• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

1 SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 32 TAHUN 2009

TENTANG

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DAN STANDAR KOMPETENSI BIDANG PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa penerapan Standar Nasional Indonesia dan standar kompetensi bidang pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian dari penerapan peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;

b. bahwa Standar Nasional Indonesia dan standar kompetensi berlaku secara nasional yang perlu dijaga konsistensi penerapannya oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota;

c. bahwa Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kewenangan pada sub-sub bidang Standar Nasional Indonesia dan berdasarkan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pembinaan dan Pengawasan Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Standar Kompetensi Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah;

(2)

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4020);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

06 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Standardisasi Kompetensi Personil dan Lembaga Jasa Lingkungan;

8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis dan Persyaratan Kompetensi Pelaksanaan Retrofit dan Recycle Pada Sistem Refrigerasi;

(3)

3 9. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi Dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

10. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Standar Kompetensi Manajer Pengendalian Pencemaran Air;

11. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 06 Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan; 12. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

22 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Registrasi Kompetensi Bidang Lingkungan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DAN STANDAR KOMPETENSI BIDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan:

1. Standar Nasional Indonesia bidang pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar dalam substansi pengelolaan lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.

2. Standar kompetensi bidang pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut standar kompetensi adalah suatu ukuran atau kriteria yang berisi rumusan mengenai kemampuan personil di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan. 3. Penerapan sukarela proaktif adalah penggunaan SNI atau standar

kompetensi yang diberlakukan oleh pihak penerap atas dasar kebutuhan organisasi yang bersangkutan dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi, tanpa ada paksaan kewajiban atau aturan yang diberlakukan oleh pihak berwenang kepada organisasi yang bersangkutan.

(4)

4 4. Pihak penerap adalah pihak perorangan atau organisasi yang menggunakan SNI atau standar kompetensi, yang dapat mencakup pengelola usaha dan/atau kegiatan atau lembaga penyedia jasa di bidang pengelolaan lingkungan hidup di kalangan lembaga pemerintah daerah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga kemasyarakatan.

5. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi: a. penerapan SNI dan standar kompetensi;

b. pembinaan penerapan SNI dan standar kompetensi; c. pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi; d. evaluasi pembinaan dan pengawasan; dan

e. tindak lanjut evaluasi pembinaan dan pengawasan. BAB II

PENERAPAN SNI DAN STANDAR KOMPETENSI Pasal 3

(1) Penerapan SNI dan standar kompetensi dapat bersifat sukarela proaktif dan/atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Menteri tidak mewajibkan penerapan SNI atau standar kompetensi secara nasional, maka gubernur atau bupati/walikota dapat mewajibkan penerapan SNI atau standar kompetensi setelah berkonsultasi dengan Menteri.

BAB III

PEMBINAAN PENERAPAN SNI DAN STANDAR KOMPETENSI Pasal 4

Menteri melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap penerapan SNI dan standar kompetensi melalui:

a. penyediaan sumber informasi yang mutakhir mengenai SNI dan standar kompetensi serta pedoman penerapannya;

b. pemberian panduan teknis tatacara pengawasan dan evaluasinya; dan/atau

(5)

5 Pasal 5

Gubernur melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap penerapan SNI dan standar kompetensi melalui:

a. penyediaan layanan informasi yang mutakhir mengenai SNI dan standar kompetensi serta pedoman penerapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a; dan

b. bimbingan teknis kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Pasal 6

(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melaksanakan pembinaan kepada pihak penerap melalui:

a. sosialisasi; dan b. layanan informasi.

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 7

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan hasil inventarisasi calon pihak penerap SNI dan standar kompetensi.

(2) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar dalam penyiapan materi sosialisasi.

(3) Materi sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. paket informasi baku yang disediakan oleh Menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dengan mencantumkan sumber bahan; dan

b. materi tambahan tentang program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terkait.

(4) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:

a. langsung melalui seminar atau rapat kerja; atau

b. tidak langsung melalui surat edaran yang dilengkapi dengan materi sosialisasi.

Pasal 8

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan bimbingan teknis sesuai kebutuhan.

(2) Pelaksanaan bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota dan/atau berdasarkan permintaan dari pihak penerap.

(3) Bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh personil yang memenuhi persyaratan:

(6)

6 a. memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang

substansi materi bimbingan teknis; dan

b. menguasai metodologi pengajaran dan keterampilan menyampaikan materi bimbingan teknis.

(4) Bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui lokakarya atau pelatihan.

Pasal 9

(1) Layanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b merupakan bagian dari program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota dan/atau berdasarkan permintaan dari pihak penerap dan/atau pemangku kepentingan. (2) Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

disampaikan melalui: a. media elektronik; atau b. media cetak.

(3) Layanan informasi melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi kriteria:

a. memiliki koneksi dengan layanan sumber informasi yang disediakan oleh Menteri dan/atau pemerintah daerah provinsi; dan

b. kemutakhiran informasi dan koneksi dalam layanan informasi tetap terjaga.

BAB IV

PENGAWASAN PENERAPAN SNI DAN STANDAR KOMPETENSI Pasal 10

(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan pihak penerap atas pedoman penerapan SNI dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada pihak penerap melalui:

a. pengawasan langsung;

b. pengawasan secara tidak langsung; dan/atau c. penanganan pengaduan

(3) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh personil yang memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang substansi SNI dan standar kompetensi serta pedoman penerapannya, dengan merujuk pada: a. sumber informasi yang disediakan oleh Menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

b. layanan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; dan/atau

(7)

7 c. bimbingan teknis oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf b.

(4) Pengawasan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui:

a. pengumpulan informasi dari pihak penerap; dan/atau b. masukan dari para pemangku kepentingan.

(5) Penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh personil yang memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang substansi SNI dan standar kompetensi serta pedoman penerapannya, dengan merujuk pada: a. sumber informasi yang disediakan oleh Menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

b. layanan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; dan/atau c. bimbingan teknis oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf b. BAB V

EVALUASI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 11

(1) Bupati/walikota melaksanakan evaluasi terhadap kegiatan pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi yang dilaksanakan oleh penerap.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh bupati/walikota untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan dan pengawasan kepada pihak penerap.

(3) Bupati/walikota menyampaikan laporan tahunan hasil evaluasi dan rencana kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat minggu pertama bulan Januari tahun berikutnya.

(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh gubernur untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan kepada pemerintah kabupaten/kota.

(5) Gubernur menyampaikan laporan tahunan berupa rangkuman hasil evaluasi dan rencana kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat minggu pertama bulan Februari tahun berikutnya.

(8)

8 BAB VI

TINDAKLANJUT EVALUASI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 12

(1) Menteri merangkum dan mengkaji hasil rangkuman evaluasi dan rencana kegiatan lanjutan yang disampaikan oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5).

