menghasilkan kebenaran

filsafati.

Krite

ria

yang

dituntut

dari

setiap

tingkat

kebenaran temyata berbeda. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam pengetahuan biasa

sehari

cukup

didasarkan

pada

hasil

pengalaman

seharihari,

se-dangkan kebenaran pengetahuan

ilmiah perlu

diusahakan dengan pemikiran rasional

(kritis,

logis, dan sistematis) untuk memperoleh pengetahuan yang selaras dengan obyeknya

(obyektif).

D.

Teori Kebenaran

Teori

kebenaran selalu paralel dengan

teori

pengetahuan yang dibangunnya. Sebagaimana pengetahuan

dilihat tidak

secara

menyeluruh, melainkan dari aspek atau bagian tertentu saja, demi.

L-ian pula kebenaran hanya diperoleh dari pemahaman terhadap

pe-rgetahuan yang

tidak

menyeluruh tersebut. Dengan demikian

seti

ry

teori kebenaran yang akan dibahas, lebih menekankan pada

sa-oh

satu bagian atau aspek dari proses orang mengusahakan

kebe

tman pengetatruan.

Berikut

ini

beberapa teori kebenaran yang

me-,rnrkankan salah satu langkah proses manusia mengusahakan

penge-ahuan. Kelompok pertama terkait dengan bagaimana manusia me-ryusahakan dan memanfaatkan pengetahuan,

yaifu

teori kebenaran
(6)

Jumal Filsdat Vol. I & Noma 3, Dcscsrbcr 200t

pragmatis.

Kelompok

kedua

terkait

dengan bagaimana

pengetah

an

itu

diungkapkan dalam balasa. Misalnya teori

kebenaraniintar-sis, teori kebenaran semantis, dan teori kebenaran performatif.

1. Teori

Kebenaran Korespondensi

Aristoteles

sudah meletakkan dasar

bagi teori

kebenaran korespondensi,

yakni

kebenaran sebagai

perseiuaian

antara apa

yang dikatakan dengan kenyataan. pernyataan dianggap benar

[a

lau apa yang dinyatakan

di

dalamnya berhubungan atau punya

ke-terkaitan

Qorrespondence) dengan kenyataan

yang

diungkapkan dalam pemyataan

itu. (Tim

Dosen

Filsafat

Ilmu

Fakultas Filsafat

UGM,

2003:

hal.

139). Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya

apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Menu-rut teori

ini,

kebenaran terletak pada kesesuaian arftara subyek dan

obyek. Apa yang diketahui oleh subyek sebagai benar harus sesuai

atau harus cocok dengan obyek, harus ada kesesuaian dengan

reali-tas.

Apa

yang diketahui oleh

subyek berkaitan dan berhubungan

dengan realitas.

Materi

pengetatruan

yang

dikandung dan

diung-kapkan

dalam

proposisi

atau pernyataan mernang sesuai dengan obyek atau fakta.

Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenya-taan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan

terse-but.

Dalam

kegiatan

ilmiah,

mengungkapkan realitas adalah hal

yang pokok. Dalam usaha mengungkapkan realitas

itu,

kebenaran akan muncul dan

terbukti

dengan sendirinya, apabila apa yang

di

nyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataannya.

Teori korespondensi sangat ditekankan oleh aliran empiris-me yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan

indrawi

se-bagai sumber utama pengetahuan manusia.

Teori

ini

sangat meng-hargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris untuk

meng-ungkapkan kenyataan

yang

sebenamya.

Teori

ini

lebih

menguta-makan cara

kerja

dan pengetahuan aposteriori,

yaitu

pengetahuan

yang terungkap hanya

melalui

dan setelah pengalaman dan perco-baan empiris.

Teori

ini

sangat menekankan

bukti

Qvidence)

bagi

kebe-naran suatu pengetahuan. Yang dimaksud bukti bukanlah diberikan
(7)

kenya-' I

Paulrs Wabana, Menguok Keberwan llnu...

taan sebagaimana diungkapkan. Yang dimaksud sebagai

pembukti

an atau

justifrkasi

adalatr proses menyodorkan fakta yang mendrr kung suatu proposisi atau hipotesis.

Persoalan yang muncul sehubungan dengan

teori

ini

adalah

bahwa semua pemyataan, proposisi, atau hipotesis yang

tidak

di

dukung oleh

bukti

empiris, oleh kenyataan

faktual

apa pun, tidak akan dianggap benar. Misalnya, pernyataan

"Ada

Tuhan yang

Ma-hakuasa"

tidak

akan dianggap sebagai suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh

bukti

empiris tertentu. Karena

itu,

hal

ini

tidak akan dianggap sebagai pengetahuan, dan pernyataan

ini

hanya akan

di

anggap sebagai sesuatu yang menyangkut keyakinan (Sonny

Keraf

&

Mikhael

Dua,200l:

hal. 67-68).

2. Teori

Kebenaran Koherensi

Teori

kebenaran

koherensi dianut

oleh

kaum

rasionalis.

Menurut teori

ini,

kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian

an

tara proposisi

dengan kenyataan, melainkan

dalam relasi

antara

proposisi baru dengan proposisi

yang

sudah ada sebelumnya dan

telah

diakui

kebenarannya. Suatu pengetahuan,

teori,

pernyataan

proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pe-ngetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya.

Artinya proposi

si itu konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.

Matematika dan

ilmuilmu

pasti sangat menekankan teori

kebenar-an koherensi.

Menurut para penganut teori

ini,

suatu pernyataan atau pro-posisi dinyatakan benar atau salah dapat

dilihat

apakah proposisi

itu

berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain

atau

tidak.

Suatu pernyataan benar kalau pernyataan

itu

cocok

de-ngan sistem pemikiran yang ada. Kebenaran sesungguhnya

berka-itan

dan

memiliki

implikasi

logis

dengan sistem pemikiran yang

ada.

Untuk

mengetahui kebenaran pernyataan

itu

kita

cukup

memeriksa apakah pernyataan

ini

sejalan dengan

pernyataarper-nyataan

lainnya.

