• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Newsletter

Listia, Lian Gogali, Suhadi, Leo CE

umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” (The earth shaking, the sky moving…)

B

was the way the puppet master depicted a goro-goro (disaster) in puppetry world. Nevertheless, Mataram land (Jogja and Central Java) shaken on May 27 2006 at around 06.00 a.m., was not a goro-goro in a puppetry world, but a real life event. That morning, panic stroke when the people from southern part of Jogja moved up north, even also shook Magelang and its surrounding area. The issue that there would be a tsunami has caused panic in the community. The electricity was put out for quite a long time and there was no single information from radio or TV on the earthquake. Only one or two radio station still aired, providing information. Eventually, the world saw that the earthquake was 5.9 in the Richter scale. In seconds, thousands of buildings were brought down and thousands of lives taken. Several other thousands were injured. In the aftermath of the earthquake, aids from numerous parties come, whether from the government or from communities with different religion, ethnic, and national backgrounds.

The surprising number of aids from various religious institutions, in forms of logistics, medic, education, infrastructure, etc, shows that the values of religions are not merely kept nicely in their holy books, but also

umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” begitulah ketika Sang Dalang menggambarkan

B

kejadian goro-goro (bencana) dalam pewayangan. Namun bumi Mataram (Jogja dan Jawa Tengah) yang terguncang pada 27 Mei 2006 kurang lebih jam 06.00 WIB, bukanlah kejadian goro-goro dalam pertunjukan wayang tetapi nyata. Pagi itu kepanikan yang luar biasa terjadi ketika semua manusia dari bumi Jogja Selatan bergerak serentak ke arah Utara, bahkan ada yang sampai ke daerah Magelang dan sekitarnya. Isu

tsunami telah membuat masyarakat panik. Listrik padam sehingga tidak ada informasi yang jelas baik melalui radio ataupun televisi mengenai gempa tersebut. Hanya satu atau dua stasiun radio yang mengudara memberikan informasi. Belakangan diketahui gempa tersebut berkekuatan 5,9 skala richter. Dalam hitungan detik ribuan bangunan porak poranda dan ribuan nyawa melayang serta banyak yang luka-luka. Setelah itu bantuan dari berbagai pihak berdatangan, baik dari pemerintah maupun kelompok-k e l o m p o kelompok-k m a s y a r a kelompok-k a t d e n g a n berbagai latar belakang agama, etnis, bangsa dan sebagainya.

(2)

Editorial

good deeds for fellow human beings, to aid each other and be empathic about others' suffering. Here, religious values coincides each other, i.e. a mission to care about others' suffering and uphold teachings that hold values of humanity.

There are always touching moments in midst of disaster. When one experiences a disaster, one or two other people will be moved to help. No matter what religions, ethnics, or nations they are from, they would voluntarily aid the survivors. It's true that the very tragic situation of the victims demand hands from all parties, moreover religious communities that are always taught to care of others' suffering.

The application of these religious values is not without problem in the practical sphere. Aid programs for survivors of earthquake implemented by religious institutions do not always receive positive response from all communities.The issue of religious proselytization becomes sensitive when related to the aid program. The issue rose due to the prejudice towards one group. Such prejudice will only raise antipathy towards other groups which were actually just trying to help the victims without any side motive to try to convert people into their religions. Moreover if the prejudice is spread through media with the absence of accurate investigation, it will then be very risky in interaction among religious followers. It is at this point that religious maturity and the dialogue process among religious believers must be free from prejudice.

Taking into consideration the significance of the problem in the relationship among religious believers, this problem will be the main focus in this edition. The edition will also have the experience of an activist (Norma Susanti Rambe Manalu) in management of survivors of Aceh tsunami and quake. Next, the column 'Portrait' will introduce an activist of pluralism (Muslich). In addition, information on activities implemented by Interfidei from the month of June until September 2006 and agenda of activities in the future can also be found in this edition. Hope it is useful. Happy Reading! [AM]

agama mengajarkan manusia untuk melakukan kebajikan terhadap sesama manusia, yaitu untuk tolong-menolong dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Disinilah, agama-agama mempunyai titik temu, yaitu misi untuk peduli akan penderitaan sesama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan.

Inilah yang mengharukan ketika ada yang mengalami musibah, orang lain, entah satu, dua atau lebih, akan tergerak untuk membantu. Tidak peduli apa agamanya, dari etnis apa, dari bangsa apa, mereka dengan sukarela membantu para korban. Memang kondisi para korban yang sangat mengenaskan menuntut uluran tangan semua pihak, lebih-lebih umat beragama yang senantiasa diajarkan untuk peduli akan penderitaan orang lain.

Hanya saja penerapan nilai-nilai agama tersebut bukannya tanpa masalah dalam wilayah praksis. Kegiatan bantuan untuk korban gempa yang dilakukan lembaga-lembaga keagamaan tidaklah selalu menerima respon positif dari semua

kelompok masyarakat. Isu penyebaran agama

menjadi sensitif ketika dikaitkan dengan kegiatan bantuan tersebut. Isu tersebut timbul karena adanya belenggu prasangka pada suatu kelompok. Prasangka tersebut akan menimbulkan sikap antipati terhadap kelompok lain yang sebetulnya hanya ingin membantu para korban tanpa motif untuk meng-konversi orang lain ke dalam agama mereka. Lebih-lebih jika prasangka itu disebarluaskan melalui media tanpa adanya penyelidikan yang akurat maka itu akan menjadi sangat riskan dalam interaksi antar pemeluk agama. Disinilah kedewasaan dalam beragama dan pintu dialog antar pemeluk agama menjadi begitu penting untuk merdeka dari prasangka.

Mengingat masalah ini sangat penting dalam kehidupan antar pemeluk agama maka permasalahan tersebut akan menjadi fokus utama dalam newsletter edisi ini. Edisi ini juga akan menampilkan pengalaman seorang aktifis (Norma Susanti Rambe Manalu) dalam penanganan korban gempa tsunami Aceh. Kemudian rubrik 'potret' menampilkan seorang aktifis pluralisme (Muslich). Selain itu informasi tentang kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh Interfidei dari bulan Juni sampai dengan September 2006 serta agenda kegiatan ke depan akan menghiasi

newsletter edisi ini. Semoga bermanfaat. [AM]

(3)

RELIGIOUS PREJUDICE

IN M IDST OF DISASTER

ne of the dimensions exposed by the media from a natural disaster is strong social solidarity from various levels of the

O

society. The various forms of aids

seem to state (which becomes a cliché if formulated), “your pain is my pain too …” Indeed, it is s o m e t h i n g m o s t e a s i l y understood as the real form of people solidarity. It is something that makes all people feel touched and grateful that there will always be hope for a better life.

Without regard to the problem of social solidarity, there i s a l s o a r e l i g i o u s i s s u e consuming our attention. A national paper wrote as the heading for news on the tectonic quake: “The VAULT that Puts US Together”, tells how common people in numerous places in Jogja cooked “wrapped rice” to be distributed to the refugees; all done at once without the need of any coordination. In general, solidarity for humanity seems very loud. Nevertheless, on religious diversity among volunteers, the disaster (at least what took place in some places in Bantul regency, Jogjakarta) shows firming on religious identity resulting in restrained relationship between victims and people from outside of disaster area.

The Focus of this September edition presents some cases investigated by the editor team.