(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan oleh Menteri untuk:

a. memutakhirkan SNI, standar kompetensi dan/atau pedoman penerapannya;

b. memberikan arahan kebijakan kepada gubernur dan/atau bupati/walikota paling lambat awal bulan April tahun berikutnya; dan

c. meningkatkan pembinaan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi.

(3) Dalam hal Menteri menilai bahwa pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota belum mencukupi atau terjadi ketidakselarasan dengan ketentuan yang berlaku secara nasional dan/atau ditetapkan oleh Menteri, Menteri menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.

BAB VII PEMBIAYAAN

Pasal 13

(1) Biaya pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan oleh bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Biaya untuk pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh gubernur dibebankan pada APBD provinsi dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Biaya untuk pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(9)

9 BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 14

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal: 16 September 2009 MENTERI NEGARA

LINGKUNGAN HIDUP, ttd

RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH

Bidang Penaatan Lingkungan,

(10)

PERATURAN

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009

TENTANG

PEDOMAN PENGECUALIAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PERJANJIAN YANG

BERKAITAN DENGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, dipandang perlu menetapkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

2. UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 242);

3. UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 243);

4. UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 244);

5. UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110);

6. UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109);

7. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 4220);

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999; 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59/P Tahun 2006; Memperhatikan : Hasil Rapat Komisi tanggal 25 Februari 2009;

(11)

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG PEDOMAN PENGECUALIAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Pasal 1

Dalam Peraturan Komisi ini yang dimaksud dengan :

1. Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang selanjutnya disebut Pedoman, adalah dokumen pedoman pelaksanaan Pasal 50 huruf b, khususnya terkait dengan Pengecualian terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual.

2. Komisi adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Pasal 2

(1)Pedoman merupakan penjabaran prinsip dasar, batasan pengecualian, dan contoh-contoh pelaksanaan ketentuan Pasal 50 huruf b.

(2)Pedoman merupakan pedoman bagi :

a. Pelaku usaha dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahami ketentuan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual;

b. Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Pasal 3

(1)Pedoman adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (2)Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan standar

minimal bagi Komisi dalam melaksanakan tugasnya, yang menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini, serta mengikat semua pihak.

(12)

Pasal 4

(1)Putusan dan kebijakan berkaitan dengan Pasal 50 huruf b, khususnya tentang Hak atas Kekayaan Intelektual, yang diputuskan dan ditetapkan oleh Komisi sebelum dikeluarkannya Peraturan ini, dinyatakan tetap berlaku.

(2)Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal :13 Mei 2009

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA KETUA,

(13)

Lampiran : Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 2 Tahun 2009 Tanggal: 13 Mei 2009

PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 5

TAHUN 1999 TENTANG HAL-HAL YANG DIKECUALIKAN

DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

MENGENAI PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (PASAL 50 HURUF b)

DIREKTORAT KEBIJAKAN PERSAINGAN

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

INDONESIA

(14)

Lampiran : Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 2 Tahun 2009 Tanggal: 13 Mei 2009

DAFTAR ISI

Bab I. LATAR BELAKANG... 1 Bab II. TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN………..………… 3 Bab III. KETENTUAN PASAL 50 HURUF B DALAM PERSAINGAN

USAHA... 4 Bab IV. PENJELASAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 50 HURUF B

1. Prinsip Dasar... 8 2. Pengertian dan Persyaratan Perjanjian Lisensi... 10 3. Batasan Pemberlakuan Pengecualian... 11 Bab V. CONTOH PELAKSANAAN PASAL 50 HURUF B DALAM

KASUS... 19 Bab VI. PENUTUP... 31

(15)

BAB I

LATAR BELAKANG

Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan komunikasi, tak pelak lagi issue keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “HKI”) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting yang eksitensinya telah diakui secara global. Jaminan terhadap hal ini menjadi isu penting dalam rangka menarik investasi asing ke Indonesia.Sebagaimana diketahui, HKI didapatkan sebagai bentuk penghargaan pada inventor dan/atau innovator atas uang, waktu, tenaga yang telah diinvestasikannya. Hal ini sangat penting untuk memberikan insentif bagi mereka untuk terus berkarya.

Pada sisi lain, pasca reformasi sistem perekonomian Indonesia juga diharapkan untuk lebih memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha dan berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional yang berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sangatlah diharapkan pelaku usaha domestik dapat memperoleh kue perekonomian yang lebih besar ketimbang asing demikian pula halnya dengan para pelaku usaha kecil dan menengah dapat diberikan kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara fair dengan pelaku usaha besar. Penataan pasar untuk membuka kesempatan yang seluas-luas demi kesejahteraan rakyat, yang dalam praktiknya adalah terbukanya pasar bagi para pendatang baru (free entry), adalah salah satu alasan mengapa diperlukannya sistem hukum untuk melarang praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat agar para pelaku lama (incumbent) tidak mematikan persaingan di pasar (selanjutnya disebut hukum persaingan). Hal ini mendorong dibentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang sering disebut sebagai undang-undang persaingan usaha Indonesia (Undang-undang No. 5 Tahun 1999).

Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan Hukum Persaingan sepertinya berposisi diametris atau seakan-akan saling bertentangan (saling beroposisi) satu sama lain. Padahal meskipun kedua domain hukum tersebut sekilas saling beririsan, namun sebenarnya keduanya bersifat komplementer atau

(16)

saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum itu sendiri yakni untuk meningkatkan efisiensi dan memajukan sistem perekonomian.

Keharmonisan antara HKI dan hukum persaingan diakui dalam sistem hukum Indonesia, hal ini dapat terlihat dari beberapa ketentuan dalam peraturan perundangan nasional terkait HKI yang mengutamakan perekonomian nasional dan persaingan yang sehat sebagai batasan ekploitasi hak ekslusif yang dimiliki oleh pemegang HKI antara lain tercantum dalam Pasal 47(1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) dan Pasal 71(1) Undang-undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Paten (selanjutnya disebut Undang-undang Paten). Disisi lain dalam undang-undang persaingan usaha terdapat ketentuan yang menjelaskan pentingnya HKI sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 huruf b. Pasal tersebut menyatakan bahwa “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba” dikecualikan dari ketentuan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Lebih jauh, mengingat pentingnya ketentuan Pasal 50 huruf b sebagai pintu harmonisasi antara rezim HKI dan hukum persaingan usaha, maka dipandang perlu adanya penjelasan yang lebih rinci mengenai ketentuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan pada ketentuan Pasal 35 huruf f Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU perlu menyusun Pedoman Pasal tentang Ketentuan Pasal 50 huruf b.

