• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email: rizkywidhiartogmail.com. ABSTRAK - ANALISIS PERTANGGUNGJAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email: rizkywidhiartogmail.com. ABSTRAK - ANALISIS PERTANGGUNGJAW"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari)

Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email: rizkywidhiarto@gmail.com.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia beratdan faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsari.Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa: a. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada dibawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.b. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1)faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2)sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukumproses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM.

(2)

ANALYSIS OF CRIMINAL ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME AGAINST

HUMAN RIGHTS ABUSES HEAVILY (Case Studies Talang Sari)

Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email: rizkywidhiarto@gmail.com.

ABSTRACT

The purpose of this research is to find accountability criminal military superiors the commission of a crime against human rights abuses and the factors heavy an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses particularly acute in the case of Talangsari. The results of research and discussion showed that: a. Criminal accountability military superiors the commission of a crime against human rights abuses heavy based on hierarkhi the post of commander in organizational structure, which is that every military commander were responsible for the works that are done by his subordinates direct. This is in accordance with a principle immediate superior had a role as a boss who is authorized punish. Basic element of the accountability of a command or a superior military namely: 1) there is an offense or misdemeanor committed by those who are under the command; 2) to exist in subordination directly or indirectly between commanders by a doer; 3) commander the knowledge that his boys will, being or of having committed an offense; and 4) the commander or superiors with power that she had failed to put the prevention or stop or take action against and handed offenders to authorities. b. Factors an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses heavy, such as 1) factors law enforcement officials, namely a lack of commitment every element of government ranging from legislative and executive and judicial branches of resolve to work together in human rights violations heavy; 2) a means or a facility that support law enforcement process of resolving the human rights violation; 3) the people do not understand and less concerned with enforcement of human rights.

(3)

I. PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara

hukum, pernyataan demikian

membawa konsekuensi bahwa

hukum hendaknya dapat dijadikan

sebagai kerangka/landasan/dasar

pijakan dalam mengatur dan

menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, tentunya tak satu pun suatu institusi maupun personalnya, apakah itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil lainnya kebal

terhadap ketentuan hukum dan

perundangan yang berlaku bila

melakukan suatu tindak pidana kejahatan pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut:

a. Adanya pengakuan dan

perlindungan atas HAM yang

mengandung persamaan

dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b. Peradilan yang bebas, tidak

memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan

c. Menjunjung tinggi asas

legalitas.1

Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di

berbagai belahan dunia tanpa

terkecuali Indonesia, bukanlah

merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, akan tetapi memerlukan suatu proses panjang yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang

harus dipertimbangkan. Ketiga

variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap

warisan masa lalu.2

Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan

martabat kemanusiaan adalah

merupakan bentuk pelanggaran

HAM, bila dilakukan secara

sewenang-wenang dan tanpa dasar

pembenaran yang sah menurut

hukum dan perundangan yang

berlaku.3 Dalam sejarah

perkembangan hukum, para pelaku pelanggaran HAM khususnya atasan militer dapat dituntut dan diadili

berdasarkan prinsip

pertanggungjawaban komando. Yang

dimaksudkan dengan

pertanggungjawaban komando

(command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.

2

Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, (Yogyakarta: Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, 2001), hlm. 53. 3

(4)

Negara melalui pemerintahan yang

sah dan berdaulat, merupakan

pelindung utama masyarakat, Namun

realitas seringkali menunjukkan

adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir

setiap aktivitas yang dianggap

bertentangan dan membahayakan Pancasila.4

Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Nara sumber dalam penelitian ini adalah Kanit II Subdit Direktorat Reserse anggota

Kominasi Nasional Hak Asasi

Manusia (Komnas HAM) dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah

dengan langkah-langkah, yaitu

klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan

4

http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.

kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Nara Sumber

Peneliti dalam memperoleh

informasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsarii,

peneliti melakukan wawancara

dengan nara sumber yang terdiri dari hakim, jaksa dan akademisi bidang hukum pidana, yaitu:

1. Dr. Maroni, S.H., M.H., yaitu

akademisi dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila;

2. Shafruddin, S.H., M.H, yaitu

praktisi dan dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila; dan

3. Kabul Supriyadhie, yaitu

Anggota Komisioner Komnas HAM.

B. Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Pelanggaran hak asasi manusia dalam pandangan para pakar dapat

diselesaikan melalui mekanisme

pengadilan, dan komisi kebenaran, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan

dimaksudkan untuk menjunjung rule

of law dan keadilan.5

5

(5)

Undang No. 26 Tahun 2000

mempunyai mandat untuk

menyelesaikan pelanggaran hak asasi

manusia di Indonesia, dengan

kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat

di Indonesia, tetapi pada tatanan das

sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM, yang secara hukum berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran

HAM, sedangkan pada tatanan das

sollen diatur apa saja yang

merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, yang

meliputi kajahatan terhadap

kemanusiaan dan genosida. Dengan

unsur-unsur kejahatannya yang

diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.

Tahapan penyelidikan dalam

pelanggaran hak asasi manusia adalah kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang hasilnya selalu

merekomendasikan adanya

pelanggaran HAM. Komnas HAM

dalam menjalankan perannya

melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang

dibuktikan dengan

rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang dapat

dipergunakan dalam

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, selain ketentuan mengenai genosida yang tidak dapat diterapkan dalam

kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia di Indonesia.

Pelanggaran HAM baik oleh

Komandan Militer dan Atasan Sipil, maupun tersangka/terdakwanya dari anggota militer dan sipil, yang diadili berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, ternyata banyak yang

dibebaskan atau dinyatakan tidak bersalah. Demikian pula masalah

pertanggungjawaban pidana

komandan militer berdasarkan Pasal 129 dan Pasal 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang menyatakan:

a. Pasal 129 KUHPM: “Anggota

tentara yang dengan sengaja, baik dengan melampaui batas kekuasaannya, maupun di dalam suatu keadaan yang asing bagi

kepentingan dinas,

memerintahkan kepada seorang bawahan untuk berbuat, tidak

berbuat atau membiarkan

sesuatu, dihukum dengan

hukuman penjara

selama-lamanya dua tahun delapan bulan”.

b. Pasal 132: “Seorang atasan

militer yang sengaja

mengizinkan seorang bawahan melakukan suatu kejahatan, atau yang menjadi saksi dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang bawahan dengan

sengaja tidak mengambil sesuatu

tindakan kekerasan yang

diharuskan sesuai dengan

kemampuannya”.

(6)

Asasi Manusia (HAM), maka

terdapat pasal yang mengatur

tanggung jawab komandan militer atau atasan sipil yang ancaman pidananya lebih tinggi:

(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai

komandan militer dapat

dipertanggungjawabkan terhadap

tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada

di bawah komando dan

pengendaliannya yang efektif, atau di

bawah kekuasaan dan

pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan

akibat dan tidak dilakukan

pengendalian pasukan secara patut, yaitu:

a. komandan militer atau seseorang

tersebut mengetahui atau atas

dasar keadaan saat itu

seharusnya mengetahui bahwa

pasukan tersebut sedang

melakukan atau baru saja

melakukan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat; dan

b. komandan militer atau seseorang

tersebut tidak melakukan

tindakan yang layak dan

diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan

tersebut atau menyerahkan

pelakunya kepada pejabat yang

berwenang untuk dilakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung

jawab secara pidana terhadap

pelanggaran hak asasi manusia yang

berat yang dilakukan oleh

bawahannya yang berada di bawah

kekuasaan dan pengendaliannya

yang efektif, karena atasan tersebut

tidak melakukan pengendalian

terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:

a. atasan tersebut mengetahui atau

secara sadar mengabaikan

informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja

melakukan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat; dan

b. atasan tersebut tidak mengambil

tindakan yang layak dan

diperlukan dalam ruang lingkup

kewenangannya untuk

mencegah atau menghentikan

perbuatan tersebut atau

menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk

dilakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan.

