• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN NILAI NILAI DALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT PENDIDIKAN DAN NILAI NILAI DALA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI DALAM FILSAFAT

Oleh: Anzas Swara, Didi Irmansyah dan Romi Wirdianata*

Kembalilah kepada dirimu sendiri: alihkan perhatianmu dari segala sesuatu yang ada di sekitarmu dan arahkan pada kehidupan batinmu; ini adalah syarat pertama yang dituntut filsafat kepada

muridnya(Johan Gottlieb Ficht, 1762-1814)1

Bahasa itu bukanlah pada diirinya akan tetapi pada benda yang besangkutan. Bahasa itu berasal dari

hasil kesepakatan.

A. Pendahuluan

Nilai Moral adalah seseuatu yang sering dipertanyakan. Apabila kita menempatkan kasih di atas segala-galanya, yang menjadi persoalan adalah apakah kita dapat mengasihi seorang pemerkosa, perampok dan pembunuh sadis? Dalam pandangan agama Islam memang harus saling mengasihi sesama ummat manusia., terutama orang-orang seperti anak yatim piatu, fakir miskin, orang tua jompo, orang dalam perjalanan dan orang yang sedang menuntut ilmu, bahkan harus memperlakukan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana ditunjuk Allah dan Rasul, jadi kasih itu ditujukan kepada kebaikan itu sendiri bukan melindungi kejahatan dan dekadensi moral.

Keberadaan budi pekerti, moral atau akhlak, adalah berusaha mencari kebaikan sesuai dengan

1*Penulis merupakan mahasiswa Strata Satu di Universitas Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam konsentrasi SLTP/SLTA.

(2)

nilai-nilai luhur agama, adat istiadat atau bahkan lahir dari kata hati yang sucidan nurani yang jujur. Hal ini akan menimbulkan etika yang menjadikan kita seorang moralis (budiman), karena dapat membedakan antara mana perbuatan yang baik mana perbuatan yang buruk.2

Akal dipergunakan dengan

mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan kita masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan kita seorang yang intelektual (pada puncak kepakaran akal dikenal sebagai manusia yang ilmuwan) karena dapat membedakan antara yang benar dan yang salah secara tepat.3

Dengan rasa, cipta dan karsa, seseorang berusaha menemukan keindahan sesuai selera masing-masing. Hal ini akan menimbulkan estetika yang menjadikan seseorang tersebut menjadi seorang seniman ataupun pencipta karya seni, dengan kemampuan membedakan antara yang indah dan yang jelek.

Banyak sekali ilmuwan yang mengatakan bahwa disiplin ilmu itu adalah bebas nilai, bahkan ditemui para ilmuan meneliti dan menulis tentang rekayasa politik dalam pemerintahan dengan menghalalkan segala cara, dan yang bersangkutan menyetujuinya, secara logika ini memang benar tetapi secara moral atau etika ini tidak baik.4

Apabila ilmu itu bebas nilai disebut sebagai sekular, maka akan terjadi ketiranian karena nilai adalah gagasan berharga yang indah dan baik. Seorang ilmuwan sekular dapat saja berkata benar tetapi tidak baik dan tidak indah. Misalnya ketika

22Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika,

Aditama, 2004), h.16

(3)

yang bersangkutan mengucapkan untuk tidak terkena penyakit kelamin maka pakailah kondom untuk bersetubuh dengan seorang pelacur. Perkataan ini benar secara logika tetapi tidak baik secara etika dan tidak indah dalam seni bergaul. Kata-kata tersebut lebih tidak bernilai secara moral bila diucapkan oleh Menteri kesehatan atau pakar seksologi populer, sebab di antara logika, etika dan estetikaharus berdialektika.5

B. Logika, Etika, dan Estetika 1. Logika

a. Pengertian Logika

Logika adalah proses berfikir selangkah demi selangkah, seperti yang di pakai oleh ilmuan yang baik. Maksudnya, bila kita bepikir haruslah logis, “berpikir selangkah demi selangkah”, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut satu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala sesuatu yang logis. Kata “tatanan” menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir.6

Logika menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani logikos, yang berasal dari kata benda logos. Yang berarti sesuatu yang diutarakan, sudah dipertimbangkan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa.7Dengan demikian,

secara etimologis, logika merupakan suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.8

5Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, h.29

6Prof. Dr. Nina W. Syam, M.S,”Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi”(Bandung: Simbiosa Rekatama Media), cet. ke-2, 2013, h. 188.

7Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat(Yogyakarta: Kanisius 1996), h. 52.

(4)

Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), yang dikenal sebagai Bapak logika, sebagaisebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran darisetiap kekeliruan.9Dengan demikian, logika

dalam filsafat Barat pertama-tama dikemukakan oleh Aristoteles, filosof Yunani kuno, murid Plato. Pemikiran Aristoteles ini kemudian dikenal dengan nama logika Aristoteles dan dapat disebut sebagai logika dasar, atau dasar logika, juga logika klasik..10

Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”.11Namun, Istilah logika pertama kali

Dari sekian banyak defenisi itu dapatlah dikatakan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang shahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabka secara rasional

9Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, h. 52

10Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, “Pengantar Filsafat” (PT. Refika Aditama: Bandung), cet.ke-3 2009, hlm. 106.

11Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon. Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin.

(5)

digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) pendiri Stiosisme.12

Logika sebagai disiplin akademik berbeda dengan disiplin lain, dengankenyataan bahwa logikawan tidak sekedar menggunakan pemikiran yang tertata; mereka berpikir dengan cara yang tertata mengenai berpikir secara tertata. Barangkali defenisi yang paling umum adalah “ilmu tentang hukum pikir”.Defenisi tersebut pada istilah khas yang dimanfaatkan dalam memaparkan pola-pola yang terpasang tetap pada benak manusia.Ia menyamakan filusuf yang baik dengan arsitek yang membangun sistem (bangunan konseptual) menurut rencana yang sebelumnya.13

b. Dasar Hukum Logika

1. Hukum identitas (Principium Identitatis/Low of Identity) yang menegaskan bahwa segala sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri.

2. Hukum kontradiksi (Principium

Contradictionis/Low of Contradiction)yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu.

3. Hukum tiada jalan tengah (Principium Exclusi Tertii/Low of Excluded Middle) yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak

sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiranmengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan.

Lihat http://bazz75catur.wordpress.com/2011/12/05/sejarah-perkembanganlogika//

12Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat, h. 52.

(6)

memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain.

4. Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis Sufficientis/Low of Sufficient Reason) yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Itu berarti tidak ada perubahan yang terjado dengan tiba-tiba tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Hukum ini merupakan pelengkap hukum identitas.14

Berkata lurus atau benar telah ada sejak orang pertama dilahirkan, yakni sejak Nabi Adam AS turun ke bumi. Namun, logika yang di maksudkan adalah logika sederhana yang hanya dapat digunakan untuk mengemukakan dan membedakan masalah yang tidak terlalu kompleks atau tidak tersembunyi. Logika ini disebut logika biasa, logika natural. Hal ini berbeda dengan logika buatan atau logika artifisial, ialah logika yang direkayasa

sedemikian rupa sehingga dapat

mengungkapkan dan membedakan hal yang berbeda, tetapi perbedaannya demikian sulit dan tersembunyi.15

Logikaartifisial, terbagi kedalam dua golongan, yaitu logika formal dan logika material. Logika formal membicarakan hakikat susunan berfikir yang tertib. Meskipun logika formal tidak berkaitan dengan masalah kebenaran isi pernyataan, namun perannya dinilai penting dalam filsafat ilmu, karena kebenaran hanya tercapai dalam kualitas atau karena kebetulan.

14Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 53

(7)

Oleh karen itu, masalah-masalah logika formal selain perlu diketahui keberadaannya, juga perlu disadari jalan berfungsinya.Logika formal menyelidiki cara-cara menyusun pikiran, dan bukan cara berpikir. Cara berpikir merupakan masalah psikologis, pikiran adalah hasil berpikir yang wujudnya dinyatakan dalam bahasa yang berlambang. Oleh karena itu, antara piikiran dan bahasa yang berlambang terdapat persesuaian. Karena itu pula cara kita menyusun pikiran dapat ditelaah dari cara kita menyusun bahasa.16

c. Pembagian Logika

Berdasarkan poses dan arah, logika dibedakan menjadi dua macam: yaitu Logika Deduktif dan Logika Induktif.

1. Logika deduktif

Logika deduktif bermula sejak zaman yunani kuno, sekitar abad ketiga sebelum Masehi (SM). Logika ini memproses pikiran baik secara langsung atau tidak langsung.17Dalam

logika deduktif, arah pikiran bergerak dari

pernyatan-pernyataan umumkepada

kesimpulan yang lebih khusus. Logiks deduktif modern lebih bersifat matematis, lazim disebut logika simbolis.18

2. Logika Induktif

Berbeda dengan logika Deduktif, logika

induktif memproses pengetahuan

berdasarkan fakta-fakta khusus yang diperoleh dari pengetahuan indriawi atau yang diperoleh dari pengamatan. Dari sejumlah fakta atau gejala khusus itu ditarik kesimpulan umum berupa pengetahuan yang

16Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, h. 107

17Aceng Rahmat, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana), 2011, h. 210

(8)

baru yang berlaku untuk sebagian atau keseluruhan gejala tersebut. Jadi, arah pemikiran bergerak dari data yang bersifat khusus kepada kesimpulan yang bersifat lebih umum.19

2. Etika

a. Pengertian Etika

Etika sering kali disebut sebagaifilsafat kesusilaan ataufilsafat moral.Terdapat dua peredaan antara etika dan kesusilaan.Pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang seyogiyanya dilakukan dan apa yang seyogiyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Etika adalah wacana yang memperbincangkan landasan-landasan moralitas.Kedua, bahwa etka berkaitan dengan landasan filsafiah norma dan nilai dalam kehiudpan kemasyarakatan atau budaya,20 sedangkan kesusilaan atau moral,

secara khusus berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agama. Dengan demikian, kesusilaan sering pua berkaitan dengan norma agama yang selanjutnya berhubungan masalah dosa dan pahala.

Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa yunani ethos dan ethikos.Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa.Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan baik. Istilah moral berasal dari kata Latin mores, yang merupakan bentuk jamak dari mos yang berarti adat istiadat

(9)

atau kebiasan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.21

Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Sokretes (470-399 SM) etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apaatau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.

b. Pembagian Etika

21Pada dasarnya apa yang di maksud dengan etika meliputi meliputi empat pengertian.Pertama, sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia yang digambarkan sebagai etika kelompok.Para filosof mempedulikan dengan mengemukakan sistem-sistem ini.

Kedua, istilah etika digunakan pada salah satu diantara sistem-sistem khusus tersebut, yaitu ‘moralitas’ yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu. Pertanyaan sentral dalam hal ini, apa yang terbaik untuk memberikan karakter pada sistem ini? Apakah suatu moral tertentu mengemukakan fungsi tertentu, seperti apa yang kemungkinan seseorang dapat bekerja sama dengan orang lain? Kenudian dalam bekerja sama, mestikah melibatkan perasaan tertentu, atau bahkan dengan hujatan?

Ketiga, etika dalam sistem moralitas itu sendiri dapat mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.Misalnya, “mengapa anda mengembalikan buku pinjaman itu?” hal seperti itu hanyalah masalah etis dalam suatu lingkungan.

(10)

Etika terbagi kedalam tiga22 bagian atau tiga

bidang studi, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika,23

1. Etika Deskriptif

Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan kedalam ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. 24

Etika deksriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tenatng baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.Etika deskriptif mempelajari moralitas yang dapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya.25

Etika deskriptif dapat dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, uturan-aturan, dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomologi

22Ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika.Beberapa ahli etika membagi etika kedalam dua bagian, yakni etika deskriptip dan etika normatif.Adapula yang membagi kedalam etika normatif dan metaetika.Ahli lain membagi membagi kedalam tiga bagian atau tiga bidang studi, yaitu etika deskriptip, etika normatif, dan metaetika.

23Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 62. 24Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 62-63.

(11)

moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.26

2. Etika Normatif

Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral (moral philosophy) atau juga disebut etika filsafati (philosophical ethis). Etika normatif dapat dibagai ke dalam dua teori, yaiut: teori-teoti nilai mempersoalkan sifat kebaikan sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku.27

Bagi para formalis, yang paling penting menentukan ialah motivasi. Motivasi yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan pasti benar kendati akibat perbuatan itu sendiri ternyata buruk.28

Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan dibidang di mana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah moral.Disini ahli bersangkutan tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentengan dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas samapai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma-norma29

3. Mateatika

26Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 63.

27Ada pula yang membagi etika normatif ke dalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis(teologikal) dan

nonkonsekuensialis (deontologikal).Konsekuensilalis (teologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis (deontologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu

(12)

Mateatika merupakan satu studi analistis terhadap disiplin etika.Mateatika baru muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makan-makna istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-pertanyaaan yang membernarkan atau menyalahkan suatu tindakan.Isitiah-isitilah normatif yanf sering mendapat perhatian khusus, antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya, dan sebagainya.

Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang cukup terkenal dalam metaeka.Teori-teori tersebut ialah teori naturalistis dari naturalisme, teori teori intuitif dari intuisionisme, teori emotif dari emosivisme, teori imperatif dari imperativisme, dan teori skeptis dari skeptisisme.

Teori naturalistis mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit.

Teori kognitvis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keliru.Itu berarti keputusan moral bisa benar dan bisa salah.Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subjek pengetahuan atau kognisi.Teori kognitivis dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat non-naturalistis.

Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah diperoleh secara intuitif.

Teori subjektif menekankan bahwa

pertimbangan-pertimbangan moral

sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan

(13)

fakta-fakta subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.

Teori emotif mengatakan bahwa

pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat disebut salah atau benar kendati hanya secara subjektif.

Teori imperatif mengatakan bahwa

pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah satu benar.30

Pada dasarnya etika berhubungan dengan nilai dan penilaian terhadap perilaku.Pertanyaan yang mendasarinya adalah perilaku seperti apakah yang dianggap baik ataupun jahat?Atau lebih tepat wacana apakah yang menentukan suatu perilaku dinilai baik atau jahat. Istilah ‘jahat’ digunakan untuk perbuatan buruk manusia karena memberikan akibat kerusakan pada manusia lain atau pada manusia umumnya.31

Etika dapat membantu kita berpikir lebih jelas tentang prinsip-prinsip tindakan dan memcahkan secara logis masalah-masalah etis.32

Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi landsan bagi usaha menyelesaikan konflik-konflik secara rasional, jika respons otomatis kita dan aturan implisit tindakan berbelit dengan respons dan aturan yang bertentangan. Jika oposisi dari orang lain atau kesadaran kita membuat kita menyadari argumen yang melawan tindakan dan kebijakan kita, menjadi penting bagi kita untuk menyediakan alasan bagi mereka, dan menjadi terkait kedalam diskusi filosofis.33

30Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 64-66. 31https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral/ 32Muhammd Erwin, filsafat Hukum,

(14)

Ada beberapa etika filsafiah yang bersifat luas dan umum, serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan mengenai moralitas, cenderung memfokuskan pada analisis atas masalah sentral pada etika itu sendiri. Misalnya pada masalah etonomi. Perhatian terhadap pemerintah sejajar dengan masalah-masalah yang menyangkut diri, hakikat moral dan relasi etis dengan masalah lain.34

Pertanyaan apa yang dibuat untuk kehidupan kemanusian yang baik abgi kehidupan pribadi merupakan inti dari etika sejak para filosof Yunani mendalaminya ke dalam kebahagiaan. Teori para filosof mengenai kebaikan secara erat menyatu dengan pandangan-pandangan mereka mengenai masalah lain. Misalnya, beberapa dari mereka memberikan penekanan pada makna pengalaman dalam pengertian kita mengenai dunia, terganggu oleh pandangan bahwa kebaikan berisi seluruhnya di dalam suatu jenis pengalaman khusus, ialah kenikmata. Pandangan lain menganggap, di samping kesenangan, di samping kesenangan, terdapat hal lain bahwa kebaikan hidup berisikan hakikat.35

c. Aliran Etika 1. Hedonisme

Dalam bahasa Yunani, kata untuk kenikmatan adalah hedone.dari kata itu terbentuklah istilah hedonisme. Sebagai ajaran etis, hedonismei ajaran etis, hedonisme pendirian bahwa kenikmatan, khususnya kenikamatan pribadi, merupakan nilai-nilai hidup tertinggi dan tujuan utama serta terakhir hidup manusia.

34Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, “Pengantar Filsafat, hlm. 173.

(15)

Kenikmatan merupakan kenyataan hidup. Dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda orang yang merasakan kenikamtan. Yang satu dapat lebih kerap dari yang lain. Yang satu lebih cenderung pada kenikmatan dalam kadar yang sederhana. Yang lain lebih pada kenikmatan yang mewah. Yang satu lebih suka pada bentuk kenikmatan inderawi. Yang lain pada kenikmatan estetis, etis-moral, atau religius.36Namun, apakah kenikmatan dapat

dijadikan prinsip dan pegangan untuk menilai hal, perkara, dan peerbuatan secara etis, sebagaimana dianut oleh hedonisme.Kata nikmat ada beberapa macam dan tingkatannya sehingga isi dan artinya juga ada beberapa macam dan tingkat.

Kenikmatan, secara teoretis kenikmatan itu ada berbagai tingkat dari yang inderawi sampai yang religius. Semakin tinggi kenikmatan semakin susah dicapai, dan semakin menunutut dari banyak orang mau menikmatinya. Contohnya dari kejujuran, kejujuran itu baik dan orang yang mampu menghayatinya mengalami kenikmatan etis tinggi.Namun untuk menghayati kejujuran, orang harus berkorban banyak, seperti siap untuk hidup berdasarkan penghasilan yang sebenarnya dengan akibat melarat atau kekurangan.Siap untuk diejek sebagai manusia yang “sok” jujur, dan dikucilkan dilingkungan kerjanya, karena tidak mau terlibat dalam gerakan bersama yang disebut “korupsi kolektif”.37

Bila sikap hedonistis berlanjut, sikap konsemeristis mengikut karena bagaimana

36Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, h. 181.

(16)

mungkin orang dapat memperoleh kenikmatan inderawi bila tidak dengan mengonsumsi sambil tanpa susah payah mengusahakan hal yang dikonsumsi ala mental konsumeristis.38

2. Epikurianisme

Epikurianisme adalah ajaran etika yang berasal dari seorang filusuf Yunani kuno bernama Epikurus.Epikurianisme kemudian berkembang menjadi suatu aliran etika tersendiri.Pada pokoknya epikurianisme merupakan etika yang mengejar kesenangan.Dalam hal ini mirip dengan hedonisme, seperti hedonisme, epikurianisme memuja kesenangan.Baginya kesenangan merupakan kebaikan yang pertama dan utama.Kesenangan dipandang awal dan akhir, A-Z hidup bahagia dan berbakti.

Namun, berbeda dengan hedonisme yang membatasi kesenangan dan menjadi kesenangan sensual dan inderawi, epikuarisme mengartikan kesenangan sebagai ketiadaan rasa sakit pada tubuh dan kekacaauan dalam jiwa. Oleh karena itu, para penganut epikuarisme menghindari kesenangan yang membawa akibat sakit dan penderitaan batin.39Secara khusus kesenangan

dinilai paling puncak adalah kesenangan yajg mendalam manakala jiwa ada dalam keadaan damai dan tenang.Dalam keadaan itulah kebahagiaan hidup yang sejati tercapai.Salah satu unsur penting untuk hidup bahagia adalah keutamaan. Bagi Epikuros, yang baik adalah yang menghasilkan kenikmatan. Dan yang buruk menghasikan perasaan tidak enak.40

38Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, h. 183.

39Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik , h. 184.

(17)

Epikurianisme ingin menawarkan cita-cita kehidupan pribadi yang tenang, yang mewujudkan ruang kebebasan dari gangguan dunia bagi dirinya.41

Epikurianisme menjadikan dirinya sendiri sebagai norma hidup. Namun, karena nilai yang paling tinggi adalah kesenangan.42Secara praktis,

epikurianisme dapat berubah menjadi sensualisme dan hedonisme yang mendewakan kesenangan inderawi.Benar epikurianisme mengartikan kesenangan sebagai ketiadaan rasa sakit dan kekacauan jiwa.Namun, belum tentu pemahaman itu dimengerti benar dan diikuti secara konsekuen.Akibatnya, kesenangan dibatasi menjadi kesenangan fisik dan perilaku manusia terpusat pada usaha mencari kesenangan fisik pula. Ketidak pahaman tentang kesenangan sebagaimana dimaksud dan kecondongan manusia untuk hidup enak dapat mengubah praktik hidup epikurianistis menjadi sensualistis dan hedonistis. Adapun terhadap hidup sederhana dan berkeutamaan yang menuntut terlalau banyak dari manusia, orang mudah tergoda untuk meninggalakannya.43

3. Utilitarianisme

Istilah Utilitarianismedi turunkan dari kata latinutilis, yang berati ‘berguna, berfaedah menguntungkan’. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, menguntungkan.Sebaliknya, yang jahat atau yang buruk adalah yang tak bermanfaat, tak

41Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik , h. 187.

42Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik , h. 188.

(18)

berfaedah, merugikan.Karena itu, baik buruknya prilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak.Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.44

Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya, menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik dari diri sendiri maupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah memperbesar kegunaan, manfaat, keuntungan yang dihasilkan perbuatan yangakandilakukan, baik untuk diri sendiri maunpun orang lain. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan dari pada penderitaan, bagi sebagian besar orang. Hanya dengan demikian, perbuatan manusia berarti secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.

Utilitarianisme sebagai pendiri etis terasa masuk akal, tidak dipersoalkan karena memang jelas yang disikapi.Apa arti berbuat bila tidak mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan apapun macam dan tingkatnya. Menurut utilitarianisme semua perbuatan baru dapat dinilai jika akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan.Sebelum itu netral, semua peraturan tidak dengan sendirinya harus ditaati.Sebelum diataati, peraturan itu harus dapat dipertanggungjawabkan akibatnya bagi mereka yang terkena.Prinsip utilitsarianisme ini sadar atau tidak sadar sudah umum ditetapkan diseluruh dunia.Sebagai prinsip etis, utilitarianisme mengajarjan tanggung jawab atas perilaku dan perbuatan manusia. Manusia tidak

(19)

hisup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain dan harus memperhitungkan mereka dalam perilaku dan tindakannya.45

Utilitariansi sebagai perinsip etis bernada logis dan universal. Akan tetapi, cara berpikir bukan berpangkal dari moralitas dan etika, melainkan dari keenakan dan kelayakan, kegunaan, ekspediensi. Karena itu, bila dilaksanakan secara konsekuen, mudah melanggar hak asasi manusia, prinsip moral dan etis, serta berdimensi dangkal.46

4. Edomonisme/Aristotelianisme

Etika edomonisme secara sederhana berawal dengan mengajukan sebuah pertanyaan fundamental: Apa yang menjadi tujuan manusia yang menjadi dirinya sendiri? Apa yang dicari oleh setiap manusai hanya untuk sesuatu itu sendiri, bukan untuk yang lainnya? Pertanyaan inilah yang dijawab oleh Aristoteles dengan eudaimonia, yaitu kebahagiaan.Kebahagian

itulah yang baik pada dirinya

sendiri.Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu nilai lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri.

Namun untuk menanggapi pemahamannya

tersebut.Aristoteles mensyaratkan tiga

unsur.Pertama, theoria.Konsep theoria Aristoteles ini jangan disamakan dalam istilah modern ‘teori’, sebagai pemikiran rasional terhadap salah satu masalah.Sebab theori berarti bahwa jiwa memandang realitas-realitas rohani.Karena itu, kata theori dapat diartikan dengan ‘renungan’, dalam arti memandang sesuatu dalam-dalam, dengan mata jiwa.

45Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, h. 191.