(17)

BAB II

TUJUAN PENYUSUNAN PEDOMAN Pasal 50 huruf b berbunyi sebagai berikut :

Dikecualikan dari ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999:

b. “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”

Tanpa memahami hakekat dari rumusan ketentuan Pasal 50 huruf b secara benar, dikhawatirkan akan timbul kesulitan atau kekeliruan di dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami hakekat dari rumusan ketentuan Pasal 50 huruf b secara benar sehingga dapat diterapkan dengan tepat, benar, dan adil, perlu diberikan klarifikasi terhadap ketentuan Pasal 50 huruf b.

Pada akhirnya Pedoman ini disusun dengan maksud agar:

1. Terdapat kesamaan penafsiran terhadap masing-masing unsur dalam Pasal 50 huruf b, sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau sengketa dalam penerapannya.

2. Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat, dan adil dalam setiap sengketa yang berkaitan.

(18)

BAB III

KETENTUAN PASAL 50 HURUF B DALAM PERSAINGAN USAHA

Apabila dicermati sedikitnya ada tiga hal yang perlu diperdalam dari rumusan Pasal 50 huruf b tersebut. Pertama, penyebutan istilah ’lisensi’ yang diikuti dengan istilah ’paten, merek dagang, hak cipta...dan seterusnya’ seolah-olah menempatkan lisensi sebagai salah satu jenis hak dalam rezim hukum HKI, padahal sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Lisensi adalah salah satu jenis perjanjian dalam lingkup rezim hukum HKI yang dapat diaplikasikan di semua jenis hak dalam rezim hukum HKI. Kedua, penggunaan istilah merek dagang yang seolah-olah mengesampingkan merek jasa. Padahal maksudnya tidaklah demikian. Istilah ’merek dagang’ dalam pasal tersebut digunakan sebagai padanan dari bahasa inggris

trademark; namun yang dimaksud dari istilah tersebut adalah mencakup merek

dagang dan merek jasa. Ketiga, istilah ’rangkaian elektronik terpadu’ bukanlah salah satu jenis hak yang terdapat dalam rezim HKI. Jenis hak yang benar adalah hak atas desain tata letak sirkuit terpadu.

Sehubungan dengan adanya tiga hal tersebut, maka hendaknya setiap

pihak memaknai ketentuan Pasal 50 huruf b tersebut sebagai berikut. Pertama, bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Kedua, bahwa istilah ’merek dagang’ hendaknya dimaknai sebagai merek yang mencakup merek dagang dan merek jasa. Ketiga, bahwa istilah ’rangkaian elektronik terpadu’ hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit terpadu.

Sebagian orang berpandangan bahwa rezim hukum HKI dan hukum persaingan usaha saling bertolak belakang. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Keberadaan rezim hukum HKI dan Hukum Persaingan Usaha

hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Kesamaan yang dimiliki oleh kedua rezim hukum tersebut diantaranya ialah pada tujuannya yaitu untuk memajukan

(19)

sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada satu sisi rezim HKI berbicara tentang perlindungan hak intelektual sebagai bentuk insentif dan penghargaan (incentive and reward) agar memacu kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perdagangan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas peradaban masyarakat. Pengaturannya memberikan kesempatan kepada si kreator dan/atau si pemegang haknya untuk dalam kurun waktu tertentu memperoleh pengembalian investasinya atau bahkan mengambil keuntungan dari padanya. Rezim hukum HKI dengan demikian dapat dikatakan berada pada sisi pro persaingan usaha. Pada sisi yang lain, rezim hukum persaingan usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak. Pada prinsipnya hukum ini akan memberikan kesempatan untuk kepastian berusaha bagi semua orang dengan cara membebaskan pasar guna efisiensi dan kompetisi yang fair untuk memberikan konsumen alternatif pilihan yang terbaik dalam pasar.

Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak ekslusif bagi pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk mengeksploitasi obyek HKI yang dimilikinya. Istilah ‘mengeksploitasi’ sengaja digunakan dalam hal ini, karena isi dari hak eksklusif berbeda-beda. Dalam lingkup hak cipta, konteks mengeksploitasi adalah hak eksklusif untuk memperbanyak dan mengumumkan. Dalam lingkup hak paten, konteksnya adalah melaksanakan yang meliputi kegiatan seperti membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, dan lain sebagainya. Dalam lingkup hak merek, konteksnya adalah menggunakan. Dalam lingkup hak desain industri, konteksnya adalah melarang yang meliputi kegiatan seperti membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan mengedarkan. Dalam lingkup hak desain tata letak sirkuit terpadu, konteksnya adalah melaksanakan.

Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang

(20)

dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian tersebut berbeda dengan ‘praktek monopoli’ yang harus diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

Sehubungan dengan hal tersebut, hendaknya dipahami bahwa dengan

adanya suatu hak eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli dalam pasar. Ada beberapa fakta yang dapat

menggambarkan hal tersebut. Pertama, pemegang hak eksklusif bisa saja membebaskan penggunaan, modifikasi, dan perbanyakan dari karyanya kepada masyarakat umum, misalnya untuk pemegang hak cipta atas program komputer yang mendistribusikan karyanya dengan lisensi GNU. Kedua, pemegang hak eksklusif bisa saja memilih tidak memproduksi karyanya dan sekaligus tidak melarang pihak lain yang memproduksi karya tersebut tanpa seizinnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut jelaslah bahwa unsur-unsur praktek monopoli tidak terpenuhi.

Dalam kondisi-kondisi yang lain, praktek monopoli sebagai pelaksanaan dari hak eksklusif HKI dapat saja terjadi. Pertama, pemusatan kekuatan ekonomi dapat terjadi ketika pemegang hak menjadi satu-satunya pihak yang mengadakan usaha untuk itu atau ketika pemegang hak hanya menunjuk perusahaan tertentu saja sebagai penerima lisensi. Kedua, penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran dapat terjadi ketika barang dan/atau jasa tersebut hanya dibuat dan/atau dipasarkan oleh pemegang hak dan penerima lisensinya. Ketiga, persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi ketika kegiatan usaha pemegang hak dan/atau penerima lisensi dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Keempat, kerugian terhadap kepentingan umum dapat terjadi ketika kegiatan usaha pemegang hak dan/atau penerima lisensi dipandang dapat menciderai kepentingan orang banyak. Namun demikian, untuk dapat efektif melakukan praktek monopoli pemegang hak harus secara aktif melakukan upaya

(21)

hukum terhadap para pelaku pelanggaran HKI yang dianggap menciderai hak eksklusifnya.

Berlandaskan pada berbagai uraian tersebut di atas, diperolehlah suatu isu hukum yang akan dielaborasi lebih lanjut disini, yaitu apakah perjanjian lisensi HKI yang pelaksanaannya melahirkan praktek monopoli dikecualikan dari ketentuan dalam undang-undang persaingan usaha.

(22)

BAB IV

PENJELASAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 50 HURUF B

A. PRINSIP DASAR

Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1o Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya pada bagian Lampiran Butir C1 Nomor 74, maka asas, maksud, dan tujuan yang terdapat pada

suatu perundang-undangan hendaknya dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya. Dengan kata lain, pasal-pasal yang lainnya harus dimaknai secara selaras dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam asas, maksud, dan tujuan tersebut.