Sanksi pidana yang diformulasikan berdasarkan Pasal 129 KUHPM paling lama hanya dua tahun delapan bulan, sedangkan Pasal 36 s.d. Pasal 40 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bisa dipidana mati, seumur hidup, penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Tanggung jawab komando bukan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan secara pribadi, tetapi

merupakan tanggung jawab

komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya atau tanggung jawab atas keputusan yang

diambil oleh komandan yang

menimbulkan akibat terhadap orang

lain. Untuk meminta

pertanggungjawaban seorang

komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh prajurit yang berada

di bawah komando dan

pengendaliannya perlu ada unsur

keterlibatan (involvement), hubungan

(7)

(knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan

oleh bawahannya tersebut.6

Menurut Muladi dapat diidentifikasi

elemen utama dari

pertanggungjawaban komando,

yaitu: (1) adanya hubungan antara atasan dengan bawahan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk mengambil

langkah-langkah yang diperlukan dan

beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasan dengan bawahan bisa de jure de facto.7

Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi kalau tidak terjadi

pelanggaran terhadap kewajiban

dinas. Kemudian, komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak

pidana/kejahatan tersebut.8

Pertanggungjawaban atas sebuah pelanggaran HAM berat terdiri dari: 1. Pertanggungjawaban perorangan

Pertanggungjawaban pidana

perorangan adalah seseorang

bertanggung jawab secara pidana dan dapat dikenai hukuman atas suatu

pelanggaran HAM berat yang

dilakukan sendiri. Termasuk di dalam hal ini adalah setiap orang

yang melakukan perbuatan

Percobaan, permufakatan jahat dan

perbantuan untuk melakukan

pelanggaran HAM berat dipidana dengan pidana yang sama ketentuan bagi pelaku perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

2. Pertanggung jawaban komandan militer dan atasan sipil

Komandan Militer Komandan militer

dan atasan sipil dapat

dipertanggungjawabkan atas

pelanggaran HAM berat yang

dilakukan oleh pasukan atau anak

buah yang berada di bawah

komandonya. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 42 yaitu: Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan yang berada

di bawah komando dan

pengendaliannya yang efektif, atau di

bawah kekuasaan dan

pengendaliannya yang efektif dan pelanggaran HAM berat tersebut

merupakan akibat dari tidak

dilakukan pengendalian pasukan

secara patut, yaitu komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu

seharusnya mengetahui bahwa

pasukan tersebut sedang melakukan

atau baru saja melakukan

pelanggaran HAM berat, dan ii. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk

mencegah atau menghentikan

perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang

(8)

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Pertanggungjawaban Atasan Sipil Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: i. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat; dan atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah

atau menghentikan perbuatan

tersebut atau menyerahkan

pelakunya kepada pejabat yang

berwenang untuk dilakukan

penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan.

3. Pertanggungjawaban Komando Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep

tentang kejahatan terhadap

kemanusiaan juga mengalami

distorsi dalam perumusan di

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian tanggung jawab komando dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai

komandan militer dapat

dipertanggungjawabkan terhadap

tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada

di bawah komando dan

pengendaliannya yang efektif.”

Pasal 42 ayat (1) huruf (a) juga mensyaratkan penanggung jawab

komando untuk “seharusnya

mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat (1) huruf (a)

Statuta Roma secara tegas

menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kajahatan.”

Selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur,

atau penyerta, seorang atasan

seharusnya juga bertanggung jawab

secara pidana atas kelalaian

melaksanakan tugas (dereliction of

duty) dan kealpaan (negligence).

Standar hukum kebiasaan

internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika:

a. ia seharusnya mengetahui bahwa

pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan

terjadi dan dilakukan oleh

bawahannya;

b. ia mempunyai kesempatan untuk

mengambil tindakan; dan

c. ia gagal mengambil tindakan

korektif yang seharusnya

dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.

Pengaturan dalam Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM, permasalahan

