• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Gambaran Umum Kampung Laweyan 1) Kondisi Geografis - Peran Ruang Publik di Permukiman Tradisional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "I. Gambaran Umum Kampung Laweyan 1) Kondisi Geografis - Peran Ruang Publik di Permukiman Tradisional"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I. Gambaran Umum Kampung Laweyan

1) Kondisi Geografis

Kampung Laweyan mempunyai luas wilayah 24,83 Ha. Terdiri dari 20,56 Ha. tanah pekarangan dan bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27 Ha. Jenis persil rumah di Laweyan secara garis besar terdiri dari : persil rumah juragan batik besar (1000m2-3000m2), persil rumah juragan batik sedang (300m2-1000m2), persil milik buruh batik ( 25m2-100m2) (Widayati, 2002).

2)Sejarah

Kalurahan / Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro , desa Laweyan (kini wilayah Kalurahan / Kampung Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan barulah berarti setelah Kyai Ageng Anis bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati) dan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman). Kyai Ageng Anis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Anis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning

nagara kerajaan

Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M. Setelah Kyai Ageng Anis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat tetirah Sunan Kalijaga sewaktu berkunjung di desa Laweyan), rumah tempat tinggal Kyai Ageng Anis ditempati oleh cucunya yang bernama

PERAN RUANG PUBLIK

DI PERMUKIMAN TRADISIONAL

KAMPUNG LAWEYAN SURAKARTA

Oleh : Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT.*)

ABSTRAKSI

Laweyan merupakan kampung tradisional yang keberadaannya sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Sebagai pusat perdagangan lawe (bahan sandang) kerajaan Pajang, kehadirannya baru berarti setelah Kyai Ageng Anis (keturunan Brawijaya V) dan cucunya yaitu Raden Ngabehi Lor Ing Pasar yang kelak menjadi raja pertama Mataram bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Sebagai daerah sentra industri batik dan permukiman tradisional, kawasannya banyak bercirikan jalan /gang sempit, rumah berbeteng tinggi dan berhimpitan. Laweyan banyak dipersepsikan orang sebagai lingkungan yang tertutup, angkuh dan kurang mempunyai nilai sosial. Kondisi ini tidak sepenuhnya benar. Sebagai permukiman yang didominasi arsitektur tradisional Jawa, Indisch dan Islam dengan public space yang terbatas, Laweyan tumbuh sebagai kawasan yang ”ramah” bagi komunitasnya. Kondisi ini terwujud diantaranya karena adanya pemanfaatan sebagian ruang privat penghuninya sebagai ruang semi publik dan pemanfaatan masjid-masjid serta ruang terbuka lainnya sebagai pusat kegiatan sosial budaya. Dalam perkembangannya sebagai suatu kawasan heritage, keberadaan ruang publik tersebut sangat berpengaruh terhadap terwujudnya kenyamanan dan keselarasan lingkungannya..

Kata kunci : kawasan tradisional, ruang publik

Laweyan

Jl. Dr. Rajiman

Sungai Kabanaran

Kraton Kasunanan

Kraton Mangkunegaran

(a)

(b)

Gambar 1.

(2)

Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sewaktu Pajang dibawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) pada tahun 1568 Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan). Kemudian Sutowijaya pindah ke Mataram (Kota Gede) dan menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senapati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram..

Masih menurut RT. Mlayadipuro pasar Laweyan dulunya merupakan pasar lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. Bahan baku kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari desa Pedan, Juwiring dan Gawok yang masih termasuk daerah kerajaan Pajang. Adapun lokasi pasar Laweyan terdapat di desa Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur kampung Setono). Di selatan pasar Laweyan, di tepi sungai Kabanaran, terdapat sebuah bandar besar yaitu bandar Kabanaran. Melalui bandar dan sungai Kabanaran tersebut pasar Laweyan terhubung ke bandar besar Nusupan di tepi sungai Bengawan Solo.

Pada zaman sebelum kemerdekaan kampung Laweyan pernah memegang peranan penting dalam kehidupan politik terutama pada masa pertumbuhan pergerakan nasional. Sekitar tahun 1911 Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Laweyan dengan Kyai Haji Samanhudi sebagai pendirinya. Dalam bidang ekonomi para saudagar batik Laweyan juga merupakan perintis pergerakan koperasi dengan didirikannya “Persatoean Peroesahaan Batik Boemipoetra Soerakarta (PPBBS) pada tahun 1935.