Apakah pernyataan

ini

meneguhkan pernyataarr pernyataan lainnya, yang telatr

diakui

kebenarannya (Sonny

Keraf

& Mil*raelDua,200l:

hal. 68-69)

Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran

ra

(8)

deng-<*ry

Jurnal Filsdat Vol.lE, Nomor 3, Dese'nrber 2008

an kenyataan yang ada.

Ini

berarti pembuktian atau

justifikasi

sama

artinya dengan validasi,

yaitu

memperlihatkan apakah kesimpulan

yang mengandung kebenaran

tadi

memang diperoleh secara sahih

(valid)

dari

proposisiproposisi

lain yang telah diterima sebagai

be-nar.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas

teori

ini

bahwa kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau ke-sesuaiannya dengan pernyataan

lain. Timbul

pertanyaan,

bagaima-na

dengan kebenaran pernyataan

lain

tadi? Jawabannya, kebenar-annya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut

se-suai dan sejalan dengan penryataan

lain

lagi.

Hal ini

berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa ada hentinya

(inli-nite regress atau regressus

in infinitum)

atau akan terjadi gerak

pu

tar tanpa henti. Karena

itu,

keirdati tidak bisa dibantah bahwa teori

kebenaran koherensi

ini

penting, namun dalam kenyataannya perlu

digabungkan dengan

teori

kebenaran korespondensi, yang

menun-tut

adanya kesesuaian dengan realitas (Sonny

Keraf

&

Mikhael

Dua,200l:

hal. 70).

3. Teori

Kebenaran Pragmatis

Bagi kaum

pragmatis, kebenaran sama artinya dengan ke-gunaan Ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling

memung-kinkan

seseorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan

te-pat

guna. Dengan

kata lain,

berhasil dan berguna adalah

kriteria

utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak (Sonny

Keraf

&

Mikhael Dua, 2001: hal.

7l).

Menurut

Albertine

Minderop dalam bukunya Pragmatisme

Amerika

(2005)

teori

kebenaran pragmatis

ini

dikembangkan dan

dianut oleh

filsuflfilsuf

pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce,

William

James, dan John Dewey.

Meskipun ketiga

filsuf

ini

memiliki

kesamaan pematraman tentang kebenaran, yaitu

kebe-naran sama

artinya

dengan kegunaan, namun masing-masing

me-miliki

kekhususan dan penekanan yang berbeda.

Charles

S. Pierce

berpendapat bahwa suatu proposisi dikatakan salah

bila

pengalarn

an menyangkalnya, sedangkan bila pengalaman

tidak

menyangkal nya maka proposisi

itu

dikatakan benar. Esensi pragmatisme lebih
(9)

Paulus WahanE, Mengak Kebenamn lhm...

atau makna yang b€rkaitan dengan konsekuensi, tidak terlepas dari

tindakan. Watauprxr dernikian,

ia tidak

menyarankan bahwa untuk memahami suatu arti atau malcna selalu harus

diikuti

dengan

tinda

kan,

demikian pula

untuk

menentukan kebenaran selalu

berdasar-kan

verifikasi.

Tidak

semua kebenaran hanrs ditemukan melalui

verifikasi,

karena kebenaran telatr hadir sebagaimana adanya tanpa adanya

verifikasi.

Menurut

William

James,

untuk

memperoleh kejermihan

pikiran kita

tentang suatu obyek,

kita

harus

memperha-tikan

konsekuensi praktisnya. Pragmatisme bukan sekedar metode mernperjelas konsep

gntgk

menentukan

arti

atau maftna, tetapi

le-bih

merupakan teori kebenaran. Kebenaran

tidak

terletak pada hu-bungan kisesuaian dengan benda/obyek atau kenyataan, melainkan

terlJbih

pada hubungan kesesuaian antara bagiarrbagian

penga-laman.

Ide

merupakan rencana atau aturan dalam bertindak; dan

ide dikatakan benar, apabila rencana atau afuran tersebgt mengacu

pada

hasil akhir; ide tertuju untuk

melakukan suatu

tindakan. -Fungsi

berpikir

bukan unhrk menangkap

kenyataan

mela-inkan

membentuk

ide tertentu demi

memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Ide atau teori yang benar adalah ide atau

teo-.i

y*g

6erguna dan berfungsi

memaruhi

tuntutan dan kebutuhan

kita,

serta memberikan kepuasan.

William

James

lebih

menekarr kan pada kepuasan

individu,

sedangkan John Dewey lebih

menitik

bera:tkan pada masyarakat.

Menurut

Dewey, kebenaran adalah ke-gunaan atau sesuatu yang bermanfaat, tetapi

tidak

sekadar bersar> dar pada kepuasan pribadi, melainkan selaras dengan penyelesaian masalatr kehidupan secara umum dan

obyektif.

Dewey bisa

mene-rima

kepuasan

emotil

selama

ini

bersifat

umum

dan merupakan masalah umum dan obyektif, bukan

individual

atau pribadi (Alber-tine Minderop, 2005: hal 45-60).

Kebenaran

bagi kaum

pragmatis mengandung suatu sifat

yang

baik.

Suatu ide atau

teori tidak

pernah benar kalau tidak

baik

ilntuk

sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk

melaku

kan

sesuatu secara berhasil. Kebenaran rasional jangan hanya

ber-henti memberi

definisidefinisi

abstrak tanpa punya relevansi bagi kehidupan praktis, melainkan

perlu

diterapkan sehingga sungguh sungguh berguna

bagi

manusia.

Kita tidak

hanya membutuhkan "pengetahuan bahwa" dan "pengetahuan mengapa" tapi juga mefiF butuhkan..pengetahuan bagaimana" (sonny

Keraf

&

Mi*hael

Dua,
(10)

Jumal Filsdat Vol.l8, Nomor 3, Dcssmber 2fi)8

4. Teori

Kebenaran

Sintaksis

Para penganut

teori

kebenaran sintaksis, berpangkal tolak

pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai dalam suatu pernyataan atau tata-bahasa

yang

melekat. Kebenaran

ini

terkait

dengan bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis).yang

perlu

dirangkai dalam

suatu keteraturan sintaksis

atau

gramatika

yang

digunakannya

(Tim

Dosen Filsafat

Ilmu

Fakultas Filsafat

UGM,

2003: hal.

l4l).