Low Trust Situation

It is said that the level of trust between one Indonesian to another is quite low. Whether it is true or not could be perceived from sense of suspicion that emerges in daily life. This suspicion, if contemplated, appears in line with changes in values and social order that are not undergone well, raising sense of insecurity towards environment. Weregretfully also witness that in Indonesia, there is contrived wariness toward the other. One form of it easily witnessed is the efforts to delineate differences in midst of the community which eventually would put a halt on communication

SENTIM EN KEAGAM AAN

DI TENGAH BENCANA

alah satu sisi yang terekspos media dari peristiwa bencana alam adalah solidaritas

S

sosial yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Beragam bantuan dalam berbagai bentuk ini, seperti mengisyaratkan pernyataan (yang menjadi klise bila dirumuskan), “sakitmu, adalah sakitku juga…”. Ya, inilah yang paling mudah dipahami sebagai bentuk nyata solidaritas masyarakat. Sesuatu yang membuat semua orang merasa terharu dan bersyukur, bahwa selalu ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

Di luar persoalan solidaritas sosial ini, ada juga isu keagamaan yang menggelitik. Sebuah koran nasional memberi judul berita tentang gempa tektonik dengan ungkapan “Patahan yang menyatukan” menceritakan bagaimana warga masyarakat biasa di beberapa tempat di Jogja membuat nasi bungkus untuk dibagikan pada para pengungsi korban gempa yang dilakukan serentak tanpa komando. Secara umum solidaritas kemanusiaan tampak dengan gegap gempita. Tetapi menyangkut masalah perbedaan agama para relawan atau dermawan yang ingin membantu, peristiwa bencana (setidaknya yang terjadi di beberapa tempat di kabupaten Bantul Jogjakarta) menunjukkan ada pengerasan batas-batas identitas agama yang membuat relasi-relasi antara korban dengan orang luar daerah bencana kadangkala berjalan tidak rileks.

Fokus newsletter edisi September ini akan menyajikan beberapa kasus yang berhasil diteliti oleh tim redaksi.

Masalah Saling tidak Percaya

Konon rasa percaya masyarakat Indonesia satu dengan yang lain cukup rendah. Benar tidaknya penilaian ini bisa dilihat dari kecurigaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Kecurigaan ini bila direnungkan muncul beriringan dengan perubahan nilai-nilai dan tatanan sosial yang tidak dilalui dengan baik, sehingga memunculkan rasa tidak aman terhadap lingkungan. Dengan sangat menyesal, kita menyaksikan bahwa di Indonesia, ada juga kecurigaan dalam masyarakat yang hadir karena 'rekayasa'. Salah satubentuk rekayasa yang

Listia

(4)

among members of the community. Minimum communication is the most rational factor resulting in lack of understandingand sensitivity in different groups in the community towards numerous aspects of differences supposedly be managed together as the main part of living in one

community. T h e initiative to open channel

o f

communicatio n is proven to b e a v e r y s i g n i f i c a n t means to lose any wariness and suspicion. I n t e r f i d e i ' s N e w s l e t t e r editors heard some rumor that there was a g r o u p o f church activists calling themselves Indonesia Prayer Network that planted the Bible (Christian Holy Book) among the aids submitted to the quake victims in Bantul. Other religious communities (In general Moslems and Hindus) understand such news as part of Christian missionary efforts. Members of our editor try to track down the source of this rumor.

Eventually, our Newsletter editor found a source directly related to this news. Didin, a student of UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, an activist at Islamic Student Union, explained that there were Bibles in their post because those Bibles were procured intentionally, provided for Christians around the post of Islamic Student Union. Didin further elaborated that some volunteers at the post have long been cooperating with Theology School (STT) Apostolos Jakarta, including when coming to the aid with the victims of the quake in Bantul. They ordered Bibles to their friends at STT Apostolos, while for Moslems, they have also been able to provide al Qur'an.

From the afore-mentioned case, we should be able to see that news/rumors are at times not appropriate with the real event. If the community does not have any initiative to ask about such news that could bring in problems in the life of the mudah disaksikan adalah adanya upaya-upaya

mempertegas perbedaan dalam masyarakat yang pada akhirnya menutup komunikasi satu dengan yang lain. Minimnya komunikasi adalah hal paling rasional yang menyebabkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat menjadi saling tidak paham, tidak mengerti dan

peka terhadap berbagai unsur perbedaan yang harus dikelola bersama sebagai bagian paling utama dalam bermasyarakat.

Inisiatif untuk membuka komunikasi terbukti menjadi sarana yang sangat penting untuk m e n g h i l a n g k a n k e c u r i g a a n . Redaksi Newsletter Interfidei sempat mendapat kabar bahwa ada sekelompok aktivis Gereja yang menamakan diri Jaringan Do`a Indonesia menyisipkan al Kitab (kitab suci umat Kristiani) di antara bantuan-bantuan yang akan diserahkan pada para korban gempa di Bantul.

Kelompok-kelompok umat beragama di luar Kristiani (umumnya muslim dan umat Hindu) banyak yang mudah memahami berita seperti ini sebagai bagian dari upaya-upaya misionaris Kristen. Beberapa anggota redaksi mencoba menelusuri sumber berita.

Akhirnya redaksi Newsletter menemukan narasumber yang berhubungan langsung dengan berita ini. Didin, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, aktifis HMI menjelaskan bahwa al Kitab tersebut ada di posko mereka karena sengaja diadakan, disediakan untuk warga Kristiani di daerah sekitar posko HMI. Selanjutnya Didin menjelaskan bahwa sebagian relawan di posko ini telah lama menjalin kerjasama dengan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Apostolos Jakarta, termasuk ketika membantu korban gempa di Bantul. Al kitab mereka pesan pada kawan-kawan dari STT Apostolos, sementara untuk warga yang beragama Islam mereka sudah bisa menyediakan al Quran.

Demikianlah sebuah berita acapkali beredar tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Andaikan masyarakat tidak mempunyai inisiatif untuk bertanya tentang berita yang sekiranya bisa menimbulkan masalah dalam bermasyarakat, seperti ini maka cerita tentang

Anak-anak korban gempa belajar di tenda darurat.

Sumber: Dokumentasi Interfidei

(5)

community, the rumor about Bibles planted in the aids could be spread like fire and twisted to be an unhealthy source of suspicion in midst of various problems existing already.

The issue of Christianization, as what rose once during the recovery process of the tsunami victims in Aceh also emerged in the aftermath of the earthquake in Jogja and Central Java. A Protestant priest 'entrusted' aid from his church through Interfidei's volunteer post with argumentation 'so that people wouldn't consider it Christianization'. GKI, an abbreviation from Gereja Kristen Indonesia (Indonesian Christian Church), in i t s e f f o r t s i n humanitarian aid for the people in Bantul and Klaten changed its a b b r e v i a t i o n t o Gerakan Kemanusiaan Indonesia (Indonesian H u m a n i t a r i a n Movement). Such a c h a n g e i s h a r d l y n e c e s s a r y i f o u r community is used to thinking clearly in responding to different news or rumors. In an emergency situation in which anybody having the capacity to aid is expected to do anything necessary to lighten the burden of the people surviving the disaster, in reality there is still much work to be done to rid of various prejudice.

The desperately low trust among different religious communities seems to be a homework we are yet to face. On one side, various circles in Christianity recognize that Christians are not just one, as there are many at-times-different religious understandings, including in understanding the meaning of 'living the Gospels and consoling souls'. Most Christians interpret this understanding by living to the values upholding and embracing humanitarian values, but a few people interpret it by rounding up Church members. Perhaps there was an event where one tried to convert another into a Christian, and this news was then developed in such a way that a thought then was shared that all Christians are missionaries looking forward to converting others into Christians as well. adanya al Kitab yang terselip di antara bantuan

yang diberikan bisa beredar dan terus dipelintir menjadi sumber kecurigaan yang sangat tidak sehat di tengah berbagai persoalan.

Isu Kristenisasi, sebagaimana pernah mencuat saat pemulihan korban bencanatsunami

di Aceh terjadi pula paska musibah gempa di Jogja dan Jawa Tengah ini. Seorang Pendeta Kristen Protestan sempat 'menitipkan' bantuan dari gereja melalui posko relawan Interfidei dengan alasan 'biar tidak dianggap kristenisasi'. GKI yang sehari-hari adalah singkatan

Gereja Kristen Indonesia, dalam upaya membantu masyarakat di Bantul dan K l a t e n m e n g g a n t i s i n g k a t a n m e n j a d i Gerakan Kemanusiaan Indonesia. Pergantian arti s i n g k a t a n i n i sesungguhnya tidak perlu t e r j a d i s e a n d a i n y a masyarakat kita terbiasa b e r f i k i r j e r n i h menghadapi berbagai b e r i t a . P a d a s i t u a s i tanggap darurat dimana s i a p a s a j a y a n g mempunyai kemampuan u n t u k m e m b a n t u

diharapkan bisa melakukan apa saja untuk segera meringankan beban masyarakat yang tertimpa bencana, kenyataannya masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjernihkan cara berfikir, mengusir berbagai prasangka.