(20)

Kedua, praxis, untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan praxis, tindakan Aristoteles membedakannya dengan tajam dari poiesi, perbuatn. “Bertindak” tidak sama dengan “membuat”. Poiesis adalah perbuatan demi sesuatu hasil di luar perbuatan it sendiri.Lain halnya dengan praxis atau tindakan Aristoteles membandingkan praxis dengan orang yang main seruling. Orang main seruling karena ia senang main seruling, bukan karena ia mau mencapai sesuatu diluar permainan itu.47

Ketiga, phronesis.Bahasa Yunani mempunyai dua kata untuk apa yang dalam bahasa Indonesi disebut “kebijaksanaan, yaitu sophia dan phronesis. Sophia, dalam bahasa Inggris wisdom, adalah kebijaksanaan orang yang hatinya terangkat ketingkat alam adiduniawi, jadi kebijaksanaan orang ber-theoria.Itulah orang yang bijaksana karena tahu tentang realitas yang mendalam.48

Dengan tiga komponen tersebut, Aristoteles dengan tegas menyatakan bahwa etika bukanlah episteme, bukanlah ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukan pengetahuan lebih tajam (meskipun unsur pengetahuan tentu terdapat juga), melainkan praxis, bukan mengetahuiapa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang

hidup dengan baik. Aristoteles

membandingkannya dengan ilmu kedokteran yang tujuannya pun bukan pengetahuan tentang kesehatan, melainkan membuat orang menjadi sehat.49

47Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, h. 196-197.

48Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, h. 198.

(21)

Dapatkah nilai-nilai moral itu diajarkan seperti mengajarkan pengetahuan aktual? Socrates berusaha menjawab soal ini. Asumsi bahwa nilai moral itu laten bagi tiap orang ia menyebutkan bahwa guru dapat membaa nilai-nilai ke dalam kesadaran subjek didik. Nilai etika atau moral dapat diajarkan apabila pengajaran nilai moral itu kita artikan membantu subjek didik menjadi sadar akan nilai-nilai moral itu.50

d. Estetika

a. Pengertian Estetika

Estetika adalah cabang filsafat yang mempersolakan seni (art) dan keindahan (beauty).Istilah estetika berasal dari kata Yunani aisthesis, yang berarti pencerapan indarawi,

pemahaman intlektual (intelectual

understanding), atau bisa juga berarti pengamatan spiritual.Istilah art (seni) berasal dari kat Latin ars, yang berarti seni, keterampilan ilmu, atau kecakapan.

Sejak zaman Yunani Purba, estetika filsafati sering disebut dengan berbagai nama, seperti, filsafat seni (philosophy art), filsafat keindahan (philosophu of beauty), filsafat cita rasa (philosophy of taste), dan filsafat kristisme (philosophy of criticism). Akan tetapi, seja abad XVIII, istilah estetika mulai menggantikan nama-nama tersebut.

Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filusuf Jerman bernama Alexander Gottlibe Baumgarten (17 Juli 1714–26 Mei 1762) lewat karyanya Meditationes philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan ke dalam bahsa Inggris dengan

(22)

judul Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefenisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).

Estetika dapat di bagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif, estetika deskiptif menguaraikan fenomena-fenomena pengalaman keindahan.Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan.51Ada pula yang membagi estetika

kedalam filsafat seni (phylosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty).Filsafat seni mempersoalkan status ontologis, dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni dan apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk

menghubungkan manusia dengan

realitas.Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objek atau subjektif.52

Sepanjang sejarah filsafat, pandangan dan pendapat Para filusuf tentang masalah estetis amat bervariasi.Plato berpendapat bahwa seni (art) itu adalah keterampilan untuk memperoduksi sesuatu. Bagi Plato, apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Sebagai contoh, pelukis yang melukis suatu panorama alam yang indah sesungguhnya meniru panorama alam yang pernah dilihatnya. Karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing, dan sebagainya, sedangkan meja, burung, dan kucing yang sditiru itu hanayalah tiruan dari bentuk ideal meja, burung,

(23)

dan kucing, yang ada di dalam dunia ide. Dengan demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan yang kedua dan oleh karena itu tidak sempurna aslinya.

Estetika pada abad petengahan tidak begitu mendapat perhatian dari para filusuf, itu karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi.Ia mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk paltonis. Iamengatakan bahwa bentuk-bentuk platonis juga berada dalam pimikiran Allah. Menurut Augustinus, keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Allah, oleh sebab itu, keindahan dalam seni dan keindahan dalam alam haruslah memiliki pertalian yang erat dengan agama. Kendati Augustinus mengikuti ajaran Plato tentang keindahan, ia tidak sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan, tetapi tidak dapat menghasilkan karya seni.53

Filusuf Italia, Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat alam pikir filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurut Croce intuisi adalah gambar yang berada di dalam alam pikiran.Dengan demikian, seni itu berada dalam alam pikir seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikir seniman. Croce juga menyamakan intuisi dengan eksperesi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan

(24)

ekpresi.Apa yang diekpresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman. Croce mengatakan bahwa seni adalah ekspresi dari kesan-kesan (art is expression ofimpressions).