Teori

ini

berkembang

di

antara para

filsuf

analitika bahasa, terutama yang berusaha untuk menyusun bahasa dengan tata baha-sa dan

logika

bahasa yang ketat, misalnya Bertrand Russell,

Lud-wig

Wittgenstein

(periode

I). Aliran

filsafat

analitika bahasa me-mandang bahwa problema-problema

filosofis

akan menjadi

terje-laskan apabila menggunakan analisis

terminologi

gramatika, dan

bahkan kalangan

filsuf

analitika bahasa menyadari bahwa banyak

ungkaparrungkapan

filsafat

yang

sama

sekali

tidak

menjelaskan apa-apa. Sehingga para tokoh

filsafat

analitika bahasa menyatakan

bahwa tugas utama

filsafat

adalah menganalisa konsep-konsep.

(Kaelan, 1998:80).

Bahasa

memiliki

peranan

sentral dalam

mengungkapkan secara verbal pandangan dan

pemikiran

filosofis,

maka

timbullah

suatu masalah

yaitu

keterbatasan bahasa

seharihari yang

dalam

hal tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep

filosofis.

Bahasa

seharihari memiliki

banyak

kelemahan, antaxa

lain:

kekaburan makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan menye-satkan.

Untuk

mengatasi kelematran dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep

filosofis,

maka

perlu

dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan

lo-gika,

sehingga kebenarannya dapat dipertanggungiawabkan

(Kae-lan,

1998:83).

Menurut kelompok

filsuf

ini,

tugas

filsafat

yaitu

memba-ngun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemah arrkelemahan yang terdapat dalam bahasa

seharihari.

Usaha

un-tuk

membangun dan memperbaharui batrasa itr,r membuhikan

bah

wa perhatian

filsafat itu

memang besar berkenaan dengan konsepsi

umum

tentang bahasa serta makna yang terkandung

di

dalamnya

(Kaelan, 1998:83).

Ada berbagai cara untuk membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelematrarrkelematran yang terdapat

(11)

Paulus Watran4 Menguak Kebenaran lhru.,

logika

merupakan suatu yang fundamental dalam

filsafat.

Ia

lebih menekankan logikanya bersifat atomis, sehingga

ia lebih

suka me-nyebut filsafatnya dengan nama 'atomisme

logis'.

Struktur

pemiki-ran

atomisme

logis

diilhami

oleh

konsep

Hume

tentang susunan

id+ide

dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang

kompleks

itu terdiri

atas ide-ide yang sederhana atau ide yang ato-mis (atomic ideas), yang merupakan ide terkecil. Bertrand Russell

menolak atomisme psikologisnya

David

Hume, karena analisisnya

tidak dilakukan terhadap aspek psikologis, namun dilakukan terha-dap proposisiproposisi (Kaelan, 1998: 87).

Bertrand Russell

ingin

menganalisis hakikat realitas dunia

melalui analisis logis, karena analisis logis berdasarkan pada kebe-naran apriori yang sifatrya universal dan bersumber pada rasio

ma-nusia. Sedangkan sintesa

logis

merupakan metode

untuk

menda patkan kebenaran pengetahuan

melalui

pengetahuan empiris yang

Lersifat aposteriori. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan per-nyataarrpernyataan yang tersusun menjadi suatu sistem yang

me-,i.:"t

pada suatu entitas atau unsur realitas dunia; terdapat suatu kesesuaian bentuk atau

struktur

antatabahasa dengan dunia. Dunia

merupakan suatu keseluruhan

fakta,

adapun

fakta

terungkapkan melaiui bahasa, sehingga terdapat suatu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur realitas dunia (Kaelan, 1998, 99-100).

Proposisipada hakikafirya merupakan simbol bahasa yang mengungkapkan

fakta.

Ivhsing-masing proposisi atomis

memiliki

arti;tau;aksud

sendirisendiri yang terpisah satu dengan lainnya.

Untuk

membentuk

proposisi majemuk,

maka proposisi'proposisi

atomis tersebut diran-gkaikan dengan kata penghubung,

yaitu

'dan"

,atau,, serta kata pen-ghubung lainnya. Kebenaran atau

ketidakbe

naran proposisiproposisi

majemuk

tergantung

pada- kebenaran

atau

tiiaatbenaran-proposisiproposisi

atomis yang ada

di

dalarp nya. Dan karena proposisi pada hakikatnya merupakan simbol

ba-hisa

yang mengungliapkan

fakta,

maka fakta-fakta atomis menep tukan benar atau tidaknya

proposisi

apapun

juga

(Kaelan,

1998:

104-l0s).

Sehin

Bertrand Russell,

kita juga

akan

melihat

sekilas to-koh lainnya,

yaitu Ludwig Wittgenstein,

yang

meryplkan

teman dekat gertrana Russell, dan sekaligus

juga

sebagai tokoh aliran

fi}

safat atomisme logis. Wittgenstein menegaskan bafiwa tugas

filsa

(12)

me-Jumal Filsdat Vol.lt, Nonor 3, Descrrber 200t

miliki

struktur

logika.

Analisa dlakukan

terhadap proposisi atau

realitas yang

dikemukakan

oleh para

filsuf

terdahulu

dengan menggunakan bahasa yang menggunakan syarat logika.

Kalau

Bertrand Russell mengurailmenganalisa bahasa ke

dalam proposisi majemuk

yang

selanjutnya

semakin

sederhana

menjadi proposisi atomis, sedangkan Wittgenstein

ingin

menjelas-kan dunia dengan menguraikannya ke dalam fakta-fakta. Dunia

itu

adalah

jumlah

keseluruhan

dari fakta

(totalitas

fakta),

dan

bukan

nya

jumlah

dari objek-objek atau benda-benda

itu

sendiri. Totalitas

fhkta

itu

sangat kompleks, dan

terdiri

atas fakta-fakta yang kurang

kompleks. Selanjutnya

fakta-fakta

ini

terdiri

atas fakta-fakta yang semakin kurang kompleks

lagi,

demikian seterusnya dan akhirnya

sampai pada fakta-fakta yang sudah

tidak

dapat diredusir atau

di

kurangi lagi. Fakta-fakta

ini

adalah fakta yang terkecil, yang paling elementer,

yang

merupakan bagian

terkecil,

sehingga disebut

se-bagai fakta atomis

(otomicfact)

(Kaelan, 1998: 106-113).