Minimnya rasa percaya antar pemeluk agama yang berbeda tampaknya menjadi PR yang masih harus dihadapi. Di satu sisi beberapa kalangan Kristiani mengakui bahwa umat Kristiani pun tidak satu, ada banyak paham keagamaan yang adakalanya berbeda di antara mereka, termasuk dalam memahami makna 'memashurkan Injil atau memenangkan jiwa'. Sebagian besar umat Kristiani menghayati paham ini dengan cara menghidupi nilai-nilai yang m e n i n g g i k a n d a n m e m e k a r k a n h a r k a t kemanusiaan, namun ada juga oknum atau kelompok kecil yang memaknainya dengan cara memperbanyak warga Gereja. Barangkali pernah ada kejadian seseorang “meng-kristen-kan” yang lain, kemudian berita ini dikembangkan

Focus

Edisi September 2006

Simpati dari Umat Budha Korea untuk korban gempa Jogja.

(6)

Ironically, if there is one thing most often responded by religious communities other than Christians, it would be this small group's movement, as religious communities other than M o s l e m s v e r y o f t e n respond to intolerant and radical movements done by a small group of M o s l e m s . T h u s , t h e situation invented the labels 'missionary' for Christians and 'intolerant and radical' for Moslems that have proven to destroy trust among members of the community.

If only there is w i l l i n g n e s s a m o n g religious communities to o p e n a n i n t e n s i v e communication, then we could see a great possibility that wariness emerging due to this lack of trust to others will also disappear.

Hidden Agenda and Sentiment

In midst of post-disaster suffering, one interesting phenomenon is the number of 'banners' put out by the donors. If we could read the mind behind this crowd of a banner, it was as if they cried out “Look, we whose names are written here have done something to help out”. Or perhaps (this is another 'if'), “Don't forget, we are generous, keep that in mind!” This all of course does not mean that we have to have bad thought about these donors: that they have a hidden agenda so that they are memorized for their good names, or so that people they helped would in the future be supporters of the donors. The reality is that the survivors of the disaster really need the donors' hands, and we of course also feel relieved when we see the victims' burdens be lightened. So, critical thoughts must not always be uttered blatantly as it could provoke interpretation that considers critical thoughts as unproductive talkative attitude.

The emergence of any critical thought when seeing any symbol, signs, or writings about the donors attached to cars or packages of aids, or banners saying that this is group A's region, or association B's area, and so on should be able to be ended by an understanding that all people or groups sedemikian rupa sehingga beredar pikiran

seolah-olah semua orang Kristiani adalah misionaris yang ingin membaptis umat lain. Ironisnya yang sering direspon penganut

agama diluar Kristiani a d a l a h g e r a k a n kelompok kecil ini, sebagaimana umat di luar muslim yang s e r i n g k a l i l e b i h merespons gerakan yang tidak toleran dan keras yang dilakukan oleh kelompok kecil umat Islam. Tidak urung cap misionaris untuk umat Kristiani dari umat lain dan cap tidak toleran dan keras untuk umat Islam dari umat lain terbukti telah menghancurkan rasa

saling percaya diantara warga masyarakat.

Seandainya ada kemauan di antara umat beragama untuk membuka komunikasi yang intensif, maka besar kemungkinan kecurigaan yang timbul karena rendahnya rasa percaya pada yang lain ini akan hilang.

Pamrih dan Sentimen

Di tengah derita paska bencana, fenomena yang menarik adalah banyaknya 'bendera' yang dibentangkan oleh para penyumbang. Kalau boleh berandai-andai membaca pikiran dibalik maraknya bendera itu seolah-olah hendak menyatakan “lihatlah, kami yang namanya tertera disini, sudah membantu”. Atau mungkin saja (ini pengandaian lagi) terdapat pikiran seperti ini, “jangan lupa, kami adalah dermawan, ingat baik-baik!”. Ini semua tentu bukan bermaksud buruk sangka bahwa para penyumbang ini mempunyai pamrih agar dikenang mempunyai nama baik, atau agar orang-orang yang dibantu kelak menjadi simpatisan si pemberi bantuan. Kenyataannya masyarakat yang mengalami bencana sangat membutuhkan uluran tangan mereka itu dan kita turut lega ketika para korban diringankan bebannya. Jadi pikiran kritis tidak selalu harus dikemukakan dengan lugas, karena bisa memancing munculnya penafsiran yang menganggap pikiran kritis sebagai sikap

nyinyir yang tidak produktif.

Fokus

Membangun semangat baru

gempa di Dusun Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro,Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Sumber: Dokumentasi Interfidei

(7)

have the right to have an interest, as long as the mentioned interest does not position those suffering as the result of a disaster as an object of the interest. Nevertheless, we should also ask ourselves about the indicator that one interest brought by one person or group does not make other parties as objects.

A proverb says, 'If you are really kind-hearted, you would not be upset with people who do not thank you for what you have done for them'. How about the donors with their enormous banners discrediting others who just want to help? An example of the case is the spread of a rumor “Watch out, be careful with the aid given by this group, they are just trying to gain your sympathy so that you would follow their faith”. It seems that these banner men trying to discredit others just plunge themselves in the hole of shame. It is impossible for people who try to give their hearts to dirt them at the same time.

Sincerity towards Life

In the end of this article, it is not too much to re-raise the theme of sincerity which now seems not to be as interesting to discuss. Traditional teachings of religions say “If your right hand gives, don't let your left hand see”. In other words, the phenomenon exhibiting kindness or generosity is something worthy to notice, observe, and reflect, that this is the portrait of our maturity in living in the community, where kindness is not done for M u n c u l n y a

pikiran kritis saat melihat simbol, tanda atau tulisan-tulisan tentang si penyumbang tertempel di mobil-mobil atau menempel pada dos-dos berisi barang bantuan, atau bendera-bendera yang seolah-olah mematok ini wilayah kelompok A , s e b e l a h n y a k e l o m p o k B , d a n seterusnya, cukup bisa d i a k h i r i o l e h pemahaman bahwa s e m u a o r a n g a t a u kelompok berhak untuk m e m p u n y a i s u a t u kepentingan, sepanjang

kepentingan ini tidak memposisikan masyarakat yang tertimpa bencana sebagai obyek dari kepentingan tersebut. Namun apa yang menjadi ukuran bahwa suatu kepentingan yang dibawakan oleh seseorang atau kelompok tidak meng-obyek-kan pihak lain?

Sebuah pepatah mengatakan, 'bila engkau sungguh-sungguh baik hati, kau tidak akan marah dengan orang yang tidak tahu berterima kasih padamu'. Bagaimana dengan para pemberi bantuan yang mengibarkan bendera besar-besar dan mendiskreditkan kelompok lain yang juga ingin membantu? Misalnya dalam konteks tema ini adalah, sambil menghembuskan isu “awas, hati-hati dengan bantuan yang diberikan kelompok ini, mereka hanya ingin mengambil hati agar mengikuti keyakinan mereka”. Tampaknya para pengibar bendera yang mencoba mendiskreditkan kelompok lain hanya menjatuhkan diri sendiri pada lubang aib. Orang yang berusaha memberi hati, tidak mungkin pada saat yang bersamaan mengotori hatinya.

Tulus Bagi Kehidupan

Di akhir tulisan ini tidaklah berlebihan bila mengangkat kembali terma ketulusan yang agaknya sekarang menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk didiskusikan. Ajaran tradisional agama-agama menyatakan “jika tangan kananmu memberi, hendaknya tangan kirimu tidak melihat”. Dengan kata lain fenomena memamerkan

Bangunan sekolah darurat SD Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakartal

Sumber: Dokumentasi Interfidei

(8)

Total Togetherness:

Learning from Humanitarian Solidarity for Survivors of Disaster

umane value(hablun min al-nas) is put as second highest priority in Islamic teaching, right after spirit of Divinity (hablun min

H

Allah). These two teachings have strong correlation to the point where both can no longer be distinguished. It is as if humanitarian spirit can never be in the opposite of religious spirit, and vice versa. Religions were not descended as a constraint to humanity, let alone as a shackle to humanitarian values (Qs. 22: 78). Thus, anything that agrees with humanitarian values (of use for human being) will never cease to exist on earth, whereas those not concur with the values (worthless for people, as foam in the sea) will not exist (Qs. 13-17). Thus, despite the say that Islam originates from God, compliance to Islam itself is not for the interest of God, but for the humanity of human being itself, as God's keridhaan (willing) depends on how far human beings do their best for themselves (Qs. 47:38). Real appreciation towards the divine values will automatically result in real appreciation towards humane values (Qs.31:12). Absence of either one of the two aspects will create fakeness,

1

false, in the other aspect. Human being has very respected position in this world. Thus, all kinds of deeds destroying the existence of human life directly or indirectly, is an attitude that denies the destiny of human being as khalifah on the face of this earth assigned to create kemaslahatan

(benefiting)and to add to riches of earth (Qs. 11: 61).