Dalam undang-undang persaingan usaha asas dan tujuan diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Asas yang dimaksud ialah bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan, tujuan yang dimaksud adalah: (a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dengan demikian pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b harus dimaknai secara selaras dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam asas dan tujuan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Persaingan Usaha.

Demikian juga halnya dalam melakukan penerapan pengecualian tentang lisensi HKI. Setiap orang hendaknya memandang bahwa pengecualian

perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang perjanjian lisensi HKI tersebut tidak bertentangan dengan asas dan tujuan dalam pasal 2 dan 3. Untuk

(23)

mencegah penyalahgunaan HKI yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka indikator utama pengecualian adalah penguasaan pasar atas produk atau jasa yang dilakukan dengan lisensi HKI tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar.

B. PENGERTIAN DAN PERSYARATAN PERJANJIAN LISENSI

Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana satu pihak yaitu pemegang hak bertindak sebagai pihak yang memberikan lisensi, sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai pihak yang menerima lisensi. Pengertian lisensi itu sendiri adalah izin untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu obyek yang dilindungi HKI untuk jangka waktu tertentu. Sebagai imbalan atas pemberian lisensi tersebut, penerima lisensi wajib membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Mengingat hak ekonomis yang terkandung dalam setiap hak eksklusif adalah banyak macamnya, maka perjanjian lisensi pun dapat memiliki banyak variasi. Ada perjanjian lisensi yang memberikan izin kepada penerima lisensi untuk menikmati seluruh hak eksklusif yang ada, tetapi ada pula perjanjian lisensi yang hanya memberikan izin untuk sebagian hak eksklusif saja, misalnya lisensi untuk produksi saja, atau lisensi untuk penjualan saja.

Perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:

(a) tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;

(b) nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;

(c) obyek perjanjian lisensi;

(d) jangka waktu perjanjian lisensi;

(e) dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang; (f) pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak ekslusif; (g) jumlah royalti dan pembayarannya;

(h) dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;

(24)

(j) dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.

Sesuai dengan ketentuan dalam paket Undang-Undang tentang HKI, maka suatu perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dimuat dalam Daftar Umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Namun, jika perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, yang dengan sendirinya tidak termasuk kategori pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini.

Perjanjian lisensi dapat dibuat secara khusus, misalnya tidak bersifat eksklusif. Apabila dimaksudkan demikian, maka hal tersebut harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat non eksklusif. Oleh karenanya pemegang hak atau pemberi lisensi pada dasarnya masih boleh melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga yang lain.

Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya (referensi

Undang-undang Paten). Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang

memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Berdasarkan pada paparan tersebut di atas, setiap orang hendaknya

memandang bahwa perjanjian lisensi yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan hukum HKI. Perjanjian lisensi yang belum

memenuhi persyaratan tidak masuk dalam pengertian perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan hukum persaingan usaha.

C. BATASAN PEMBERLAKUAN PENGECUALIAN

Secara harfiah makna dari ’pengecualian’ adalah tidak memberlakukan suatu aturan yang seharusnya diberlakukan. Dalam konteks hukum persaingan usaha yang pada intinya mengatur mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam

(25)

kaitannya dengan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan, ketentuan ’pengecualian’ seolah-olah berarti tidak memberlakukan secara mutlak ketentuan tentang larangan-larangan tersebut terhadap para pihak yang bersangkutan. Sesungguhnya hal tersebut tidaklah tepat, karena jika larangan-larangan tersebut tidak diberlakukan maka pelaksanaan persaingan usaha yang terjadi kelak dapat merupakan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat yang sesungguhnya sesuatu yang hendak dicegah dan diberantas dengan adanya undang-undang persaingan usaha.

Oleh karena itu, agar ketentuan ’pengecualian’ tersebut selaras dengan asas dan tujuan pembentukan undang-undang persaingan usaha, maka setiap orang

hendaknya memandang ketentuan ’pengecualian’ tersebut tidak secara harfiah atau sebagai pembebasan mutlak dari segenap larangan yang ada. Setiap orang hendaknya memandang ’pengecualian’ tersebut dalam konteks sebagai berikut:

a. Bahwa perjanjian lisensi HKI tidak secara otomatis melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

b. Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha;

c. Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi yang secara nyata menunjukkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

d. Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan tidak menampakkan secara jelas sifat anti persaingan usaha.

Dalam konteks tersebut maka langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis apakah suatu perjanjian lisensi merupakan pengecualian yang dikecualikan adalah sebagai berikut:

(26)

• Pertama, sebelum diperiksa lebih lanjut perlu diperjelas mengenai hal yang akan dianalisa mengenai kemungkinan penerapan pengecualian Pasal 50 huruf b. Apabila yang menjadi masalah ialah penolakan untuk memberikan lisensi dan bukan lisensi itu sendiri maka perlu dianalisa HKI yang dimintakan lisensinya dapat dikategorikan merupakan prasarana yang sangat penting (essential facilities). Apabila tidak termasuk kategori essential facilities maka pengecualian dapat diberikan, namun sebaliknya apabila termasuk kategori essential facilities maka tidak dapat diberikan pengeculian sehingga ditindaklanjuti mengenai kemungkinan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

• Kedua, hal yang perlu diperiksa adalah apakah perjanjian yang menjadi pokok permasalahan adalah perjanjian lisensi HKI. Apabila perjanjian tersebut bukan perjanjian lisensi HKI, maka pengecualian tidak berlaku.

• Ketiga, perlu diperiksa apakah perjanjian lisensi HKI tersebut telah memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang, yaitu berupa pencatatan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apabila perjanjian lisensi HKI tersebut belum dicatatkan, maka pengecualian tidak berlaku.

• Keempat, perlu diperiksa apakah dalam perjanjian lisensi HKI tersebut terdapat klausul-klausul yang secara jelas mengandung sifat anti persaingan. Apabila indikasi yang jelas tidak ditemukan, maka terhadap perjanjian lisensi HKI tersebut berlaku pengecualian dari ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha.

Hal yang perlu dianalisis dari suatu perjanjian lisensi HKI untuk mendapat kejelasan mengenai ada tidaknya sifat anti persaingan adalah klausul yang terkait dengan kesepakatan eksklusif (exclusive dealing). Dalam pedoman ini, perjanjian lisensi HKI yang dipandang mengandung unsur kesepakatan eksklusif adalah yang di antaranya mengandung klausul mengenai: 1)Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing); 2)Pengikatan Produk (Tying Arrangement); 3)Pembatasan dalam bahan baku; 4)Pembatasan dalam produksi dan penjualan; 5)Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali; 6)Lisensi Kembali (Grant Back).