Suatu pernyataan

memiliki

kebenaran,

bila

pernyataan

itu

mengikuti

aturan sintaksis

baku, yang

tersusun secara

logis

dari

proposisiproposisi

yang dapat dipertanggungi awabkan kebenarap nya.

Apabila

proposisi atau pernyataan

itu

tidak mengikuti

syarat tersebut, proposisi atau pernyataan

itu

tidak mempunyai

arti,

se-hingga tidak

mampu

mengungkap

makna

dari hasil

pemikiran

yang telah dilakukan.

Suafu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila berhasil

diungkapkan menurut aturan sintaksis yang baku. Kebenaran baru

akan tampak dalam suatu pernyataan bahasa

(lisan

atau tertulis). Benar atau salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh ke-teraturan sintaksis serta penataan bahasa yang digunakannya.

Apa

bila

mampu dinyatakan dalam

wujud

bahasa dengan aturan sintak-sis yang baku, pernyataan tersebut

dryat

dikatakan benar. Apabila tidak mampu,

itu

salah.

Bahasa berfungsi untuk mengungkap ide, konsep, atau teori

yang telah dihasilkan dari proses pemikiran dalam komunikasi

kita

satu sama

lain.

Bila pernyataan atau ungkapan bahasa tersebut

ti

dak didasarkan pada aturan batrasa yang ada tentu dapat

mengha-silkan

pernyataan

yang tidak memiliki

makna, atau

pernyataan
(13)

Paulus Wahana, Mengmk Kebenoan lha...

5. Teori

Kebenaren

Semantis

Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat

analiti

ka bahasa yang dikembangkan oleh paska filsafat Bertrand Russell.

Teori

kebenaran semantis sebenarnya berpangkal

atau

mengacu pada pendapat Aristoteles dengan ungkapan sebagai

berikut:

"Me-ngatakan sesuatu yang ada sebagai yang ada dan sesuatu yang

ti

dak ada sebagai yang tidak ada, adalah

benar",juga

mengacu pada

teori

korespondensi, yang menyatakan bahwa: "kebenaran

terdiri

dari

hubungan kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa

yang terjadi dalam realitas".

Bertrand Russell dengan temarrtemannya berusaha untuk

membangun bahasa

ilmiah,

dengan menyusun proposisiproposisi

dengan

logika

yang ketat, dEN mampu menggambarkan dunia

se-cara

dapat dipertanggungiawabkan.

Mereka

menganggap bahwa bahasa biasa

seharihai

(ordinary

language)

itu

belum memadai, karena

memiliki

banyak kelemahan, antara lain: kekaburan makna,

tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan menyesatkan.

Namun

sebaliknya terdapat

kelompok

filsuf

analitika

bahasa

hin

(Wittgenstein Periode

II,

Moritz

Schlick,

Alfred

Jules

Ayer)

lang

beranggapan bahwa bahasa biasa, yang digunakan dalam

komuni-kasi seharihari,

sebenarnya

telah

cukup memadai sebagai sarana

pengungkapan konsep-konsep filsafat.

Untuk

mengatasi

kelemah

arrkelemahan dan kekurangarrkekurangan bahasa biasa

sehariha-ri

dalam filsafat, harus diberikan suatu pengertian khusus atau perr

jelasan

terhadap penyimpangarrpenyimpangan tersebut (Kaelan,

1998: 82-83).

Menurut

Wittgenstein

Periode

II

(dalam penjelasannya tentang

filsafat

bahasa biasa), masalahmasalah

filsafat

itu

timbul

justru

karena

adanya penyimpangarrpenyimpangan penggunaan

bahasa biasa oleh para

filsuf

dalam berfilsafat, sehingga

timbul

pe-nyimpangan dan kekacauan dalam

filsafat

itu,

serta tanpa adanya suatu penjelasan

untuk

dapat dimengerti. Menurut pandangan

ini,

tugas

filsuf

adalah memberikan semacam terapi untuk penyembuh-an dalam kelemahpenyembuh-an penggunapenyembuh-an bahasa filsafat tersebut.

Positivisme

logis

menentukan sikap bahwa langkah paling

tepat agar

tidak

terjadi kekacauan dalam bahasa adalah melakukan analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam

ilmu

pengetahuan dan

filsafat.

Usaha yang

dilakukan

bukanlah

proyek

membangun

bahasa khusus dengan menggunakan logika bahasa yang ketat,

(14)

penggu-Junral Filsdat Vol.lt, Noma 3, Desernber 2fl)E

naan bahasa. Suatu ungkapan atau

proposisi

dianggap bermakna atau

memiliki

arti,

apabila secaxa

prinsip

dapat

diverifikasi.

Menr

verifikasi berarti

menguji,

yaitu

membuktikan secara empiris.

Se-hingga

ilmu

pengetahuan maupun

filsafat

baru dapat

memiliki

per-nyataanpernyataan yang berupa aksioma, teori atau

dalil

yang

bo-leh dikatakan bermakna, apabila secara prinsip pernyataarpernya-taan tersebut dapat

diverifikasi.

Setiap pernyataan atau proposisi yang secara

prinsip tidak

dapat

diverifikasi,

maka pernyataan atau

proposisi tersebut pada hakikatnya

tidak

bermakna (Kaelan, 1998:

124-t2s).

Meskipun

secara

prinsip positivisme

logis

menerapkan

prinsip verifikasi,

namun

di

antara para tokohnya

memiliki

perbe-daan pemahaman.

Misalnya,

Moritz

Schlick

menafsirkan

verifr

kasi

itu

dalam pengertian pengamatan secara langsung. Hanya

pro-posisi atau pernyataan yang mengandung

istilah

yang diangkat

se

cara langsung

dari

objek yang dapat

diamati itulah

yang mengan dung makna.

Sedangkan

Ayer

memiliki

pandangan

yang

berbeda dan berpendapat bahwa

prinsip verifikasi

itu

merupakan pengandaian

untuk

melengkapi suatu

kriteria,

sehingga

melalui kriteria

tersebut dapat ditentukan apakah suatu pemyataan atau proposisi

itu

memi

liki

makna atau

tidak.