3)Arsitektur Rumah Tinggal

Masyarakat Laweyan bukanlah keturunan bangsawan, tetapi karena mempunyai hubungan yang erat dengan kraton melalui perdagangan batik serta didukung dengan kekayaan yang ada, maka corak pemukiman khususnya milik para saudagar batik banyak dipengaruhi oleh corak pemukiman bangsawan Jawa . Bangunan rumah saudagar biasanya terdiri dari Pendopo, ndalem, sentong, gandok, pavilion, pabrik, beteng, regol, halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan. Atap bangunan kebanyakan menggunakan atap limasan bukan joglo karena bukan keturunan bangsawan (Widayati, 2002). Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih mempertegas eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik, corak bangunan di Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indisch (Jawa-Eropah) dengan façade sederhana, berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi lengkap dengan lantai yang bermotif karpet khas Timur Tengah. Keberadaan “beteng” tinggi yang banyak memunculkan gang-gang sempit dan

merupakan ciri khas Laweyan selain untuk keamanan juga merupakan salah satu usaha para saudagar untuk menjaga privacy dan memperoleh daerah “kekuasaan” di lingkungan komunitasnya.

Rumah Jawa Rumah Jawa

Rumah Indische Rumah Indische

Rumah Indische Rumah Indische (a)

(b)

4).Industri Batik

Pada masa kerajaan Pajang Laweyan terkenal sebagai sentra industri tenun. Industri batik tradisional baru berkembang setelah jaman penjajahan Belanda dan mencapai puncaknya antara tahun 1970-an. Laweyan adalah salah satu

Gambar 2.

(a) Façade Rumah Laweyan(b) Tata Ruang Rumah laweyan

Sumber : Priyatmono (2004) Regol

Gandok Kanan Gandok

Kiri

Gandok Belakang/Pabrik

pendopo

ndalem

sentong

Beteng Halaman Depan/area

semi publik

(3)

sentra industri batik di Solo yang terkenal sampai sekarang

5).Sosial dan Budaya

Menurut Sarsono dan Suyatno (Widayati, 2002) terdapat pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan, yaitu: kelompok wong saudagar (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan wong priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut dengan istilah mbok mase atau nyah nganten. Sedang untuk suami disebut mas Nganten sebagai pelengkap utuhnya keluarga.

Sebagian masyarakat Laweyan masih tampak aktif nguri-uri (melestarikan) kesenian tradisional, seperti: musik keroncong dan kerawitan, yang biasanya ditampilkan (dimainkan) sebagai pengisi acara hajatan, seperti mantenan, sunatan, tetakan dan kelahiran bayi. Dalam bidang keagamaan, sebagian besar penduduk Laweyan beragama Islam, terlihat aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti: pengajian, darusan, semakan dan aktivitas–aktivitas keagamaan lainnya, baik secara terjadwal maupun isidental.

II. Permukiman

Menurut Widayati (2002) rumah merupakan bagian dari suatu permukiman. Rumah saling berkelompok membentuk permukiman dengan pola tertentu. Pengelompokan permukiman dapat didasari atas dasar :

a. Kesamaan golongan dalam masyarakat, misalnya terjadi dalam kelompok sosial

tertentu antara lain komplek kraton, komplek perumahan pegawai.

b. Kesamaan profesi tertentu, antara lain desa pengrajin, perumahan dosen, perumahan bank.

c. Kesamaan atas dasar suku bangsa tertentu, antara lain kampung Bali, kampung Makasar.

Menurut Trigger (1978), pengelompokan permukiman juga bisa terbentuk atas dasar kepercayaan dari masyarakat dan atas dasar sistem teknologi mata pencahariannya. Pengelompokan permukiman tersebut tidak selalu menghasilkan bentuk denah dan pola persebaran yang sama, tetapi tergantung pada latar belakang budaya yang ada. Permukiman di kampung Laweyan terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok tersebut terbentuk berdasarkan kesamaan etnis dan profesi mata pencaharian. Penduduk Laweyan sebagian besar didominasi oleh keturunan bangsa Jawa yang berprofesi sebagai juragan dan pekerja batik.