Adalah penting untuk diperhatikan, bahwa adanya satu atau lebih dari satu unsur di atas dalam suatu perjanjian lisensi HKI tidaklah menunjukkan bahwa perjanjian lisensi HKI tersebut secara serta merta memiliki sifat anti persaingan.

(27)

Harus ada kondisi tertentu yang harus diperiksa dari masing-masing klausul tersebut untuk menentukan apakah klausul tersebut mengandung sifat anti persaingan.

Lebih lanjut, di bawah ini diuraikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa suatu klausul kesepakatan eksklusif, sebagai berikut:

1) Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) dan Lisensi Silang (Cross Licensing) Penghimpunan Lisensi (Pooling Licensing) merupakan tindakan para pelaku usaha untuk saling bekerjasama dengan para mitra usahanya untuk menghimpun lisensi HKI terkait komponen produk tertentu. Sedangkan, Lisensi Silang (Cross-Licensing) merupakan tindakan saling melisensikan HKI antar para pelaku usaha dengan mitranya, biasanya hal tersebut dilakukan dalam kegiatan Research and Development (R&D). Dengan melakukan Penghimpunan Lisensi dan/atau Lisensi Silang para pelaku usaha dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost) hak eksklusif yang pada akhirnya membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah.

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai penghimpunan lisensi dan lisensi silang bersifat anti persaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat melakukan penghimpunan lisensi dan lisensi silang untuk mengefisiensikan kegiatan usahanya. Namun demikian, apabila dari tindakan tersebut membuat produksi atau pemasaran terhadap suatu produk dikuasai secara dominan oleh suatu pelaku usaha, sehingga pelaku usaha lain sulit untuk bersaing secara efektif, maka klausul tersebut dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

2) Pengikatan Produk (Tying Arrangement)

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pengikatan produk bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor pada prinsipnya dapat menggabungkan dua atau lebih produknya yang telah dilindungi HKI untuk diperdagangkan kepada masyarakat. Namun demikian, konsumen tetaplah harus diberikan pilihan untuk membeli salah satu produk saja. Oleh karena itu, klausul yang mengatur tentang penggabungan

(28)

produk yang disertai dengan keharusan bagi penerima lisensi untuk menjual produk tersebut sebagai satu kesatuan kepada konsumen, sehingga konsumen tidak dapat membeli salah satu produk saja, maka dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

3) Pembatasan dalam bahan baku

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan bahan baku bersifat anti persaingan usaha atau tidak, maka setiap pihak hendaknya memandang bahwa pemberi lisensi (licensor) pada prinsipnya dapat memberikan pembatasan kepada penerima lisensi (licensee) mengenai kualitas bahan baku yang digunakan. Hal ini dipandang perlu untuk memaksimalkan fungsi teknologi, menjaga keselamatan, dan untuk mencegah bocornya rahasia. Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan terhadap sumber penyedia bahan baku dapat mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi licensee untuk memilih kualitas bahan baku dan pemasok (supplier) bahan baku; yang pada akhirnya dapat membuat pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut justru tidak efisien secara ekonomi. Selain itu, pembatasan tersebut juga dapat merugikan perusahaan-perusahaan yang menyediakan bahan baku, karena menghambat akses ke pasar tersebut. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat kewajiban licensee untuk menggunakan bahan baku dari sumber yang ditentukan oleh licensor secara eksklusif, padahal bahan baku serupa telah tersedia di dalam negeri dalam jumlah dan harga yang memadai serta dengan kualitas yang sama, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam proses produksi bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa pada prinsipnya licensor dapat memberikan pembatasan bagi licensee dalam hal proses produksi atau penjualan produk yang bersaing dengan produk milik licensor. Dalam hal pembatasan tersebut dibuat berdasarkan maksud untuk menjaga kerahasiaan know how, atau untuk mencegah penggunaan teknologi secara tidak sah, maka pembatasan tersebut dapat dianggap tidak termasuk mengganggu persaingan usaha. Tetapi, apabila pembatasan tersebut akan menghambat licensee dalam menggunakan teknologi

(29)

secara efektif, maka pembatasan tersebut dapat menghilangkan para pesaing dari kesempatan dalam perdagangan. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan dalam hal proses produksi atau penjualan produk yang bersaing dengan produk milik licensor, sehingga menghambat licensee dalam menggunakan teknologi secara efektif, dapat dipandang sebagai klausul yang secara jelas bersifat anti persaingan usaha.

4) Pembatasan dalam produksi dan penjualan

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam penjualan bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa pada prinsipnya licensor dapat menetapkan pembatasan terhadap wilayah atau jumlah produk yang diproduksi dengan menggunakan teknologi milik licensee yang boleh dipasarkan. Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa apabila pembatasan tersebut membuat licensee tidak dapat melakukan inovasi teknologi, maka hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan wilayah dan jumlah produk yang dapat dipasarkan yang terbukti menghambat licensee dalam melakukan inovasi teknologi, sehingga pengembangan produk menjadi tidak efisien, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

5) Pembatasan dalam harga penjualan dan harga jual kembali

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan harga jual dan harga jual kembali bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa licensor dapat menentukan pada tingkat harga berapa produknya dapat dipasarkan sesuai dengan rasionalitas investasi dari produk yang bersangkutan. Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan harga tersebut dapat mengakibatkan pembatasan persaingan kegiatan bisnis antara licensee dan distributor yang akan berdampak pada berkurangnya persaingan, yang pada akhirnya hal tersebut dapat membuat pengembangan produk menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat pembatasan harga jual

(30)

dan harga jual kembali dengan cara menetapkan harga bawah, dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

6) Lisensi Kembali (Grant Back).

Lisensi kembali (Grant-back) merupakan salah satu ketentuan dalam suatu perjanjian lisensi dimana penerima lisensi (licensee) disyaratkan untuk selalu membuka dan mentransfer informasi kepada pemberi lisensi (licensor) mengenai seluruh perbaikan dan pengembangan yang dibuat terhadap produk yang dilisensikan, termasuk di dalamnya know-how terkait pengembangan tersebut.

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai lisensi kembali bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa tindakan ini menghalangi penerima lisensi untuk memperoleh kemajuan dalam penguasaan teknologi dan mengandung unsur ketidakadilan karena melegitimasi pemberi lisensi untuk selalu memiliki hak atas suatu karya intelektual yang tidak dihasilkannya sendiri. Oleh karena itu, klausul dalam perjanjian lisensi yang memuat kewajiban lisensi kembali (Grant-back), dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.