Suatu

kalimat

mengandung makna, apabila pernyataan atau proposisi tersebut dapat

diverifikasi

atau dapat

di-analisa secara empiris,

yaitu

mengandung kemungkinan

bagi

pe-ngalaman (Kaelan, 1998: 126-127).

Menurut

teori ini,

benar atau tidaknya suatu proposisi dida-sarkan pada ada tidaknya

arti

atau makna dalam proposisi terkait. Apabila proposisi tersebut

memiliki

arti

atau makna, serta

memili

ki

pengacu

(eferent\

yang

jelas, proposisi

dinyatakan benar.

Se-dangkan apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Setiap

pernya-taan tentu

memiliki arti

atau makna yang menjadi acuannya.

Pro-posisi

itu

mempunyai

nilai

kebenaran,

bila

proposisi

memiliki

arti.

Arti

diperoleh

dengan menunjukkan makna

yang

sesungguhnya,

yaitu

dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan.

Arti

yang

dikemukakan

itu memiliki

sifat

definitif

yaitu

secara jelas menurr

juk

ciri

khas

dari

sesuatu yang ada.

Arti

yang termuat dalam pro-posisi tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya mempu nyai

arti

sejauh dihubung[an dengan

nilai

praktis dari subyek yang
(15)

i

Paulus Walrana, Mengaok Kebenaron lbm"'

6. Teori

Kebenaran

Performatif

Teori

ini

terutama dianut oleh

filsuf

analitka

bahasa seperti John

Austin Filsuf

ini

mau menentang

teori klasik

bahwa benar

dan salatr adalah rmgkapan yang hanya menyatakan sesuatu.

Me-nurut teori

klasrlq

pioposisi yang

benar

berarti

proposisi

itu

me-nyatakan sesuatu yang memang dianggap benar, demikian pula

se-baliknya untuk proposisi yang salah.

-

Menurut

Austin,

selain ucapan konstatif terdapat juga

jenis

ucapan performatif. ucapan performatif

tidak

dapat ditentukan

be-nar'dan

salah berdasarkan pada

peristiwa atau Iakta yang

telatr

lampau, melainkan suatu ucapan yang

memiliki

konsekuensi per-buatan bagi penuturnya (Kaelan, 1998: 167-168).

DJngan suatu

ucapan

performatif

seseorang bukannya memberitafuukan suatu peristiwa atau kejadian, melainkan dengan mengucapkan

kalimat

itu

seseorang sunggubsunggUh berbuat

se

suatu, misalnya mengadakan suatu perjanjian. Ucapa*ucapan

se

macam

itu

tidak

aiUultitan

benar atau salahnya

baik

berdasarkan

logika

maupun fakta yang

terjadi

melainkan berkaitan dengan la-yak atau tidak layak diucapkan oleh seseorang. Ucapanucapan

ter-iebut juga

bukan berkaitan dengan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan yang diucapkan oleh seseorang, melainkan suatu ucapan

performatif

akan

tidak

layak diucapkan manakala seseorang terse

fut

tidak

memiliki

kewenangan dalam mengucapkannya. Misalnya

ungkapan

Saya

menetapkan saudara menjadi

Rektor

Universitas

Saiata

Dharma'

adalah

tidak

layak bilamana diucapkan oleh

seo-rang matrasiswa atau Seofturg dosen biasa, karena mereka

itu

seca

ra drmal

tidak memiliki

kewenangan untuk mengucapkan ungkap-an tersebut. Ucapungkap-anucapungkap-an

performatif

memiliki

syarat-syarat se-bagai

berikut:

pertama, suatu ucapan performatif p.Tq

lduk

sah

ji

kaiau

diucapkan

oleh

seseorang yang

tidak memiliki

kompetensi dengan masalah bersangkutan ; kedua, suatu ucapan performatif

ju

ga

tlaat

sah

jikahu

seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut

iiaat

Uersitap

jujur;

dan

ketiga,

suatu ucapan performatif

juga

ti

dak sah manakala orang bersangkutan menyimpang dari apa yang diucapkannya. Dan selain ketiga syarat tersebut, juga masih

memi-liki

empat

ciri

sebagai

berikut

l)

diucapkan oleh penutur pertama;

2)

orang

yang

mengucapkannya

hadir dalam

situasi tersebut; 3)
(16)

Jurnal Filsdat Vol.l8, Nomor 3, Desernber 2fi)g

Menurut teori performatif, suatu pernyataan dianggap benar

falau

pernyataan

itu

menciptakan realitas. pernyataan yang uenat bukanlatr pernyataan yang mengungkapkan realitas

tapijuiru

de-ngan pernyataan

itu

tercipta

suatu realitas sebagaimana

yang

di

ungkapkan dalam pernyataan

itu.

Contoh: ..Dengan

ini,

saya meng. angkat kamu menjadi bupati Bantul.-.Dengan pernyataan

itu,

ter-cipta

sebuah

realitas

baru,

yaitu

realitas

kamu iebagai

bupati

Bantul (Sonny Keraf

&

Mil*rael

Dua, 2001:

hal.74).

Di

satu pihak, teori

ini

dapat dipakai secara

positif

tetapi

ju

ga

di

pihak

lain

dapat

pula dipakai

secara negatif. Secara

poriiiq

dgngan pernyataan tertentu oftrng berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya. "Saya bersumpah akan menjadi suami yang

ietia

atau

istri

yang setia dalam untug maupun malang." Tetapi-secara

negatif, orang dapat

pula

terlena dengan pernyataan atau

ungkap

annya seakan pernyataan atau ungkapan tersebut sama dengan rez!

litas begitu saja, padahal

tidak

demikian (Sonny

Keraf

&

Mikhael

Dua, 2001

:hal.74).

Acuan kebenaran

performatif

bukan terletak pada

kenyata

an yang sudah adalterjadi sebelumnya, melainkan terletak pada

ke

nyataan yang kemudian dapat dibentuk oleh pernyataan/proposisi tersebut. Kebenaran

lebih

ditentukan

oleh

daya kemampuan

per-nyataan

untuk

mewujudkan

realitas. Bukan realitas

menentukan

proposisi, melainkan proposisi menentukan realitas.