III. Permukiman Tradisional

Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding – dinding tertutup menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (Cobusier dalam Carmona dkk. 2003). Massa bangunan dalam permukiman tradisional saling berhimpitan antara satu dengan lainnya, muka bangunan berhimpit dengan jalan, tampak bangunan menyerupai dinding. (Carmona dkk.,2003).

Menurut Rowe dan Kotter dalam Carmona dkk. (2003) massa bangunan dalam kota tradisional atau kuno biasanya berhubungan satu dengan lainnya membentuk blok bangunan atau urban block. Antara urban block satu dengan lainnya dipisahkan oleh jalan berpola grid dan ruang umum sehingga membentuk butiran – butiran urban blocks yang relatif kecil.

Masih menurut Rowe dan Kotter dalam Carmona dkk. (2003) ketinggian bangunan di kawasan tradisional relatif rendah dan hampir mempunyai ketinggian sama antara satu dengan yang lainnya, perkecualian di beberapa bangunan umum dan peribadatan mempunyai massa yang lebih tinggi dan menonjol. Sedangkan untuk kota modern , massa bangunan biasanya membentuk blok – blok dengan butiran blok yang besar. Massa bangunan membentuk super blocks dan dikelilingi oleh taman di sekitarnya. Super blocks biasanya dibatasi oleh jalan – jalan berpola grid yang merupakan jalan utama penghubung antar kawasan. Kampung Laweyan sebagai permukiman tradisional, elemen kawasannya dibentuk oleh butiran massa yang saling berdekatan membentuk jalan lingkungan yang relatif sempit. Massa bangunan milik juragan batik sebagian besar terdiri dari massa bangunan besar dan sedang. Bangunan Gambar 3.

(4)

tersebut biasanya dilengkapi dengan pagar tinggi yang menyerupai “beteng”. Adapun massa bangunan kecil jumlahnya lebih sedikit dan sebagian besar merupakan milik pekerja batik.

IV. Ruang Publik

1) Pengertian

Ruang publik adalah ruang dalam suatu kawasan yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik. (Whyte dalam Carmona dkk. 2003). Ruang publik dapat berbentuk cluster maupun linier dalam ruang terbuka maupun tertutup. Beberapa contoh ruang publik antara lain : plaza, square, atrium, pedestrian.

Menurut Whyte dalam Carmona (2003) ruang publik yang bisa berfungsi optimal untuk

kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain : merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan (jalur sirkulasi), mempunyai tempat untuk duduk – duduk antara lain berupa anak – anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan bangku taman, ruang yang memungkinkan penggunanya dalam melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah – pindah tempat / posisi sesuai dengan karakter dan suasana yang diinginkan.

2) Persyaratan

Menurut Carr et al. dalam Carmona dkk. (2003), ruang publik dalam suatu permukiman akan berperan secara baik jika mengandung unsur antara lain : comfort, relaxation, passive angagement, active angagement, discovery.

a) Comfort, merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang publik. Lama tinggal seseorang berada di ruang publik dapat dijadikan tolok ukur comfortable tidaknya suatu ruang publik. Dalam hal ini kenyamanan ruang publik antara lain dipengaruhi oleh : environmental comfort yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari, angin; physical comfort yang berupa ketersediannya fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; social and psychological comfort

b) Relaxation, merupakan aktifitas yang erat hubungannya dengan psychological comfort. Suasana rileks mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman / pohon, air dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya.,

c) Passive engagement, aktifitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktifitas yang terjadi di sekelilingnya atau melihat pemandangan yang berupa taman, air mancur, patung atau karya seni lainnya.

d) Active engagement, suatu ruang publik dikatakan berhasil jika dapat mewadahi aktifitas kontak / interaksi antar anggota masyarakat (teman, famili atau orang asing) dengan baik.

Gambar 4.

