• Tidak ada hasil yang ditemukan

SK GUBERNUR NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA TIMUR DALAM PERSPEKTIF EXTERNAL PROTECTION DAN INTERNAL RESTRICTION WILL KYMLICKA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SK GUBERNUR NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA TIMUR DALAM PERSPEKTIF EXTERNAL PROTECTION DAN INTERNAL RESTRICTION WILL KYMLICKA."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SK GUBERNUR NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG

LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

DI JAWA TIMUR DALAM PERSPEKTIF EXTERNAL

PROTECTION DAN INTERNAL RESTRICTION WILL KYMLICKA

Skripsi

Disusun untuk MemenuhiTugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh

AIMMATUL ALAWIYAH

NIM: E82211048

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

SK GUBERNUR NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG

LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

DI JAWA TIMUR DALAM PERSPEKTIF EXTERNAL

PROTECTION DAN INTERNAL RESTRICTION WILL KYMLICKA

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Jurusan Perbandingan Agama

Oleh

AIMMATUL ALAWIYAH NIM: E82211048

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(6)

ABSTRAK

Sebagai upaya perlindungan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Jawa Timur, Pemerintah Jawa Timur menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur. Upaya tersebut tampaknya berseberangan dengan maksud baik pemerintah. Alih-alih memberikan perlindungan terhadap kelompok Ahmadiyah, SK Gubernur tersebut justru menjadikan kelompok Ahmadiyah rentan terhadap kelompok mayoritas di luar Ahmadiyah. Salah satu implikasi SK Gubernur terhadap kelompok Ahmadiyah adalah hilangnya hak dasar bagi kelompok tersebut dalam memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Dengan mengelaborasi konsep perlindungan eksternal dan pembatasan internal dari Kymlicka, penelitian ini mencoba menelaah implikasi dari SK tersebut. Asumsi mendasar dari penelitian ini adalah bahwa negara belum mampu melindungi eksistensi minoritas Ahmadiyah dengan SK yang berisi tentang Pembatasan Aktivitas. Negara lebih mudah untuk menampung aspirasi mayoritas terkait kebijakan yang diterbitkan. Negara juga belum mampu untuk berdiri secara netral dan tidak mudah terprovokasi oleh mayoritas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Negara dalam hal ini pemerintah provinsi Jawa Timur belum mampu untuk melindungi hak-hak dasar minoritas Ahmadiyah terkait hak memeluk agama dan beribadah. Negara bahkan membatasi kelompok Ahmadiyah untuk menunjukkan identitasnya terhadap kelompok mayoritas. Karena pembatasan yang dihasilkan oleh pemerintah itulah yang menjadikan kelompok Ahmadiyah juga melakukan pembatasan internal terhadap anggotanya. Pembatasan tersebut mempunyai alasan senada dengan pemerintah dalam menerbitkan SK Gubernur yaitu untuk melindungi anggotanya dari kelompok mayoritas. Namun, pembatasan tersebut tidak didukung oleh sanksi hukum sehingga pembatasan tersebut menjadi wajar dan tidak bertentangan dengan hak-hak individu kelompok Ahmadiyah.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ... i

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 12

(8)

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENERBITAN SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NO. 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

A. Pendahuluan ... 29

B. Penerbitan SK Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 ... 29

C. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah ... 31

D. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri 2008 ... 35

E. Kasus Anti-Ahmadiyah di Cikeusik ... 40

BAB IV UPAYA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR DALAM ”MELINDUNGI” AHMADIYAH, RESPONS AHMADIYAH TERHADAP ”PERLINDUNGAN” PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR, DAN SISTEM PEMBATASAN INTERNAL KELOMPOK AHMADIYAH A. Pendahuluan ... 44

B. Dialog Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan JAI ... 45

C. Respons Kelompok Ahmadiyah terhadap SK Gubernur ... 50

D. Sistem Pembatasan Internal Kelompok Ahmadiyah ... 57

BAB V ANALISIS SK GUBERNUR DALAM TEORI PERLINDUNGAN EKSTERNAL DAN PEMBATASAN INTERNAL PERSPEKTIF WILL KYMLICKA A. SK Gubernur dalam Perlindungan Eksternal ... 65

(9)

(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah mengalihaksarakan suatu tulisan ke dalam aksara lain; misalnya dari aksara Arab ke aksara latin. Berikut ini kami tampilkan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi panjang) yang diterapkan dalam nama surat dan bebarapa istilah dalam penelitian ini:

1. Transliterasi Huruf

NO. Arab Latin NO. Arab Latin

1. ا a 16. ط t}

2. b 17. ظ z}

3. ت t 18. ع ‘

4. th 19. Gh

5. j 20. ف F

6. ح h} 21. Q

7. kh 22. K

8. د d 23. ل L

9. ذ dh 24. م m

10. ر r 25. ن n

11. z 26. و w

12. س s 27. ه h

13. ش sh 28. ء `

14. ص s{ 29. y

15. d{

2. Vokal panjang (madd) ditransliterasikan dengan menuliskan huruf vokal disertai coretan horizontal (macron) diatasnya (a>-i>-u>), contoh: h}a>l,d}a'i>f, maud}u>' dan sebagainya.

3. Vokal tunggal (monoftong) yang dilambangkan dengan harakat, ditranslitersikan sebagai berikut:

a. Tanda fath}ah ( __ ) dilambangkan dengan huruf- a. b. Tanda kasrah ( ___ ) dilambangkan dengan huruf- i. c. Tanda D}ammah ( ____ ) dilambangkan dengan huruf- u.

4. Vokal rangkap (diftong) yang dilambangkan secara gabungan antara harakat dengan huruf, di-transliterasik-an sebagai berikut :

(11)

b. Vokal rangkap

(

ا

) dilambangkan dengan huruf ai, seperti : Quraibi.

5. Shaddah ditransliterasikan dengan menuliskan huruf yang bertanda shaddah dua kali (dobel) seperti, dhimmi>, jalla dan sebagainya.

6. Alif-Lam (Lam ta’rif) ditransliterasikan sebagaimana aslinya meskipun bergabung dengan huruf shamsiyyah, antara Alif-Lam dan kata benda, dihubungkan dengan tanda penghubung, misalnya, Al-Maududi, Al-Nasa'i, dan sebagainya.

7. Penggunaan pedoman transliterasi ini hanya digunakan untuk istilah, nama pengarang dan judul buku yang berbahasa Arab.

8. Pengejaan nama pengarang dan tokoh yang dikutip dari sumber yang tidak berbahasa Arab disesuaikan dengan nama yang tercantum pada karya yang ditulis dan diterjemahkan.

9. Dalam tulisan ini, istilah Al-Quran mempunyai dua pengertian yang tidak sama. Agar terhindar dari kesalapahaman, maka perlu kami jelaskan menyangkut model penulisan beserta pengertiannya.

a. Al-Qur’a>n (dengan tanda petik setelah huruf r) = kitab suci umat Islam yang sesuai dengan tulisan dalam mus}h}af, dimulai dari surat al-fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat al-na>s, dengan ditulis miring.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan terkait Ahmadiyah di Indonesia mengemuka secara nasional sejak terjadinya kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, Banten pada awal Februari 2011.1 Di tahun yang sama, Gubernur Jawa Timur menerbitkan Surat Keputusan No. 188/94/KPTS/013/2011 yang membatasi aktivitas suatu kelompok agama, dalam hal ini adalah kelompok Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa Timur. Dalam Surat Keputusan tersebut, Negara mencederai kebebasan beragama bagi kelompok Ahmadiyah, khususnya di Jawa Timur. Titik Tekan dalam Surat Keputusan tersebut diantaranya adalah melarang kelompok Jemaat Ahmadiyah untuk menyebarkan dan menggunakan atribut yang berhubungan dengan kelompok Jemaat Ahmadiyah, dengan alasan dapat menjadi penyebab terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Merujuk pada Surat Keputusan tersebut, Peraturan di Indonesia mengenai agama lebih cenderung berpihak pada mayoritas dan memberikan banyak kecurigaan besar terhadap kelompok minoritas. Ahmadiyah secara jumlah maupun peran merupakan salah satu kelompok minoritas di Indonesia. Permasalahan tentang peraturan larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah erat kaitannya dengan UU No.1/PNPS/1965 Pasal 1 tentang Pencegahan Penyalahan dan Penodaan Agama

1

(13)

2

yaitu: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Sama halnya dengan UU ini, SK Gubernur Jawa Timur mengesankan bahwa perlindungan lebih ditujukan kepada agama bukan terhadap pemeluknya. Padahal seharusnya yang dilindungi adalah warga Negara bukan agamanya karena agama bukanlah subyek hukum.2 Negara lebih mengutamakan perlindungan terhadap agama daripada terhadap hak-hak warga Negara.

