• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS TANJUNGPURA ipi33628

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS TANJUNGPURA ipi33628"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Oleh Erlina1

Abstrak: Ilmu Kimia adalah materi pelajaran yang terdiri dari konsep yang sebagian besar bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsep-konsep yang abstrak tersebut diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi, yaitu kemampuan berpikir formal yang dimiliki oleh individu yang telah mencapai tingkat operasi formal berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan berpikir formal dalam mempelajari kimia. Diperlukannya kemampuan berpikir formal dalam memahami ilmu kimia ditunjukkan dengan adanya korelasi yang kuat antara kemampuan berpikir formal dengan prestasi belajar kimia. Kemampuan berpikir formal adalah kemampuan berpikir Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) deskripsi kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun 1, dan (2) deskripsi kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun 2. Rancangan yang digunakan adalah rancangan deskriptif.

Kata Kunci:konsep abstrak, kemampuan berpikir formal.

PENDAHULUAN

Belajar ilmu kimia sampai saat ini masih dirasakan sulit oleh siswa. Hal ini mungkin disebabkan ilmu kimia mencakup materi sangat luas dan bersifat abstrak. Selain itu ilmu kimia menurut Middlecamp dan Kean (1985:9) kimia mencakup materi yang amat luas yang terdiri dari fakta, konsep, aturan, hukum, prinsip, teori dan soal-soal. Dari cakupan materi ilmu kimia, sebagian besar terdiri dari konsep-yang bersifat abstrak. Hal ini sesuai dengan karakteristik ilmu kimia itu sendiri, yaitu: (1) bersifat abstrak, (2) penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, (3) berurutan dan berjenjang. Karakteristik inilah yang membuat ilmu kimia merupakan salah satu ilmu yang sulit untuk dipelajari oleh siswa.

Dari cakupan materi ilmu kimia, sebagian besar terdiri dari konsep-konsep abstrak atau konsep-konsep formal. Dalam mempelajari konsep-konsep-konsep-konsep yang

1

(2)

Jurnal Visi Ilmu Pendidikan halaman | 632 abstrak tersebut diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi, yaitu kemampuan berpikir formal yang dimiliki oleh individu yang telah mencapai tingkat operasi formal berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Beistel 1975, Herron, 1975, Wiseman, 1981, serta Kavanaugh dan Moomaw, 1981). Hal ini juga dikuatkan oleh Fast et al. (1979:600), yang menyatakan bahwa kombinasi antara fakta-fakta, perhitungan matematis dan teori menjadikan ilmu kimia sebagai salah satu mata pelajaran yang menuntut kemampuan intelektual yang tinggi pada mahasiswa yang mempelajarinya.

Diperlukannya kemampuan berpikir formal dalam memahami ilmu kimia ditunjukkan dengan adanya korelasi yang kuat antara kemampuan berpikir formal dengan prestasi belajar kimia. Martin (dalam Wiseman, 1981:485) melaporkan koefisien korelasi antara prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran IPA di sekolah menengah atas dengan kesanggupan berpikir formalnya sebesar 0,76, yang artinya keduanya memiliki korelasi yang kuat. Koefisien korelasi ini lebih tinggi dibandingkan koefisien korelasi antara pelajaran fisika dan biologi dengan kemampuan berpikir formal, yang masing-masing sebesar 0,56 dan 0,26. Artinya pelajaran fisika memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kemampuan berpikir formal sedangkan pelajaran biologi memiliki hubungan yang lemah dengan kemampuan berpikir formal. Hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan pelajaran lainnya yang termasuk dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), ilmu kimia merupakan mata pelajaran yang paling menuntut kemampuan berpikir formal. Herron (1975:147) juga melaporkan terdapat korelasi antara kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun pertama dengan prestasi belajarnya dalam mata kuliah pengantar kimia dengan koefisien korelasi sebesar 0,70 yang artinya sekitar 49,8% dari prestasi belajar kimia dapat diterangkan dari kemampuan berpikir formalnya.