(31)

PELAKSANAAN

KETENTUAN PASAL 50 B

Perjanjian Lisensi HKI Menolak untuk memberikan Lisensi (Refuse To Licensee) Memenuhi persyaratan dalam UU (dicatatkan di Dirjen HKI) Tidak memenuhi persyaratan UU (tidak dicatatkan di Dirjen HKI) Prasarana Sangat Penting (Essential Facilities) Mengandung/Tidak mengandung Sifat anti persaingan

Exclusive Dealing Diperiksa Kemungkinan adanya Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 Bukan termasuk Essential Facilities Dikecualikan BAB V

CONTOH PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 HURUF B DALAM KASUS

Pelaksanaan ketentuan Pasal 50 huruf b dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut.

(32)

EXCLUSIVE DEALING

Tying Arrangement

Pooling Licensing &

Cross Licensing

Pembatasan

Bahan Baku

Pembatasan Produksi dan Penjualan

Pembatasan Penjualan dan Harga Jual

Kembali Untuk mengefesiensikan

kegiatan usahanya

Penguasaan dominan, pelaku usaha tidak dapat bersaing

secara efektif

Lisensi Kembali

(Grant Back)

Tidak mewajibkan konsumen

membeli produk sebagai satu kesatuan

Penggabungan produk disertai dengan keharusan penerima lisensi menjual produk sbg satu

kesatuan pada konsumen

Pembatasan mengenai kualitas bahan baku yang digunakan

Kewajiban untuk menggunakan bahan baku dari

sumber yang ditentukan oleh Licensor secara eksklusif

Pembatasan dengan maksud menjaga kerahasiaan know how , mencegah penggunaan

teknologi secara tidak sah

Menghambat licensee menggunakan teknologi secara

efektif

Pembatasan tetap memungkinkan terjadinya

inovasi teknologi

Menghambat licensee melakukan inovasi teknologi,

pengembangan produk jadi tidak efesien. Penetapan harga batas bawah

Adanya ketentuan tentang Grant Back Tidak Adanya ketentuan

tentang Grant Back

Dikecualikan

Diperiksa

Kemungkinan adanya Pelanggaran

Undang-undang No. 5 Tahun 1999

(33)

Dengan memperhatikan bagan diatas, aplikasi pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b dapat disederhanakan dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Apakah telah terdapat kesepakatan atau merupakan bentuk penolakan untuk memberikan lisensi (refusal to license) ?

Sebelum diperiksa lebih lanjut perlu diperjelas mengenai hal yang akan dianalisa mengenai kemungkinan penerapan pengecualian Pasal 50 Huruf b.

Apabila yang menjadi masalah ialah penolakan untuk memberikan lisensi dan bukan lisensi itu sendiri maka perlu dianalisa HKI yang dimintakan lisensinya dapat dikategorikan merupakan prasarana yang sangat penting (essential facilities). Apabila tidak termasuk kategori essential facilities maka pengecualian dapat diberikan, namun sebaliknya apabila termasuk kategori essential facilities maka tidak dapat diberikan pengeculian sehingga ditindaklanjuti mengenai kemungkinan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

2) Apakah hal yang ingin dikecualikan berbentuk perjanjian lisensi?

Pengecualian Pasal 50 huruf b hanya dapat diberikan pada perjanjian lisensi, sedangkan hal-hal lain yang terkait dengan HKI maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

3) Apakah perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan pada pihak yang berwenang (Dirjen HKI)?

Sebagaimana diketahui perjanjian lisensi seharusnya dicatatkan di Dirjen HKI bahkan pada ketentuan terkait Hak Cipta dapat berpengaruh pada dayalakunya pada pihak ketiga.1

Pada prinsipnya dalam beberapa ketentuan peraturan perundangan terkait HKI telah melarang adanya ketentuan yang menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.2

1Vide Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 2VIde beberapa ketentuan terkait HKI antara lain:

(34)

Ketentuan tersebut serta merta telah menunjukan konsistensi dengan semangat Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sehingga pihak Dirjen HKI seharusnya telah memperhatikan ketentuan tersebut sebelum mencatatkannya, sehingga pemeriksaan awal mengenai kemungkinan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 dapat diminimalisasi.

Apabila perjanjian lisensi tersebut telah dicatatkan maka terdapat kemungkinan diberikan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b. Sebaliknya, apabila perjanjian lisensi tersebut tidak dicatatkan maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

4) Apakah perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat antipersaingan?

Pemeriksaan selanjutnya ialah mengenai kemungkinan perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat anti persaingan.

Hal yang paling mudah diidentifikasi ialah ada/tidaknya ketentuan yang bersifat ekslusif seperti: Pembatasan bahan baku, Pooling Licensing & Cross Licensing, Tying Arrangement, Pembatasan Bahan Baku, Pembatasan Produksi dan Penjualan, Pembatasan Penjualan dan Harga Jual Kembali, Lisensi Kembali (Grant Back). Apabila diketemukan hal yang bersifat ekslusif tersebut seterusnya perlu diperiksa mengenai latar belakang, tujuan, alasan dari pencatuman ketentuan tersebut.

1)Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menyebutkan “Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

2) Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Paten (UU Paten) menyebutkan Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.

(35)

PT. Macotech

PT. Indocom

Apabila tidak diketemukan sifat anti persaingan dalam perjanjian lisensi tersebut maka penerapan Pasal 50 huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dilaksanakan. Dengan kata lain perjanjian lisensi tersebut dikecualikan.

Sebaliknya, apabila diketemukan sifat anti persaingan dalam perjanjian lisensi tersebut maka pengecualian tidak dapat diterapkan sehingga pemeriksaan kasus dilanjutkan untuk memeriksa mengenai kemungkinan terjadinya bentuk praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Lebih lanjut, aplikasi pada kasus dapat dilihat pelaksanaannya dalam 3 (tiga) contoh kasus sebagai berikut:

Contoh Kasus 1: Grant Back License

PT. Macotech adalah sebuah perusahaan IT yang fokus pada pengembangan piranti lunak (software) untuk sistem database perusahaan dengan produk andalannya sistem database bernama MX3. PT. Indocom merupakan pesaing PT. Macotech yang juga bergerak dalam bidang yang sama dengan produk andalannya PI8.

Salah satu keunggulan dari MX3 milik PT. Macotech ialah kemampuan untuk melakukan pembaharuan data bersama secara langsung secara cepat (realtime data collaboration upate). Software MX3 tersebut telah mendapatkan perlindungan berupa Hak Cipta.

Syarat dlm Perjanjian Lisensi: terhadap teknologi yang dilisensikan PT. Macotech pada PT. Indocom setiap pengembangan yang dilakukan oleh PT. Indocom serta merta hak atas pengembangan tersebut menjadi milik PT. Macotech

LISEN GRAN

(36)

Menyadari keunggulan MX3, PT. Indocom melakukan penawaran sejumlah uang sebagai kompensasi untuk mendapatkan lisensi agar mengetahui base code dari software MX3, hal tesrebut ditujukan untuk pengembangan produk PI8.