E.

Kebenaran

Ilmiah

Acuan keluaran

performatif

bukan terletak pada kenyataan

yang

sudah ada/te1adi sebelumnya, melainkan

terletak

pada

ke

nyataan yang kemudian dapat dibentuk oleh pernyataan proposisi tersebut. Kebenaran

lebih

ditentrnkan

oleh

daya kemampuan per-nyataan untuk mewujudkan realitas (speakacr). Bukan realitas

me-nentukan proposisi, melainkan proposisi menetukan realitas. Kebenaran

ilmiah tidak

bisa dilepaskan dari proses

kegiat-an

ilmiah

sampai dengan menghasilkan karya

ilmiah

yang

diung-kapkan atau diwujudkan. suatu kebenaran

tidak

mungkin muncul

tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya. prosedur baku

yang

harus

dilalui

mencakup

langkahlangkah, kegiatankegiatan

pokok,

serta cara-cara bertindak

untuk

memperoleh pengetahuan
(17)

Paulus Walranq Menguak Kebnaron llmt...

Pada awalnya setiap

ilmu

secara tegas

perlu

menetapkan atau membuat batasan tentang

obyek

yang akan menjadi sasaran

pokok persoalan dalam kegiatan

ilmiah.

Obyek tersebut dapat

ber-sifat

konkret atau abstrak.

Bertumpu

pada penetapan obyek terse but, kegiatan

ilmiah

berusatra memperoleh jawaban sebagai penje-lasan terhadap persoalan yang telah dirumuskan. Jawaban tersebut

tentu saja relevan dengan obyek yang menjadi sasaran pokok per-soalan dalam kegiatan

ilmiah.

Kebenaran dari jawaban yang

meru

pakan

hasil dari

kegiatan

ilmiah

ini

bersifat obyektif,

didukung otet,

fanafakta

yang berupa kenyataan yang berada dalam keada

an obyektif.

Kenyataan

yang

dimaksud

di

sini

adalah kenyataan

yang berupa sesuatu yang

dipakai

sebagai acuan, atau kenyataan yang pada mulanya merupakan obyek dari kegiatan

ilmiah ini-

De

ngan demikian suatu konsep, teori, pengetahuan

memiliki

kebenar-an,

bila memiliki

sifat yang berhubungan (korespondensi) dengan

fakta-fakta yang merupakan obyek dari kegiatan

ilmiah

yang dila-hrkan.

Setelah menetapkan batasan tentang obyek

yng

disajikan sebagai pokok persoalan, lebih lanjut perlu dibuat kerangka

sisterr

atis untuk

menentukan

langkatr

dalam

mengusahakan jawaban. Atas dasar

teoriteori

yang sudah ada serta telatr

memiliki

kebenar-an ykebenar-ang dikebenar-andalkkebenar-an,

kita

dapat menjalankan penalaran untuk

meul

peroleh kemungkinan jawaban atas persoalan yang diajukan dalam kegiatan

ilmiatr

tersebut.

Agar

menghasilkan jawaban yang benar,

perlu ada konsistensi dengan

teoriteori

yang telatr diakui kebenar-annya, sehingga jawaban yang dihasilkan koheren dengan

teorite-ori bersangkutan. Kebenaran yang dituntut dalam proses penalaran

deduktifadalah kebenaran koherensi, ada hubungan logis dan

korr

sisten dengan

teoriteori

sebelumnya yang relevan.

Untuk

mengetahui apakah hipotesis tersebut

memiliki

ko

benaran dalam realitasnya,

perlulah

diadakan

uji

hipotesis. Secara

induktif

perlu

mengusahakan

faktefakta

yang relevan yang

men

dukung hipotesis tersebut.

Bila

ternyata hipotesis tersebut

memiliki

hubungan kesesuaian ftorespondensi) dengan fakta-fakta yang

re

levan dengan obyek kajian, hipotesis tersebut benar (kebenaran ko-respondensi).

Bila

sebaliknya tentu saja salah.

Setelah hipotesis

diuji

dan ternyata benar, hipotesis tersebut

tidak

lagi

merupakan jawaban sementara, melainkan sudah

meru

(18)

Jurnal Fitsdat Vol.l8, Nomor 3, Dcscmber 2fl)8

Manusia

tidak

hanya cukup

berhenti

berusaha dengan

memperoleh pengetahuan, melainkan ada dorongan kehendak

urr

tuk

bertindak, melakukan

aktivitas dalam

mengusahakan sarilna

bagi kebutuhan hidupnya. Pengetatruan

ilmiah

yang telah diperoleh

tersebut dapat menjadi

kekayaan

yang

cukup

berharga sebagai sumber jawaban terhadap berbagai persoalan dan permasalah yang

dihadapinya.

Bila

pengetahuan

yang

dihasilkan tersebut ternyata

memiliki

konsekuensi

praltis, yaitu

berguna

dan

berhasil

dalam

memecahkan berbagai persoalan

yang

kita

hadapi, pengetahuan tersebut

memiliki

kebenaran pragmatis.

Pada tahap menyampaikan dan mempublikasikan hasil pe-ngetahuan

ilmiah

yang telah diusahakan,

kita perlu

menggunakan bahasa yang sesuai dengan bidang

itmu

terkait. Khususnya

berke

naan

dengan

istilabistilah,

nrmus-nrmus

maupun simbolsimbol

yang

biasa

dipakai

dalam

bidang

ilmu

bersangkutan. Kebenaran

dalam

ilmu

pengetahuan harus

selalu

hasil persetujuan

atau konvensi dari para

ilmuwan

pada bidangnya. Selain

itu juga

perlu

diungkapkan berdasarkan kebenaran sintaksis, kebenaran

se-mantis, bahkan juga kebenaran performatif.

F.

Kebenaran

Ilmu

Pengetahuan

dalam Perkuliahan

Bila

perkuliahan dipandang

dalam

kerangka pendidikan, perkuliahan dapat

memiliki

fungsi

sebagai kegiatan pembelajaran

yang diharapkan dapat mengembangkan peserta

didik

(mahasiswa)

dalam segala aspeknya. Selain mengembangkan aspek

kognitif,

ju

ga

mengembangkan aspek-aspek

lainnya:

aspek

afektif,

konatif,

psikomotorik,

sosial,

religius.