Begitu juga keputusan pemerintah Jawa Timur yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah di muka umum adalah merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mana setiap manusia akan mempunyai naluri keberagamaan secara bebas. Surat Keputusan tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur juga sangat bertolak belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.3 Meskipun Indonesia telah menjamin kebebasan beragama, khususnya pada kelompok agama untuk seluruh warga

2

Ahmad Najib Burhani, Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-Agama Minoritas di Indonesia, Ma’arif, Vol.III, No.1, 2012.

3

(14)

3

negaranya, namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan pelanggaran kebebasan beragama, khususnya pada kelompok agama yang masuk dalam kategori minoritas. Laporan terkait pelanggaran-pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dikeluarkan oleh LSM-LSM, seperti CMARs, Wahid Institute, Setara Institute, maupun pusat studi-pusat studi Perguruan Tinggi di Indonesia, seperti CRCS-UGM, PUSAD-Paramadina dapat menjadi rujukan terkait isu ini.

Secara umum, Negara mempunyai fungsi sebagai alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.4 Negara seharusnya mampu untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut SARA karena Indonesia merupakan Negara yang multikultural. Terbukti pada Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Menteri dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri, Negara belum menunjukkan sikap yang bijak terhadap konflik dan intoleran beratasnamakan agama. SKB seringkali dianggap sebagai alat legitimasi produk-produk kebijakan pemerintah daerah dalam menangani kasus-kasus Ahmadiyah. Ada 1 poin dalam SKB yang yang tidak dijelaskan dalam SK Gubernur Jawa Timur, yaitu tentang kewajiban bagi masyarakat non-JAI untuk menjaga dan memelihara kerukunan antarumat beragama. Poin tersebut tertuang pada butir keempat dalam SKB 3 Menteri.

Muatan hukum SKB lebih sering diartikan sebagai larangan terhadap eksistensi kelompok Ahmadiyah. Terbukti setelah penerbitan SKB, dua propinsi menyusul menerbitkan SK Gubernur. Dua propinsi tersebut adalah Banten dan Jawa

4

(15)

4

Timur. Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh 3 Menteri tersebut lebih layak diartikan sebagai usaha preventif agar tidak terjadi kasus berulang yang terkait dengan kelompok minoritas. Namun sosialisasi SKB terhadap masyarakat tidak maksimal sehingga menimbulkan pemahaman yang salah terhadap keputusan tersebut.5

Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI juga turut menjadi akar permasalahan Ahmadiyah di Indonesia. Pemerintah agaknya lebih cenderung terhadap fatwa yang dikeluarkan MUI sehingga dalam hal ini kelompok Ahmadiyah menjadi obyek yang sarat untuk dipersekusi. Terbukti setelah fatwa MUI keluar pada tahun 1980 dan 2005 telah terjadi beberapa tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, seperti kasus penyerangan di Cikeusik dan Manislor.

Menurut pedoman penyelenggaraan organisasi yang diterbitkan oleh Majelis

Ulama’ Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang bersifat forum dan bukan

merupakan federasi ormas-ormas Islam. MUI juga tidak memiliki ciri keanggotaan sebagai organisasi kemasyarakatan seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Selain itu, MUI juga tidak memiliki badan hukum sebagaimana organisasi kemasyarakatan yang lain.6 Melihat dari status badan hukum dan sifat lembaganya, pemerintah tidak seharusnya memberikan dukungan secara penuh terhadap MUI dengan mengikuti anjuran atau fatwa yang dikeluarkan. Apalagi, MUI tidak mewakili golongan dari setiap organisasi

5

Pemkot Bekasi Kembali Tegur Ahmadiyah,http://m.bekasikota.go.id/read/9831/index.php, diakses pada 26 Juli 2015.

6

(16)

5

kemayarakatan Islam di Indonesia. Idealnya, ada hak perwakilan khusus bagi organisasi kemasyarakatan Islam untuk tergabung dalam suatu departemen dalam hal ini MUI sehingga memungkinkan ikut serta dalam mengambil suatu putusan atau hukum. Hal tersebut merupakan salah satu upaya keadilan dan pemerataan bagi semua kelompok, khususnya minoritas.7

Di dalam teorinya tentang hak-hak kaum minoritas, Kymlicka menyebutkan hak perorangan dan hak kolektif yang menjelaskan tentang dua sistem yang digunakan untuk melindungi hak asasi bagi kelompok minoritas. Kymlicka menjelaskan dua macam hak tersebut dengan membedakannya sebagai dua macam tuntutan yang dapat diajukan oleh suatu kelompok minoritas. Kedua macam hak tersebut dilihat sebagai perlindungan eksternal (external protection) dan pembatasan internal (internal restriction). Perlindungan eksternal dimaksudkan untuk melindungi kelompok minoritas dari tekanan luar, misalnya keputusan ekonomi dan politik masyarakat luas. Sedangkan pembatasan internal dimaksudkan untuk melindungi kelompok kecil dari ketidakstabilan perbedaan pendapat, misalnya keputusan setiap anggota untuk tidak mengikuti praktek atau budaya tradisional. Pembatasan internal juga dimaksudkan agar kelompok minoritas tidak memaksakan pendapat terhadap anggota di dalam kelompoknya.8

Selanjutnya, penelitian ini mengolaborasi konsep perlindungan eksternal dan pembatasan internal untuk menguji sejauhmana Negara mampu memberikan perlindungan eksternal terhadap kelompok Ahmadiyah; melihat bagaimana kelompok

7

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES, 2002), 55. 8

(17)

6

Ahmadiyah mampu hidup secara aman dan bebas mengembangkan kebudayaan untuk membentuk kelompok yang tidak menjadi objek diskriminasi. Selain itu, jika perlu Negara juga harus memberikan hak-hak polietnis atau bahkan hak perwakilan khusus bagi kelompok Ahmadiyah sehingga kerentanan untuk dirugikan bagi kaum mayoritas menjadi berkurang.

Secara teoritis, dapat diasumsikan bahwa Negara dalam hal ini tidak memberikan Perlindungan Eksternal terhadap kelompok Ahmadiyah, khususnya di Jawa Timur. Selain itu, dapat diasumsikan juga, sebagai respon dari tidak adanya perlindungan eksternal dari pemerintah, kelompok Ahmadiyah juga melakukan Pembatasan Internal terhadap kelompoknya sendiri terhadap Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011. Penelitian ini selanjutnya membuktikan bahwa apakah dua asumsi tersebut benar adanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin merumuskan beberapa hal berkaitan dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur No.188/94/KPTS/013/2011 terhadap hak-hak kelompok Ahmadiyah di Jawa Timur 1. Sejauhmana Negara menerapkan perlindungan eksternal (external protection)

terhadap Ahmadiyah melalui Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011?

(18)

7

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengajukan beberapa rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejauhmana Negara menerapkan perlindungan eksternal (external protection) terhadap Ahmadiyah melalui Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011?

2. Mengetahui kelompok Ahmadiyah melakukan pembatasan internal (internal restriction) sebagai respon terhadap Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011?