(3)

Salah satu aspek dari teori Piaget adalah bahwa perkembangan kognitif seorang individu berkembang sejalan dengan bertambahnya usia, tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil individu yang dapat mencapai tingkat berpikir formal pada usia 15 tahun seperti dalam klasifikasi kognitif Piaget. Mc Kinnon dan Renner, Kolodiy, et al., Haley dan Good (dalam Good, et al., 1979:428) melaporkan bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang mempelajari sains belum mencapai tingkat berpikir formal. Pavelich dan Abraham (1979:101) melaporkan hanya 14% mahasiswa tingkat satu yang sudah mencapai operasi formal, sisanya berada pada tingkat transisi dan konkret. Wiseman (1981:484) menemukan bahwa 50% siswa SMU di Greenville dan sebagian besar mahasiswa tingkat pertama di Universitas Kentucky yang mempelajari kimia belum mencapai tingkat berpikir formal. Winarti (1998:108) menemukan bahwa persentase mahasiswa tahun I, II, III, dan IV yang telah mencapai tingkat berpikir formal secara berturut-turut adalah 27, 39, 39, dan 53%. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tingkat perkembangan kognitif individu tidak semata-mata dipengaruhi oleh usia tetapi banyak faktor, yang antara lain: kedewasaan, pengalaman logika matematika, interaksi sosial dan proses keseimbangan (Phillips, 1984). Belum tercapainya tingkat berpikir formal oleh siswa dan mahasiswa memungkinkan timbulnya kesulitan dalam menguasai konsep-konsep dasar ilmu kimia (Wiseman,1981:484). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat diperkirakan mahasiswa tahun I dan II prodi pendidikan kimia belum semuanya mencapai tingkat berpikir formal.

Padahal secara teoritis, mahasiswa seharusnya telah mencapai tingkat berpikir formal, karena usia mahasiswa tahun 1 dan II rata-rata adalah 17-18 tahun. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir formal mahasiswa tahun I dan II pendidikan kimia Untan.

METODE

(4)

Jurnal Visi Ilmu Pendidikan halaman | 634 Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes

Kemampuan Berpikir Formal (TKBF /Tes Burney). Adapun alasan

penggunaan instrumen tes standar Burney menurut Ardhana (1983:57) adalah sebagai berikut:

1. Waktu yang diperlukan relatif singkat yaitu 30-60 menit. 2. Pelaksanaannya tak membutuhkan keterampilan khusus.

3. Indeks reliabilitas dan kevalidan tes aslinya tinggi yakni 0,85 dan 0,85. Dari 24 item tes dalam tes Burney setelah diujicobakan pada 78 orang murid kelas IX, kelas XI dan mahasiswa tingkat pertama di perguruan tinggi di daerah South Dakota, menunjukkan bahwa tes ini memiliki reliabilitas 0,87 pada siswa kelas IX, 0,70 pada siswa keas XI, 0,53 pada mahasiswa tingkat satu diperguruan tinggi dan 0,85 untuk seluruh sampel. Kevalidan atau kesahihan tes ini diperoleh dengan mengkorelasikannya dengan skor tugas-tugas model Piaget yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Ball dan Sayre. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah 0,87 untuk kelas IX, 0,85 untuk kelas XI, 0,57 untuk sampel mahasiswa tingkat satu dan 0,85 untuk keseluruhan sampel. Materi tes standar Burney dibagi dalam 4 kelompok yaitu: (a) sudut pantulan bola, (b) keseimbangan dalam timbangan, (c) permukaan air dalam bejana berhubungan dan (4) proyeksi bayangan pada layar

Hasil skor tes berpikir formal bentuk obyektif memiliki kemungkinan nilai yang bervariasi antara 0-24. Burney mengkategorikan hasil skor tes menjadi tiga seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 1 Kriteria Hasil Skor Tes Berpikir Formal