Dengan

demikian

dapat mengenl bangkan mahasiswa secara menyeluruh, utuh. Namun

bila

dilihat

dalam kerangka lembaga

ilmiah,

perkuliatran dapat dipahami

seba-gai kegiatan

ilmiah

yang berusaha melatih dan mengajak mahasis-wa untuk berpikir ilrniah.

Pengembangan kompetensi, bukanlah pengembangan ke-mampuan yang

tidak

ada hubungannya dengan pemahaman

terha-dap bidang bersangkutan.

Untuk

pengembangan kompetensi

kira-nya perlu juga adanya kemampuan pemahaman selain terhadap

ke

mampuan apa yang

perlu

dikembangkan,

juga perlu

pemahaman

terhadap

halhal

lainnya yang

berhubungan dengan kemampuan

atau

kompetensi

terkait. Bahkan

matakuliah

yang

menggunakan
(19)

Paulus Wahana, Mengaak Kebenaran llnru...

pendidikan moral),

juga memiliki

materi

sebagai bahan

pembela-jaran yang perlu

dipikirkan

dan perlu dirahami.

Pemahaman akan materi atau bahan perkuliahan diharap

ti

dak hanya akan menjadi

isi

atau bahkan beban pemikiran mahasis-wa. Pemahaman diharap dapat menjadi kekayaan mental

mahasis-wa.

Pemahaman dapat meningkatkan kemampuan mentalnya da-lam menghadapi berbagai situasi dan permasalahan kehidupan. Pe-mahaman bukan sekedar hafal, melainkan mengetahui artinya, me-nemukan maknanya.

Yang dapat menjadi

materi

atau bahan perkuliahan boleh

dikata

dapat mencakup segala

yang

ada dengan segala

aktivitas-nya,

sejauh dapat

dialami oleh

mahasiswa. Berbagai macam hal tersebut dengan segala aktivitasnya dan yang

dilihat

dari berbagai sudut pandang dapat

menjadi

obyek dalam kegiatan

ilmiah.

Pada

gilirannya dapat menjadi materi atau pokok bahasan dalam

perku

liahan, sebagai kegiatan ilmiah.

Materi yang ditempatkan dalam konteks tertentu dan

diper-hatikan

serta

didekati

dengan sudut pandang tertentu diharapkan dapat menimbulkan rasa penasaran bagi mahasiswa, dan akan

me-munculkan persoalan serta permasalahan

terkait

yang membutuh-kan penjelasan serta pemecahannya. Persoalan atau pertanyaan

ifu

muncul, karena mahasiswa berhadapan dengan

hal

yang mungkin

sebagian masih tersembunyi, masih berada dalam kegelapan, ma-sih kabur, mama-sih belum jelas. Selanjutnya mahasiswa yang

memili

ki

akal

budi

berharap mampu mengungkap, mampu memperoleh terang, dan mampu memberikan penjelasan.

Secara singkat,

inti

dari

persoalan ataupertanyaan adalah permohonan penjelasan. atau keterangan, sedangkan jawaban

meru

pakan pemberian penjelasan atau keterangan.

Dari

penjelasan atau keterangan tersebut diharap dapat memberikan pencerahan yang dapat digunakan sebagai dasar

untuk

mencari jalan keluar atau pe-mecahan terhadap berbagai permasalahan

yang

dihadapinya.

Mi

salnya setelah mahasiswa memperoleh penjelasan tentang manaje men pemasaran, diharapkan mahasiswa mampu mengatasi segala permasalahan pemasaran,

mungkin

berkaitan dengan promosi, de-ngan tempatnya atatr dengan

halhal

lainnya yang relevan.
(20)

dimak-Jumal Filsdat Vol.lE, Nomor 3, Desember 2(n8

sud adalah melihat atau menangkap adanya suatu hubungan kalau

memang ada hubungan, atau melihat atau menangkap tidak adanya

suatu hubungan

kalau

memang

tidak

ada hubungan. Dinyatakan

ada apabila memang ada, dan dinyatakan

tidak

ada apabila

me-mang

tidak

ada. Misalnya, mahasiswa dapat melihat atau

menang-kap adanya hubungan sebab akibat antara logam yang dipanasi dan

semakin meningkatnya suhu dengan semakin bertambahnya

pa*

jang

logam tersebut; matrasiswa dapat melihat atau menangkap

hrr

bungan antara tongkat lurus yang dimasukkan ke dalam

ah

atartzat cair dengan tongkat bersangkutan tampak bengkok.

Hubungan antara yang diterangkan dengan yang

menerang-kan

itu

dapat ditemukan dan dinyatakan secara

deskriptiFkualitatif

dan

juga

dapat diperhitungkan dan dinyatakan secara kuantitatif.

Penjelasan

yang bersifat deskriptif-kualitatif

dapat menggunakan

bahasa, sedaogkan

yang bersifat

kuantitatif

dapat menggunakan matematika atau statistika.

Usatra

untuk

memperoleh penjelasan dan kebenaran

terse

but

berjalan dan berkembang secara

progresif.

Dari

lingkup

atau konteks yang sempit berkembang ke

lingkup

atau konteks yang

se

makin luas.

Dari

lapisan

kulit,

lapisan luar berkembang ke penjela-san dan kebenaran yang semakin mendalam. Dari penjelasan yang masih bersifat teoritis-deskriptif ke penjelasan yang semakin

bersi

fat

praktis-operasional.

Dari

pematraman

yang

masih

gelap,

re

mang-remang atau kabur berkembang

ke

pernahaman yang

sema-kin

jelas, semakin terang, semakin memberi pencerahan yang

me-yakinkan.

Dari

usatra memperoleh penjelasan tersebut, diharapkan secara bertahap mahasiswa dapat menemukan kebenaran

ilmu

pe

ngetahuan,

yang

semakin luas, semakin mendalam, dan sernakin operasional.