There are at the very least two behaviors devastating these humane values. First is through direct actions: acts of violence such as warfare, eviction, rape, oppression, etc that occur incidentally or systematically. Second is by means

Kebersamaan Yang Utuh: Belajar Dari Solidaritas Kemanusiaan Untuk Korban

Bencana Alam.

ilai kemanusiaan (hablun min al-nas)

menempati posisi yang sangat tinggi di

N

dalam ajaran Islam setelah semangat

ketuhanan (hablun min Allah). Kedua ajaran ini memiliki korelasi yang sangat kuat sehingga

tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Padanannya semangat kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan semangat keagamaan, demikian pula semangat keagamaan mustahil bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Agama tidak diturunkan sebagai penghalang bagi kemanusiaan, apalagi sebagai pemasung nilai-nilai kemanusiaan( Qs. 22: 78). Maka

sesuatu yang sejalan dengan nilai kemanusiaan (fungsional untuk manusia) tentu akan tetap eksis di bumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna untuk manusia, muspra bagaikan buih) tentu tidak akan eksis di bumi,--(Qs. 13-17). Untuk itu, walau Islam berasal dari Tuhan, tetapi ketaatan terhadap Islam itu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kemanusiaan manusia itu sendiri, karena keridhaan Tuhan tergantung sejauh mana manusia berbuat sebaik-baiknya untuk dirinya sendiri. (Qs. 47:38). Apresiasi sejati nilai ketuhanan dengan sendirinya menghasilkan apresiasi sejati nilai kemanusiaan (Qs.31:12). Ketiadaan salah satu dari kedua aspek itu akan membuat aspek lainnya

1

palsu, tidak sejati. Posisi manusia yang sangat terhormat di dunia ini, maka segala bentuk perbuatan yang menghancurkan eksistensi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan sikap yang mengingkari kodrat manusia itu sendiri sebagai khalifah di muka bumi yang punya tugas menciptakan kemaslahatan dan memakmurkan bumi (Qs. 11: 61).

Paling tidak terdapat dua perilaku yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, pertama; secara langsung, yaitu melalui tindak kekerasan seperti peperangan, penggusuran, pemerkosaan, penindasan dll. yang terjadi secara

1

. See Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.

Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.

Opini

(9)

of indirect actions: destruction of environment / nature, since such action will have direct effect on human being in the form of natural disaster. That's why God tells human beings not to do damage to earth, “ do not make any damage on earth, after (God) mends it and pray to Him with fear and hope. God is truly close to those dong good deeds." (QS. 7:56). Human being has the responsibility to care for this life as damage occurring in land and sea, whether on natural resources or social one is the doing of humans.(Qs. 16:13).

Both aforementioned behaviors are animal-like conducts resulting in tendency in humans to try to control and prey each other. Such animal craze has stained the history of human being with bloodshed ever since the fight between Cain and Abel. Unavoidably, violence after violence kept on going from time to time. Aggression never leaves human life. As a snow ball that keeps on rolling, the more modern human life, the more complex and improved the aggression born of human conduct. We could all witness this historical reality when humans worship a new, “adiluhung” civilization, which gives birth to the myth of modernism with high civilization. Tragically, it is in this peak era modernism that brutal and systematic warfare

th

started. The beginning of the 20 century commenced with World War I (1914-1918) in Europe, upon which even a greater war occurred, World War II (1939-1949) that extended to all corners of earth. Two big wars apparently were not enough. After World War II, 155 wars have taken place in all over the world. The history recorded wars in Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, the Malvinas, and the Gulf war that caused tragedy for the world of humanity, not to mention aggressions of the US to Nicaragua, El-Salvador, Iraq, Libya, and Afghanistan chapter III at present. In some records, these open wars have at least made victims of 20 million lives, most of which were civilians, especially women and children. (Republika, Sunday, 21October 2001: Ideologi Perang, by Haedar Nashir).

Indonesia is not an exception. In the last few years we have witnessed numerous conflicts and violence taking thousands of lives. These social disasters taking place repeatedly have caused disintegration in our almost perfect Indonesia: how each and every citizen of this country coerces and slays each other to sustain insidentil maupun sistematik. Kedua, secara tidak

langsung yaitu melalui pengrusakan terhadap lingkungan/ alam, karena yang demikian bisa berdampak langsung terhadap manusia berupa bencana alam. Untuk itu Tuhan menyerukan agar umat manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi, “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik." (QS. 7 : 56). Manusia punya tanggung jawab untuk merawat kehidupan ini karena kerusakan yang terjadi di darat dan lautan, baik terhadap sumber daya alam maupun sumber daya sosial adalah karena perbuatan manusia.(Qs. 16:13).

Kedua perilaku di atas merupakan perilaku hewani yang membuat manusia punya kecenderungan untuk saling menguasai dan memangsa. Nafsu kebinatangan seperti ini dalam sejarah kehidupan manusia telah menoreh sejarah kekerasan abadi sejak terjadi perkelahian antara Habil dan Kabil. Tak pelak lagi kekerasan demi kekerasan terus terjadi dari satu zaman ke zaman berikutnya. Kekerasan tak pernah luput dari kehidupan manusia. Seperti bola salju yang terus berputar semakin modern kehidupan manusia, tindak kekerasan yang lahir dari perilaku manusia pun semakin meningkat dan kompleks. Tak pelak lagi realitas-historis itu dapat kita saksikan ketika manusia memuja peradaban baru yang “adiluhung”, yang melahirkan mitos modernisme yang berkeadaban tinggi (high civilization).

Namun sungguh tragis, di era puncak kemodernan itulah perang yang brutal sekaligus sistematik telah dimulai. Awal abad ke-20 justru dimulai dengan Perang Dunia Pertama (1914-1918) di Eropa. Setelah itu, perang yang lebih dahsyat hadir kembali yaitu Perang Dunia Kedua (1939-1949), yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. Dua perang besar ternyata tak cukup. Pasca Perang Dunia Kedua itu, ternyata lebih dari 155 perang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita mencatat perang di Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, Malvinas, dan perang Teluk begitu menonjol dan menimbulkan jejak tragis bagi dunia kemanusiaan. Belum terhitung agresi Amerika Serikat ke Nikaragua, El-Salvador, Irak, Libya, dan ke Afganistan jilid tiga saat ini. Dalam sebagian catatan, perang-perang terbuka itu tidak kurang telah menelan korban 20 juta nyawa manusia. Sebagian besar korban adalah rakyat sipil, khususnya anak-anak dan

perempuan. (Republika Minggu, 21 Oktober 2001

Ideologi Perang, oleh Haedar Nashir).

Tak terkecuali di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi sejumlah konflik dan kekerasan sosial yang memakan korban ribuan manusia. Bencana sosial yang terjadi secara beruntun ini telah mengakibatkan disintegrasi keindonesiaan kita menjadi

(10)

his/her own existence instead of our collective existence; as if one's existence will never be recognized if s/he does not negate the existence of others of course by means of finding grounds for legitimacy, i.e. religion and ethnic in specific.

On the other side, awareness of collective life in “unity in diversity” has been a commitment of our Indonesia. Even far before thoughts of having Indonesia as an independent state, this nation had been blessed with plural existence, in terms of ethnics, religions, features, and language. Nevertheless, this state of pluralism was reflected by our Founding Fathers as one nation, one land, one language, and one birth land, in “Youth Pledge”, 28 October 1928. Unfortunately, historically and realistically, based on existing social disintegration it could be said that the process in becoming Indonesia is more of political nature and is still in the state of territorial claim, whereas the whole process still has not been complete culturally.