Rentang Skor Kriteria

17-24 Formal

11-16 Transisi

0-10 Konkret

HASIL

(5)

Dalam mempelajari lebih lanjut hubungan formal dan pemahaman konseptual maupun Pendidikan Kimia Universitas Tanjungpura terlebih deskripsi mengenai distribusi tingkat perkembangan kemampuan berpikir formal mahasiswa. Secara perkembangan kognitif disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Tingkat Berpikir Formal Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Tanjungpura

Berdasarkan Gambar 1 tersebut, tampak mahasiswa pendidikan kimia yang telah mencapai Sebagian besar mahasiswa pendidikan kimia, baik tahun 2 (52,9%) masih berada pada tingkat berpik mahasiswa yang berada pada kelompok berpikir sedikit, terutama pada mahasiswa tahun 2 yang hanya kecil daripada persentase mahasiswa tahun 1 berpikir konkret (10%).

Perbandingan antara kemampuan berpikir tahun 1 dan tahun 2 menunjukkan terdapat kecender 2 memiliki perkembangan kognitif yang lebih persentase mahasiswa yang masuk dalam kategori tinggi dibandingkan mahasiswa tahun 1. Selisih perse tingkat transisi dan formal pada tahun 2 (8,8%) daripada selisih tingkat transisi dan formal pada

hubungan antara kemampuan berpikir maupun algoritmik mahasiswa Tanjungpura terlebih dahulu diperlukan perkembangan kognitif berdasarkan Secara ringkas, deskripsi tingkat a Gambar 1.

Formal Mahasiswa Tahun 1 dan 2 Prodi Tanjungpura

tersebut, tampak bahwa belum semua mencapai tingkat berpikir formal. ia, baik tahun 1 (63,3%) maupun tingkat berpikir transisi. Kelompok berpikir transisi cenderung lebih yang hanya berjumlah 2,9%, lebih tahun 1 yang berada pada tingkat

(6)

Jurnal Visi Ilmu Pendidikan halaman | 636 didukung pula oleh lebih rendahnya persentase mahasiswa yang berada pada tingkat berpikir konkret.

PEMBAHASAN

Deskripsi Kemampuan Berpikir Formal Mahasiswa Pendidikan Kimia Untan

Berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Burney, mahasiswa yang memperoleh skor 0-10 dianggap masih berada pada tingkat berpikir konkret. Mahasiswa yang memeproleh skor 11-16 berada pada tingkat berpikir transisi. Mahasiswa yang telah mencapai skor 17-24 kemampuan berpikirnya dianggap telah mencapai tingkat operasi formal. Untuk mahasiswa tahun I, sebanyak 8 orang (26,7%) telah mencapai tingkat berpikir formal, 19 orang (63,3%) masih berada pada tingkat transisi, sedangkan 3 orang (10%) masih berada pada tingkat operasi konkret. Untuk mahasiswa tahun II sebanyak 15 orang (44,1%) telah mencapai tingkat berpikir formal, 18 orang (55,9%) masih berada pada tingkat transisi, dan 1 orang (2,9%) masih berada pada tingkat operasi konkret.

Berdasarkan data yang diperoleh pada TKBF ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa belum mencapai kemampuan berpikir formal yang seharusnya telah mereka capai berdasarkan teori perkembangan koginitf Piaget. Tetapi yang paling memperihatinkan masih ada mahasiswa tahun I dan II yang masih berada pada tingkat operasi konkret (2,9-10%). Kemampuan berpikir mahasiswa sebagian besar masih berada pada tingkat transisi. Ada kecenderungan bertambahnya jumlah mahasiswa yang telah mencapai tingkat berpikir formal dan transisi seiring dengan bertambahnya masa perkuliahan.

Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Mc Kinnon dan Renner (1971), serta Renner dan Lawson (1974), yang menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa yang belajar sains ternyata masih belum mencapai tingkat berpikir formal sebagaimana harusnya terjadi berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget. Demikian juga Good, et al. (1979:426) melaporkan bahwa 25-75% siswa sekolah lanjutan dan mahasiswa belum mencapai kemampuan berpikir formal.

(7)

seharusnya anak telah mencapai tingkat operasi formal. Untuk tingkat mahasiswa yang usianya 17-20 tahun, seharusnya telah mencapai tingkat operasi formal. Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Wadsworth (1971), Almy (1976) dan Phillips (1978), yang didukung oleh hasil penelitian Ardhana (1983:20), selain usia, perkembangan kgnitif dipengaruhi oleh banyak faktor lain. Faktor internal seperti jenis kelamin, IQ, kematangan, serta faktor eksternal seperti pengalaman dan interaksi sosial serta keseimbangan akan sangat mempengaruhi kematangan perkembangan kognitif seorang individu, sehingga memungkinkan individu yang memiliki usia lebih dewasa tingkat berpikirnya lebih rendah dibandingkan individu yang berusia dibawahnya.

Selain faktor-faktor di atas, sistem pembelajaran yang digunakan sejak tingkat sekolah dasar sampai tingkat SMU, mungkin berpengaruh terhadap perkembangan kognitif seseorang. Sistem pembelajaran di tingkat SD sampai SMU yang berlangsung secara monologis, di mana materi yang sarat dengan konsep-konsep konkret maupun abstrak disampaikan secara cepat, menyebabkan struktur kognitif siswa tidak banyak berkembang. Siswa cenderung menghafal daripada daripada memahami konsep secara mendalam. Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus maka kemampuan berpikir siswa menjadi tidak berkembang, karena tidak banyak rangsangan yang dapat diasimilasi dan diakomodasikannya. Perkembangan kognitif tergantung pada kualitas dan frekuensi stimulasi intelektual yang diterima oleh individu dari orang dewasa atau dari lingkungannya. Stimulasi intelektual yang kurang selama belajar dilingkungan formal dapat memperlambat perkembangan intelek dan sebagai akibatnya pembentukan kesanggupan berpkir formal tidak muncul sebelum usia 15-20 tahun. Dalam keadaan ekstrim pikiran formal malahan sama sekali tidak akan pernah terbentuk (Long, 1980:8). Hal inilah yang mungkin menyebabkan hanya 35,4% mahasiswa dari kedua angkatan yang telah mencapai tingkat berpikir formal.

(8)

Jurnal Visi Ilmu Pendidikan halaman | 638 laboratorium diyakini cukup relatif untuk meningkat kemampuan berpikir formal.

KESIMPULAN

1. Sebanyak 26,7% mahasiswa tahun 1 yang telah mencapai kemampuan berpikir formal, sisanya 63,3% masih berada pada tingkat transisi dan 10% masih berada pada tingkat konkrit.

2. Sebanyak 44,1% mahasiswa tahun 1 yang telah mencapai kemampuan berpikir formal, sisanya 52,9% masih berada pada tingkat transisi dan 2,9% masih berada pada tingkat konkrit.

SARAN

1. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai upaya peningkatan kemampuan berpikir formal.

2. Pengajar, baik guru maupun dosen hendaknya menggunakan strategi pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berpikir formal dalam pembelajaran kimia, sehingga siswa dan mahasiswa akan lebih mudah dalam memahami konsep-konsep kimia yang bersifat abstrak dan berjenjang.

DAFTAR RUJUKAN

Agung, S., Schwartz, M.S. 2007. Students’ Understanding of Conservation of Matter, Stoichiometry and Balancing Equation in Indonesia. International Journal of Science Education, Vol. 29 (13):1679-1702.

Ardhana, I.W.1983. Kesanggupan Berpikir Formal A la Piaget dan Kemajuan Belajar di Sekolah. Disertasi tidak diterbitkan. Malang:Program Pascasarjana Univrsitas Negeri Malang.