Figure-Ground Kampung Laweyan (Sumber : Priyatmono,2004)

Gambar 5

Jalan / Gang di Kampung Laweyan (Sumber : Priyatmono, 2004)

(5)

e) Discovery ,merupakan suatu proses mengelola ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton. Aktifitas dapat berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal (rutin) maupun tidak terjadwal diantaranya berupa konser, pameran seni, pertunjukan teater, festival, pasar rakyat (bazaar), promosi dagang

3) Ruang Publik di Laweyan

Ruang publik di Laweyan berupa ruang terbuka, sebagian jalan (gang), sebagian ruang-ruang privat rumah tinggal, langgar dan masjid. Sebagai permukiman tradisional, ruang – ruang tersebut terletak diantara massa bangunan yang tersusun secara padat dan berhimpitan dengan space yang relatif sempit.

a)Ruang Publik (Tanah Negara, Masjid dan Langgar)

(a) Area Makam Kramat (b) Masjid Baiturrahim

(c) “Latar Jembar” (d) Masjid Laweyan

(e) Area Parkir Kramat (f) Langgar Makmoer

(g) Langgar Merdeka (h) Darul Arqom

(i) Makam Ngingas (j) Dirham

(k) Masjid Kirmani (l) Makam Klaseman

Pedestrian sebagai

ruang publik

Atraksi salah satu program discovery

Pohon memberikan suasana teduh dan rileks Ruang publik untuk

rekreasi aktif

Suasana santai duduk di ruang publik

Suasana santai duduk di ruang publik

c

a

b

d

e

f

g

h

i

j

k

l

Gambar 6

Beberapa Contoh Ruang Publik (Sumber : Priyatmono, 2004)

Gambar 8

Tata Letak Fasilitas/Ruang Publik di Laweyan (Sumber : Priyatmono, 2004)

(6)

Ruang-ruang umum milik masyarakat difungsikan sebagai suatu area untuk kegiatan bersama dengan komunitas yang lebih luas (masyarakat umum). Masjid dan langgar disamping sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat kegiatan sosial budaya kemasyarakatan. Karena keterbatasan ruang, disamping masjid , langgar dan tanah terbuka milik negara, interaksi sosial juga dilakukan di tempat-tempat umum lainnya antara lain makam, ruang disisi jalan serta ruang terbuka lainnya yang memungkinkan untuk interaksi sosial.

Sewaktu industri batik mengalami masa kejayaannya sekitar tahun 1960-an, kampung Laweyan bisa diidentikkan sebagai suatu kawasan industri bersama. Pada masa itu interaksi sosial terjadi lebih intensif. Pembatikan dilakukan di rumah-rumah juragan yang terletak disisi utara . Sedang proses pencucian dan penjemuran dilakukan di sungai dan area tepian sungai (sisi selatan). Dalam hal ini jalan dan area tepian sungai berfungsi sebagai area kontak sosial yang cukup efektif. Pada masa itu morfologi kampung Laweyan berbentuk linier.

Seiring perkembangan jaman, dengan ditemukannya pompa penyedot air, produksi batik dapat diselesaikan di masing-masing rumah. Kondidisi ini mengakibatkan berubahnya pola morfologi kawasan yang sebelumnya berbentuk linier menjadi berbentuk cluster. Peran daerah sungai sebagai area kontak sosial berkurang. Seiring dengan perubahan bentuk tersebut berkurang pula ruang kontak sosial masyarakatnya.