PT. Macotech tertarik dengan tawaran dari PT. Indocom, namun mengajukan syarat dalam perjanjian lisensi yang diajukan yaitu pencatumkan klausul “terhadap teknologi yang dilisensikan PT. Macotech pada PT. Indocom setiap pengembangan yang dilakukan oleh PT. Indocom serta merta hak atas pengembangan tersebut menjadi milik PT. Macotech”.

PT. Indocom menerima tawaran perjanjian lisensi dari PT. Macotech tersebut. Pada akhirnya keduanya menyepakatinya kemudian menuliskannya dalam bentuk perjanjian lisensi bentuk dan mendaftarkannya pada Dirjen HKI.

Seiring dengan waktu PT. Indocom kemudian sadar bahwa perjanjian lisensi tersebut merugikan perusahaannya yang membuat perusahaannya sulit berkembang dan tidak kompetitif. Kemudian PT. Indocom melaporkan hal tersebut pada KPPU.

Lebih lanjut pada saat proses klarifikasi, PT. Macotech bersikeras bahwa hal tersebut adalah hak ekslusifnya sehingga dikecualikan dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sebagaimana ketentuan Pasal 50 huruf b.

Berdasarkan pembelaan yang disampaikan oleh PT. Macotech tersebut, kemudian KPPU melakukan analisa mengenai kemungkinan penerapan ketentuan Pasal 50 huruf b sebagai berikut:

Pelaksanaan Pedoman Pasal 50 huruf b:

Terhadap kasus tersebut dapat dianalisa dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Apakah telah terdapat kesepakatan atau merupakan bentuk penolakan untuk memberikan lisensi (refusal to license) ?

Kasus terkait perjanjian lisensi PT. Macotech dan PT. Indocom dan bukan merupakan bentuk refusal to license.

2) Apakah hal yang ingin dikecualikan berbentuk perjanjian lisensi?

Pada kasus diatas PT. Macotech dan PT. Indocom menyepakati membuat perjanjian lisensi sehingga terdapat kemungkinan dapat diberikan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b.

3) Apakah perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan pada pihak yang berwenang (Dirjen HKI)?

(37)

PT. Oyota

PT. Automotor

Perjanjian lisensi antara PT. Macotech dan PT. Indocom telah didaftarkan pada Dirjen HKI sehingga terdapat kemungkinan diterapkan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b.

4) Apakah perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat antipersaingan?

PT. Macotech dan PT. Indocom mencantumkan klausul pembatasan grantback, dimana terhadap teknologi yang dilisensikan PT. Macotech pada PT. Indocom setiap pengembangan yang dilakukan oleh PT. Indocom serta merta hak atas pengembangan tersebut menjadi milik PT. Macotech. Sehingga dalam hal ini Perjanjian lisensi tersebut tidak dapat dikecualikan dan pemeriksaan kasus tetap dilanjutkan mengenai kemungkinan perjanjian tersebut menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Contoh Kasus 2: Pembatasan Produksi dan/atau penjualan

PT. Oyota adalah sebuah perusahaan otomotif dengan produk andalannya kendaraan bermotor bermerk KILANG. PT. Automotor merupakan pesaing Oyota yang juga bergerak dalam bidang yang sama dengan produk andalannya kendaraan bermotor bermerk KANZA.

Salah satu keunggulan dari KILANG milik PT. Oyota ialah disertai teknologi sehingga mampu untuk melakukan akselerasinya secara cepat. Teknologi tersebut telah mendapatkan perlindungan berupa Paten.

Syarat dlm Perjanjian Lisensi: Agar mendapat lisensi teknologi milik PT. Oyota maka PT. Automotor tidak boleh memproduksi lebih dari 1000 Unit kendaraan bermotor / tahun dan/atau menjual lebih dari 1000 kendaraan bermotor / tahun

(38)

Menyadari keunggulan KILANG, PT. Automotor melakukan penawaran sejumlah uang sebagai kompensasi untuk mendapatkan lisensi agar teknologi akselerasi tersebut, hal ini ditujukan untuk pengembangan produk KANZA.

PT. Oyota tertarik dengan tawaran dari PT. Automotor, namun mengajukan syarat dalam perjanjian lisensi yang diajukan yaitu pencatumkan klausul “Agar mendapat lisensi teknologi milik PT. Oyota maka PT. Automotor tidak boleh memproduksi lebih dari 1000 Unit kendaraan bermotor / tahun dan/atau menjual lebih dari 1000 kendaraan bermotor / tahun”.

PT. Automotor menerima syarat pencantuman klausul dari PT. Oyota tersebut. Pada akhirnya keduanya menyepakatinya kemudian menuliskannya dalam bentuk perjanjian lisensi bentuk dan mendaftarkannya pada Dirjen HKI.

Seiring dengan waktu PT. Automotor kemudian sadar bahwa perjanjian lisensi tersebut merugikan perusahaannya yang membuat perusahaannya sulit berkembang dan tidak kompetitif karena produksi dibatasi padahal permintaan di pasar sangat tinggi. Kemudian PT. Automotor melaporkan hal tersebut pada KPPU.

Lebih lanjut pada saat proses klarifikasi, PT. Oyota bersikeras bahwa hal tersebut adalah hak ekslusifnya sehingga dikecualikan dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sebagaimana ketentuan Pasal 50 huruf b.

Berdasarkan pembelaan yang disampaikan oleh PT. Macotech tersebut, kemudian KPPU melakukan analisa mengenai kemungkinan penerapan ketentuan Pasal 50 huruf b sebagai berikut:

Pelaksanaan Pedoman Pasal 50 huruf b:

Terhadap kasus tersebut dapat dianalisa dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Apakah telah terdapat kesepakatan atau merupakan bentuk penolakan untuk memberikan lisensi (refusal to license) ?

Kasus terkait perjanjian lisensi PT. Oyota dan PT. Automotor dan bukan merupakan bentuk refusal to license.

2) Apakah hal yang ingin dikecualikan berbentuk perjanjian lisensi?

Pada kasus diatas PT. Oyota dan PT. Automotor menyepakati membuat perjanjian lisensi sehingga terdapat kemungkinan dapat diberikan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b.

(39)

PT. Albe Farma PT. Cahaya Farma MENOLAK MEMBERIKAN Fasilitas Penting (Essential Tidak termasuk kategori EF Tidak dapat dikecualian Dapat dikecualian

3) Apakah perjanjian lisensi tersebut telah didaftarkan pada pihak yang berwenang (Dirjen HKI)?

Perjanjian lisensi antara PT. Oyota dan PT. Automotor telah didaftarkan pada Dirjen HKI sehingga terdapat kemungkinan diterapkan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b.

4) Apakah perjanjian lisensi tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat antipersaingan?

