• Tidak ada hasil yang ditemukan

S GEO 110002 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S GEO 110002 Chapter1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari

kehidupan modern, bahkan akan semakin meluas pengaruhnya seiring

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Globalisasi dalam

definisinya, memuat konteks ekspansi ruang yang melibatkan batas-batas wilayah

sebagai dampak dari variasi timbal balik dari masing-masing wilayah terhadap

ekspansi tersebut (Harmantyo, 2006). Hal ini menyebabkan munculnya lokalisasi

dan regionalisasi.

Pada skala yang lebih luas, globalisasi menyebabkan kaburnya batas-batas

wilayah geografis secara fisik dan menghasilkan batas-batas baru yang cenderung

abstrak, serta menghasilkan perubahan pola alur dan akivitas geografis

(Faulcrnbridge & Beaverstock, 2008, hlm. 331-332).

Faktanya, globalisasi telah menyisakan banyak permasalahan keruangan

yang kompleks, diantaranya adalah gesekan budaya global dengan budaya lokal,

kesenjangan ekonomi global dan peningkatan kerusakan lingkungan (Harmantyo,

2006). Oleh karena itu, pendidikan geografi diperlukan untuk membentuk

karakter manusia yang mampu bertahan dan memiliki daya saing dalam

menghadapi fenomena globalisasi ini.

Adapun Indonesia akan menghadapi AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau

MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada akhir tahun 2015. AFTA sebagai

bentuk globalisasi regional-internasional menghendaki adanya hubungan atau

interaksi yang semakin intensif di berbagai sektor kehidupan terutama sektor

ekonomi. AFTA menciptakan sebuah ruang gerak yang lebih leluasa bagi

manusia, barang, ide, gagasan, dan pengetahuan di wilayah ASEAN tanpa dibatasi

batas geografis negara. Konsekuensi adanya AFTA bagi setiap penduduk di

wilayah ASEAN adalah munculnya persaingan dengan intensitas tinggi yang akan

menuntut peningkatan kualitas keahlian dan kecakapan sesuai dengan kebutuhan

(2)

Globalisasi dalam geografi dipahami sebagai “asset of material processes an discursive practices that operate across different spatial scales”(Wai &Yeung,

2002, hlm.3). Oleh karena itu, pendidikan geografi memegang peran strategis

untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi globalisasi, termasuk

AFTA.

Tujuan pembelajaran geografi yang termuat dalam kurikulum 2013

menuntut pendidik untuk mampu membuat peserta didik siap menghadapi

dampak globalisasi pada setiap lingkup kehidupannya mulai dari lokal, regional

nasional hingga global. Di sisi lain, peserta didik juga dituntut untuk mampu

mempertahankan nilai-nilai nasionalisme dan kearifan lokal yang diwariskan

leluhurnya mengingat globalisasi membawa ancaman berupa degradasi budaya

sesuai dengan kompetensi geografi yang tercantum dalam kurikulum 2013.

Geografi dalam konteks pendidikan atau yang lebih dikenal dengan

pendidikan geografi menurut Ruhimat (2013, hlm. 224) pada dasarnya merupakan

aplikasi geografi untuk bidang pendidikan yang disederhanakan melalui kemasan

pedagogis dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan, serta memiliki

tanggung jawab moral operasional untuk membangun kemampuan berpikir

geografis peserta didik.

Proses berpikir geografis tidak akan terlepas dari aktivitas berpikir spasial,

begitu pun sebaliknya, “...spatial thinking needs to accompany geographical thinking and is an expression of the geographical discourse, not the discourse

itself.” (Revert dalam Uhlenwinkel, 2013, hlm. 297). National Research Council (2006, hlm. 230) menjelaskan mengenai konsep berpikir spasial sebagai berikut:

“Spatial thinking is a collection of cognitive skills. The skills consist of declarative and perceptual forms of knowledge and some cognitive operations that can be used to transform, combine, or otherwise operate on this knowledge. The key to spatial thinking is a constructive amalgam of three elements: concepts of space, tools of representation, and processes of

reasoning.”