(9)

pidana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40, yaitu:

a. Mengenai kejahatan Genocida

dengan cara 1 sampai 5 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan Genocida di atas yaitu dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pertanggungjawabannya

dipidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

b. Mengenai kejahatan

kemanusiaan dengan cara 1 sampai 5 dan 10 yang diatur pada pembahasan jenis tindak

pidana HAM mengenai

kejahatan kemanusiaan diatas

yaitu pertanggunjawabannya

dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

c. Mengenai kejahatan

kemanusiaan dengan cara No. 3 yang diatur pada pembahasan

jenis tindak pidana HAM

mengenai kejahatan

kemanusiaan di atas yaitu

pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

d. Mengenai kejahatan

kemanusiaan dengan cara No. 6 yang diatur pada pembahasan

jenis tindak pidana HAM

mengenai kejahatan

kemanusiaan di atas yaitu

pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

e. Mengenai kejahatan

kemanusiaan dengan cara 7

sampai 9 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana

HAM mengenai kejahatan

kemanusiaan diatas yaitu

pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Tanggung jawab komandan militer

berdasarkan hierarkhi jabatan

komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer

hanya bertanggung jawab atas

perbuatan yang dilakukan oleh

bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung

berperan sebagai Atasan Yang

Berwenang Menghukum (ANKUM). Sebagai contoh, Komandan Batalyon

sebagai atasan langsung dari

Komandan Kompi, sedangkan

Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap prajurit di

bawah komandonya. Tetapi

keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Maroni, untuk dapat

(10)

a. adanya pengendalian efektif

mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak buah akan atau sedang melakukan pelanggaran HAM berat;

c. pimpinan harus dibuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindakan apapun terhadap anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran

HAM berat.9

Unsur dapat mempersalahkan

individu yang merupakan pimpinan dari anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat, unsur

pertama yang harus dibuktikan

adalah adanya kendali efektif antara pimpinan dengan anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Ada dua hal penting di sini, pertama harus ada indikasi pelanggaram HAM berat yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki atasan. Kedua, istilah efektif adalah unsur penting

karena menjadi faktor untuk

menentukan siapa pimpinan yang harus bertanggung jawab. Efektif harus diterjemahkan sebagai rentang

kendali dimana pimpinan

mempunyai hubungan langsung

dengan anak buah.10

Apabila ada sejumlah prajurit dalam sebuah kompi yang melakukan pelanggaran HAM berat maka yang bisa ditimpakan tanggung jawab

pimpinan adalah komandan

kompinya. Tanggung jawab ini tidak dapat ditarik lebih tinggi lagi. Pimpinan dari pimpinan kompi tidak

9

Wawancara tanggal 15 Juli 2014 10

Ibid.

bisa dimintakan pertanggungjawaban pimpinan. Tanggung jawab ini harus berhenti sampai dengan pimpinan yang mempunyai kendali efektif terhadap anak buahnya.

Kedua adalah kendali efektif yang

tidak didasarkan pada aturan,

melainkan didasarkan pada

kenyataan. Kendali efektif jenis ini disebut sebagai kendali efektif secara

de facto. Dari dua upaya efektif pembuktian ini yang penting adalah

kendali efektif secara de fakto. Hal

ini karena belum tentu pimpinan yang memiliki kendali efektif secara

de yure selalu diikuti oleh anak buah.

Namun kendali efektif secara de

facto sangat menentukan patuh

tidaknya anak buah terhadap

pimpinan.

Unsur kedua yang harus dibuktikan adalah pimpinan harus mengetahui atau seharusnya mengetahui tindakan anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran HAM berat. Istilah seharusnya mengetahui berarti

meskipun individu yang

dipersalahkan mengargumentasikan bahwa ia tidak mengetahui namun

melalui ukuran yang obyektif

seharusnya individu tersebut

diasumsikan sebagai mengetahui.

Unsur mengetahui atau seharusnya mengetahui penting, karena bila pimpinan tidak tahu menahu tentang

pelanggaran HAM berat yang

dilakukan oleh anak buah, maka

pimpinan tersebut tidak dapat

dipersalahkan atas dasar tanggung jawab pimpinan. Dalam tanggung jawab pimpinan unsur mengetahui

atau seharusnya mengetahui

mengindikasikan agar pimpinan

(11)

ataupun penghukuman (bila telah terjadi pelanggaran HAM berat) terhadap anak buahnya.