The problem of our nation lies on the perception “I, you, they, s/he” instead of “we” that makes this nation lacks of capacity to face national problems totally as a collective problem. Conflicts in Moluccan Islandr and Poso between Moslems and Christians not only result in segregation between the two communities in the areas but also greatly affect social segregation in this very country. The effect of disintegration in the wider community could be seen from this case: when a hampir sempurna. Betapa

setiap anak bangsa saling menindas dan berbunuh-bunuhan untuk mengokohkan eksistensinya masing-masing, b u k a n u n t u k e k s i s t e n s i b e r s a m a . S e a k a n eksistensinya tidak akan diakui dan punya peran tanpa menegasikan eksistensi orang lain tentu dengan mencari pelbagai legitimasi, yaitu terutama dari agama dan etnis. Padahal kesadaran h i d u p b e r s a m a d a l a m “kebinekaan tetapi tetap satu” telah menjadi salah satu k o m i t m e n b e r s a m a keindonesiaan kita. Bahkan

jauh sebelum adanya imajinasi tentang negara Indonesia, pada dasarnya keberadaan bangsa ini sudah plural, sebagai anugerah Ilahi--dari aspek etnis, agama, warna kulit, dan bahasa. Kenyataan pluralitas bangsa ini kemudian diimajinasikan oleh para Founding Fathers sebagai satu bangsa, Satu tanah air, satu bahasa, dan satu tumpah darah, pada “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. Hanya saja secara historis dan berdasarkan realitas disintegrasi sosial yang ada dapat dikatakan bahwa proses menjadi Indonesia ini lebih dominan bersifat politis serta masih berada pada klaim teritori, sedangkan secara kultural proses menjadi Indonesia belum selesai.

Problem kebangsaan kita yang masih tersekat dalam cara pandang “saya, kamu, mereka, dia” sebagai bukan “kita” secara vis-à-vis membuat bangsa ini kurang mampu menghadapi masalah-masalah kebangsaan ini secara total sebagai masalah bersama. Konflik SARA di Maluku dan Poso antara komunitas Islam dan Kristen bukan hanya mengakibatkan segregasi antara kedua komunitas pada daerah tersebut tapi justru berdampak luas pada segregasi sosial di negera ini. Dampak disintegrasi yang terjadi pada masyarakat yang luas dapat kita saksikan ketika orang Islam di serang dan terbunuh di Ambon atau Poso, maka orang Islam di wilayah lain mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari orang Islam di Ambon atau Poso, sedangkan orang Kristen di wilayah lain juga mengidentifikasikan diri sebagai orang yang menang, demikian pula

Opini

Anak-anak korban gempa Jogja di Dusun Turi, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul sedang memperingati hari kemerdekaan Indonesia.

(11)

Moslem is attacked or murdered in Ambon (Moluccan Islandr) or Poso, Moslems in other regions identify themselves as a part of Moslem in Ambon or Poso, whereas Christian from other regions also identify themselves as the winners, and vice versa. Thus, the terms “our people and their people”, “their victims and our victims”, “our loss and their loss”, “our victory and their victory”, “our area and their area”, “our happiness and their happiness”, “our suffering and their suffering”, etc emerged. This segregating point of view occurred also when we responded to the conflict between Iraq and USA, and conflict between Israel vs. Palestine and the Hezbollah in Lebanon.

The pattern “we and they” which is segregated so distantly bring about tearing apart of meaning of humanity. Wariness and distrust of citizens of this nation towards humanitarian solidarity and aid provided for survivors of disasters in Aceh, Nias and Yogyakarta, and the issue of Christianization and Islamization are the effects of this segregation. The social segregation we helped build would not only have impact on social disintegration but also add to traumatic burdens of the victims. Would not it be better to look at those volunteers and donors of humanity, whoever and wherever they are or come from, as a true response for humanity? Would not it be more meaningful if solidarity for humanity comes from different people, yet firmly invites and states that we are one for humanity? Would not discrediting each other weaken this solidarity for humanity? Is it not true that true kindness does not need labeling and hidden agenda?

The response towards true universal humanity will have to go beyond the geographical, ethnic, ideological, and religious boundaries. Thus, humanitarian tragedies that occur one after the other in various regions in this very land or in other countries with different ethnic, religious, and language background serve as valuable lessons for us all to respond truly and sincerely to the meaning of this universal humanity. Sympathy and perhaps empathy to the victims disregard to their backgrounds is a significant stage for us all to end this social segregation and do social reintegration. Drawing lessons from humanitarian work in Aceh, Yogyakarta, Sinjai all the way to Pangandaran is a valuable and irreplaceable momentum for this very nation to build trust and break down prejudice among people in this nation in order to be able to live together in the true bond of civilization. [AW] sebaliknya. Tersebutlah “orang kita dan orang

mereka”, “korban mereka dan korban kita”, kekalahan kita dan kekalahan mereka”, “kemenangan kita dan kemenangan mereka”, “wilayah kita dan wilayah mereka”, “kebahagiaan kita dan kebahagiaan mereka”, “penderitaan kita dan penderitaan mereka”, dst. Cara pandang yang segregatif ini pun terjadi ketika kita merespon konflik Iraq dan USA, serta konflik antara Israel vs Palestina dan Hizbollah di Libanon.

Pola “kita dan mereka” yang tersegregasi begitu tajam, membuat makna kemanusiaan itu tercabik-cabik dan tidak utuh. Bercermin pada kecurigaan dan ketidakpercayaan antar warga bangsa ini terhadap solidaritas kemanusiaan yang diberikan kepada korban bencana seperti di Aceh, Nias dan Yogyakarta dengan issu kristenisasi dan islamisasi merupakan dampak dari segregasi tersebut. Segregasi sosial yang kita bangun seperti ini bukan hanya berdampak pada disintegrasi sosial tetapi turut menambah beban traumatik bagi para korban. Bukankah lebih baik para relawan dan penyumbang untuk kemanusiaan itu siapapun dia dan dari manapun dia dipandang sebagai sebuah respon kemanusiaan yang sejati? Bukankah sangat berarti jika solidaritas untuk kemanusiaan itu datang dari setiap orang yang berbeda namun dengan tegas mengajak serta menyatakan kita satu u n t u k k e m a n u s i a a n ? B u k a n k a h s a l i n g mendeskreditkan itu akan membuat solidaritas untuk kemanusiaan menjadi lemah? Bukankah kebaikan sejati tidak butuh labelisasi dan pamrih?. Respon terhadap kemanusiaan universal yang sejati itu harus melewati sekat-sekat geografis, etnis, idiologi dan agama. Untuk itu, respon terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi secara beruntun dari pelbagai daerah di tanah air hingga dari negara-negara lain, dengan latar belakang suku bangsa, agama, bahasa yang berbeda-beda merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk memiliki respon yang utuh dan sejati terhadap arti kemanusiaan universal. Sikap simpatik bahkan empati terhadap korban yang lahir secara spontan tanpa membedakan latar belakang adalah tahapan yang penting untuk kita meretas segregasi sosial dan melakukan reintegrasi sosial. Belajar dari kerja-kerja kemanusiaan di Aceh, Yogyakarta, Sinjai hingga Pangandaran merupakan momentum berharga bagi bangsa ini

untuk mambangun trust dan membongkar

kecurigaan di antara sesama anak bangsa agar dapat hidup bersama dalam pertalian sejati ikatan-ikatan keadaban. [AW]

(12)

Aktifitas

1. Banjar Baru M eeting

middle-aged man, while standing in crowd, spoke loud. He tried to convince the resource people from KPPSI (Komite

A

Persiapan Penegak Syariat Islam / Islamic Law Upholding Preparation Committee) South Sulawesi, that the Regional Regulation with the content of religion or Islamic Law which lately becomes a trend in numerous regions, e.g. Regional Regulation on Moslem Clothing, will only progress in the “facade” level of community life. Those Regional Regulations will not touch the substance of our social problems. The man in Middle East Moslem-like clothing turns out to be an Orthodox Christian priest from Medan. He explained that R e g i o n a l R e g u l a t i o n o n Moslem Clothing should not use any state instrument. We all need to know that most Orthodox Christian men also were “Arabic” clothing that is commonly known in Indonesia. By making example of himself, the priest conveyed his argument that the “Arabic” clothing he was wearing is a part of a religious identity. Thus, he always wears it everywhere he goes, without force from any party, including from the state. One participant, a high school teacher from an Islamic foundation in Yogya, added that Syariat should not show its Syariat identity labels, but rather put as a priority its divine values, such as anti-corruption and taking side to communal education.