b)Ruang Semi Publik

Masyarakat Laweyan menurut sejarah adalah masyarakat penganut tradisi kawin saudara, yaitu perkawinan antar keluarga yang sedarah. Perkawinan antar saudara salah satu tujuannya agar harta dari keluarga tersebut tidak jatuh ke tangan orang lain. Perkawinan tidak menutup kemungkinan bisa dilaksanakan di luar sistem tersebut, sepanjang tingkat kekayaannya seimbang. Hal ini dimaksudkan untuk salah satu usaha pelestarian usaha mereka. Perkawinan antar keluarga menyebabkan terwujudnya keluarga besar. Keluarga besar hidupnya mengelompok dalam suatu blok kompleks. (Widayati, 1994). Hal ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan hampir sebagian besar penduduk kampung Laweyan masih “berbau” saudara antara satu dengan lainnya. Kondisi ini berpengaruh pada bentuk permukimannnya. Hampir sebagian besar dahulunya rumah - rumah penduduk saling berhubungan langsung melalui pintu-pintu “butulan” di atas dan di bawah tanah.. Sebagian halaman rumah juga berfungsi sebagai area semi publik masyarakat di sekitarnya. Pintu “butulan” selain untuk jalur komunikasi antar rumah juga berfungsi sebagai jalur keamanan bersama. Dengan bentuk rumah yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya mengakibatkan adanya rasa persaudaraan dan silaturahmi yang kuat khususnya diantara mereka ( komunitas Laweyan). Meskipun secara keseluruhan rumah Laweyan berbentuk tertutup (ber “beteng”} dan menimbulkan kesan “angkuh” bagi orang luar, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Didalam rumah dengan pagar dinding tinggi dan tertutup, terdapat suatu kegiatan sosial dari komunitasnya. Disini sebagian ruang privat juga berfungsi sebagai salah satu ruang semi publik, kadang – kadang sekaligus sebagai ruang publik. Sehingga kondisi ini secara langsung maupun tidak telah membentuk jalur – jalur ruang publik (jalan) alternatif yang biasa digunakan oleh komunitas di dalamnya. Dalam perkembangannya sekarang, karena adanya alih kepemilikan rumah dan adanya Gambar 9

Ruang Publik di Sisi Perempatan Jalan (Sumber : Priyatmono, 2004)

Zona Tepian Sungai

Zona Juragan

Zona Pekerja

Gambar 10

(7)

tuntutan kegiatan, jalan butulan tidak atau kurang difungsikan lagi.

V. Kesimpulan

Sebagai suatu kawasan yang relatif “tertutup”(permukimannya berbeteng-beteng), Laweyan tumbuh sebagai suatu kawasan yang “ramah”. Peran dari area publik untuk aktifitas bersama sangatlah besar. Ruang publik mempunyai kedudukan yang bertingkat tingkat sesuai dengan peran dan fungsinya. . Ruang publik di tingkat paling sederhana terletak di masing masing rumah melalui konsep butulan antar rumah. Area publik yang lebih luas terletak di luar rumah dengan konsep bertingkat dari tingkat RW sampai tingkat Kelurahan.

Daftar Pustaka

Carmona dkk., 2003, Public Space Urban Space : The Dimension of Urban Design, Architectural Press London

Conti, Flavio, 1977, The Grand Theme Architectur as Environment, HBJ Press, New York DeGraaf, HJ,2003, Keraajaan Islam Pertama di

Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, graffiti, Jakarta.

Haryadi dkk., 1995, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Mlayadipuro, 1984, Sejarah Kyai Ageng Anis-Kyai Ageng Laweyan. Urip – Urip (penyunting: Santoso, Suwito) Museum Radya Pustaka, Surakarta.

Priyatmono, Alpha Febela, 2004, Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Widayati, Naniek, 2002, Permukiman Pengusaha

Batik Di Laweyan Surakarta, Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta

Watson , Donald, 2001, Time Saver Standart For Urban Design, Mc Graw Hill, New York. Zand, Markuss, 1999, Perancangan Kota Secara

Terpadu : Teori Rancangan Kota dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta

*) Alamat Kantor:

Jurusan Teknik Arsitektur

Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1

Pabelan Kartasura Surakarta

Telp. (0271)717417-ex 225 Fax (0271) 715448 Alamat rumah :

Sayangan Kulon No. 9 Laweyan Surakarta Telp. (0271) 712276, (0271) 738724 E-mail febela2006@yahoo.co.id Gambar 11

Butulan sebagai Ruang Semi Publik di Laweyan (Sumber : Priyatmono, 2004)

Gambar 12

Ruang Semi Publik di Laweyan (Sumber : Priyatmono, 2004)

Gambar 13

Beberapa Butulan Antar Rumah (Sumber : Priyatmono, 2004)

Gambar 14

Beberapa Butulan Bawah Tanah Antar Rumah (Sumber : Priyatmono, 2004)

Sisa Sisa Butulan bawah tanah

Gambar

  Gambar 3. Industri Batik di Laweyan
  Gambar 5 Jalan / Gang  di Kampung Laweyan
Gambar 6 Beberapa Contoh Ruang Publik          (k) Masjid Kirmani                (l) Makam Klaseman
   Gambar 10    Tepian Sungai Sebagai Area Kontak Sosial
+2

Referensi

Dokumen terkait