Berkenaan dengan sumber dan cara mahasiswa

mempero-leh keterangan, maka kebenaran

ilmu

pengetatruan yang diperoletr

nya

dapat berupa kebenaran logrs, kebenaran intelektual, atau

ke-benaran koherensi apabila materi perkuliatran tersebut bersumber

dari

konsep pengertian yang sekedar ada dalam

pikiran

saja. Se'

dangkan sumber kebenaran

ilmu

pengetatruan yang diperoleh dari

pengalaman nyata dari kehidupan

ini

akan menghasilkan

kebenar-an empiris, kebenaran

obyektif,

kebenaran korespondansi. Berda-sarkan cara

berpikimya,

akan dapat diperoleh kebenaran deduktif,
(21)

- -! '_-_

Pauhs rilahana, Menguak Kebenoron llnru...

Berkenaan dengan

hasil

penjelasan tersebut diharap tidal< hanya tersimpan dalam otak saja, tetapi perlu menjadi dasar dalam

tindakan

operasional secara

praktis.

Kebenaran

yang

diharapkan adalah kebenaran praktis, kebenaran operasional, kebenaran

prag

matis.

Terkait

dengan bagaimana penjelasan dalam

ilmu

pengeta-huan tersebut diungkapkan dengan bahasa, dapat diharapkan

ada-nya

kebenaran sintaksb, kebenaran semantis, atau kebenaran

per-formatif.

Selanjutnya seandainya

itu

diungkapkan dalam

perhitu

ngan

kuantitatif

diharapkan akan menghasilkan kebenaran

mate

matis, atau kebenaran statistik. Dengan demikian perkuliahan seba gai kegiatan ilmiatr diharapkan dapat mewujudkan secara optimal kebenaran

iltniah dan

sajauh

dimungkinkan dapat

mewujudkan berbagai macam kebenaran tersebut.

G.Penutup

i

Dari

uraian

di

atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

i

Ueritut:

pertama,

setiap proses

mengetihui

akan memunculkan

it*

i

uto kebenaran yang merupakan sifat atau isi kandungan dari

penge-i

tahuan tersebut, karena kebenaran merupakan sifat dari

pengetahu-I

an yang diharapkan. Kedua, sebagaimana ada berbagai macam

je

I *t

pengetahuan (menunrt sumber asalnya, cara dan sarananya,

bi

I

d*grya,

dan tingkatannya), maka

sifat

benar yang melekat pada

I

kebenaran

terkait

tentu

juga

beraneka ragam pula.

Ketiga,

sesuai

I

dengan

fokus

perhatian dan

pemikiran

manusia terhadap proses

J

serta hasil pengetahuan

itu

dapat berbeda, maka pemahaman

mau

I

p,rn

teori

tentang pengetahuan serta tentang kebenaran pun

juga

I

berbeda-beda pula. Keempal, berhubung

ilmu

pengetahuan

itu

me-I

liputi

berbagai bidang, berbagai kegiatan dalam proses kegiatan

il-J

miah, berbagai langkah kegiatan yang ditempuh, serta berbagai
(22)

diharap-Jurml Filsdat Vol.lt,

Nm

3, Dcscdcr 2fitr

DAFTAR PUSTATA

Albertine Minderop,

20p15, Pragmatisme

Amerika.

Jakarta:

Pener-bit

Obor.

Adelbert

Snijders,

2UJf,.

Matusia don

Kebenaran

Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Beerling,

dkk.,

1986. Pengantar

Filsofat

llmu.

Yogyakarla: Tiara

Wacana.

Driyarkara, 1980.

Driyarkara

ren ang Pendidikan.

(lumpulan

ka-raogan Driyarlcara/, Yogyakarta: Penerbit Yayasan

Ka

nisius.

Kaelan,

1998.

Filsafat

Bahasa (Masalah dan Perkembangannya)-Yogyakarta : Paradigma.

Melsen,

A.G.M.

van,

1985.

Ilmu

Pengetahuan

dan

Tanggung

Jawab

Kita

(drteAelnahkan

oleh

K.

Bertens). Jakarta: Gramedia.

Peursen,

C.A. van,

1985. Susunan

llmu

Pengetahuan, Sebuah

Pe'

ngantar

Filsafat

llmu

(dtterlemalrkan oleh J- Drost)-

Ja-karta: Gramedia.

Sonny

Keraf

&

Mikhael

Dua,200l.

Ilmu

Pengetahuan.Yogyakar-ta: Kanisius.

Sudanninta ,

!.,2002.

Epistemologi

Dasar.

(Pengantar Filsafat

Pe-ngetatruan). Yogyakarta: Penerbit

Kanisius-Suriasumanfii, Jujun, 2003.

Filsafat

llmu,

Sebuah Pengantar Po-puler. Jakarta: Sinar HaraPan.

The

Liang

Gie, 1997. Pengantar Filsafat

llmu-

Yogyakatta:

Liber-ty.

Tim

DosenFilsafat

Ilmu

Fakultas Filsafat

uGM,

2003.

Filsafat

Il-mu. Y ogy akafia: LibertY.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap pembelajaran pasti selalu ada masalah, jadi perlu adanya usaha- usaha guru untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.. itu bersifat individu, maka guru akan mencarikan

Dalam ranah algoritma genetika, skema ini memilih dari dua populasi dimana nilai fitness dari individu- individu pada populasi pertama didapat dari interaksi dengan

Dengan kandungan kulit pisang yang mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, maka ekstrak kulit pisang dapat menghambat kerusakan hepar melalui penghambatan

Namun setelah fraksi yang memiliki aktivitas enzim inulinase dari hasil kromatografi kolom filtrasi gel Sephadex G-25, dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi

Kondisi pengelolaan limbah medis padat pada saat ini adalah segregasi limbah belum berjalan baik, kemasan limbah jarum suntik tidak terdapat simbol/label di

Berikutnya adalah menurut Rudi Brez, dalam usahanya ini ia mencoba membagi media berdasarkan indera yang terlibat, sehingga ia memilih tiga unsur pokok sebagai dasr dari setiap

Pembiayaaan dalam pelaksanaan sertifikasi tanah melalui PRONA dijelaskan pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun

Dari permasalahan yang ada muncul beberapa jawaban yang menunjukkan bahwa yang melatarbelakangi meningkatnya perceraian Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Ngawi adalah