That was just a little talk in one of the sessions in Indonesian Inter-faith Network meeting which carried the theme “Relations between Religions and the State in Indonesia” which was carried out at Banjar Baru, South Kalimantan, on June 12-14 2006. Similar meetings had been implemented twice before: in Malino, South Sulawesi in 2002 and in Candi Dasa, Bali, 2003. Banjar Baru meeting is a re-consolidation of the national inter-faith network, in continuation of the two afore-mentioned meetings. This meeting was followed more and less 60 participants from all over Indonesia, consisting of inter-faith group activists, religious figures, researchers, high school students a n d l e c t u r e r s a t u n i v e r s i t i e s , r e l i g i o u s

1. Pertemuan Banjar Baru

eorang laki-laki setengah baya, sambil berdiri diantara sesak peserta lain, berbicara lantang. Dia berusaha meyakinkan

S

narasumber dari KPPSI (Komite Persiapan Penegak Syariat Islam) Sulawesi Selatan, bahwa Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama atau Syariat Islam yang belakangan ini marak di berbagai tempat, seperti Perda Busana Muslim, hanya bergerak di level “permukaan” kehidupan masyarakat. Perda-perda itu tidak menjangkau substansi masalah sosial kita. Laki-laki berbusana layaknya Muslim asal Timur Tengah itu ternyata seorang pendeta Kristen Ortodoks Syria asal Medan. Beliau menjelaskan Perda Busana Muslim s e y o g y a n y a t i d a k

m e n g g u n a k a n instrumen negara. Perlu diketahui bahwa sebagian laki-laki p e m e l u k K r i s t e n Ortodoks Syria juga m e m a k a i b u s a n a model “Arab” yang b i a s a d i k e n a l d i Indonesia. Dengan m e n c o n t o h k a n dirinya sendiri, Pak P e n d e t a i t u berargumen kalau p a k a i a n m o d e l “ A r a b ” y a n g i a

kenakan merupakan bagian dari identitas keagamaan, maka ke mana-mana ia selalu memakainya, tanpa paksaan dari siapapun, termasuk negara. Seorang peserta, guru SMA dari sebuah yayasan Islam di Yogya, menambahkan hendaknya Syariat tidak menampakkan sisi label-label identitas ke-Syariat-annya, tapi lebih mengedepankan nilai-nilai luhurnya, seperti anti korupsi dan keberpihakan pada pendidikan kerakyatan.

Demikanlah sekelumit pembicaraan dalam salah satu sesi di Pertemuan Jaringan Antar Iman se-Indonesia yang mengambil tema “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”, diselenggarakan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, tanggal 12-14 Juni 2006 lalu. Pertemuan sejenis pernah diadakan dua kali sebelumnya, di Malino, Sulawesi Selatan tahun 2002 dan di Candi Dasa, Bali tahun 2003. Pertemuan Banjar Baru merupakan konsolidasi

Para peserta Pertemuan Jaringan Antar Iman se-Indonesia di Banjar Baru, Kalimantan Selatan

(13)

Activity

Edisi September 2006

organizations' management, and pro-democracy activists. The one-day seminar invited about 100 participants from the neighboring areas of South Kalimantan. These participants were from various social and religious movements, universities, and the local government. One thing distinguishing this inter-faith meeting which is conducted by Interfidei cooperate with local organizations (in Malino cooperate with Dialogue Forum of South Sulawesi, in Bali cooperate with Gedong Gandhi Ashram, in Banjarmasin cooperate with LK3 dan Dialogue Forum of South Kalimantan) from other similar meetings previously held is the joining of religious communities that up to that very point rarely participated in such meting. Just mention for example the Hidayatullah, Ahmadiyah, MUI, and KPPSI. Involvement of these particular groups in the making of a dialog in Banjar Baru did not only find a meeting point, but also a fighting point. Despite the fact that is unavoidable that it is not easy to get to a meeting point of collective commitment, an honest dialog is expected to be able to at the very least decrease prejudice among these groups that had spent so much time in the field disputing.

I n a d d i t i o n t o t h e o b j e c t i v e o f intensification of Indonesian inter-faith groups' network, Banjar Baru meeting also serves as an occasion to reformulate a collective agenda and networking mechanism of numerous inter-faith groups, as well as to do brain-storming on how to implement the agenda with the community in a wide scale. Since it specifically focused itself on the issues around the relation between religion and the state, Banjar Baru meeting explored actual progresses around the relation between religion and the state in numerous regions and tried to find a way out for inter-faith groups to contain the negative effects resulted from these tendencies.

This program sponsored by Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3/ Islamic and Community Study Institute) Banjarmasin, Forum Dialog (Dialog Forum) South Kalimantan, and Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta presented a number of resource people, among others M.M. Billah (Komnas HAM/ National Commission on Human Rights), Daniel S p a r r i n g a ( K o m u n i t a s I n d o n e s i a u n t u k Demokrasi/ Indonesian Community for Democracy), Qasim Mathar (IAIN Alaudin Makassar), Listia (Interfidei), H. Aswar Hasan (KPPSI Sulsel), Trisno S. Sutanto (Madia Jakarta), ulang jaringan nasional kelompok antar iman,

melanjutkan dua pertemuan tersebut. Pertemuan Banjar Baru diikuti tak kurang dari 60 peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri dari para aktivis kelompok antar iman, tokoh agama, peneliti, guru dan pengajar di perguruan tinggi, pengurus Ormas keagamaan, dan aktivis pro-demokrasi. Sementara seminar sehari mengundang tak kurang 100 peserta di sekitar Kalimantan Selatan dari berbagai unsur gerakan sosial dan keagamaan, perguruan tinggi, dan pemerintah lokal. Satu hal yang membedakan pertemuan kelompok antar iman yang diprakarsai oleh Interfidei bekerjasama dengan jaringan setempat ( di Malino dengan Forum Dialog Sulawesi Selatan, di Bali dengan Gedong Gandhi Ashram, di Banjarmasin dengan Lk3 dan Forum Dialog Kalimantan Selatan) dengan pertemuan sejenis yang lain adalah ikut bergabungnya kelompok keagamaan yang selama ini jarang bergabung. Sebut saja sebagian misalnya kelompok Hidayatullah, Ahmadiyah, MUI, dan KPPSI. Keterlibatan kelompok-kelompok tersebut membuat dialog di Banjar Baru tidak saja menemukan titik temu, tapi sekaligus titik tengkar. Meskipun tak bisa diingkari tidak mudah menembus titik temu komitmen bersama, tapi dialog yang jujur diharapkan bisa mengurangi prasangka diantara kelompok yang di lapangan sering bersitegang.

Selain bertujuan untuk memperkuat jaringan kelompok antariman se-Indonesia, pertemuan Banjar Baru juga menjadi ajang untuk merumuskan kembali agenda bersama, mekanisme berjejaring berbagai kelompok antar iman, dan s e k a l i g u s m e n g g a g a s b a g a i m a n a mengimplementasikan agenda tersebut bersama masyarakat luas. Karena secara spesifik memfokuskan pada isu-isu di sekitar relasi agama d a n N e g a r a , p e r t e m u a n B a n j a r B a r u mengeksplorasi perkembangan-perkembangan aktual di seputar relasi agama dan negara di berbagai daerah dan mencari jalan keluar b a g a i m a n a k e l o m p o k a n t a r i m a n b i s a m e m b e n d u n g e f e k - e f e k n e g a t i f d a r i kecenderungan-kecenderungan tersebut.

(14)

Aktifitas

Zakaria Ngelow (Forlog Sulsel), Ahmad Syafi'i Mufid (Depag / Department of Religious Affairs Jakarta), Mariatul Asiah (LK3), and Pastor Yong Ohoitimur (STF Manado).