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain: 1. Segi teoritis penelitian ini mempunyai kontribusi terhadap dunia akademis

khususnya yang berhubungan dengan keadilan dan hak-hak minoritas. 2. Segi praksis

a. Sebagai sumbangan pemikiran kepada masyarakat, khususnya bagi kelompok yang berwenang dalam membuat keputusan terhadap kebijakan pemerintah. b. Memberikan pemahaman masyarakat dalam menilai kelompok minoritas yang

berada di Indonesia, sehingga dapat memahami keberadaan kaum minoritas dengan sikap yang tidak diskriminatif.

(19)

8

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah model pendekatan penelitian yang digunakan untuk menghasilkan pemahaman yang mendalam dan dari segi yang berbeda-beda pada sebuah masalah yang kompleks dalam konteks kehidupan nyata.9 Prinsip pokok dalam model pendekatan studi kasus adalah untuk mengeksplorasi sebuah kejadian atau fenomena secara mendalam dan dalam konteksnya yang alami.10 Studi kasus juga digunakan untuk menelaah sebuah kasus secara khusus dan mendalam.11

Untuk menelaah sebuah kasus dengan model pendekatan studi kasus, ada beberapa cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, diantaranya: wawancara, observasi, dan dokumentasi.12 Dalam penelitian studi kasus cara-cara tersebut lazim digunakan dalam menampilkan data. Dalam proses wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan pihak-pihak dari kelompok Ahmadiyah di Surabaya yaitu Bapak Basuki selaku koordinator mubalig wilayah Jawa Timur dan Bapak Budi selaku Pengurus Cabang Surabaya. Selama penelitian, peneliti melakukan wawancara sekitar 2 jam tiap pertemuan. Selain itu, peneliti juga berusaha untuk mencari pihak yang berkaitan langsung dengan proses penerbitan Surat Keputusan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 untuk menggali data secara akurat. Namun, sampai akhir periode penelitian lapangan, pihak pemerintah tidak dapat ditemui.

9

Sarah Crowe, Kathrin Crosswell, The Case Study Approach, Medical Research Methodology, 2011, 1.

10 Ibid. 11

Zoltan Dornyei, Research Methods in Applied Linguistic, (Oxford: Oxford University Press, 2007)

(20)

9

Cara lain yang perlu digunakan dalam pengumpulan data selain wawancara adalah observasi. Observasi mengharuskan peneliti untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok Ahmadiyah sehingga mampu untuk mendapatkan data secara faktual.13 Hal ini dilakukan untuk mengetahui sikap sosial yang dimiliki oleh kelompok Ahmadiyah secara alami. Mengingat domisili penulis dengan domisili kelompok Ahmadiyah bisa ditempuh dengan waktu 90 menit, maka peneliti memutuskan untuk tidak bermalam di tempat kelompok Ahmadiyah.

Cara ketiga yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumentasi. Dokumen dikumpulkan melalui penelusuran bahan pustaka yang berupa buku, laporan media diantaranya; tempo.co; beritasatu.com; bekasikota.go.id; okezone.com; hrw.org; voa-islam.com; islamlib.com; wahidinstitute.org; republika.co.id; hukumonline.com; alislam.org; tribunnews.com, dan berbagai data yang berhubungan dengan penerbitan Surat Keputusan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 dan respon kelompok Ahmadiyah di Jawa Timur.

Setelah seluruh data terkumpul, tahapan selanjutnya adalah analisis data. Analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, yakni dengan mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.14 Secara praksis, analisa dilakukan dengan memperhadapkan Surat Keputusan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 terhadap kelompok Ahmadiyah di Jawa Timur dengan berbagai pandangan yang

13

Sarah Crowe, The Case Study Approach.. 1. 14

(21)

10

menggugatnya. Karena rumusan masalah menekankan kesesuaian dengan teori Multikulturalisme Will Kymlicka, maka penjelasan itu kemudian diuji dengan teori-teori tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat diadakannya penelitian, metode penelitian yang digunakan dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua merupakan Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori yang menjelaskan tentang Perlindungan Eksternal dan Pembatasan Internal persepektif Will Kymlicka.

Bab Ketiga membahas tentang faktor-faktor penerbitan Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011. Dalam hal ini meliputi proses Pemerintah memberlakukan Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011

Bab Keempat merupakan penjelasan dari upaya Pemerintah memberikan Perlindungan Eksternal melalui Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 dan respons kelompok Ahmadiyah terhadap pemberlakuan Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011.

(22)

11

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang menarik tentang hak-hak minoritas terhadap implikasi peraturan pemerintah diantaranya adalah Bagir1 dan Anoraga2. Penelitian mereka fokus pada hak-hak Ahmadiyah terhadap implikasi SKB 3 Menteri. Mereka menganalisis dari sudut pandang lemahnya SKB sebagai produk hukum. Bagi mereka SKB yang merujuk pada UU Pencegahan Penodaan Agama menjadi sarat untuk ditinjau ulang karena UU tersebut mengandung ketidakjelasan karena konsep tentang perlindungan agama tersebut. Bagir menambahkan, pengakuan adanya kelemahan dalam UU PPA sewajarnya mengisyaratkan kelemahan dalam SKB, sehingga setiap upaya memperkuat SKB tidak memiliki dasar hukum yang baik. Anoraga juga berpendapat bahwa muatan SKB sangat bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 Pasal 28I Jo, Pasal 29 UUD 1945 dan Jo Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM. Semua pasal tersebut menyebutkan tentang pemberian kebebasan setiap warga negara untuk memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama termasuk penganut kepercayaan. Anoraga beranggapan bahwa pelarangan atau pembatasan hak-hak asasi tidak relevan diatur dalam SKB 3 Menteri. Oleh karena itu, SKB menurutnya perlu untuk ditinjau ulang.

1

Zainal Abidin Bagir, Telaah Kasus Ahmadiyah di Indonesia, CRCS Document, 2011. 2

Surya Anoraga, Pelarangan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia (JAI): Tinjauan Yuridis,

(24)

13

Ruhana3, Burhani4 dan Gaffar5 juga meneliti tentang kasus Ahmadiyah, namun dari sudut pandang Hukum dan HAM. Menurut Akmal Salim, penanganan pemerintah dengan pemberlakuan terhadap larangan aktifitas Ahmadiyah di Indonesia sudah sesuai dengan tuntutan hukum dan HAM, karena hal tersebut dilakukan mengikuti alur tindak sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 1 dan 2 UU No. 1/PNPS/1965 yaitu tentang Pencegahan dan Penodaan Agama. Berbeda dengan pendapat ini, menurut Najib Burhani, ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menjadi penyebab masih berlangsungnya pelanggaran hak-hak terhadap kelompok minoritas, yaitu: 1) sila pertama Pancasila; 2) paradigma berpikir tentang agama yang diskriminatif; 3) pemihakan pemerintah terhadap pemahaman agama yang ortodoks. Menurutnya, sila pertama dalam Pancasila adalah bias terhadap agama yang monotheis, terutama agama Islam dan mengeluarkan agama-agama non-monoteis seperti Hindu dan Budha. Selain itu, konsep agama yang biasa dipahami oleh masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh Victorian Mind yang percaya pada evolusi agama dan tidak menganggap kepercayaan-kepercayaan lokal sebagai agama. Lebih lanjut, Burhani mengatakan bahwa dikotomi antara agama resmi dengan agama tidak resmi menyebabkan perlakuan yang berbeda antara pemeluk dua jenis agama tersebut. Poin terakhir dalam tulisan Burhani adalah perlindungan pemerintah terhadap agama menjadikan pemerintah berpihak pada keyakinan yang diakui sebagai ortodok dan mengorbankan pemahaman atau keyakinan yang dianggap

3

Akmal Salim Ruhana, Menguji Penanganan Ahmadiyah, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 77.

4

Ahmad Najib Burhani,Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-Agama Minoritas di Indonesia, Maarif, Vol. 7 No. 1, 2012.

5

(25)

14

heterodok. Dalam penelitian yang ditulis oleh Gaffar, kekerasan Negara terhadap Ahmadiyah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: Pertama, Fatwa MUI yang tendensius, Menurutnya, legitimasi yang begitu besar terhadap MUI membuat fatwa yang dikeluarkan begitu sakral dan menjadi sebuah kebenaran; Kedua, Negara yang menurutnya sebagai penjamin keamanan, malah menjadi pelaku dengan cara pengabaian secara hukum. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa masyarakat dengan didominasi oleh kelompok mayoritas membuat penegakan hukum di Indonesia tumpul, khususnya berhubungan dengan kelompok minoritas.