Clive Bell (1851-1964) mempopulerkan gagasannya leawat ungkapan bentuk yang berarti (signifikant form) dan perasaan estetis (aesthetic emotion).Yang dimaksudkan dengan bentuk yang berarti ialah hal yang membuat

karya-karya seni itu benar-benar

bernilai.Perasaan etis berbeda dengan perasaan-perasaan biasa. Perasaan etis hanya dapat dialami pada saat seseorang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang berarti. Apakah bentuk yang berarti itu? Bell tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan bentuk yang berarti itu. Ia hanya mengatakan bahwa yang berarti ialah bentuk hasil karya seni yang menggugah perasaan seni seseorang.54

b. Prinsip Estetika

Prinsip estetika yang menjadi bahan pertimbangan ditemukan pada antikualitas Hellenistiksecara umum.Prinsip ini dapat diberikna sebagai prinsip bahwa keindahan mengundang espkpresi imajinatif dan sensuous mengnai kesatuan dalam kemajemukan.Apakah hakikat keindahan merupakan karakterisitik presentasi yang dialami?Pikiran Hellenik menjawab secara formal.Alasannya, menurut kaum hellenistik bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dar realitas. Hal tersebut merupakan alasan yang ditentang analisis estetik karen berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam.55

(25)

Objek persepsi umumnya dinaggap sebagai standar seni.Dalam objek persepsi terdapat suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam mengahadapi identifikasi keindahan dengan ekspresi spritual yang hanya dapat ditangkap oleh persepsi tingkat tinggi. Dengan kata lain, untuk menerima imitasi atas alam dengan penegertin yang paling luas sebagai fungsi seni, sangat mudah untuk menyatakan bahwa masalah keindahan adalah nyata dalam kemungkinana yang paling kasar sehingga menghendaki ketidak mampuan total untuk memecahkannya. Artinya bahwa materi presentasi keindahan merupakan sesuatu yang diangkat dari objek persepsi, indera tidak menyentuh pertanyaan, “Apa yang dapat seni perbuat, lebih yang dapat dilakukan alam?” timbul pertanyaan lain, “Dalam segi apakah?” jawabannya adalah dalam hal kondisi dan karakter umum.Apakah suatu realitas dapat ditampilkan kembali sebagai keindahan, untuk menjawabnya kita telah mengangkat pertanyaan spesifik mengenai ilmu estetika.Terhadap teori kepandaian meniru timbul pertanyaan baru,” bila mana suatu realitas menimbulkan diri?” hal tersebut merupakan kebaikan suatu model seperti yang lainnya memiliki exhipotesis yang tidak berjawab.56

c. Konsep Estetika

Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetika yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, satu kejadian artisitik dan

(26)

pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan metafisik, telah diangkat sebagai perlengkapan analog dengan hal yang telah diangkat mengenai konsep-konsep itu.

Pada abad ke-18, filsof seperti Edmund Burke dan Davit Hume berusaha menerangkan konsep estetik. Misalnya, keindahan secara empiris, dengan cara menghubungkannya dengan respons-respons fisik dan psikologs serta mengelompokkan ke dalam tipe-tipe penghayatan individual atas objek-objek dan kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi mereka melihat suatu dasar untuk objektivitas reaksi-reaksi pribadi.57Kant menyatakan bahwa konsep

estetik secara esensial bersifat subjektif, ialah berakar pada perasaan pribadi mengenai rsa senang da sakit.Juga menyatakan bahwa konsep-konsep itu memiliki objektivitas tertentu dengan dasar bahwa pada taraf estetik murni, perasaan sakit dan senang merupakan respons universal.

Pada abad ke-20, para filosof kembali mengacu pada analisis Humean mengenai konsep-konsep estetik patokan cita rasa kemanusiaan, dan telah mengembangkan pertimbangan psikologis untuk mencoba melahirkan keunikan epistemologis dan logis mengenai konsep estetika. Banyak orang berpendapat bahwa meskipun tidak ada hukum-hukum estetika, seperti semua bunga mawar adlah indah, atau bahwa msik simfoni mwmiliki empat gerakan dan dikontruksikan dengan aturan harmoni Barok,akan menjadi menyenangkan. Konsep-konsep estetika tidak memainkan peran penting dalam diskusi atau perdebatan. Dalam hal ini, beberapa filosof

(27)

berargumentasi lain bahwa konsep-konsep estetik tidak secara esensial berbeda dengan tipe-tipe konsep lainnya.

Teori-teori masa kini menarik, bahwa konsep

estetik merupakan context-dependent

-dikontruksi di luar pendapat dan kebiasaan.Teori-teori mereka biasanya menolak pendapat bahwa konsep-konsep estetik dapat bersifat universal. Misalnya, tidak hanya tidak ada jaminan bahwa istilah harmoni akan memiliki arti yang sama pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak dapat digunakan.58

C. Penutup

Kebenaran (logika), apakah kebenaran itu sebenarnya?Plato pernah mempertanyakan hai ini sebelumnya. Dalam waktu yang cukup lama seakan menjawab bahwa kebenaran itu adalah kenyataan. Jadi untuk membuktikan hari benar-benar hujan, kita harus membedakan dengan melihat kenyataan yang terjadi di luar rumah. Tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang tidak seluruhnya berupa kebenaran, bahkan yang tidak seharusnya terjadi akhirnya terjadi juga. Aristoteles menjawab pertanyaan ini dengan pendapat bahwa kebenaran itu subjektif sifatnya. Artinya kebenaran bagi seseorang adalah tidak benar bagi yang lain, sehingga kemudian lahirlah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Bahkan terkadang dalam kurun waktu tertentu kebenaran itu berubah sesuai corak berfikir manusia.59

58Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardjo,Pengantar Filsafat, hlm. 179.