This meeting in Banjar Baru recommends the significance and urgency to notice following strategic issues. First, it is important for each inter-faith group to have a network with cultural assets of various truly plural local elements around it, not only based on religious diversity, but also various religious denominations. The effect expected out of this is the expansion of local inter-faith group network, comprising real social assets living in the midst of a community. Second, encouraging religious education at schools to serve as a media in which we could all learn about pluralism and multiculturalism. For this purpose only, it is important to expand our activities not only to religious figures, community figures, and youth circles, but also religious teachers in basic until high school education levels.

Third, in response to the application of Regional Regulations with the content of religion or Shariah, inter-faith groups in various regions must strictly encourage appreciation for pluralism as nonnegotiable social values and norms. Inter-faith groups are required to support advocacies to protect civil, political, economic, and cultural rights of people, in specific of women, children, and the minorities that are often oppressed by the Regional Regulations.

Of course, all the above good ideas are meaningless if only made as a discourse in a meeting. All of those affairs count on hard work of each and every inter-faith institute existing in Indonesia to do the follow-up actions required, whether within each group, in the alliance of a number of groups, or within the network nationally. Building of network synergy, dissemination of inter-group communication media, and sharing of lessons learnt in terms of capacity building in funding are absolute requirements need to be considered by each inter-faith institute. A number of persons have been asked to voluntarily meet and formulate more systematically the outputs of the meeting, and to disseminate the information to other participants of the meeting. We are all waiting for the output of the hard work of Team Five: Tri Giovani (Puskat), Trisno (Madia), Elga (Interfidei), Muslich (LBK-UB), and Stanley (Demos). We have such great expectation on Banjar Baru meeting, don't we all? [Shd]

Mathar (IAIN Alaudin Makassar), Listia (Interfidei), H. Aswar Hasan (KPPSI Sulsel), Trisno S. Sutanto (Madia Jakarta), Zakaria Ngelow (Forlog Sulsel), Ahmad Syafi'i Mufid (Depag Jakarta), Mariatul Asiah (LK3), dan Pastor Yong Ohoitimur (STF Manado).

P e r t e m u a n B a n j a r B a r u merekomendasikan pentingnya memperhatikan beberapa isu strategis berikut ini. Pertama, tiap kelompok antar iman penting menjaling kekuatan kultural berbagai elemen lokal di sekelilingnya yang benar-benar majemuk, bukan saja atas dasar keragaman agama, tapi juga berbagai aliran keagamaan. Pengaruh yang diharapkan adalah semakin luasnya jaringan kelompok antar iman lokal yang terdiri dari kekuatan-kekuatan riil sosial yang hidup di masyarakat. Kedua, mendorong pendidikan agama di sekolah menjadi media untuk saling belajar tentang kemajemukan dan m u l t i k u l t u r a l i s m e . U n t u k i t u p e n t i n g mengembangkan kegiatan-kegiatan tidak saja di kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemuda, tapi sekaligus juga para guru agama dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah.

Ketiga, mensikapi diberlakukannya perda-perda bernuansa agama atau Syariat, kelompok antar iman di berbagai daerah dengan tegas harus mendorong penghargaan kemajemukan sebagai nilai dan norma sosial yang tak bisa ditawar. Kelompok antar iman perlu mendukung advokasi-advokasi untuk melindungi hak-hak sipil, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas yang acapkali tertindas oleh perda-perda tersebut.

(15)

Activity

Edisi September 2006

2. Ambon Report

tudi Agama-Agama/ Study on Religions (SAA) was for the very first time carried out

S

in the city of Ambon, Moluccan province. Blood-shed conflicts in Ambon in 1999 and 2000, and smaller scale disputes in 2002 and 2004 gave a special meaning for this program. If commonly study on religion program is implemented to provide wider horizon for participants from diverse religious traditions in terms of religions, this time the study was held to see the root of violence within the tradition of religions in Maluku.

The program held on 17 20 July 2006 carried

the theme ”Building

Peace: Learning from Failure of Religions” and w a s t h e p r o d u c t o f c o o p e r a t i o n b e t w e e n Lembaga Antar Iman Maluku (Maluku Inter-faith Institute / eLaIeM) Ambon and Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta. The theme reflects wariness in the contribution made by religions in reducing tension while at the same time creating it in a social conflict. Despite the fact that the situation in Maluku in general and specifically in Ambon has been safer and conducive, there is undeniably a”root” of problem need to be looked into more within this religious tradition.

The Stadium General to provide the discussion class with a general framework was held at the hall of Pattimura University (Unpatti). The speakers were Father Albertus Jamlean (Ambon Diocese), Dr. Qasim Mathar (IAIN Alauddin), Dr. Julianus Mojau (STT GMIH Tobelo), Drs. Hadi Basalama (STAIN Ambon), and moderator Jacky Manuputty (eLaIeM). In this Stadium General, criticism was made on religions serving as a legitimating source for violence and the weakness of local cultural values. The Stadium General was then carried on with collective learning at the Education and Training Center of Fishery Faculty of On parti to work on a common understanding. There were more and less 40

2. Reportase Ambon

tudi Agama-Agama (SAA) untuk pertama kalinya diselenggarakan di kota Ambon,

S

propinsi Maluku. Konflik berdarah Ambon tahun 1999 dan 2000 serta bentrokan yang lebih kecil di tahun 2002 dan 2004 memberi makna khusus bagi acara ini. Jika biasanya SAA diselenggarakan untuk memberi wawasan agama-agama bagi para peserta dari berbagai tradisi keagamaan, maka kali ini studi diadakan untuk melihat

akar kekerasan dalam tradisi agama di Maluku.

A c a r a y a n g diselenggarakan 17 20 Juli 2006 ini, diberi tema

M e m b a n g u n Perdamaian: Belajar dari Kegagalan Agama-Agama”, merupakan hasil kerjasama antara Lembaga A n t a r I m a n u n t u k Kemanusiaan Maluku (eLaIeM) Ambon dan Institut DIAN/ Interfidei

Yogyakarta. Tema tersebut mencerminkan adanya kegelisahan tentang kontribusi agama dalam meredakan ketegangan sekaligus menciptakannya dalam konflik sosia. Meskipun situasi Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya sudah lebih aman dan kondusif, tidak dapat dipungkiri ada ”akar” persoalan yang perlu diperiksa dari dalam tradisi keagamaan.

Studium Generale untuk memberi kerangka umum bagi kelas diskusi diselenggarakan di Aula Universitas Pattimura (Unpatti). Para pembicara adalah Pastor Albertus Jamlean MSC (Keuskupan Agung Ambon), Dr. Qasim Mathar (IAIN Alauddin), Dr. Julianus Mojau (STT GMIH Tobelo), Drs. Hadi Basalama (STAIN Ambon), dengan moderator Jacky Manuputty (eLaIeM). Dalam Studium Generale ini muncul kritikan-kritikan terhadap agama sebagai sumber legitimasi kekerasan dan lemahnya nilai budaya lokal. Kemudian Studium Generale dilanjutkan dengan belajar bersama di Diklat Fakultas Perikanan

Unpatti di daerah Poka untuk mempertajam

pemahaman bersama. Peserta yang hadir berjumlah 40orang dan berasaldariberbagai kalangan seperti Sinode Gereja Protestan Maluku, Keuskupan

Para peserta Studi Agama-Agama di Ambon, M aluku

(16)

participants attending the program from various circles such as the Synod of Protestant Church in Maluku, Ambon Diocese, PMKRI, students of STAIN (State Islamic University) Ambon, STAKN (State Christian University) Ambon, Darussalam Islamic University Ambon, Catholic youth, etc. In the discussions and sharing sessions held, each participant tried to reflect conflict situation honestly and openly. In the end of the discussion, there were talks on the significance of reinterpretation of holy books and the need to re-encourage local cultural values such as pela gandong, larvul ngabal, patalima pata siwa, which were believed to be able to maintain social integrity and build peace in Ambon.