PT. Oyota dan PT. Automotor mencantumkan klausul pembatasan grantback, dimana Agar mendapat lisensi teknologi milik PT. Oyota maka PT. Automotor tidak boleh memproduksi lebih dari 1000 Unit kendaraan bermotor / tahun dan/atau menjual lebih dari 1000 kendaraan bermotor / tahun. Sehingga dalam hal ini Perjanjian lisensi tersebut tidak dapat dikecualikan dan pemeriksaan kasus tetap dilanjutkan mengenai kemungkinan perjanjian tersebut menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Contoh Kasus 3: Menolak untuk memberikan lisensi (Refuse to License)

PT. Albe Farma adalah sebuah perusahaan farma terbesar di Indonesia. PT. Albe Farma memiliki banyak HKI terkait obat, vaksin, dan produk farmasi lainnya. Beberapa Paten milik PT. Albe Farma adalah vaksin terhadap potensi alamiah kanker otak manusia dan obat untuk memutihkan kulit. Seiring dengan waktu, obat untuk memutihkan kulit milik PT. Albe Farma laku keras karena di mata konsumen khasiatnya yang terbukti ampuh. Hal tersebut juga terjadi pada vaksin alamiah kanker otak manusia, seiring dengan kesadaran pentingnya vaksin tersebut untuk kesehatan manusia meningkat menyebabkan permintaan terhadap vaksin tersebut meningkat pesat pesat.

(40)

PT. Cahaya Farma adalah pesaing PT. Albe Farma yang merupakan pemain baru dalam industri farmasi dengan kepemilikan HKI yang sangat minim.

Dalam rangka pengembangan usahanya PT. Cahaya Farma hendak memproduksi produk yang laku di pasaran. Menyadari laku kerasnya produk vaksin terhadap potensi alamiah kanker otak manusia dan obat untuk memutihkan kulit dari PT. Albe Farma, PT. Cahaya Farma hendak memproduksi produk serupa. Untuk itu, PT. Cahaya Farma mengajukan penawaran pada PT. Albe Farma untuk mendapatkan lisensi vaksin dan obat pemutih tersebut dengan sejumlah kompensasi uang. Lebih lanjut, menyadari kemungkinan PT. Cahaya Farma merupakan pesaing potensialnya, PT. Albe Farma menolak tawaran dari PT. Cahaya Farma tersebut.

PT. Cahaya Farma merasa penolakan dari PT. Albe Farma merupakan bentuk praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Untuk itu PT. Cahaya Farma melaporkannya ke KPPU.

Lebih lanjut pada saat proses klarifikasi, PT. Albe Farma bersikeras bahwa hal tersebut adalah hak ekslusifnya sehingga dikecualikan dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sebagaimana ketentuan Pasal 50 huruf b.

Berdasarkan pembelaan yang disampaikan oleh PT. Albe Farma tersebut, kemudian KPPU melakukan analisa mengenai kemungkinan penerapan ketentuan Pasal 50 huruf b sebagai berikut:

Pelaksanaan Pedoman Pasal 50 huruf b:

Terhadap kasus tersebut dapat dianalisa dengan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1) Apakah telah terdapat kesepakatan atau merupakan bentuk penolakan untuk memberikan lisensi (refusal to license) ?

Pada kasus diatas PT. Albe Farma dan PT. Cahaya Farma belum menyepakati apapun maka tidak terdapat kemungkinan dapat diberikan pengecualian sebagaimana ketentuan pasal 50 huruf b. Namun demikian, mengingat hal tersebut masih bersifat B2B (Business to Business) sehingga konteks perdata menjadi kental didalamnya. Hal yang perlu dianalisa selanjutnya ialah mengenai jenis penolakan pemberian lisensi tersebut.

(41)

PT. Albe Farma menolak untuk memberikan lisensi terkait vaksin terhadap potensi alamiah kanker otak manusia dan obat untuk memutihkan kulit. Untuk lisensi terkait obat untuk memutihkan kulit sepatutnya hal tersebut dapat diselesaikan secara perdata mengingat hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai essential facilities.

Namun demikian, untuk penolakan pemberian lisensi terkait vaksin terhadap potensi alamiah kanker otak manusia terdapat kemungkinan untuk dikategorikan sebagai essential facilities. Untuk itu perlu diperdalam secara lebih jauh.

Apabila hasil pendalaman KPPU menyatakan bahwa lisensi terkait vaksin tersebut merupakan essential facilities pemeriksaan kasus tetap dilanjutkan mengenai kemungkinan perjanjian tersebut menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

(42)

BAB VI PENUTUP

Dalam melaksanakan ketentuan hukum persaingan usaha yang berkaitan dengan perjanjian lisensi, hendaknya penegak hukum persaingan usaha

tidak berpraduga bahwa kepemilikan HKI merupakan bentuk penciptaan kekuatan dalam pasar sesuai konteks hukum persaingan usaha. Penegak hukum persaingan harus berpandangan secara umum bahwa HKI

adalah bersifat pro persaingan usaha dan tujuan pembentukannya sejalan dengan hukum persaingan usaha, yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain, pemegang hak ekslusif HKI hendaknya tidak

menyalahgunakan HKI sebagaimana mestinya (intelectual property misused), dengan berpandangan bahwa ‘pengecualian’ dalam undang-undang persaingan usaha adalah landasan hukum bagi mereka untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Para

pemegang hak eksklusif HKI diharapkan senantiasa melakukan inovasi dan kreatif, karena perilaku tersebutlah yang sesungguhnya dikehendaki oleh pembuat hukum HKI dan persaingan usaha. Oleh karena itu, dalam melaksanakan hak eksklusifnya, pemegang hak harus senantiasa menghindari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Referensi

Dokumen terkait

Upik Dwi- Patukaran IBADAH GABUNGAN : Sesuai dengan Program Kerja Majelis Gereja bahwa Setiap Minggu terakhir dilaksanakan ibadah Gabungan di Gedung Gereja Tiban

Puji Tuhan, berkat pertolongan dan kekuatan dari Tuhan Yesus Kristus sebagai kepala gereja-Nya maka pada hari Minggu 11 Juni 2017 jam 12.00 siang dan berakhir jam 12.00

Modul IPA Terpadu terintegrasi ayat-ayat Al- Qur’an pada materi tata surya yang dikembangkan dinilai sangat menarik untuk dijadikan bahan ajar, penilaian tersebut diperoleh

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik TOD apa saja yang sudah diimplementasikan pada kawasan stasiun K.A sebagai kawasan transit berbasis

Form Pembelajaran Quine-McCluskey berfungsi sebagai form untuk menampilkan langkah-langkah minimisasi fungsi yang telah di-input dengan metode Quine- McCluskey. Pada form

Mechanical Innovatioan Design Contest adalah merupakan kompetisi yang ditujukan untuk melatih mahasiswa Mesin se-Indonesia agar kemampuan dan keterampilannya dalam merancang

Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun (Putri et al. 2008).Gejala yang terjadi

Kebutuhan air bersih perlu dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu agar air tersebut layak dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat PDAM Tirta Patriot Kota Bekasi adalah salah