(28)

Puncak kebenaran itu sendiri sebenarnya adalah Allah Yang Maha Benar (Al Haq), itulah sebabnya para penzikir senantiasa mengucapkan “Alhamdulillah” pada setiap penyelesaian penemuan ilmiahnya, ataupun ketika selesai shalat fardu sebanyak tiga puluh kali.60

Kebaikan (Etika), Etika sebagai

filsafat, berarti mencari keterangan yang benar, mencari ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk bagi tingkah laku manusia. Serta mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana susial itu, tindakan manakah yang paling dianggap baik.Dalam filsafat, masalah baik dan buruk (good and evil) dibicarakan dalam etika. Tugas etikatidak lain berusaha untuk hal yang baik dan yang dikatakan buruk.61Sedangkan tujuan etika, agar setiap

manusia mengetahui dan menjalankan perilaku, sebab perilaku yang baik bukan saja bagi dirinya saja, tetapi juga penting bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara, dan yang terpenting bagi Tuhan yang Maha Esa.

Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam: 1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian perbuatan seseorang.

2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan

kebajikan. Misalnya, seseorang

dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.

60Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 35

(29)

3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari

pandangan-pandangan, persoalan-persoalan

yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.62

Secara umum segala perbuatan menolong orang lain dianggap baik, tetapi apabila yang ditolong itu adalah penjahat sudah tentu tidak benar walaupun baik.63 Dan puncak kebaikan itu sendiri adalah Allah

Yang Maha Suci (Al Qudus). 64

Keindahan (estetika), jadi estetika berbicara tentang rasa (seni) yang mencakup penyerapan perhatian dalam pengalaman persepsi. Rasa estetika itu dibangkitkan dari hasil seni ketika berusaha meninmbulkan respon atau tanggapan dari becacam objek dan pengalaman.seseorang dapat saa mengatakan dia lebih senang mendengarkan lagu dangdut dari lagu lain, seseorang dapat pla mengatakan dia lebih menyenangi merah ketimbang hijau. Walaupun ada orang lain menganggap mrah itu kampungan. Ini lah seni, inilah stetika, karna orang memang berbeda rasa. 65

Ada dua kategori perasaan, ada Negatif dan ada yang Poitif. Khusus untuk yang negatif tidak perlu dihilangkan dalam keindahan kehidupan tetapi ditujukan kepada pemilik keindahan itu sendiri yaitu susah melihat ketidak adilan, hiba melihat penderitaan, dengan apa yang disampaikan ini maka yang terwujud adalah senang menuntut ilmu dan senang membantu orang lain.66

Puncak keindahan itu sendiri tidak dapat disebut salah satu nama Allah, tetapi karena di

62https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral//

63https://id.wikipedia.org/wiki/Etika//

64Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 21 65Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 40

(30)

dalam seni orang-orang berbeda rasa, maka kita tidk meneyebut salah satu nama Allah, tetapi semua nama indah Allah (Asmaul Husna)67

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat Buku IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan Tematik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Wiramihardja, Sutardjo A. Psi, Pengantar Filsafat,Bandung: PT. Refika Aditama

Hendrik Rapar, Jan,Pengantar FilsafatKanisius: Yogyakarta, 1996

W. Syam, Nina,Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi,Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2013

Syafi’i, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, PT Refika Aditama: Bandung, 2004

Sutrisno, Mudji, Kisi-kisi Estestika,

Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2000

Erwin, Muhammad, Filsafat hukum, Jakarta: Raja grafindo, 2011

Rahmat, Aceng, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011

(31)

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Grafika Indonesia, 2003 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: Refika Aditama, 2011

Herimantu, dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2011

http://bazz75catur.wordpress.com/2011/12/05/sejar ah-perkembangan-logika//

https://id.wikipedia.org/wiki/Etika/

https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral/

http://312174//makalah estetika//

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pegawai di Pemko Medan, tanggal 18 Juni 2013.. Dalam kedudukan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menjalani masa pecobaan selama sekurang-kurangnya satu tahun dan

Sulistyorini T (2017), penelitian dengan judul “Pengaruh Kombinasi Pijat Refleksi Kaki dan Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Perifer dilihat dari

Pada Ilustrasi 2 menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan minyak goreng berulang berpengaruh nyata (P<0,05) perubahan warna ayam goreng.Perubahan warna coklat

Hasil penelitian keunggulan komparatif kakao di Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan Analisis Locational Qoutient (LQ), tingkat keunggulan bersaing penyerapan tenaga

Di bidang kimia berbasis bahan alam disajikan tiga artikel yaitu artikel kedelapan membahas tentang Pengaruh Diameter Partikel Terhadap Konsentrasi L-DOPA, kc, dan De

Saat diberikan input berupa sinyal step dengan perubahan amplitudo, respon HEV sama dengan saat diberikan input sinyal step, yaitu kontroler bekerja dengan baik setelah

Sistem penciuman elektronik yang dipergunakan disini adalah sistem yang dikembangkan di Laboratorium Kecerdasan Komputasional Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Sistem