BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Departemen Pendidikan Nasional RI (2003:5) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian dan akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan oleh dirinya, masyarakat dan bangsa. Berdasarkan definisi pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional tersebut, nampak bahwa
pendidikan merupakan proses pembelajaran untuk menghasilkan manusia yang terdidik secara intelektual, moral serta kepribadian dan menekankan pada perubahan sikap nilai-nilai kebudayaan yang dapat berperan aktif dan
strategis dalam mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Apabila suatu bangsa tidak mengembangkan sumber daya manusianya,
maka bangsa tersebut tidak akan dapat mengembangkan sistem politik, aparat pemerintahan yang cakap dan bersih, angkatan perang yang tangguh, ataupun
perekonomian yang makmur bagi seluruh rakyat (Oteng Sutrisna, 1977: 41). Pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia ini diupayakan melalui pendidikan yang akan bermanfaat bagi kemajuan dan kemakmuran suatu
Upaya perbaikan pendidikan di Indonesia pada masa kolonial Belanda dilakukan melalui progam Politik Etis. Pada 17 September 1901 Ratu Belanda
yang bernama Ratu Wilhelmina baru saja naik tahta, dan saat pembukaan parlemen Belanda Ratu Wilhelmina menegaskan bahwa pemerintah Belanda
memiliki hutang budi (een eerschuld) dan panggilan moral terhadap rakyat pribumi di Hindia Belanda. Oleh karena itulah pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias
Van Deventer yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan) membangun dan memperbaiki
pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan 3. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
Sejak pemerintah Belanda menerapkan Politik Etis tersebut di Indonesia banyak dibangun irigasi di daerah-daerah pertanian atau perkebunan,
menyelenggarakan transmigrasi bagi daerah yang padat penduduknya dan memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Khusus bagi pendidikan dengan adanya Politik Etis ini banyak membawa perubahan penyelenggaraan
pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.
Pelaksanaan Politik Etis di Indonesia mempunyai pengaruh positif dan
negatif bagi rakyat Indonesia. Pengaruh positifnya antara lain dibangunnya sekolah-sekolah di seluruh daerah Indonesia. Pengaruh negatifnya adalah adanya penyimpangan-penyimpangan didalam kebijakan Politik Etis. Salah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah ( Muhammad Rifai,
2011: 73-74).
Salah satu dampak positif Politik Etis dalam penyelenggaraan
pendidikan berpengaruh pula di Salatiga. Tanah di Salatigapun juga banyak memberikan manfaat bagi perusahaan milik orang Eropa dan Timur Asing dibandingkan dengan penduduk pribumi. Banyak orang Eropa yang tinggal
menetap di Salatiga dan hanya sekedar ingin beristirahat atau berekreasi yang biasanya dilakukan pada hari Sabtu sampai Minggu atau akhir bulan (Emy
Wuryani, 2006: 76).
Orang-orang Eropa yang menetap di Salatiga biasanya membawa keluarganya (istri dan anaknya). Namun, ada pula orang-orang Eropa yang
sudah pensiun dan tidak ingin kembali ke Eropa tetapi menikah dengan wanita pribumi kemudian menetap di Salatiga. Beberapa perempuan Eropa dan Indo
Eropa yang ada di Salatiga juga mengikuti suami mereka yang bekerja di perkebunan, pemerintahan, dan misi-misi kristen. Maka dari sinilah timbul sekolah-sekolah Missi atau sekolah-sekolah Zending yang didirikan oleh
orang-orang Eropa untuk kebutuhan pendidikan formal dan pendidikan agama bagi anak-anak mereka yang ikut tinggal dengan orang tuanya di Salatiga.
Sekolah bagi anak-anak orang Eropa tersebut berperan untuk menyebarkan agama.
Salah satu sekolah Missi yang dibangun oleh orang Eropa adalah
didalamnya berkarya para suster dan para Bruder. Yayasan tersebut mendirikan sejumlah sekolah dan asrama di daerah Jogyakarta, Magelang,
Semarang dan Salatiga. Sekolah yang ada dinaungan Yayasan Kanisius yang didalamnya juga berkarya para Bruder Fratres Imaculate Congrulation (FIC)
ini bertambah banyak sehingga mengalami kesulitan finansial.
Sekolah-sekolah dan asrama yang didirikan menjadi tanggung jawab kongresi FIC. Setelah berada di bawah naungan Yayasan Kanisius selama
kurang lebih satu tahun maka sekolah-sekolah seperti Sekolah Dasar Kanisius, Sekolah Menengah Pertama Kanisius yang dibangun oleh Bruder ini
akhirnya melepaskan diri dari yayasan tersebut dan berada dibawah naungan Yayasan Pangudi Luhur.
Para Suster juga membangun sekolah sama halnya dengan para Bruder.
Sekolah yang dibangun adalah sekolah Seminari Stella Matutina di Salatiga. Sekolah tersebut awalnya bernama Sekolah Menengah Pertama Kanisius.
Kesulitan dibidang finansial juga mengakibatkan sekolah yang dibangun suster ini memisahkan diri dari Yayasan Kanisius dan bergabung dengan Yayasan Pangudi Luhur. Sekolah yang didirikan oleh Bruder FIC disebut
Pangudi Luhur Putra sedangkan yang didirikan oleh para Suster Ordo Santo Fransiskus (OSF) disebut Sekolah Pangudi Luhur Putri atau Sekolah
Menengah Pertama Stella Matutina. Orang-orang lebih mengenal sekolah ini dengan Sekolah Menengah Pertama “Pangudi Luhur Putri“. Kepala sekolah di
Sekolah Menengah Pertama ini adalah seorang suster dari Belanda pada saat
Luhur Putri ini adalah guru-guru putri. Pada tahun 1981 Sekolah Menengah Pertama ini memisahkan diri dari Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur
dan berdiri sendiri. Faktor yang mempengaruhi “Pangudi Luhur Putri” memisahkan diri dari Pangudi Luhur Putra adalah kebijakan dan psikologi
yang diterapkan oleh para suster dan bruder (Media Informasi Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina, 2012:2). Kebijakan dan psikologi inilah yang menarik untuk dilakukan penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina Salatiga?
2. Apa faktor yang mempengaruhi Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina memisahkan diri dari Pangudi Luhur?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan Sejarah berdirinya Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina Salatiga.
2. Mengetahui faktor yang diterapkan oleh suster dalam Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
b. Memberi pemahaman tentang sejarah sekolah katolik, khususnya Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina Salatiga.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah Sekolah Menengah
Pertama Stella Matutina bagi masyarakat Salatiga.
b. Memberi sumbangan bahan penelitian lebih lanjut tentang sejarah Sekolah Menengah Pertama Stella Matutina di Salatiga dan bagi