Papeda, Bamboo rice, sweet potato, and various kinds of fish dishes which are the specific characteristics of Moluccan were also served to provide ”fuel” for the participants in arguing and sharing of their experience on violence. Of course, we also did not forget entertainment in the evening, watching films together: Savior, Gods Must be Crazy 1 and 2. All of these give specific color and strength in the whole series of program activities implemented. [L CE]

3. Seminar on Religions in Poso

“Breaking down Prejudice,

Reaping Peace

he basic needs in the dynamic of a plural community are good knowledge and

T

understanding on oneself or one own group

as well as others' groups. Lack of understanding of one self or others very often results in misunderstanding, prejudice, negative or mistaken assumptions. In ex-conflict areas such as Poso, Central Sulawesi, lack of knowledge and understanding resulting in prejudice have widened gaps among religions, especially in the relations of community members of different religions. Religions are perceived as a significant factor affecting how people relations are built. This phenomenon will in its turn slow down the process for realization of peace in conflict areas.

The aforementioned fact provides the ground for Institut DIAN/Interfidei in collaboration with Conflict Resolution and Peace Center of Poso and Wasantara Tentena to hold a seminar under the theme “Breaking down Prejudice, Reaping Peace” on July 27 2006 in Poso. The seminar bringing Agung Ambon, PMKRI, mahasiswa/ i STAIN

(Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Ambon,

STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri)

Ambon,Sekolah TinggiAgamaIslam Darussalam

Ambon, Pemuda Katolik, dan lain-lain. Dalam diskusi dan sharing setiap peserta berusaha mereflesikan persoalan konflik secara jujur dan terbuka. Diakhir diskusi juga mengemuka pentingnya reinterpretasi tafsir kitab suci dan mendorong kembali nilai-nilai budaya lokal seperti

pela gandong, larvul ngabal, pata lima pata siwa, yang diyakini mampu mempertahankan integritas sosial dan membangun perdamaian di Ambon.

Papeda, Nasi Bambu, ubi jalar, berbagai masakan dari ikan-ikanan yang menjadi ciri khas daerah Maluku juga disajikan dalam setiap acara makan untuk memberi ”bahan bakar” para peserta dalam beradu argumentasi maupun sharing pengalaman kekerasan. Tidak lupa acara hiburan malam yaitu menonton film bersama yaitu Savior,

Gods Must be Crazy 1 dan 2. Semua itu memberi w a r n a d a n k e k u a t a n t e r s e n d i r i d a l a m menyemangati seluruh rangkaian acara.[Leo CE]

3. Seminar Agama-Agama di

Poso: “M embongkar Prasangka,

M enuai Perdamaian

alah satu kebutuhan mendasar dalam dinamika kehidupan masyarakat plural

S

adalah pengetahuan, pengenalan serta

pemahaman yang baik tentang diri atau kelompok sendiri dan orang atau kelompok lain. Ketidaktahuan tentang kelompok lain maupun dirinya sendiri seringkali berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, prasangka, asumsi yang negatif dan atau keliru. Di daerah bekas konflik seperti Poso, Sulawesi Tengah, ketidaktahuan serta ketidakpahaman yang mengakibatkan prasangka berlebihan memperlebar jurang antar agama-agama terutama hubungan antar masyarakat yang kebetulan berbeda agama. Agama dianggap menjadi faktor penting yang mempengaruhi bagaimana relasi antar manusia dibangun. Fenomena ini selanjutnya akan memperlambat proses perdamaian di wilayah konflik.

Hal tersebut di atas mendorong Institut DIAN/ Interfidei bekerja sama dengan Pusat Resolusi Konflik dan Perdamaian Poso dan Wasantara Tentena untuk menggelar seminar

(17)

forward Dr. Lukman Tahir (Deputy Rector III STAIN Palu) and Rev. Asyer Tandampai (activist of Antar Kita Dialog Forum, South Sulawesi) commenced with elaboration on relations among religions before and after the Poso conflict, then carried on with a collective reflection t o w a r d s p e a c e f u l t h o u g h d i v e r s e c o m m u n i t y o f religion. The seminar g a i n e d p o s i t i v e response from the people of Poso, which was shown by the r e q u e s t o f m o s t participants to attend a group learning program that was held for three days at Siuri Cottage, Tentena, which number of participants was unfortunately limited to 35 only. During this session by Poso lake, participants discussed the history of thinking, ethics/ theology, contextualization and relevance of thoughts, as well as theology and ethics of religions in the life of post-conflict community. The resource people for this valuable occasion were Prof.Dr. Qasim Mathar, Pastor Jacob Adilang MSC and I Nyoman Sadra (Hinduism). The material for this group learning that was for the very first time held in conflict-free area has inspired participants to establish an Inter-faith Dialog Community (KDAI), aimed to preserve the ideal serving as the ground of this Seminar on Religions, i.e. breaking down prejudice, and reaping peace. (LG)

4. Unceremonious Discussion

Spirituality in Social

Humanitarian Movement

ocial problems, along with all their elements at times cause “loss of faith” for activists in

S

doing their “thing”. A sort of energy is required here to flare the hearts of the activists, i.e. spiritual power that exists traditionally within the spirit of religions. Dissatisfaction towards religious institutions due to their lack of actions in facing human problems results in pessimism for “Membongkar Prasangka, Menuai Perdamaian”

pada tanggal 27 Juli 2006 di Poso. Seminar yang menghadirkan Dr. Lukman Tahir (Pembantu Rektor III STAIN Palu) dan Pdt. Asyer Tandampai (aktivis Forum Dialog Antar

Kita, Sulawesi Selatan) ini dimulai dengan memaparkan bagaimana hubungan antar agama sebelum dan sesudah konflik Poso, lalu dilanjutkan dengan refleksi bersama menuju masyarakat beragama yang damai meskipun berbeda. Seminar ini mendapat respon positif dari masyarakat Poso, yang ditunjukkan dengan keinginan sebagian besar peserta untuk ikut serta dalam

belajar bersama untuk membongkar prasangka selama tiga hari di Cottage Siuri, Tentena yang sayangnya terbatas pada 35 peserta. Selama proses belajar bersama di tepi danau Poso, para peserta membahas sejarah pemikiran; etika/teologi; serta kontekstualisasi dan relevansi pemikiran, teologi dan etika agama agama dalam kehidupan masyarakat pasca konflik dengan menghadirkan narasumber Prof. Dr. Qasim Mathar, Pastor Jacob Adilang MSC dan I Nyoman Sadra (Hindu). Materi belajar bersama yang baru pertama kali diadakan di daerah bekas konflik ini menginspirasi para peserta untuk membentuk Komunitas Dialog Antar Iman (KDAI) yang bertujuan melanjutkan cita-cita yang mendasari Seminar Agama-agama, yaitu membongkar prasangka, menuai damai (LG)

4. Diskusi Lesehan:

Spiritualitas dalam Gerakan

Sosial Kemanusiaan

ersoalan-persoalan sosial yang menggurita kadang membuat para aktifis seolah-olah

P

“kehilangan keyakinan” dalam melakukan

aktifitasnya. Disini diperlukan suatu energi yang mampu untuk menyulut semangat para aktifis, yaitu kekuatan spiritualitas yang secara tradisional ada dalam ruh agama. Ketidakpuasan terhadap institusi agama yang kurang berbuat banyak terhadap problem kemanusiaan menimbulkan sikap pesimisme terhadap agama, yang seharusnya

Activity

Edisi September 2006

Para peserta Studi Agama-Agama di Poso.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menafsirkan ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU 30/2014 sehingga harus dibaca sebagai berikut: “Apabila dalam batas waktu

Hal ini berarti rerata kadar progesteron pada kedua kelompok setelah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna ( P <0,05) yang mengindikasikan bahwa pemberian

Film Rindu Kami Padamu karya Garin Nugroho yang di rilis pada tahun 2004 menceritakan sebuah interaksi sosial di pasar tradisional dengan berbagai cerita yang tergabung dalam satu

2003 merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pengguna barangljasa atau panitia tender. ADLN - PERPUSTAKAAN

menyelesaikan Tugas Akhir “Pra Rencana Pabrik Alkyl Benzene Sulfonate Dari.. Alkyl Benzene Dengan Proses Sulfonasi Continuous”, dimana Tugas

Fahrudin Shofi , Pengaruh Kompetensi Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Kelas X pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama. Islam Di SMA

Wiedy Murtini, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Xiong yang menemukan bahwa preeklamsia berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan janin intra uterin, sehingga