Unsur ketiga yang harus dibuktikan oleh pimpinan adalah pimpinan

dianggap melakukan pembiaran,

bahkan pembenaran terhadap

pelanggaran HAM berat yang

dilakukan oleh anak buah. Ini terjadi bila pimpinan tidak mengambil suatu tindakan terhadap anak buah. Atas

pelanggaran HAM berat yang

dilakukan oleh anak buah, pimpinan yang mempunyai kendali efektif

memiliki kewenangan untuk

mengambil tindakan pencegahan

(sebelum terjadinya peristiwa)

ataupun penghukuman (setelah

terjadinya peristiwa) terhadap anak buah. Tidak adanya tindakan oleh

pimpinan dianggap sebagai

pembiaran dan pembenaran

pimpinan terhadap tindakan anak buah yang melakukan pelanggaran

HAM berat. Pimpinan seolah

mentolerir tindakan anak buah yang salah.

Negara melalui pemerintahan yang

sah dan berdaulat, merupakan

pelindung utama masyarakat, Namun

realitas seringkali menunjukkan

adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut

pemerintah tidak akan mentolelir

setiap aktivitas yang dianggap

bertentangan dan membahayakan Pancasila.11

Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai

mencurigai dan melontarkan

berbagai stigma terhadap aktivitas

Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk

Kabupaten Lampung Tengah).

Situasi menjadi tidak menentu

setelah pemerintah lebih

mengedepankan pendekatan represif.

Berturut-turut pada tanggal 5

Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989

pemerintah setempat melalui

Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog.

Kapten Soetiman melakukan

penembakan membabibuta terhadap jemaah dan setelah kehabisan peluru, jemaah yang tadinya bertahan balik

menyerang hingga akhirnya

menewaskan Kapten Soetiman.12

Kemudian pada tanggal 7 Februari

1989 terjadi penyerbuan oleh

pasukan yang dipimpin Kolonel AM

Hendropriyono (Danrem Garuda

Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh

korban diantarnya pembunuhan

langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang,

11

http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB. 12

(12)

penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (sekarang

TNI).13

Atas kejadian tersebut para korban dan keluarga korban berupaya untuk meminta keadilan atas peristiwa tersebut upaya mereka ini dmulai pada tanggal 7 Mei 2001, setelah perjuangan yang panjang didampingi dengan Komisi untuk Orang Hilang

dan Korban Tindak Kekerasan

(KONTRAS), terdapat secercah

harapan ketika dikeluarkannya hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara

paksa 77 orang, perampasan

kemerdekaan 53 orang, penyiksaan 46 orang, dan penganiayaan atau

persekusi sekurang-kurangnya

berjumlah 229 orang. Namun sampai saat ini setelah hampir lebih dari 25

tahun kenyataan pahitlah yang

ditelan oleh para korban dan

keluarga korban karena tidak ada penyelesaian yang jelas atas kasus Talang Sari, kasus ini dibuat menggantung dan jalan di tempat, lalu dimanakah posisi negara yang

bertugas untuk melindungi

rakyatnya.

Kabul Supriyadhie mengatakan

kasus di Talangsari sudah termasuk pelanggaran HAM berat. Jumlah korban jiwa baik yang meninggal,

13

http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.

hilang dan luka-luka cukup banyak. Dampaknya pun masih dirasakan oleh korban dan keluarganya sampai pada saat ini. Pemerintah dalam hal

menentukan siapa yang harus

bertanggung jawab dalam kasus

pelanggaran HAM berat di

Talangsari sebenarnya tidaklah

terlalu sulit, akan tetapi saat ini belum ada upaya serius yang

dilakukan.14

Kabul Supriyadhie mengatakan

bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

Undang-Undang ini seharusnya

menjadi sarana pemerintah untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia. Akan tetapi, setelah lebih kurang 24 tahun undang-undang ini disahkan belum

ada hasil yang memuaskan.

Keberadaan Pengadilan HAM juga

tidak terlihat perannya.15

Berkaitan dengan siapa yang harus bertangggung jawab atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari,

Kabul Supriyadhie mengatakan

pelaku penyerangan tersebut yang diduga kuat berasal dari sekelompok anggota TNI/ABRI. Apabila dugaan tersebut terbukti di pengadilan HAM, tentunya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah komandan militer atau atasan dari sekelompok orang yang diduga kuat

anggota TNI/ABRI memiliki

tanggung jawab secara komando atas

tindakan anak buahnya.16

14

Wawancara tanggal 03 Oktober 2014 15

Ibid. 16

(13)

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti

berpendapat bahwa seharusnya

atasan langsung pada saat itu seharusnya bertanggung jawab atas

perbuatannya dan diadili di

Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa

kasus pelanggaran HAM berat

sampai saat ini tidak ada kejelasan penyelesaiannya dikarenakan banyak faktor. Faktor utama dari yang menghambat proses penyelesaian ini menurut Peneliti adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun

yudikatif untuk bersama-sama

menyelesaikan pelanggaran HAM ini.