Penelitian lain yang berhubungan dengan tema Ahmadiyah sebagai minoritas adalah tulisan dari Mudzakkir.6 Mudzakkir menjelaskan dalam tulisannya bahwa marjinalisasi Ahmadiyah merupakan fenomena yang lahir pasca rezim Soeharto. Kondisi yang memungkinkan proses itu ada dua yaitu: Pertama, menguatnya kelompok Islam radikal, dan kedua, lemahnya kepemimpinan politik pemerintah. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penguatan kelompok Islam radikal berlangsung dalam situasi dunia yang terglobalkan. Fatwa anti-Ahmadiyah diadopsi oleh otoritas

Ulama’ Indonesia yang sudah memperhatikan fatwa serupa di tempat lain.

Ahmadiyah dimarjinalkan bukan karena ajarannya yang dianggap sesat tapi juga dianggap sebagai bentukan imperialisme Barat. Selain itu, dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah terlihat mengulur waktu dengan bernegosiasi dengan semua kalangan kecuali dengan Ahmadiyah. Apa yang disebut dengan partisipasi politik bagi

6

(26)

15

Mudzakkir hanya melibatkan elemen-elemen dalam kelompok mayoritas, tetapi tidak berlaku untuk kelompok minoritas.

Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, maka penelitian ini mengambil sudut pandang multikulturalisme. Fokus utama penelitian ini adalah kebijakan pemerintah terhadap kelompok Ahmadiyah dilihat dari penerapan Perlindungan Eksternal dan Pembatasan Internal sesuai dengan teori yang digaungkan oleh Kymlicka. Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa Negara tidak menerapkan Perlindungan Eksternal dan Pembatasan Internal dengan pemberlakuan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No.188/94/KPTS/013/2011.

Dengan menggunakan teori Kymlicka, khususnya yang terkait dengan perlindungan eksternal dan pembatasan internal, peneliti mencoba untuk menganalisis permasalahan yang terjadi pasca pemberlakuan Surat Keputusan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 terhadap komunitas Ahmadiyah di Jawa Timur.

B. Kerangka Teori

1. Multikulturalisme dalam Perspektif Will Kymlicka

(27)

16

sifat dari kelompok minoritas dan bentuk hubungan yang mereka kehendaki dengan masyarakat luas.7

Kymlicka memusatkan perhatian pada dua pola besar keragaman. Pola pertama, keragaman budaya timbul dari masuknya minoritas budaya yang terkonsentrasi secara teritorial ke dalam Negara yang lebih besar. Kymlicka menyebut kebudayaan tersebut sebagai “minoritas bangsa.” Minoritas tersebut ingin mempertahankan diri sebagai masyarakat tersendiri di sisi kebudayaan mayoritas dan menuntut berbagai bentuk otonomi atau pemerintahan sendiri untuk memastikan keberlangsungannya sebagai masyarakat tersendiri.8 Misalnya, ada sejumlah minoritas bangsa di Amerika Serikat, termasuk orang-orang Indian, Puerto Rico, keturunan Meksiko, dan penduduk asli Hawaii. Kelompok-kelompok tersebut tergabung secara tidak sukarela ke dalam Amerika Serikat melalui penaklukan dan penjajahan. Kelompok-kelompok tersebut mungkin dapat bertahan atau membentuk pemerintah berdaulat sendiri. Keinginan kelompok-kelompok itu bukanlah meninggalkan Amerika Serikat, melainkan mencari otonomi di dalam negara itu.9 Kelompok-kelompok “minoritas bangsa “yang tergabung dalam suatu negara disebut

oleh Kymlicka sebagai “Negara Multibangsa (Multination).”10

Pada pola kedua, keragaman budaya timbul dari imigrasi perorangan atau keluarga. Para imigran itu sering bergabung ke dalam suatu perkumpulan yang

7

Raphael Cohen Almagor, Democracy and Multiculturalism, Challenges to Democracy: Essays in Honour and Memory of Isaiah berlin (London: Ashgate Publishing Ltd, 2000), 90.

8

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Terj. F. Budi hardiman (Jakarta: LP3ES, 2002), 14.

9

Raphael Cohen Almagor, Democracy and Multiculturalism, 91-92. 10Daniel I. O’Neill,

(28)

17

Kymlicka sebut sebagai kelompok etnis.11 Mereka biasanya ingin berintegrasi ke dalam masyarakat yang lebih besar dan diterima sebagai anggota penuh masyarakat tersebut. Mereka sering mencari pengakuan yang lebih besar atas identitas etnis mereka. Tujuan mereka bukan untuk menjadi bangsa terpisah dan mempunyai pemerintahan tersendiri di dalam masyarakat yang lebih besar, melainkan mengubah institusi dan konstitusi masyarakat dominan untuk menjadikannya lebih menerima perbedaan kebudayaan. Kelompok-kelompok etnis yang tergabung dalam suatu Negara seperti ditunjukkan pada contoh di atas, Kymlicka menyebutnya sebagai

“Negara Polietnis (Polyethnic).”12 Misalnya, kelompok imigran di beberapa negara

yang terkonsentrasi ataupun tidak sehingga membentuk budaya baru atau kekhasan etnis. Kelompok tersebut disebut oleh Kymlicka sebagai kelompok etnis. Sebelum tahun 1960-an, para imigran itu diharapkan melepaskan warisan budaya yang berbeda dan berasimilasi pada norma-norma kebudayaan yang ada. Asimilasi dianggap sebagai hal penting untuk stabilitas politik. Namun pada awal 1970-an, Amerika menolak asimilasi dan mengambil kebijakan yang lebih toleran yang memperbolehkan para imigran untuk mempertahankan berbagai aspek dari warisan etnis mereka.13

Menurut Kymlicka, Politik Multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Politik multikulturalisme berdiri dalam tegangan antara hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Politik multikulturalisme mendorong suatu Negara untuk memperluas respek terhadap otonomi kultural terhadap minoritas

11

Raphael Cohen Almagor, Democracy and Multiculturalism, 92. 12

Ibid. 13

(29)

18

bangsa dalam bentuk pengakuan hak-hak kelompok minoritas.14 Berdasarkan teorinya tentang hak-hak minoritas, Kymlicka berangkat dari subjek hak. Subjek hak yang dimaksud oleh Kymlicka bukanlah individu, melainkan subjek kolektif atau kelompok. Hak-hak kolektif ini dibedakan menjadi tiga, yakni, hak untuk pemerintahan sendiri, hak polietnis, dan hak perwakilan khusus.15

a. Hak atas pemerintahan sendiri.

Di beberapa negara multibangsa, unsur bangsa cenderung untuk menuntut bentuk politik. Pada tingkat ekstrem, bangsa dapat menginginkan melepaskan diri sebagai bangsa terpisah. Kebanyakan dari minoritas bangsa mendesak bahwa mereka mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Mereka menuntut pemerintahan sendiri karena seringkali mereka masuk ke dalam negara yang lebih besar secara terpaksa. Satu mekanisme untuk mengakui tuntutan adalah federalisme yang membagi-bagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan sub-unit regional. Apabila minoritas bangsa terkonsentrasi secara regional, batas-batas sub-unit federal dapat ditarik sehingga minoritas bangsa dapat membentuk suatu mayoritas di salah satu sub-unit. Dalam keadaan semacam itu, federalisme dapat memberikan pemerintahan sendiri bagi minoritas bangsa yang menjamin kemampuannya untuk mengambil keputusan di bidang-bidang tertentu tanpa dikalahkan oleh masyarakat yang lebih besar.16

14

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, xvi. 15Daniel I. O’Neill,

Multicultural Liberals and the Rushdie Affair: A Critique of Kymlicka, Taylor, and Walzer, 225.

16

(30)

19

Contoh dari hak atas pemerintahan sendiri adalah provinsi Quebec di Kanada memiliki kekuasaan hukum yang ekstensif bagi bertahannya kebudayaan Prancis, termasuk pengendalian terhadap pendidikan, bahasa, kebudayaan, dan juga kebijakan imigrasi. Federalisme sering digunakan untuk mengakomodasi keragaman bangsa. Federalisme seringkali hanyalah satu bentuk desentralisasi ekonomi (seperti di Jerman), atau hasil dari kecelakaan sejarah kolonisasi (seperti di Australia). Namun, federalisme merupakan suatu strategi untuk mengakomodasi minoritas bangsa. Federalisme hanya dapat menjadi mekanisme untuk pemerintahan sendiri apabila minoritas bangsa membentuk suatu mayoritas di salah satu sub-unit federal sebagaimana yang dilakukan oleh warga Quebec di Quebec.17

b. Hak-hak polietnis

Beberapa kelompok etnis dan minoritas agama telah pula menuntut berbagai bentuk pendanaan publik untuk praktik-praktik kebudayaan mereka. Beberapa kalangan mendukung pendanaan itu hanya sebagai cara untuk memastikan bahwa kelompok etnis tersebut tidak didiskriminasi. Satu tuntutan yang berkaitan adalah untuk menyediakan bahasa imigran di sekolah-sekolah. Tuntutan yang paling kontroversial dari kelompok etnis adalah pengecualian dari konstitusi yang merugikan mereka.18 Misalnya, Yahudi dan Muslim di Inggris telah mengupayakan pengecualian dari konstitusi yang melarang buka usaha di hari Minggu. Para Sikh di Kanada telah mengupayakan pengecualian untuk Undang-Undang yang mengaharuskan penggunaan helm ketika berkendara sehingga ia tetap dapat

17

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, 42-43. 18Daniel I. O’Neill,

(31)

20

menggunakan sorbannya. Para gadis Muslim di Prancis telah mengupayakan pengecualian atas aturan berpakaian ke sekolah agar tetap dapat menggunakan kerudungnya.19

Kebijakan-kebijakan khusus kelompok etnis (hak polietnis) dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat dominan. Hak polietnis dimaksudkan untuk mempromosikan integrasi ke dalam masyarakat yang lebih besar, bukan pemerintahan sendiri.

c. Hak perwakilan khusus

Ada keprihatinan yang meningkat bahwa proses politik kurang terwakili dalam arti bahwa prose situ gagal mencerminkan keragaman penduduk. Para anggota legislatif di kebanyakan negara itu didominasi oleh kelas menengah, tidak cacat, laki-laki, dan dari kelompok etnis mayoritas. Di Amerika Serikat dan Kanada, perempuan, minoritas ras, dan masyarakat asli semuanya mempunyai kurang dari sepertiga di parlemen. Para penyandang cacat dan kaum miskin juga sangat tidak terwakili. Satu cara untuk mereformasi proses itu adalah menjadikan partai politik lebih inklusif dengan mengurangi hambatan yang menghalangi perempuan, minoritas etnis, atau kaum miskin, untuk menjadi calon dari partai atau pemimpin partai. Cara lainnya adalah menerapkan bentuk perwakilan proporsional, yang secara historis telah dihubungkan dengan keterbukaan yang lebih besar bagi calon.20

19

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, 46 20

(32)

21

2. Hak Perorangan dan Hak Kolektif

Kymlicka membagi dua macam hak yang dapat diajukan oleh suatu kelompok etnis atau bangsa. Hak pertama menyangkut tuntutan suatu kelompok terhadap anggotanya sendiri dan yang kedua terhadap masyarakat yang lebih besar. Bentuk pertama dimaksudkan untuk melindungi perbedaan pendapat internal, sedangkan yang kedua dimaksudkan untuk melindungi kelompok dari dampak keputusan eksternal. Untuk membedakan kedua macam tuntutan itu, yang pertama disebut

sebagai “Pembatasan Internal” (Internal Restriction) dan yang kedua “Perlindungan

Eksternal” (External Protection). Kedua tuntutan tersebut termasuk dalam hak

kolektif, namun menanggapi sesuatu yang berbeda.21

Beberapa kelompok etnis atau bangsa mengupayakan perlindungan eksternal tanpa memaksakan pembatasan internal pada anggotanya sendiri. Kelompok lain tidak menuntut perlindungan eksternal, namun mencari kekuasaan besar terhadap perilaku anggotanya sendiri. Sedangkan kelompok yang lain membuat kedua tuntutan itu. Menurut Kymlicka, perbedaan tersebut mengarah pada konsep dasar yang sangat berbeda mengenai hak minoritas dan menjadi penting untuk menentukan tuntutan macam apa yang diajukan oleh kelompok. Kaum liberal dapat dan harus melindungi perlindungan eksternal tertentu, namun harus menolak pembatasan internal yang membatasi hak anggota kelompok untuk mempertanyakan dan meninjau kembali praktik-praktik tradisional.22

21

Kyungmin Lee, Multiculturalism and the Identity of Minorities: Case Study of ethnic Korean in Japan, Presented at the Western Political Science Association 2012 Annual Meeting, Portland, Oregon, 2012.

22

(33)

22

a. Perlindungan Eksternal

Perlindungan eksternal mencakup hubungan antar kelompok, yakni kelompok etnis atau nasional dapat melindungi keberadaan dan identitasnya yang berbeda itu dengan membatasi dampak keputusan yang diambil oleh masyarakat yang lebih luas.23 Hak itu juga menimbulkan bahaya tertentu, bukan penindasan perorangan di dalam suatu kelompok melainkan ketidakadilan antara kelompok-kelompok. Satu kelompok mungkin dapat disisihkan atau dipisahkan untuk melestarikan kekhasan dari kelompok lainnya. Namun, perlindungan eksternal tidak harus menciptakan ketidakadilan seperti itu. Dengan memberikan hak perwakilan khusus bagi suatu minoritas tidak membuatnya dalam posisi mendominasi kelompok lainnya. Sebaliknya, hak-hak seperti itu dapat dipandang sebagai menempatkan berbagai kelompok pada posisi yang lebih setara, dengan mengurangi jarak di mana kelompok yang lebih kecil rentan bagi kelompok yang lebih besar.24

Perlindungan eksternal semacam ini bertujuan memajukan keadilan dan bahkan membantu menempatkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam sebuah perkumpulan yang setara dengan mengurangi kekuasaan yang mana kaum minoritas sangat rentan terhadap masyarakat luas.25 Contohnya hak perwakilan khusus untuk kaum minoritas pada badan penasehat, legislatif, atau dalam suatu perkumpulan

23

Will Kymlicka and Rubio Marin, Liberalism and Minority Rights. An Interview, Ratio Juris, Vol. 12 No. 02, (Cowley Road: Blackwell Publishers Ltd, 1999), 137.

24 Ibid. 25

(34)

23

masyarakat. Hal itu bertujuan mengurangi kemungkinan bahwa kelompok tersebut akan memenangi voting pada keputusan bersama yang berdampak pada komunitas.26

Ketiga bentuk hak kelompok yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu hak perwakilan khusus, hak atas pemerintahan sendiri, dan hak polietnis dapat digunakan untuk memberikan perlindungan eksternal. Setiap bentuk membantu melindungi minoritas dari kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih luas, meskipun masing-masing menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda. Pertama, hak perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik masyarakat yang lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa atau etnis akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh negeri. Kedua, hak atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke unit politik yang lebih kecil, sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan dalam pemilihan oleh mayoritas berkenaan dengan keputusan yang sangat penting bagi kebudayaannya, seperti yang menyangkut pendidikan, imigrasi, pengembangan sumber daya, bahasa, dan hukum keluarga. Ketiga, hak polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya yang khas, yang mungkin tidak didukung secara layak oleh perundingan yang ada, misalnya dibebaskan dari perundangan yang mengatur toko tutup di hari Minggu bagi kaum Yahudi dan Muslim atau aturan berpakaian yang bertentangan dengan kepercayaan agama.27

26 Ibid.

27 Daniel O’niell,

(35)

24

Sebagai bagian dari pemerintahan sendiri, misalnya para dewan suku di Amerika Serikat telah dibebaskan dari persyaratan konstitusional biasa untuk menghormati hak yang terdaftar di dalam Bill of Rights Amerika. Sesuai Undang-Undang Hak Sipil Indian tahun 1948. Pemerintahan suku Indian kini diminta untuk menghormati sebagian besar hak perorangan itu, namun masih ada batas pada peninjauan hukum atas tindakan para dewan penasihat suku Indian. Apabila suatu suku Indian merasa haknya telah dilanggar oleh dewannya, ia dapat mengupayakan ganti rugi dalam pengadilan suku Indian. Namun, ia tidak dapat mengupayakan ganti rugi ke Mahkamah Agung.28

b. Pembatasan Internal

Pembatasan internal mencakup hubungan di dalam kelompok, yaitu membatasi kebebasan anggota dari kebudayaan kelompok minoritas. Tuntutan ini memberikan hak kepada anggota dalam suatu kelompok untuk memilih antara melanjutkan atau tidak praktik-praktik kebudayaan dalam kelompok tersebut. Pembatasan internal menyangkut hubungan di dalam kelompok, meliputi kelompok etnis maupun bangsa yang dapat menggunakan kekuasaan negara untuk membatasi kebudayaan kelompok atas nama solidaritas kelompok.29 Banyak kelompok mencari hak untuk membatasi kebebasan anggota mereka secara legal atas nama solidaritas kelompok atau kemurnian kebudayaan. Hal tersebut sering dikaitkan dengan budaya teokratis dan patriarkat dimana wanita sering ditindas dan diperlakukan secara diskriminatif.

28

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, 58-59 29

(36)

25

Beberapa kelompok ingin menjalankan pembatasan yang lebih, untuk menjaga kemurnian agama atau tradisi budaya. Banyak kelompok menginginkan hak untuk membatasi kebebasan anggota mereka secara sah dengan alasan kesolidan kelompok atau kemurnian budaya.30

Pembatasan internal semacam itu hampir selalu tidak adil. Suatu kelompok memang bebas menjalankan pembatasan-pembatasan tertentu sebagai syarat keanggotaan. Tetapi tidak adil untuk menggunakan kekuasaan pemerintahan atau pembagian kepentingan publik untuk membatasi kebebasan anggota. Dari sudut pandang liberal, siapapun yang menggunakan kekuatan politik dalam suatu kelompok harus mengharga hak-hak sipil dan hak politik anggotanya. Terlebih lagi anggota-anggota kelompok budaya seharusnya mempunyai hak untuk meninggalkan kelompok mereka. Orang yang berada dalam satu demokrasi harus dibebaskan untuk masuk dan keluar dari kelompok kebudayaan mereka dan tidak dipaksa untuk menetap yang bermaksud agar anggota yang lain tidak ikut keluar.31

Ada beberapa kelompok yang meminta pembatasan internal. Hal itu khususnya benar pada komunitas agama daripada kelompok imigran. Misalnya, Amerika Serikat membebaskan masyarakat Amish, suatu sekte Kristen yang ada sejak berabad-abad, dari undang-undang berkenaan dengan wajib sekolah anak-anak. Kanada juga memberikan pengecualian serupa pada sejumlah sekte Kristen yang sudah lama ada (Mennonites, Doukhobours, Hutteries). Para anggota dari sekte-sekte itu dapat mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah sebelum usia 16 tahun, dan

30

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural.., 53. 31

(37)

26

tidak harus memberikan pelajaran sesuai dengan kurikulum biasa. Para orang tua khawatir apabila anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, mereka akan tergoda untuk meninggalkan sekte dan bergabung dengan masyarakat yang lebih luas. Kelompok-kelompok itu dapat pula memberikan larangan keras pada anggota kelompok untuk meninggalkan kelompoknya.32

Perlu dicatat bahwa pembatasan internal itu bukanlah akibat dari pergeseran ke kebijakan imigrasi yang lebih “polietnis”. Pembebasan di bidang hukum yang diberikan kepada sekte Kristen telah ada jauh sebelum kebijakan itu, dan kelompok imigran belum memperoleh pengecualian semacam itu. Misalnya, demokrasi Barat telah menolak dengan tegas pemikiran bahwa imigran dari negara-negara Arab atau Asia harus dapat meneruskan praktik-praktik tradisional yang berkenaan dengan membatasi hak-hak dasar dari para anggotanya, seperti kawin paksa atau diskriminasi dalam pendidikan hukum dan keluarga. Di Inggris tidak ada gerakan untuk memberikan pengakuan perceraian dengan talak untuk, atau untuk membebaskan umat Islam dari hukum perdata berkenaan dengan pembagian yang merata atas harta yang dimiliki suami istri.33

Jadi ada beberapa kasus kelompok etnis dan kelompok bangsa yang meminta pembatasan internal. Dalam hal itu, suatu kelompok telah mengupayakan kekuasaan hukum untuk membatasi kebebasan dari anggotanya demi melestarikan praktik-praktik tradisional agamanya. Kelompok-kelompok itu berupaya untuk mendirikan atau mempertahankan suatu sistem hak kelompok yang dibedakan yang melindungi

32

Will Kymlicka, Kewargaan Multikural, 61. 33

(38)

27

praktik-praktik komunal, bukan saja dari keputusan yang yang dibuat di luar kelompok, namun juga dari perbedaan pendapat dari dalam. Hal itu sering memerlukan pengecualian dari persyaratan konstitusional atau legislatif dari masyarakat yang lebih luas.

Tidak selalu mudah menarik pembedaan antara pembatasan internal dan perlindungan eksternal, seperti halnya pembedaan antara kelompok bangsa dan kelompok etnis. Kebijakan yang dibuat untuk memberikan perlindungan eksternal sering mempunyai komplikasi untuk kebebasan anggota di dalam komunitas. Secara minimal, pengurusan langkah-langkah itu sering kali memerlukan uang, dan dengan demikian mungkin para anggota dikenakan pajak yang tinggi.34

Kasus Salman Rushdie, misalnya telah menyebabkan beberapa umat Islam Inggris mengusulkan undang-undang pencemaran nama kelompok yang akan dapat memberikan perlindungan yang sama kepada kelompok agama seperti halnya undang-undang tentang perkataan yang berisi kebencian yang memberikan perlindungan pada kelompok rasial.35 Dalam hal undang-undang tentang perkataan yang berisi kebencian, tujuannya adalah memberikan suatu perlindungan eksternal, yakni melindungi orang-orang kulit hitam dan Yahudi dari unsur rasis di dalam masyarakat yang lebih luas.36 Undang-undang mengenai pencemaran nama baik secara serupa sering dipertahankan sebagai cara untuk melindungi umat Islam dari orang-orang jahat yang membenci Islam di negara-negara Barat. Namun, undang-undang mengenai pencemaran nama kelompok dapat pula digunakan untuk

34

Raphael Cohen Almagor, Democracy and Multiculturalism, 98. 35

Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, 63-64 36

(39)

28

membatasi penyebaran penghujatan atau kemurtadan di dalam komunitas Islam, daripada untuk mengendalikan pernyataan dari orang-orang yang bukan Islam. Undang-undang yang dibenarkan dalam hal perlindungan eksternal dapat membuka pintu bagi pembatasan internal.37

(40)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENERBITAN

SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR

NO.188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT

AHMADIYAH INDONESIA

A. Pendahuluan

Surat Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 lahir dari berbagai faktor, baik yang berasal dari eksternal maupun internal pemerintah.Faktor eksternal datang dari MUI pusat yang mengeluarkan fatwa penyesatan Ahmadiyah dan dari peristiwa penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik.Sedangkan faktor internal dipengaruhi oleh SKB yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, Kementerian dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung yang diterbitkan pada 9 Juni 2008.

Selain itu, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang menginduk di bawah Kejaksaan Agung juga turut andil dalam penerbitan peraturan anti-Ahmadiyah di beberapa daerah termasuk Jawa Timur.Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan lebih rinci dalam sub bahasan selanjutnya.

B. Penerbitan SK Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011

Pada tanggal 28 Pebruari 2011, Gubernur Jawa Timur menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia.1Tujuan penerbitan Surat Keputusan tersebut

1

Zainal Abidin Bagir, dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011

(41)

30

adalah untuk melakukan pembatasan terhadap aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur yang dianggap mampu membahayakan bagi kondisi kerukunan antar-umat beragama di Indonesia, khususnya Jawa Timur.2Surat Keputusan ini muncul pasca penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Dari segi muatan aturan, SK Gubernur memiliki substansi yang sama dengan SKB tiga menteri. Namun, ada satu poin dalam SKB yang tereduksi di dalam SK Gubernur Jawa Timur, yaitu aturan tentang pemberian peringatan kepada anggota masyarakat non-JAI untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap kelompok Ahmadiyah.3Pernyataan tersebut termuat dalam diktum keempat SKB Tiga Menteri. Sedangkan, dalam SK Gubernur tidak ada poin yang sama dengan diktum keempat SKB Tiga Menteri tersebut. Meski demikian, dua peraturan ini bersifat paradoksal karena menempatkan hak warga yang terlanggar menjadi obyek pembatasan hukum.4SKB dan SK Gubernur Jawa Timur bisa dikatakan diskriminatif karena peraturan yang memisahkan antara aktivitas keagamaan dengan kenegaraan tidak diterapkan pada seluruh kelompok agama.Pada satu sisi, aturan ini memang dirasa mampu untuk menciptakan ketertiban umum, khususnya menyangkut kelompok JAI. Namun, di sisi lain aturan ini juga mengakibatkan

2

Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM), Melindungi Korban bukan Membela Pelaku, Kertas Posisi atas Dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), 2011.

3

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008.

(42)

31

kelompok JAI menjadi kelompok yang rentan dan terbatas dalam penikmat hak-hak kebebasan beragama.

C. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah

Menurut pedoman dasarnya, MUI merupakan organisasi yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan, dan independen, yakni tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau bagian manapun.5 Organisasi kemasyarakatan ini

berfungsi: a) sebagai wadah musyawarah para ulama’, zuama’ dan cendekiawan

Muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang islami,

demokratis, akomodatif, dan aspiratif; b) sebagai wadah silaturahmi para ulama’,

zuama’ dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan

ajaran Islam dan menggalang ukhuwah islamiah; c) sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah.6Merujuk dari fungsi MUI tersebut, MUI semakin giat untuk menerbitkan fatwa sebagai bahan rekomendasi terhadap pemerintah terkait hukum agama. Organisasi yang lahir pada masa pemerintahan Orde Baru ini mendapat keistimewaan dibandingkan dengan organisasi masyarakat yang lain. MUI pusat sejak didirikan telah mendapat anggaran belanja dari APBN, sedangkan MUI provinsi dan kabupaten atau kota mendapat anggaran dari APBD provinsi dan kabupaten atau kota.7

Pada dasarnya, keputusan fatwa MUI tidak mengikat dan tidak harus diikuti oleh semua orang Islam. Keputusan yang ditetapkan oleh MUI yang berdasar ijtihad di lingkungan MUI bukanlah satu-satunya fatwa yang paling

5

Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Dasar MUI (Yogyakarta: Sekretariat MUI DIY, 2000), 36-37.

6 Ibid. 7

(43)

32

benar. Fatwa tersebut merupakan hasil ijtihad salah satu lembaga fatwa mengenai masalah yang juga ditetapkan oleh lembaga fatwa lainnya, misalnya ormas-ormas Islam.8 Namun, karena pemahaman masyarakat yang salah tentang MUI menjadikan fatwa MUI dianggap seperti kebijakan pemerintah yang harus dipatuhi secara hukum.

Pada tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 bahwaAhmadiyah merupakan kelompok di luar Islam dan sesat menyesatkan.9Keputusan penyesatan kelompok Ahmadiyah merupakan hasil dari pertimbangan amanat mantan presiden Soeharto terhadap kelompok MUI.10 Selain itu, fatwa tersebut merupakan usulan dari beberapa kelompok Islam arus utama, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Front Umat Islam (FUI).11 Di tahun 1980, MUI hanya memberikan fatwa khusus pada kelompok Ahmadiyah Qadiyani, sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak. Salah satu alasan yang menjadikan kelompok Ahmadiyah Qadiyani diberi label sesat adalah kelompok ini mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi setelah Nabi Muhammad.12 Sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak mempunyai kepercayaan yang sama dengan Ahmadiyah Qadiyani terkait kenabian. Ahmadiyah Lahore mempercayai bahwa

8

Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(Jakarta: tnp, 1997), 9. 9

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975

(Jakarta: Erlangga, 2011), 40-41. 10

Keputusan Musyawarah Nasional II Majelis Ulama Indonesia Nomor: 05/Kep/Munas II/1980 fatwa tentang Ahmadiyah.

11

Khoiruddin Nasution, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) On Ahmadiyah. 12

(44)

33

Mirza Ghulam Ahmad hanya pembaharu saja yang tugasnya meneruskan ajaran-ajaran Rasulullah Muhammad SAW.13

Pada tahun 2005, MUI kembali menerbitkan fatwa Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 terkait Ahmadiyah.14 Di dalam penjelasan fatwa penyesatan tersebut, MUI mengutip firman Allah QS Al-Ahzab 33:40 yaitu bahwa Muhammad merupakan penutup para Nabi. Dari pernyataan tersebut, MUI menjelaskan secara tersirat bahwa Jamaah Ahmadiyah yang mempercayai adanya Nabi setelah Nabi Muhammad merupakan jalan di luar Islam. Di tahun tersebut, MUI menyatakan bahwa kelompok Ahmadiyah baik Qadiyani maupun Lahore sama-sama sesat dan termasuk kelompok di luar Islam.15 Fatwa ini merupakan kelanjutan dari fatwa MUI tahun 1980 tentang status kelompok Ahmadiyah Indonesia. Selain itu, fatwa kesesatan Ahmadiyah jilid 2 merupakan pemantapan dari keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI) No.4 dalam Muktamar di Jeddah pada 22-28 Desember 1985. Muktamar internasional tersebut melahirkan fatwa bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang Qat{’i dan disepakati oleh

seluruh Ulama’ Islam bahwa Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.16

Tidak jauh berbeda dengan hasil muktamar internasional, MUI juga menerbitkan fatwa dengan beberapa poin yang hampir sama isinya dengan muktamar di Jeddah tahun 1985. Isi dari fatwa MUI tahun 2005 tentang

13

Ibid., 12. 14

Keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah.

15 Ibid. 16

(45)

34

Ahmadiyah adalah: a) Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang-orang yang mengikutinya adalah murtad; b) Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang h{aq yang sejalan dengan al-Quran dan Hadith; c) Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.17

Fatwa tersebut kerap mendapat kritikan dari beberapa pihak. Idealnya, apabila fatwa sudah menjadi bahan rujukan bagi masyarakat, maka fatwa tersebut harus berpedoman pada kemaslahatan umat. Namun, fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah menjadi alat legitimasi bagi sebagian kelompok untuk dapat menyerang kelompok Ahmadiyah. Salah satu anggota Pengurus Besar Nahdlatul

Ulama (PBNU), Masdar Farid Mas’udi menghimbau agar MUI mencabut fatwa

yang berkaitan dengan Ahmadiyah karena dikhawatirkan dapat memicu meluasnya kekerasan yang mengatasnamakan agama.18 Menurutnya, fatwa merupakan aplikasi norma Fikih yang diperuntukkan bagi hal-hal yang bersifat tindakan atau perbuatan obyektif seperti masalah perjudian, korupsi, suap, dan politik uang. Fatwa yang ditujukan terhadap hal-hal yang bersifat pemikiran atau pandangan hidup terasa melampaui batas dan tidak lazim.19

Tidak dapat dipungkiri bahwa turunnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah turut memicu kasus intoleran di Indonesia, khususnya terkait Ahmadiyah. Penyerangan terhadap masjid-masjid di Jawa barat kerap terjadi setelah keluarnya

17 Ibid. 18

MUI Telah Dinilai Jadi Inspirator Tindakan Kekerasan, http://www.nu.or.id/a,public-

m,dinamic-s,detail-ids,1-id,3548-lang,id-c,warta-t,MUI+Dinilai+Telah+Jadi+Inspirator+Tindakan+Kekerasan-.phpx, diakses pada 17 Juni 2015. 19

(46)

35

fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 terkait penyesatan Ahmadiyah, seperti kasus penyerangan Ahmadiyah di Tasikmalaya tahun 2003, kasus di Kuningan tahun 2004, kasus di Cikeusik tahun 2011, dan beberapa kasus lain di Jawa Barat. Selain itu, fatwa MUI juga turut mempengaruhi diterbitkannya keputusan-keputusan Pemerintah Daerah terhadap pelarangan kegiatan Ahmadiyah ditinjau dari rentang waktu penerbitan.

D. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri 2008

Pada tahun 2005, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) mengusulkan kepada pemerintah untuk melarang keberadaan aliran Ahmadiyah di Indonesia.20 Rekomendasi tersebut berdasarkan UU PNPS 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama. Kelompok-kelompok Agama arus utama menganggap bahwa aliran Ahmadiyah telah menodai Islam. Kepercayaan yang mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad adalah alasan yang mempengaruhi bahwa Ahmadiyah telah menodai kesucian Islam.

Sementara SK Presiden belum turun, Menteri Agama mengusulkan untuk mengadakan dialog dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Dialog tersebut bertujuan untuk mencari permasalahan terkait kegiatan Ahmadiyah yang dianggap menodai agama. Dialog yang bertempat di kantor Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama tersebut melahirkan 7 pilihan solusi, antara lain: 1) Jamaah Ahmadiyah dibubarkan; 2) Jamaah Ahmadiyah dibubarkan oleh pengadilan dan melalui proses pengadilan, atas dasar bahwa kegiatannya termasuk kategori penodaan agama; 3) Ahmadiyah dikategorikan sebagai agama di luar Islam. 4)

20

(47)

36

Ahmadiyah diterima oleh umat Islam arus utama sebagai salah satu aliran Islam; 5) Pemerintah memberi peringatan kepada JAI agar menghentikan kegiatannya di seluruh wilayah RI karena kegiatannya meresahkan masyarakat, menodai agama, dan tidak sesuai dengan AD/ART yang sudah didaftarkan pada tahun 1953; 6) Diadakan pertemuan atau musyawarah antara MUI, GAI, JAI, ormas-ormas Islam dan pemerintah untuk menyepakati bersama langkah penyelesaian yang harus diambil; 7) Ahmadiyah tidak dilarang, tapi kegiatannya dihentikan. Diantara 7 pilihan solusi tersebut, Ahmadiyah memilih ingin diterima sebagai salah satu aliran dalam Islam. Oleh karena itu, pemerintah menyarankan kepada JAI agar menjelaskan kepada masyarakat tentang posisi keyakinan dan kemasyarakatannya. JAI menerima saran tersebut dan pada tanggal 14 Januari 2008 dikeluarkanlah 12 butir penjelasan dari PB JAI.21

Dua belas butir penjelasan yang dikeluarkan oleh PB JAI adalah murni penjelasan dari JAI sendiri bukan hasil dialog antara JAI dengan masyarakat. Maksud dari penjelasan tersebut adalah sebagai upaya klarifikasi terhadap masyarakat atas status sesat.Meskipun pada akhirnya upaya tersebut tidak menyelesaikan masalah. Isi dari 12 butir penjelasan tersebut adalah:

1. Kami warga JAI sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh yang mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu Asyhadu an laa ilaaha illallah waasyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Artinya saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

2. Sejak semula kami warga JAI meyakini bahw Muhammad Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin.

3. Diantara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

21

(48)

37

4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat baiat yang harus dibaca oleh setiap calon anggota JAI bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad di depan kata Rasulullah.

5. Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakin bahwa:

a. Tidak ada wahyu syariat setelah al-Qur’anul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

b. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani,

6. Buku Tadzkiroh bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkiroh oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat pada tahun 1908. 7. Kami warga Jemaat Ahmdiyah tidak pernah dan tidak akan

mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama masjid Ahmadiyah.

9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibngun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.

10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai Muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di KUA dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor PA sesuai dengan peraturan yang perundang-undangan.

11. Kami warga JemaatAhmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok atau golongan umat Islam dn masyarakat dalam perhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan Islam, bangsa dan NKRI.

12. Dengan penjelsan ini, kami PB JAI mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.22

Pada butir pertama dan kedua, Ahmadiyah menekankan bahwa kelompoknya tidak berbeda dengan kelompok Islam arus utama yang berada di Indonesia. Sedangkan pada butir ketiga, tentang status Mirza Ghulam Ahmad masih menuai pro dan kontra di kalangan para ulama Indonesia, khususnya MUI. MUI memberikan tanggapan status tersebut dengan memberikan tiga pilihan terhadap Ahmadiyah, yaitu: 1) menyuruh kelompok Ahmadiyah untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar; 2) menjadikan kelompok Ahmadiyah agama tersendiri di luar Islam; atau 3) kelompok Ahmadiyah dibubarkan.23

22

Penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) tentang Pokok-Pokok Keyakinan dan Kemasyarakatan Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

23

(49)

38

Atas rekomendasi dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah dan berdasarkan rapat Bakor Pakem yang terakhir pada tanggal 16 April 2008, akhirnya rekomendasi tersebut disampaikan pada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.Hasil Rapat Bakor Pakem tersebut berisi tentang perintah untuk memberikan peringatan keras kepada warga JAI untuk menghentikan kegiatannya.Kegiatan tersebut meliputi penafsiran keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang dianut di Indonesia.24

Setelah desakan dari kelompok anti-Ahmadiyah yang semakin menguat, akhirnya Surat Keputusan Bersama tiga menteri Nomor 3 Tahun 2008 pun diterbitkan pada 9 Juni 2008. SKB tersebut berisi tentang penegasan perintah terhadap pelarangan kegiatan Ahmadiyah. SKB itu terdiri dari 6 butir, isi dari SKB tersebut adalah:

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya Nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

3. Penganut, anggota, dan atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan termasuk terhadap organisasi dan badan hukumnya.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan atau anggota pengurus JAI.

5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

24

(50)

39

6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini.25

Isi dari butir-butir SKB tidak sepenuhnya menyudutkan kelompok Ahmadiyah.Terbukti dalam butir keempat yang menjelaskan bahwa masyarakat harus senantiasa menjaga kehidupan kerukunan antarumat beragama serta tetap menjaga ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Pada butir kelima juga ditegaskan bahwa siapapun yang melanggar peraturan yang sudah disebutkan dalam SKB, maka akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

SKB ini secara tidak langsung membuka pintu bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan terkait pelarangan Ahmadiyah.Terbukti setelah terbitnya SKB Tiga Menteri, beberapa Pemerintah Daerah menerbitkan peraturan serupa terkait organisasi Ahmadiyah. Sampai tahun 2011 terhitung 5 provinsi dan 22 peraturan Walikota yang sudah terbit terkait peraturan anti-Ahmadiyah. Lima provinsi tersebut diantaranya adalah Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.26Jika Gubernur Jawa Timur hanya melarang kelompok JAI untuk melakukan aktifitas keagamaan, lain halnya dengan Pemerintah Daerah Jawa Barat.Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat lebih mirip dengan SKB 3 Menteri, yaitu ada pelarangan terhadap masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah.Hal tersebut termuat

25

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008 ; KEP-033/A/JA/6/2008; 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengu

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bahan pertimbangan dari dikeluarkannya peraturan Gubernur jawa Timur tersebut adalah agar masyarakat wajib menjaga dan memelihara kerukunan antar umat