Berpikir geografis sebagai sebuah aktivitas kognitif memiliki struktur yang

salah satu faktor pembentuknya adalah pengalaman-pengalaman pancaindera

individu yang berinteraksi baik langsung maupun tidak langsung dengan

(3)

utama dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini terjadi karena aspek kognitif dengan

otak sebagai perangkat kerasnya merupakan pengendali dari aspek afektif dan

aspek psikomotorik sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhibbin Syah (2003,

hlm. 48), “kognitif adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan

yang lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan psikomotorik (karsa).“

Geografi sebagai science of space and place (American Geographical

Society dalam Ruhimat, 2013, hlm. 224) ditransformasikan kepada peserta didik

dengan menekankan pada upaya untuk memperkenalkan suatu objek, dimana

objek tersebut berada, mengapa objek tersebut berada di sana, serta

memvisualisasikan keterkaitan keberadaan objek tersebut pada suatu ruang

tertentu. Maka dari itu kemampuan peserta didik dalam memvisualisasikan objek

geografis, pola dan proses yang nampak pada suatu ruang harus mampu diukur

dan dinilai oleh guru sebagai bagian dari ketercapaian kompetensi peserta didik

karena merupakan manifestasi dari kemampuan kognitifnya.

Sebagaimana yang dikemukakan National Council Geographic Education

(NCGE) dalam Geography for Life (1994, hlm.41-46) bahwa keterampilan

geografis menunjukkan bagaimana peserta didik melakukan penyelidikan

geografis secara sistematis serta merupakan sarana berpikir geografis,

“Geographic skills provide the necessary tools and techniques for us tothink geographically,” dengan indikator sebagai berikut: 1) Asking geographic question; 2) Acquiring geographic information; 3) Organizing geographic

information; 4) Analyzing geographic information; 4) Answering geographic

question. Departemen Pendidikan Pennsylvania (2008, hlm. 11) dalam Standar

akademis geografinya menyebutkan bahwa:

“Geography is an integrative discipline that enables students to apply geography skills and knowledge to life situations at home, at work and in the community. Therefore, these standards should be cross-walked with those in Civics and Government, Economics and History to create an interdisciplinary view of the world.

Geografi memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Pendidikan geografi di sekolah tentunya harus mampu meningkatkan kesadaran

geografis peserta didik sehingga mereka menyadari keberadaan objek-objek yang

(4)

tersebut ada di tempatnya serta menggambarkan hubungan antara objek-objek

tersebut, yang menurut Bednarz (2005) merupakan kunci dari berpikir geografis

dan berpikir spasial serta merupakan poin penting dalam aspek asking geographic

question sebagai indikator dasar keterampilan geografis.

Di sis lain, NCGE (2009, hlm. 6) juga menyebutkan bahwa untuk

mengetahui seberapa baik seseorang mengenal lingkungannya dapat dilihat dari

image peta mentalnya, “they represent ever‐changing summaries of spatial knowledge and are indicators of how well people know the spatial characteristics

of places.”

Peta mental atau mental map merupakan cara mengekspresikan persepsi

individu terhadap lingkungannya yang dapat ditafsirkan dan dianalisis sehingga

dengan peta mental dapat digambarkan kegiatan dan perilaku individu dalam

konteks keruangan dan kelingkungan tertentu (Abdurachman, 1988, hlm. 80).

Secara sederhana peta mental atau mental map atau cognitive map dapat

diartikan sebagai sudut pandang atau perspektif manusia terhadap suatu tempat,

sehingga bersifat subjektif dan tidak memenuhi kaidah-kaidah kartografik dalam

visualisasinya (umumnya berupa sketsa). Standar pendidikan geografi Amerika

Serikat mendefinisikan peta mental sebagai “...perceptual constructs in which subjects produce a personal graphical representation of a known environment.” ( Nishimoto, 2012, hlm. 1)

Peta mental merupakan hasil dari pemetaan kognitif yang menurut Down

(dalam Abdurachman, 1988, hlm. 26) merupakan proses yang terdiri serangkaian

transformasi psikologis dimana seorang individu menerima, membuat kode,

menyimpan, mengingat kembali, dan men-decode informasi tentang lokasi relatif

dan atribut-atribut dari fenomena dalam lingkungan keruangan sehari-hari.

Hal ini sejalan dengan definisi yang diemukakan NCGE (2009, hlm.96)

yang mengemukakan bahwa peta mental adalah “... a map which represent the mental image a person has of an area, including knowledge of features and

spatial relationships as well as the individual’s perceptions and attitudes

regarding the place...”

Peta mental setiap individu akan mengalami perkembangan seiring dengan

(5)

visualisasi dan detailnya, maupun semakin luasnya cakupan ruang yang mampu

digambarkan. Dengan demikian, “...mental maps can reveal information about a

person’s view of the world.” (Nishimoto, 2012, hlm. 3). Oleh karena itu peta mental anak-anak akan berbeda dengan peta mental orang dewasa begitu pula peta

mental peserta didik dengan peta mental guru akan berbeda.

Pengetahuan geografi yang menurut Ondigi (2012) merupakan hasil dari

pengalaman interaksi manusia dengan lingkungannya yang meliputi aspek fisik,

mental dan emosional, diharapkan terejawantahkan dalam aktivitas dan perilaku

yang menurut Abdurachman (1988) dapat tergambar dari peta mental seseorang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tercapainya tujuan pembelajaran sangat

bergantung pada peran guru terutama kualitas dan kompetensi guru yang akan

dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Departemen Pendidikan Geografi

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengarahkan lulusannya untuk menjadi

tenaga pendidik profesional harus mampu merancang kurikulum yang tepat sesuai

dengan tuntutan perkembangan zaman, dalam hal ini adalah tuntutan global dari

fenomena globalisasi.

Konsekuensi globalisasi terhadap pendidikan tinggi geografi diantaranya

adalah lembaga perguruan tinggi harus mampu mengoptimalkan pendekatan

integratif, mendorong penggunaan metode yang bervariasi, mengedepankan

referensi spasial, serta mengintegrasikan konsep-konsep dan metode geografi

dalam berbagai bidang kajian ilmiah (Sliwa & Leser, 2003, hlm. 18).

Selain itu, pendapat Kerski (2008) tidak dapat diabaikan, ia mengemukakan

bahwa pendidik harus membiasakan peserta didik selaku pemuat keputusan di

masa mendatang untuk berpikir spasial dalam kehidupannya sehari-hari (habits of

mind).

Fenomena globalisasi yang menuntut kecakapan ruang berdampak pada

pentingnya pengembangan kebiasaan berpikir spasial dan berpikir geografis

dalam pembelajaran geografi. Langkah awal untuk membiasakan berpikir spasial

dapat menggunakan peta mental sebagai ukuran perkembangan perspektif

keruangan yang meluas, “The mental maps are a great introduction into a

(6)

berpikir geografis berkembang melalui pengembangan keterampilan geografis

sebagai sarananya. Di sisi lain, globalisasi juga menuntut sumber daya manusia

untuk memiliki daya saing tinggi dengan kecakapan dan keterampilan profesional

dalam memecahkan suatu permasalahan. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis

untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Peta Mental dengan

Keterampilan geografis Mahasiswa Departemen Pendidikan Geografi

Universitas Pendidikan Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

1. Globalisasi merupakan sebuah fenomena keruangan yang membutuhkan

kecakapan ruang dalam meyikapi proses serta dampak positif dan

negatifnya. Globalisasi menyentuh semua lingkup ruang kehidupan

manusia mulai dari skala lokal, regional, nasional hingga global. Geografi

sebagai ilmu tentang ruang memilki kesempatan untuk mengembangkan

kecakapan ruang peserta didik sebagai bekal dalam persaingan global yang

merupakan efek langsung dari globalisasi.

2. Setiap peserta didik datang ke sekolah membawa pengalaman mereka

tentang orang dan tempat berupa peta mental dimana mereka

menggunakannya dalam aktivitas keruangan mereka sehingga peta mental

dapat dikatakan sebagai sebuah gambaran dari kepribadian geografi

(personal geography). Fungsi geografi adalah untuk membantu

mengembangkan kepribadian geografi peserta didik ini. (Miles & Ward,

2008, hlm. 7)

3. Perspektif geografi dibentuk oleh kebiasaan berpikir spasial dan berpikir

geografis. Berpikir spasial salah satu pembentuknya adalah peta mental

sedangkan berpikir geografis membutuhkan keterampilan geografis sebagai

sarananya. Oleh karena itu, pembelajaran geografi seharusnya mendukung

pembiasaan berpikir spasial peserta didik sebagai upaya pembentukan

perspektif geografinya.

4. Mahasiswa Departemen Pendidikan Geografi UPI tidak mempelajari peta

mental secara spesifik termasuk peta mental untuk diterapkan dalam

(7)

5. Penelitian experience learning sudah banyak dilakukan di Indonesia. Di

Universitas Pendidikan Indonesia pun cukup banyak yang meneliti

mengenai topik ini. Akan tetapi, penelitian experience learning berbasis

peta mental belum banyak dilakukan sehingga referensi

penelitian-penelitian peta mental untuk pembelajaran geografi sangat sulit ditemukan

di Indonesia.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peta mental mahasiswa Departemen Pendidikan Geografi

Universitas Pendidikan Indonesia?

2. Bagaimana keterampilan geografis mahasiswa Departemen Pendidikan

Geografi Universitas Pendidikan Indonesia?

3. Bagaimana hubungan antara peta mental dengan keterampilan geografis

mahasiswa Departemen Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan

Indonesia?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi peta mental mahasiswa Departemen Pendidikan

Geografi Universitas Pendidikan Indonesia

2. Untuk mengidentifikasi keterampilan geografis mahasiswa Departemen

Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia

3. Untuk menganalisis hubungan peta mental dengan keterampilan geografis

mahasiswa Departemen Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan

Indonesia

E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi guru maupun calon guru untuk lebih

mengembangkan peta mental sebagai bagian dari aktivitas pembelajaran

geografi

2. Sebagai bahan masukan bagi lembaga pendidikan yang secara formal

bertanggung jawab mencetak calon guru geografi dalam merumuskan

kurikulum yang dapat meningkatkan kualitas guru geografi yang dihasilkan

3. Sebagai referensi ilmiah untuk penelitian berikutnya

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya AKI juga dipengaruhi oleh tiga terlambat yang kemudian dikembangkan menjadi empat terlambat, yaitu terlambat pengenalan dini adanya tanda bahaya atau masalah atau

Ketiga, Authoritative Mediator (Mediator Otoritatif ), yaitu mediator yang memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak yang bersengketa yang menyebabkan ia memiliki posisi

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

Uung Ungkawa, MT Sifat : Tutup Buku, HP,

menyediakan out-slip atau formulir peminjaman arsip, sehingga tidak diketahui arsip yang telah atau belum dikembalikan. Terlepas dari masalah di atas adapula permasalahan lain

Permasalahan dalam penelitian ini adalah siswa masih harus ditumbuhkan kreativitas belajar dalam pembelajaran matematika, dan guru masih jarang menggunakan pembelajaran

Pengujian kronik dari sedimen terkontaminasi dan pengukuran konsentrasi logam berat dapat digunakan untuk menilai kesehatan suatu perairan. Hasil bioassay sedimen

Untuk melatih keterampilan bicara anak tunarungu, aplikasi terapi wicara pada perangkat mobile yang merupakan transformasi dari media konvensional ke media digital