C. Faktor-Faktor Penghambat Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Soerjono Soekamto menyatakan

dalam proses penegakan hukum terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya proses penegakan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri,

yaitu peraturan perundang-undangan yang menjamin

pelaksanaan suatu aturan

hukum;

b. Faktor penegak hukum, yakni

pihak-pihak yang membuat

atau membentuk maupun

yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas

yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni

faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni

sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

pergaulan hidup.17

Upaya pemerintah Indonesia

membuat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat menyiratkan adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran tersebut dalam batas wilayah kedaulatannya. Berdasarkan

kedaulatannya, negara Indonesia

mempunyai kekuasaan untuk

menetapkan hukum sekaligus

menegakkannya dengan cara

mengadili para pelaku. Mengingat negara merupakan suatu entitas yang

tidak dapat dipidana, maka

pertanggungjawaban negara

Indonesia secara internasional atas

tindakan atau perbuatan yang

melanggar Hukum Internasional,

yang dalam hal ini adalah

pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain dilakukan dengan cara mengadili para pelaku berdasarkan

prinsip pertanggungjawaban

komando sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

HAM di Indonesia dinilai kurang begitu ditegakkan karena banyak kaum-kaum ploletar atau orang-orang yang memiliki status sosial yang minoritas maupun keadaan

sosio-ekonominya kurang, yang

tersinggirkan haknya sehingga tidak

17

(14)

ada ruang gerak sedikitpun untuk bisa memasuki wilayah hukum maupun wilayah dunia kerja yang di

mata hukum masih dipandang

sebelah mata bahkan tidak dianggap

sedikitpun karena keadaannya.

Faktor-faktor penghambat

penyelesaian tindak pidana

pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia khususnya dalam kasus Talang Sari, yaitu:

1. Faktor aparat penegak hukum Buruknya capaian HAM yang ada di

Indonesia dalam tataran

implementasi selain disebabkan oleh sistem yudisial dan politik, selain itu

juga disebabkan oleh masih

sempitnya pemahaman

penyelenggara negara akan HAM. Pemahaman akan pelanggaran HAM di sini masih terbatas pada bentuk-bentuk pelanggaran kasus HAM berat. Penegakan hukum HAM

progresif tidak bisa dilepaskan

dengan institusi-institusi penegakan hukum HAM itu sendiri. Semakin

pasti kedudukan hukumnya,

independensinya, berdaya dan jelas arah kewenangannya, akan semakin besar potensi institusi-institusi itu

melakukan langkah-langkah

penegakan hukum. Tetapi

sebaliknya, semakin tidak jelas dasar

hukum dan kewenangan, serta

independensi institusi tersebut, akan

sulit mendorong institusi dan

manusia pelaksana hukum itu

bertindak progresif.

Oleh sebab itu, pembenahan institusi dimaksud diharapkan tercipta situasi yang kondusif yang mendukung institusi dan manusia pelaksana hukum menegakkan hukum progresif dalam melindungi hak asasi manusia.

Institusi yang harus dilakukan

penguatan, yaitu: (1) Penguatan

Komnas HAM, (ii) Penguatan

Kejaksaan, (iii) Penguatan Hakim,

(iv) Penguatan Mahkamah

Konstitusi.