Ashadi. 2009. Kesulitan Belajar Kimia Bagi Siswa Sekolah Menengah. Makalah disampaikan pada pengukuhan guru besar FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 20 Agustus 2009. (http://pustaka.uns.ac.id, diakses tanggal 31 Desember 2009).

(9)

Effendy. 1985. Keefektifan Pengajaran Ilmu Kimia dengan Cara Inquiri Terbimbing dengan Cara Verivikasi Terhadap Perkembangan Intelek serta Prestasi Belajar Mahasiswa IKIP Jurusan Pendidikan Kimia Tahun Pertama. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

Good, R, Kromhout, R.A. & Melon, E.K. 1979. Piaget’s Work and Chemical Education. Journal of Chemical Education, 56(7):426-430.

Hariun, M. 2003. Identifikasi Pemahaman Konseptual dan Algoritmik serta Miskonsepsi dalam Materi Kesetimbangan Kimia Siswa Kelas 2 SMU Negeri di kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana niversitas Negeri Malang.

Hiebert, J. 1985. Conceptual & Prosedural Knowledge: The Case of Mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates.

Herron, J.D. 1996. The Chemistry Classroom: Formulas for Successful Teaching. Washington DC : American Chemical Society.

Hurh, E. 2005. A Study of the Effect of Conseptual Question on Students’ Understanding and Students’ Interest in Chemistry. Journal of Korean Chemical Society, Vol. 49(5): 497-502.

Jaoude, S.B. 2004. Relationships between selective cognitive variables and students’ ability to solve chemistry problems. International Journal of Science Education Vol. 26 (1): 63–84.

Middlecamp, C, & Kean, E. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: PT. Gramedia.

Nakhleh, M. B. 1993. Are our students conceptual thinkers or algorithmic problem solvers? Identifying conceptual students in general chemistry. Journal of Chemical Education, (Online),Vol. 70 (1), 52-55.

Nurrenbern, S. C., & Pickering, M. 1987. Concept learning versus problem solving: Is there a difference? Journal of Chemical Education, (Online),Vol. 64: 508-510.

(10)

Jurnal Visi Ilmu Pendidikan halaman | 640 Smith, K.J. & Metz., P.A. 1996. Evaluating student understanding of solution

Gambar

Gambar 1  Tingkat Berpikir Formal Mahasiswa Pendidikan Kimia  Universitas TanjungpuraFormal Mahasiswa Tahun 1 dan 2 Prodi Tanjungpura

Referensi

Dokumen terkait

Perangkat lunak yang digunakan dalam perekayasaan yaitu menggunakan Macromedia Dreamweaver, dan basis data menggunakan MySQL.Hasil peneltian ini adalah terwujudnya

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah apakah kualitas audit dapat berdampak signifikan terhadap perilaku manajemen laba riil, artinya apakah

3.1 Model Antrian M/M/1 Dengan Pola Kedatangan Berkelompok Acak Model antrian ini para pelanggan datang secara berkelompok pada waktu yang sama dan mendapat pelayanan

Akan tetapi terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika manusia dihadapkan pada situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991). Penderita yang

Positioning adalah tindakan untuk merancang citra perusahaan agar mendapatkan tempat khusus dalam pikiran konsumen melalui ciri khas dan BAPE Car Wash yaitu car

Embriogenesis dan Perkembangan Larva Ikan Patin Hasil Hibridisasi antara Betina Ikan Patin Siam Pangasianodon hypophthalmus Sauvage, 1878 dengan Jantan Ikan Patin Jambal

Penambahan dilakukan menggunakan metode semprot (sprayer), yaitu dengan cara menyemprotkan ektrak yang sudah diencerkan pada pakan pellet 0,5 kg secara merata atas

Penelitian dengan judul “ Analisis Pemilihan Pelaksana Proyek Telecom Implementation Indosat di PT Nokia Siemens Networks Dengan Metode Analytical Hierarchy