Setelah lebih dari satu dekade

reformasi, berbagai kasus

pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum juga mendapat

penyelesaian yang adil. Sejauh

sebelum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut

tidak hanya semakin menguat,

namun juga secara bersamaan

menunjuk para pihak yang

diidentifikasi sebagai

penghambatnya.18

Faktor utama dari yang menghambat

proses penyelesaian pelanggaran

HAM adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk

bersama-sama menyelesaikan

pelanggaran HAM ini. Penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di masa lalu yang lain, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999),

Peristiwa Mei 1998, Peristiwa

Talangsari Lampung 1989, serta Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2001 dan 2003) dinilai

berhenti di Kejaksaan Agung.19

Selanjutnya, Kabul Supriyadhie

mengatakan bahwa untuk

mengungkap kasus-kasus

pelanggaran HAM berat di Indonesia dibutuhkan komitmen dan kerja sama antara legislatif, ekseskutif dan yudikatif. Ketiga unsur pemerintah ini harus satu pendapat dan dan

18

Otto Adi Yulianto. Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa. (Jakarta: Elsam, 2009).

19

(15)

mengambil langkah yang saling terorganisasi satu sama lainnya. Komnas HAM dalam melakukan

usaha mengungkap pelanggaran

HAM berat khususnya di dalam kasus Talangsari sudah melakukan hal-hal yang diperlukan, akan tetapi akibat kurangnya dukungan dari pemerintah upaya tersebut terkesan

tidak mendapatkan hasil yang

diinginkan.20

2. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Sarana atau fasilitas yang dimaksud di sini salah satunya adalah sarana yang digunakan untuk mendapatkan

alat bukti yang dapat

mengungkapkan aktor atau dalang dari kasus Talang Sari. Kabul Supriyadhie mengatakan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari Lampung yang terjadi pada tahun 1989 sulit untuk diungkap disebabkan oleh faktor masih kurangnya komitmen dan kemauan dari pemerintah saat ini dalam mengungkap siapa saja yang

harus bertanggung jawab atas

peristiwa pelanggaran ini. Selain itu, kasus ini sudah lama terjadi sehingga untuk mendapatkan bukti-bukti yang

kuat yang dapat mendukung

pembuktian di persidangan terasa sulit. Hal ini ditambah lagi dengan

adanya kesan menutup-nutupi

peristiwa ini.21

3. Faktor Masyarakat yang kurang

memahami dan kurang peduli

dengan penegakan HAM

a. Kondisi ini diperburuk lagi oleh

masih rendahnya juga

pemahaman masyarakat akan HAM, sehingga menyebabkan

20

Ibid. 21

Wawancara tanggal 03 Oktober 2014

rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hak-haknya. Padahal pelanggaran HAM bukan hanya pada besar kecilnya kasus tetapi semua kejadian yang melanggar hak

hak asasi manusia yang

merupakan hak dasar hidup manusia. Faktor lain yang juga

turut memperburuk capaian

HAM di Indonesia adalah masih

terpecah-pecahnya masyarakat

madani, sudah terkooptasinya

kelompok profesi oleh

kepentingan modal dan tidak

terorganisasinya masyarakat.

Mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperdulikan proses

penegakan hukum atas

pelanggaran HAM yang terjadi khususnya pada kasus Talang Sari. Ini dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi cukup lama.

III. SIMPULAN

Pertanggungjawaban pidana atasan

militer terhadap tindak pidana

pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau

atasan militer, yaitu: 1) ada

pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada

di bawah komando atau

pengendaliannya; 2) adanya

hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan

(16)

pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4)

komandan atau atasan dengan

kekuasaan yang dimilikinya gagal

melakukan pencegahan atau

menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib. b.

Faktor-faktor penghambat penyelesaian

tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1) faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan

mulai dari legislatif, eksekutif

maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

proses penyelesaian pelanggaran

HAM; 3) masyarakat yang kurang

memahami dan kurang peduli

dengan penegakan HAM..

IV. DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono dan Aries

Harianto. 1994. Bantuan

Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Mandar Maju,

Bandung.

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga

Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muladi, dkk, 2002. Demokratisasi

Hak Asasi Manusia dan

Reformasi Hukum di

Indonesia, The Habibie

Center, Jakarta.

Riyanto, Sigit. 2001. Penegakan

HAM Di Indonesia Beberapa

Catatan Kritis, Majalah

Mimbar Hukum

No.38/VI/2001 FH-UGM,

Yogyakarta.

Soekamto, Soerjono. 2007. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi

Penegakan Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Yulianto, Otto Adi. 2009. Memetakan

Hambatan Penyelesaian

Pelanggaran HAM Masa.

Elsam, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait