• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI SULAWESI SELATAN"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA

PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI

SULAWESI SELATAN

(STUDI KASUS: KABUPATEN TORAJA UTARA, TANA TORAJA & ENREKANG)

SKRIPSI

FATHIA HASHILAH 0906514866

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN GEOGRAFI

(2)

PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA

PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI

SULAWESI SELATAN

(STUDI KASUS: KABUPATEN TORAJA UTARA, TANA TORAJA & ENREKANG)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

FATHIA HASHILAH 0906514866

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN GEOGRAFI

(3)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Fathia Hashilah

NPM : 0906514866

Tanda tangan :

(4)

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Fathia Hashilah

NPM : 0906514866

Program Studi : Geografi

Judul Skripsi : Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada program studi Ilmu Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Univesitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dra. M.H. Dewi Susilowati M.S. (……….) Pembimbing I : Hafid Setiadi S.Si., M. T. (……….)

Pembimbing II: Dra. Widyawati MSP (……….)

Penguji I : Drs. Triarko Nurlambang, MA (……….) Penguji II : Drs. Hari Kartono M.S. (……….)

(5)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Jurusan Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Skripsi ini merupakan penelitian tentang peran sertifikasi CAFÉ Practices pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi di Sulawesi Selatan.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, karena tanpa rahmat dan hidayah-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesiakan skripsi ini

2. Ibu dan Ayah yang tiada henti mendoakan, memberi semangat dan selalu mengingatkan untuk selalu berdoa dan berusaha

3. Uni Rani, Bang Ais, Bang Icat, Bang Abduh, Uni Dela, dan Uni Welly, yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis hingga akhir penyusunan skripsi

4. Mas Hafid, Ibu Widya dan Pak Jeff, yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mendapatkan pengalaman yang sangat berharga serta telah mendukung dan membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini. Terimakasih juga atas berbagai bacaan dan tulisan yang diberikan sebagai pendukung penyusunan penelitian ini

5. Mas Arko, yang telah berbaik hati memberikan masukan dan bantuan terkait materi dan cara presentasi yang baik dan benar

(6)

Burhan, Pak Lukas, Judith, Nita, Ajeng serta teman lain yang ada di Sulawesi Selatan yang telah banyak membantu baik terkait informasi,tempat tinggal selama penelitian, serta keramahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis merasa nyaman melakukan penelitian walaupun di tempat yang asing bagi penulis

9. Muti dan Tari yang telah membantu mengoreksi, bersedia menjadi pelatih presentasi serta bersedia memberi semangat pada penulis

10. Danny, Aulia, Mayang, Geografi 2009, Mbak Qiqi, serta teman-teman lain yang telah memberi semangat dan dukungannya

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat mengembangkan tulisan dan penelitian ini agar menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu Geografi di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Depok, Juni 2013

(7)

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fathia Hashilah

NPM : 0906514866

Program Studi : S-1 Departemen : Geografi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberiikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok

Pada Tanggal : 08 Juli 2013 Yang menyatakan:

(8)

Nama : Fathia Hashilah Program Studi : Geografi

Judul : Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)

Sertifikasi CAFÉ Practices merupakan standarisasi yang diterapkan oleh Starbucks Coffee agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan dan mampu memenuhi standar konsumen. Sertifikasi itu sendiri hanya akan efektif dan efisien diterapkan pada karakter wilayah dan petani tertentu. Di Sulawesi Selatan Terdapat beberapa wilayah penghasil kopi yang memiliki karakter berbeda-beda yang akibatnya setelah diterapkan sertifikasi CAFÉ Practices menghasilkan perubahan pola mata rantai nilai. Adanya ikatan yang kuat dengan tanah adat, penerapan sertifikasi menghasilkan perpanjangan pola mata rantai nilai kopi. Perpanjangn pola ditandai dengan munculnya simpul baru yang menandakan penerapan sertifikasi tidak efisien di wilayah yang ikatan dengan tanah adatnya masih kuat.

(9)

Name : Fathia Hashilah Program Study : Geography

Title : The Role of CAFÉ Practices Certification in The Changing of Coffee Value Chain Pattern in South Sulawesi (Cases Study: Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)

CAFÉ Practices certification is a standardization applied by Starbucks Coffee to create a sustainable coffee trade and to fulfill the consumers standards. Certification will be effective and efficient in a particular character of region and farmer. South Sulawesi has various characters of farmers and regions. Those characters influential to the changing of coffee value chain pattern after the assembling of CAFÉ Practices Certification. The tied of land custom is the strongest cause of the changing pattern. It makes the value chain become longer, it indentified by the appearance of a new node, which is mean a new actor of the chain. The appearance of a new node after applying CAFÉ Practices indicates inefficiency of that certification applied in a region which is has a strong tide of custom land.

(10)

Kata Pengantar………....iii

Abstrak……….....vi

Daftar Isi……….viii

Daftar Gambar……….xi

Daftar Peta………..xii

Daftar Tabel………...xiii

Daftar Sketsa………..xiv

BAB 1 Pendahuluan………...1

1.1 Latar Belakang………..1

1.2 Masalah Penelitian………....3

1.3 Tujuan Penelitian………..3

1.4 Batasan Penelitian……….4

BAB 2 Tinjauan Pustaka………...7

2.1 Konsep Pemasaran………....7

2.1.1 Pemahaman TNC (Trans National Corporation)………...7

2.2 Konsep Sertifikasi………...8

2.2.1 Latar belakang munculnya sertifikasi………...8

2.2.2 CAFÉ Practices……….9

2.3 Konsep Rantai Nilai (Value Chain)………....10

2.4 Jaringan Komoditas (Commodity Network)………....13

2.5 Pengambilan Keputusan………...13

2.6 Aksesibilitas………....14

(11)

Metodologi Penelitian………....19

3.1 Alur Pikir Penelitian………...19

3.2 Alur Kerja………...20

3.3 Pengolahan Data………...21

3.4 Analisis Data………....21

BAB 4 Pengusahaan Kopi di Sulawesi Selatan……….....24

4.1 Karakteristik Wilayah Penghasil Kopi………....24

4.2 Sejarah Industri Kopi………...31

4.3 Kondisi Umum Industri Kopi………...32

BAB 5 Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan…………..………..34

5.1 Kondisi Mata Rantai Nila Kopi………...34

5.1.1 Manusia/aktor dalam sistem mata rantai nilai lokal Kopi...………...………...34

5.1.1.1 Tingkat Pendidikan Aktor………...34

5.1.1.2 Kontribusi Pengusahaan Kopi Pada Pendapatan Petani…………..36

5.1.1.3 Pengaruh Budaya Pada Pengusahaan Kopi………...37

5.1.2 Aktifitas utama mata rantai nilai lokal kopi………....39

5.1.3 Aktifitas pendukung mata rantai nilai lokal kopi………....47

5.2 Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi……….49

5.2.1 Aspek peningkatan kualitas ………...51

5.2.2 Aspek jaminan jual beli……….………...54

(12)

Sertifikasi CAFÉ Practices ( ≥ 2008)………..61 5.3.3 Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Dilihat dari

Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal………..…………...66 BAB 6

Kesimpulan……….....73

Daftar Pustaka………...xv

(13)

Gambar 1.1 Grafik pertumbuhan ekspor kopi Arabika dari Makasar, nilai dalam

Ton dan USD/Kg………...2

Gambar 2.1 Konsep dasar sistem mata rantai nilai………...11

Gambar 3.1Alur Pikir Penelitian………....20

Gambar 3.2 Alur Kerja Penelitian………...23

Gambar 4.1Bentang alam perkebunan kopi Toraja Utara………...26

Gambar 4.2 Kondisi jalan menuju perkebunan kopi Toraja Utara……….....27

Gambar 4.3 Kopi tanduk asal Toraja Utara………...27

Gambar 4.4 Kopi kulit tanduk asal Tana Toraja………...28

Gambar 4.5 Bentang alam perkebunan kopi di Enrekang……….....29

Gambar 4.6 Kondisi jalan menuju perkebunan kopi di Enrekang……….....29

Gambar 5.1 Contoh makam adat Toraja………....37

Gambar 5.2 Jaringan komoditas (arus produksi dan tenaga/power)…………...40

Gambar 5.3 Pemrosesan kopi oleh petani……….....41

Gambar 5.4 Kopi biji hijau / green bean………...42

Gambar 5.5 Kondisi jalan menuju pasar Sapan………...47

Gambar 5.6 Penyortiran kopi kulit tanduk oleh anak-anak………...52

Gambar 5.7 Bagan faktor yang mempengaruhi munculnya simpul baru setelah diterapkannya CAFÉ Practices di Toraja Utara dan Tana Toraja...69

(14)
(15)

Table 2.1 Berbagai Penelitian Terkait Rantai Nilai, Rantai Komoditas dan

Upgrading………...16 Tabel 4.1 Asal pembelian kopi oleh Toarco dan KUD Sane, Sumber: Data

administrasi KUD & Toarco 2008………...31 Tabel 5.1 Hubunganantar aktor dengan aspek spasial………....43 Tabel 5.2Aktifitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi

Selatan sebelum penerapan sertifikasi………...58 Tabel 5.3 Aktifitas Utama mata rantai nilai lokal kopi Kabupaten

Setelah penerapan sertifikasi………...64 Tabel 5.4 Aktifitas Utama mata rantai nilai lokal kopi Kabupaten Toraja

(16)

Sketsa 5.1 Respon aktor terhadap penerapan aspek peningkatan kualitas

produk………...50 Sketsa 5.2 Respon aktor terhadap penerapan aspek jaminan jual beli antar

aktor………...53 Sketsa 5.3 Pola mata rantai saat awal KUD Sane masuk di Sulawesi

Selatan 1997-2004………...57 Sketsa 5.4 Pola mata rantai kopi di Sulawesi selatan 2005-2007………..60 Sketsa 5.5 Pola mata rantai nilai setelah diterapkanya CAFÉ Practices

(≥ 2008)………...63 Sketsa 5.6Pola simpul (mata rantai) sebelum dan sesudah penerapan

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini, kopi asal Sulawesi Selatan khususnya yang berasal dari Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang bertanggung jawab memproduksi kopi unggulan untuk dijual ke pasar internasional. Peningkatan minat pasar internasional terhadap kopi unggulan membuat persaingan perdagangan kopi menjadi sangat ketat. Volume ekspor kopi Arabika asal Sulawesi Selatan semakin tinggi setiap tahunya yang menandakan permintaan terhadap kopi juga tinggi (Gambar 1.1). Selain itu, harga kopi Toraja juga lebih tinggi dibanding harga kopi rata-rata dunia. Terdapat beberapa aktor / perusahaan internasional yang berperan dalam pembelian kopi asal Sulawesi ini. Salah satunya adalah Starbucks Coffee yang berperan sebagai pembeli dalam jumlah terbesar, yaitu lebih dari 50% jumlah produksi kopi arabika di Sulawesi (Neilson, et al. 2007) .

(18)

kopi dapat terus berpartisipasi dalam perdagangan kopi global (C.A.F.E. Practices Overview, 2004).

Sertifikasi sendiri dapat diaartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk yang homogen (Blackmore & Keeley, 2012). Maksud dekomodifikasi produk adalah membuat sedemikian rupa suatu barang mentah hingga memiliki nilai tambah, agar dapat dijual ke pasar. Secara eksplisit, sertifikasi dapat meningkatkan nilai dari suatu produk karena diberlakukannya sistem standarisasi.

Gambar 1.1 Grafik pertumbuhan ekspor kopi Arabica dari Makasar , nilai dalam Ton dan USD/Kg. (Sumber: Neilson, et all. 2007)

Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Salah satu skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat berpengaruh pada rantai perkopian di daerah tersebut adalah CAFÉ Practices ( Neilson, 2007). CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya digunakan oleh Starbucks Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi

(19)

CAFÉ Practices adalah menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, dengan cara:

1. Meningkatkan kualitas produk

2. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak yang dirugikan

3. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai produksi

4. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah lingkungan (C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guedlines 2.0, 2007).

Seperti disebutkan sebelumnya, sertifikasi digunakan sebagai cara meningkatkan kualitas dan suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Dalam penelitian ini, penulis menjadikan skema sertifikasi CAFÉ Practices sebagai studi kasus, untuk melihat apakah sertifikasi CAFÉ Practices ini merubah pola mata rantai nilai kopi arabika di tiga karakter wilayah produksi yang berbeda (Studi kasus: Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang) sejak diterapkan pada tahun 2008.

1.2 Masalah Penelitian

1. Bagaimana pola mata rantai nilai lokal / local value chain kopi arabika sebelum dan sesudah diberlakukanya skema sertifikasi CAFÉ Practices di Sulawesi Selatan?

2. Bagaimana efisisensi penerapan sertifikasi CAFÉ Practices tersebut dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai kopi arabika di Sulawesi Selatan ?

1.3Tujuan Penelitian

(20)

1.4 Batasan Penelitian

a. Sertifikasi dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah skema yang digunakan untuk memberikan nilai tambah baik dalam peningkatan kualitas produk kopi maupun faktor eksternal dari produk kopi seperti lingkungan dan sosial petani. Dalam penelitian ini, skema sertifikasi yang digunakan sebagai studi kasus adalah sertifikasi CAFÉ Practices.

b. CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang bertujuan menciptakan kegiatan produksi kopi yang bersifat berkelanjutan yang diterapkan oleh Starbucks Coffee. Ada empat point penting yang menjadi fokus skema sertifikasi ini; kualitas produk, transparansi keuangan, tanggung jawab sosial dan menejemen lingkungan. Keempat point ini dimaksud agar mampu menciptakan suatu sistem yang bersifat berkelanjutan.

c. Rantai Nilai Lokal (Local Value chain) merupakan keseluruhan kegiatan produksi komoditas kopi mulai dari inbound logistic, operation hingga outbound logistic, yaitu komoditas kopi dalam bentuk biji hijau (green bean) yang siap ekspor (belum sampai konsumen langsung). Dalam dua tahapan inbound logistic dan operation terdiri dari tiga aktor (simpul) yang selalu terkait dengan faktor lokasi pada setiap perpindahan tangan kopi. Aktor yang terlibat dalam rantai nilai kopi ini adalah petani, tengkulak (supplier) dan eksportir.

d. Analisis Mata Rantai Nilai/VC pada penelitian ini digunakan untuk melihat bagaimana nilai tambah yang ada pada setiap aktor sebelum dan setelah penerapan CAFÉ Practices. Dengan melihat hal tersebut, dapat diketahui bagaimana respon/pengambilan keputusan yang dilakukan aktor dan apa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut yang nantinya berpengaruh pada pola mata rantai nilainya.

e. Inbound Logistic merupakan tahap awal dalam satu kegiatan utama sistem mata rantai nilai kopi yang terkait pada kegiatan mengusahakan kopi di perkebunan.

(21)

g. Outbound Logistic merupakan aktifitas utama yang terkait dengan kegiatan pergudangan dan ekspor (distribusi barang ke aktor lain).

h. Aspek Tanggung Jawab Sosial pada penelitian ini diartikan sebagai jaminan terjalinnya aktivitas jual beli kopi antara produsen dan pembeli yang berkelanjutan.

i. Rewarding diartikan sebagai perpanjangan kontrak jual beli oleh eksportir hasil dari kontinuitas penjualan pasokan kopi oleh tengkulak agar tercipta aktifitas jual beli kopi yang berkelanjutan.

j. Aksesibilitas merupakan kemampuan petani kopi menentukan kepada siapa kopi hasil panennya dijual serta biaya yang dikeluarkan agar mampu menyalurkan kopi ke tangan berikutnya. Aksesibilitas bisa juga dilihat dari biaya/ongkos yang dikeluarkan untuk bisa menjual kopi ke aktor/ordo lebih tinggi.

k. Efisiensi pada penelitian ini dilihat dari sudut pandang masyarakat lokal di wilayah penghasil kopi.

l. Petani kopi (produsen) diartikan sebagai seorang yang memiliki pekerjaan mengusahakan kopi mulai dari menanam, pemetikan buah ceri kopi hingga pengolahan menjadi kopi kulit tanduk.

m. Tengkulak /Supplier adalah seorang yang berperan membeli kopi dari petani. Tengkulak membeli kopi dari petani dalam bentuk kopi kulit tanduk.

(22)

o. Kopi Kulit Tanduk merupakan hasil pengupasan tahap satu dari buah kopi.

p. Kopi Biji Hijau merupakan hasil pengusahaan tahap dua dari buah kopi atau hasil pengupasan dari kopi kulit tanduk.

q. Liter Buco merupakan satuan liter yang digunakan tengkulak ketika membeli kopi dari petani. Liter buco memiliki spesifikasi liter memunjung.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pemasaran Terkait Perdagangan Internasional

Konsep pemasaran adalah mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga dapat menghasilkan produk maupun jasa yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari pemasar adalah membuat suatu kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya menjadi sebuah permintaan. Produk yang menjadi sebuah permintaan harus dapat memuaskan konsumen. Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus mengidentifikasi segmen pasar yang diinginkan (Perreault et al, 2010), berdasarkan kondisi demografi, psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap pembeli.

Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan transaksi (Kotler, 2002). Dalam penelitian ini, inovasi dan standarisasi yang diaplikasikan Starbucks Coffee adalah dalam bentuk skema sertifikasi CAFÉ Practices.

Transformasi sistem perekonomian dunia setelah perang dunia dua telah memberikan dampak yang luar biasa hingga saat ini. Dampak yang sangat signifikan terasa adalah munculnya perusahaan internasional / Trans Nasional Corporations (TNC) yang mendominasi sistem perekonomian dunia. Proses produksi yang tadinya hanya terikat di satu wilayah, berubah melintasi batas Negara (Golledge et al, 1997). Inilah yang disebut era globalisasi dimana batas Negara tidak lagi menjadi hambatan dalam setiap kegiatan, terutama kegiatan ekonomi.

2.1.1 Pemahaman TNC (Trans National Corporation)

(24)

pasar global. Hal ini dapat terjadi karena TNC lah yang mampu memproduksi barang dengan menggunakan bahan baku dari negara berbeda dan didistribusikan ke Negara lain pula. Pada penelitian ini, TNC diperankan oleh Starbucks Coffee yang dalam satu sistem mata rantai nilai kopinya tidak hanya terletak di satu daerah lokal, tapi juga melewati batas Negara. Sulawesi Selatan menjadi salah satu wilayah produksi kopi yang terikat dengan sistem mata rantai nilai Starbucks Coffee.

2.2 Konsep Sertifikasi

2.2.1 Latar Belakang Munculnya Sertifikasi

Dasar munculnya sertifikasi tidak lepas dari konsep dasar pemasaran, yaitu mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga suatu produk maupun jasa dapat sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari pemasar adalah membuat suatu kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya menjadi sebuah permintaan. Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus mengidentifikasi segmen pasar yang diinginkan (Perreault et al, 2010), berdasarkan kondisi demografi, psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap pembeli.

Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan transaksi (Kotler, 2002).

Di era globalisasi ini, segala jenis informasi dengan mudah didapat oleh konsumen, mulai dari sumber produk, bagaimana produk diolah, bagaimana perusahaan bertanggung jawab atas tenaga kerja, mulai dari bahan mentah hingga barang jadi, bahkan bagaimana tanggung jawab perusahaan dengan ekosistem terkait dengan kegiatan produksi. Mudahnya informasi didapat oleh konsumen menjadi tantangan tersendiri bagi para perusahaan.

(25)

rantai produksi harus ramah lingkungan dan tidak merugikan pekerja, menjadi aspek penting yang harus diperhatikan perusahaan agar konsumennya tetap setia. Perubahan selera konsumen saat ini berubah, ditandai dengan meningkatnya permintaan terkait produk yang sehat dan berkualitas tinggi serta kesadaran proses produksi yang etis (Barret et al 1999). Maka atas dasar ini muncul suatu standarisasi, yang dalam kaitannya dengan mata rantai nilai kopi disebut sertifikasi.

Terdapat berbagai jenis sertifikasi yang dipakai oleh perusahaan kopi tergantung target konsumen mereka. Ada yang orientasinya khusus pada keberlanjutan ekosistem sekitar perkebunan kopi, yaitu sertifikasi Rain Forest Alliance. Khusus Starbucks Coffee, skema sertifikasi yang digunakan adalah CAFÉ Practices yang bertujuan menciptakan suatu sistem mata rantai nilai kopi yang berkelanjutan.

Sertifikasi dapat diartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk yang homogen. Secara eksplisit, Sertifikasi dapat meningkatkan nilai dari suatu produk, contohnya adalah kopi, komoditas yang akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini. Terkait dengan konsep pemasaran, sertifikasi ini diartikan sebagai inovasi dan peningkatan kualitas agar dapat memuaskan konsumen. Sertifikasi itu sendiri hanya akan efektif tergantung karakter tempat, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani yang sesuai. Jika dikaitkan dengan modal bantuan yang dikeluarkan untuk menciptakan suatu produk kopi dengan tujuan meningkatkan minat beli konsumen, maka sertifikasi disini dapat dikatakan sebagai bentuk baru dari monopoli perdagangan (private regulation) dimana perusahaan mengambil alih suatu keputusan dari permintaan pasar (Blackmore & Keeley, 2012).

2.2.2 CAFÉ1 Practices

CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang bertujuan menciptakan kegiatan produksi kopi yang bersifat berkelanjutan. Ada empat point penting yang menjadi fokus skema sertifikasi ini, kualitas produk, transparansi keuangan, tanggung jawab sosial dan menejemen lingkungan. Keempat poin ini dimaksud agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang bersifat

(26)

berkelanjutan. Dalam penelitian ini, cakupan penerapan sistem CAFÉ Practices adalah semua aktor yang berada di Sulawesi Selatan setelah tahun 2008, yaitu saat di mana skema CAFÉ Practices diterapkan di Sulawesi Selatan.

2.3 Konsep Rantai Nilai (Value Chain)

Value chain dapat diartikan sebagai keseluruhan aktivitas yang akan menghasilkan sebuah produk ataupun servis yang terdiri dari beberapa proses, yang hasil akhirnya akan diantarkan kepada konsumen (Hellin & Meijer, 2006). Tujuan utama dari value chain adalah untuk menciptakan produk atau layanan yang memiliki nilai tambah untuk pasar dengan cara mengolah sumber daya dengan menggunakan sarana yang tersedia. Dalam implementasinya, selain ada peluang juga terdapat hambatan terkait lingkungan di dalam sistem tersebut. Hambatan yang terkait pengembangan sistem ini adalah sudut pandang yang terkait dengan akses pasarnya, baik lokal, regional maupun internasional. Selain akses ke pasar, hambatan yang termasuk dalam sistem ini adalah orientasi pasar (Grunert et al. 2005), ketersediaan sumber daya, infrastruktur fisik (Porter 1998: factor conditions ) serta institusi terkait (Regulative, Cognitive and Normative; Scott 1995).

Value chain itu sendiri terdiri dari dua aktifitas, yaitu aktifitas utama dan pendukung (Porter, 1998). Yang termasuk dalam aktifitas utama pada mata rantai nilai:

a. Inbound Logistic: Proses kegiatan dari menerima, menggudangkan komoditas mentah dan mendistribusikanya ke tempat pengolahan pertama

b. Operation: proses merubah produk mentah menjadi barang jadi serta adanya adanya pemberian servis

c. Outbond logistic: pergudangan dan pendistribusian barang jadi d. Marketing: kegiatan mengidentifikasi kebutuhan konsumen untuk

peningkatan penjualan

(27)

Sedangkan yang termasuk kegiatan pendukung:

a. Infrastruktur perusahaan: struktur organisasi, sistem pengontrolan, budaya dalam dalam perusahaan

b. Menejemen sumber daya manusia: perekrutan tenaga kerja, penerimaan, pelatihan, pengembangan dan pembayaran gaji c. Pengembangan teknologi: teknologi yang dipakai untuk

mendukung kegiatan dalam memberi nilai tambah

d. Procurement: proses pembayaran/transaksi dalam usaha memperoleh material, supplai dan peralatan yang terkait Semua yang masuk dalam kegiatan pendukung ada pada setiap tingkat kegiatan utama.

Terkait dengan mata rantai nilai, adanya standarisasi yang diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi seharusnya memeiliki dampak yang positif untuk kegiatan produksi dan jual beli antar aktor. Sertifikasi (standarisasi) seharusnya mampu meningkatkan efisiensi

(28)

dengan mengurangi ongkos transaksi antar aktor yang berbeda dalam satu mata rantai nilai (Cooper & Graffham, 2009)

2.3.1 Linkages

Biaya dalam setiap aktivitas penambahan nilai tidak akan pernah lepas dari aktifitas lain yang ada dalam satu sistem mata rantai nilai. Kaitan selalu muncul antar tiap aktifitas menjadikan munculnya dua tipe keterkaitan (linkage) (Porter, 1998):

1. Kaitan (linkage) dalam satu mata rantai nilai

Keterkaitan dalam setiap aktivitas penambahan nilai selalu masuk dalam satu sistem mata rantai nilai. Secara umum, keterkaitan ini terjadi antar aktifitas utama. Seperti keterkaitan antara inbound logistic dengan operation ataupun outbound logistic. Dalam keperluannya untuk meminimalisir biaya, maka butuh dilakukan analisis, dengan pertanyaan apa saja yang akan terpengaruh dalam melakukan suatu aktifitas? Jika telah menemukan kunci keterkaitan antar aktifitas, maka sebuah perusahaan akan dapat mengambil suatu tindakan yang bertujuan meminimalisisr biaya mulai dari produksi hingga pemasaran (Porter, 1998).

2. Kaitan (linkage) antar aktor dalam rantai nilai dan kaitannya dengan efisiensi

(29)

menentukan suatu efisiensi. Keterkaitan antar aktor ini bisa berdampak pada peningkatan biaya yang dibayar perusahaan, maupun peningkatan biaya yang dibayar petani agar hasil produksi barang mentahnya sampai ke tangan perusahaan. Keterkaitan antar aktor ini dapat dijadikan dasar analisis efisiensi atau kegagalan efisiensi akibat penerapan sertifikasi CAFÉ Practices.

2.4 Jaringan Komoditas (Commodity Network)

Dalam membahas rantai nilai suatu komoditas tidak akan lepas dari berbagai proses produksi hingga konsumsi. Hubungan antara produksi hingga konsumsi dapat diaplikasikan dalam bentuk jaringan / network concept (Hughes, 2004). Jadi, secara utuh, konsep jaringan digunakan untuk menyederhanakan koneksi antara berbagai pemeran dalam rantai nilai, seperti manusia, perusahaan, organisasi dll (Dicken et al., 2001; Thrift dan Olds, 1996). Analisis netwok dapat dikembangkan dengan pendekatan teori actor-network (ANT). ANT (Actor Network Theory) merupakan konseptualisasi spasial dari sebuah jaringan. Secara singkat, ANT menyatakan bahwa jaringan komoditas selalu berada pada suatu lokasi, bekerja pada suatu tempat dan waktu yang sudah jelas (Hughes, 2004).

2.5 Pengambilan Keputusan

(30)

Sedangkan dalam penelitian ini, variabel yang dijadikan alat penentu pengambilan keputusan oleh aktor mata rantai nilai kopi Sulawesi Selatan adalah tingkat pendidikan, pendapatan, budaya dan karakter fisik (ketinggian dan aksesibilitas). Pengambilan keputusan dalam sistem mata rantai nilai kopi menjadi hal penting karena dalam setiap pergantian aktor terdapat aspek yang mendasarinya yang terlihat diwakili oleh variabel tersebut.

2.6 Aksesibilitas

Aksesibilitas merupakan kemudahan suatu tempat dicapai dari tempat lain. Aksesibilitas dapat diukur dari unsur jarak, waktu ataupun biaya yang terkait infrastruktur. Selain ketiga tolok ukur aksesibilitas yang telah disebutkan, ada tolok ukur non fisik yang menjadi tolok ukur akses ke suatu tempat, yaitu kelas sosial atau etnis tertentu (Pacione, 2009). Kondisi jalan, ongkos dan relasi menjadi variabel karena dirasa akan sangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh aktor.

2.7 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai peran sertifikasi CAFÉ Practices terhadap perubahan pola mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan ini didasari oleh beberapa penelitian ilmiah. Terdapat sekitar tiga penelitian yang terkait dengan mata rantai nilai dan upgrading. Penelitian yang pertama adalah “Mempertahankan

Profitabilitas Industri Kopi Toraja”, (2007). Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terikat dalam sistem produksi ini. Penelitian ini bertujuan memberikan solusi dan saran agar sistem produksi kopi ini terus berjalan dan dapat menghasilkan keuntungan bagi keseluruhan aktor dalam sistem.

Penelitian kedua adalah “Agricultural Value Chains in Developing

(31)

akan memberi dampak pada berbagai aktor. Terutama produsen skala kecil, mereka berada dalam pihak yang agak dirugikan karena minimnya modal yang diinvestasikan, hanya menggunakan teknik tradisional, tenaga kerjanya hanya bergantung pada saudara dan minimnya akses terhadap pasar internasional (De Janvry dan Sadoulet 2005; Daviron dan Gibbon 2002; Reardon dan Barret 2000 dalam Trienekens, 2011). Atas dasar hal ini, produsen besar yang bergantung pada produsen kecil sebagai suplayer bahan baku butuh meningkatkan kontrol dalam kegiatan produksi, perdagangan dan distribusi dalam menjamin kualitas dan nilai tambah suatu produk agar tetap laku di pasaran. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana produsen kecil di Negara berkembang mendapatkan manfaat dari adanya sistem perdagangan bebas ini. Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis kerangka mata rantai nilai.

Penelitian berikutnya yang terkait dengan mata rantai dan upgrading

(32)

Judul, Tahun Wilayah

Penelitian Ide Dasar Tujuan Penelitian

(33)
(34)

menjamin kualitas dan nilai tambah suatu produk

posisi dalam rantai dengan memberikan nilai tambah

(35)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alur Pikir Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran sertifikasi CAFÉ Practices pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi dan melihat efisiensi penerapan sertifikasi CAFÉ Practices dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi itu sendiri di tiga karakter lokasi yang berbeda, yaitu Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang. Tujuan dari penelitian ini didasari oleh kutipan pernyatanan

“Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan,

kemampuan dan kapasitas petani tertentu” (Blackmore & Keeley, 2012).

Dalam penelitian ini, unsur yang akan dikaji adalah bagaimana respon dari penerapan skema sertifikasi CAFÉ Practices pada aktor yang berperan dalam keseluruhan mata rantai nilai lokal kopi arabika, yaitu dimulai dari petani, supplier/tengkulak dan eksportir. Selain aktor yang berperan dalam mata rantai nilai kopi ini, karakter fisik lokasi yaitu ketinggian sebagai dasar penentu lokasi perkebunan, kondisi sosial petani, yaitu pendidikan, ekonomi yang dilihat dalam mata pencaharian utama serta karakter budaya yang dilihat dari status kepemilikan tanah atas dasar adat akan menjadi unsur yang unik dan berbeda di tiga lokasi sebagai penentu pengambilan keputusan oleh petani.

(36)

3.2 Alur Kerja

Alur kerja penelitian dibagi kedalam empat poin, titik awal, kegiatan, hasil kegiatan dan titik akhir. Agar lebih mudah dipahami, alur kerja dapat dilihat dalam bentuk bagan (Gambar 3.2). Penentuan informan dilakukan dengan metode purposive sampling (Yunus, 2010), yaitu mencari informan yang dianggap mewakili untuk memberikan informasi dalam satu sistem mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan.

(37)

3.3 Pengolahan Data

Data diolah dengan pembuatan matriks dari data primer berdasarkan variabel yang mempengaruhi perubahan mata rantai terkait penerapan sertifikasi CAFÉ Practices. Karakter lokasi, kondisi sosial masyarakat, kondisi ekonomi, kondisi budaya dan skala ekonomi merupakan unsur yang disesuaikan untuk memahami alasan dari respon aktor dalam sistem mata rantai nilai setelah penerapan sertifikasi CAFÉ Practices. Setelah data dikategorisasi dengan matriks, maka dilakukan konstruksi bentuk respon penerapan sertifikasi CAFÉ Practices yang menghasilkan sketsa pola respon aktor terhadap penerapan sertifikasi CAFÉ Practices. Foto hasil lapang juga dikategorisasi, disesuaikan dengan kategori yang telah dibentuk pada data hasil observasi dengan informan.

3.4 Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis temporal, analisis interaksi keruangan dan analisis komparasi keruangan. Analisis temporal dilakukan karena ingin melihat fenomena di dua dimensi waktu berbeda, yaitu pola mata rantai nilai sebelum dan setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices. Alasan mengapa dilakukan analisis interaksi keruangan adalah karena pada penelitian ini setiap lokasi memiliki peran yang berbeda dalam aktifitas mata rantai nilai kopi. Ada yang berperan sebagai lokasi produksi, ada yang berperan sebagai lokasi jual beli dan ada pula yang berperan sebagai lokasi pengolahan. Berbedanya aktifitas di setiap lokasi menyebabkan terciptanya arus distribusi komoditas kopi.

Selain analisis interaksi keruangan, analisis komparasi keruangan juga digunakan untuk melihat bagaimana fenomena distribusi komoditas kopi tersebut di tiga daerah kajian yang berbeda. Analisis pada penelitian ini dilakukan setelah dihasilkan 3 sketsa dari pengolahan data. Analisis pada penelitian ini bersifat deskriptif yang mengacu pada :

(38)

b. Sketsa pola mata rantai nilai lokal kopi sebelum diterapkan skema sertifikasi

c. Sketsa pola mata rantai nilai lokal kopi setelah diterapkan skema sertifikasi

(39)
(40)

BAB 4

PENGUSAHAAN KOPI DI SULAWESI SELATAN 4.1 Karakteristik Wilayah Penghasil Kopi

Dalam budidaya penanamanya, wilayah penghasil kopi di Sulawesi Selatan

terbagi ke dalam tiga daerah administrasi berbeda (Peta 4.1). Tiga daerah

administrasi tersebut, yaitu Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang dan memiliki

karakter fisik yang berbeda pula.

4.1.1 Kabupaten Toraja Utara

Kabupaten Toraja Utara beribukota di Rantepao, terletak antara 2°35’

-3°09’ Lintang Selatan dan 119°36’ - 120°18’ Bujur Timur, yang berbatasan

dengan Kabupaten Luwu Utara dan Sulawesi Barat di sebelah Utara, pada sebelah

Timur berbatasan dengan Kabupaten Palopo dan Luwu serta pada sebelah Barat

berbatasan dengan Sulawesi Barat (Peta 4.2). Kabupaten Toraja ini sendiri juga

baru diresmikan pada tahun 2008 setelah adanya pemekaran wilayah. Awalnya

Toraja Utara ini merupakan bagian dari kabupaten Tana Toraja.

Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang

meliputi 21 Kecamatan. Kecamatan Baruppu dan Kecamatan Buntu Pepasan

merupakan dua Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 162,17 km2 dan

131,72 km 2atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 25,52 % dari seluruh

wilayah Toraja Utara (BPS Torut, 2010).

Secara umum, wilayah penghasil kopi yang terdapat di Toraja Utara

terletak pada ketinggian ≥ 1500 mdpl. Bentang alam Toraja Utara terdiri dari tiga

(41)
(42)

Bentang alam perke

fisik jalan yang buruk me

sulit diakses (Gambar 4.1)

petani menggunakan mot

Tidak heran sering terjadi

rusak (Gambar 4.2).

Terkait kualitas

premium hasil produk kopi

4.3). Bukan karena baga

melainkan faktor alamia

membuat kualitas kopi di

faktor yang berpengaruh

1500 mdpl. Sappan merupa

kualitas kopinya (Sarjana Gambar 4.1Bentang alam

m perkebunan kopi di Toraja Utara yang terjal dan

buruk mengakibatkan wilayah penghasil kopi di Toraja

bar 4.1). Umumnya, untuk mencapai ke perkebuna

n motor besar agar mampu melewati jalan yang sanga

ng terjadi longsor di wilayah ini mengakibatkan jalan

litas kopi, Toraja Utara sangat terkenal dengan

produk kopinya (kopi kulit tanduk asal Toraja Utara dalam

bagaimana perlakuan yang diberikan kepada tanam

alamiah dari lokasi tersebut yang para ahli kopi

kopi di Toraja Utara memiliki kualitas premium. S

ngaruh adalah ketinggian lokasi penanaman kopi yang

n merupakan salah satu desa penghasil kopi yang terke

arjana, Kepala KUD Sane).

Bentang alam perkebunan kopi Toraja Utara, (Sumber: Survey lapang 2012)

(43)

4.1.2 Kabupaten Tana Toraja

Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale terletak antara 2°39’

- 3°24’ Lintang Selatan dan 119°21’ - 120°03’ Bujur Timur, yang berbatasan

dengan Kabupaten Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara dan

Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang di Selatan, serta pada sebelah Timur

dan Barat masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Propinsi

Sulawesi Barat. Kabupaten Tana Toraja dilewati oleh salah satu sungai terpanjang

yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Sungai Saddang (Peta 4.2).

Sebelum adanya pemekaran wilayah, Luas wilayah Tana Toraja tercatat

3.205,77 km2yang terdiri dari 40 kecamatan. Setelah adanya pemekaran wilayah,

luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 2.054,30 km2 yang meliputi 19

Kecamatan. Kecamatan Malimbong Balepe dan Kecamatan Bonggakaradeng

merupakan dua Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 211,47 km2 dan

206,76 km2 atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 20,35 persen dari

seluruh wilayah Tana Toraja (BPS Tator, 2010). Karakter fisik perkebunan Toraja

Utara dan tana Toraja sesungguhnya hampir sama, hanya ketinggian saja yang

sedikit membedakan wilayah perkebunan Toraja Utara dengan Tana Toraja.

Umumnya perkebunan kopi di Tana Toraja terletak antara ketinggian 1000-1500

mdpl. Bituang dan Ge’tengan merupakan sebagian desa penghasil kopi yang ada

di Tana Toraja. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, kualitas kopi Gambar 4.2Kondisi jalan menuju perkebunan kopi

Toraja Utara. (Sumber: Survey lapang 2012)

(44)

Tana Toraja umumnya lebih rendah dibandingkan dengan Toraja Utara.

Perbedaan dapat dilihat dengan membandingkan kondisi kopi kulit tanduk asal

Toraja Utara (Gambar 4.3) dengan asal Tana Toraja (Gambar 4.4).

4.1.3 Kabupaten Enrekang

Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36’’ – 3050’

Lintang Selatan dan antara 119040’53’’ – 12006’33’’ Bujur Timur. Ketinggian

wilayah di kabupaten Enrekang ini pula bervariasi antara 47 – 3.329 mdpl.

Kabupaten Enrekang dibatasi oleh empat kabupaten berbeda, Kabupaten Tana

Toraja di Utara, Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Sidenreng

Rappang di sebelah Selatan dan Kabupaten Pinrang di sebelah Barat (Peta 4.2).

Luas wilayah kabupaten ini adalah 1.786,01 km2 atau sekitar 2,83 % dari luas

Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Enrekang terdiri dari 12 kecamatan.

Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Maiwa yaitu sekitar 22 % dari

luas Enrekang (BPS Enrekang, 2010).

(45)

Ketinggian wilaya

yang ada di Tana Toraja

perkebunan kopi dapat dil

kopi yang dimiliki oleh

Kondisi lereng yang terj

menuju perkebunan di da

oraja yaitu sekitar ketinggian 1000-1500 m, dan bent

pat dilihat di Gambar 4.5. Hal ini menyebabkan kuali

oleh kopi Enrekang tidak sebaik yang ada di Tora

ng terjal di Enrekang ini, khususnya Baraka membua

n di daerah ini menjadi sangat buruk akibat tanah yang

ondisi jalan akan semakin buruk jika sedang terjadi mus

it dengan distribusi kopi yang ada.

.5Bentang alam perkebunan kopi di Enrekang. (Sumber: Survey lapang 2012)

(46)
(47)

4.2 Sejarah Industri Kopi di Sulawesi Selatan

Perusahan yang pertama kali berkecimpung di industri kopi Sulawesi

Selatan khususnya Toraja adalah Key Coffee asal Jepang. Sekitar tahun 1976,

Key Coffe menugaskan Toarco sebagai eksportir kopinya untuk membina dan

mengelola berbagai kegiatan pengusahaan kopi agar memiliki kualitas bagus.

Pembinaan petani di Toraja dimulai oleh Toarco sekitar tahun 1977. Petani dibina

karena mereka tidak punya kemampuan bertanam yang baik, padahal potensi

alamnya sangat cocok untuk produksi kopi.

Setelah hampir 20 tahun menjadi pembeli tunggal, sekitar tahun 1997,

Starbucks Coffee yang diwakili oleh KUD Sane sebagai eksportir mulai

berkecimpung dalam sistem mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan. Starbucks

masuk sebagai pendatang dengan konsekuensi yang sangat besar. Starbucks harus

memliki kekuatan agar mampu bertahan melawan pemain senior di Sulawesi

Selatan. Membeli kopi dengan harga tinggi, yaitu sama dengan harga Toarco,

serta terbukanya KUD menerima kopi dari siapapun membuat Toarco cukup

tersaingi. Ditambah lagi Toarco hanya membatasi pembelian kopinya untuk

daerah Toraja Utara dan sedikit Tana Toraja. Hal ini menyebabkan Toarco kadang

kesulitan mendapat kopi karena produksi kopi di daerah tersebut tidak stabil.

Untuk KUD Sane, agar mereka tetap dapat membeli kopi dari Sulawesi Selatan,

mereka juga membeli dari petani Enrekang yang dapat dikatakan produksi

kopinya konsisten. Tabel 4.1 di bawah ini memperlihatkan perbandingan asal

pembelian kopi antara KUD Sane dan Toarco:

Tabel 4.1Asal pembelian kopi oleh Toarco dan KUD Sane, (Sumber: Data administrasi KUD & Toarco 2008)

Asal Pembelian Kopi Oleh Toarco Asal Pembelian Kopi Oleh KUD Sane

(48)

4.3 Kondisi Umum Industri Kopi

4.3.1 Kondisi Umum Industri Kopi Toraja Utara

Dalam produksi hasil perkebunan, tanaman perkebunan yang dominan di

Kabupaten Toraja Utara adalah tanaman kopi yang berproduksi sebesar 2.102,00

ton pada 2009. Jumlah produksi kopi arabika dihasilkan paling banyak di

kecamatan Buntu Papasan yaitu sekitar 372 ton pada tahun 2009 dari perkebunan

rakyat seluas 1.553 Ha dari keseluruhan perkebunan rakyat seluas 8.832 Ha (BPS

Toraja Utara, 2010). Umumnya, desa yang memproduksi kopi terbanyak terletak

pada ketinggian ≥ 1500 mdpl dan umumnya pula memiliki kondisi jalan yang

buruk (Neilson, 2007).

Petani kopi di Toraja Utara umumnya adalah petani yang hanya

mengusahakan pertanian kopi nya dengan cara tradisional. Umumnya, petani di

lokasi ini tidak memiliki modal untuk mengusahakan kopi yang ditanam, karena

ada kebutuhan seperti upacara adat yang menurut mereka lebih penting. Sappan

dan Ke’pe merupakan sebagaimana wilayah produksi kopi utama yang memasok

kopi ke KUD Sane dan menjadi studi kasus penelitian perubahan mata rantai nilai

lokal kopi arabika di wilayah ketinggian ≥ 1500 mdpl.

Berdasarkan fakta lapang, kopi hasil produksi Toraja Utara tidak hanya

dibeli oleh KUD Sane, melainkan juga Tarco, yaitu sebagai pemain senior dalam

industri kopi Toraja. Adanya dua perusahan besar yang ikut andil dalam satu

lokasi penghasil kopi seperti di Toraja ini membuat suatu persaingan pembelian

kopi yang sangat ketat. Persaingan semakin ketat karena jumlah produksi kopi

asal Toraja Utara yang tidak banyak dibandingkan dengan Enrekang, hanya

sekitar 100-200 kg/Ha (Neilson 2007).

4.3.2 Kondisi Umum Industri Kopi Tana Toraja

Sama seperti Toraja Utara, tanaman perkebunan yang dominan di

Kabupaten Tana Toraja adalah tanaman kopi yang berproduksi sebesar 2.351 ton

pada 2009. Jumlah produksi kopi arabika dihasilkan paling banyak di kecamatan

(49)

1.459,25 Ha dari keseluruhan perkebunan rakyat seluas 8.940,75 Ha (BPS Tana

Toraja, 2010). Sedangkan untuk ketinggian perkebunan di Tana Toraja, umumnya

terletak pada 1000 – 1300 mdpl (Neilson, 2007).

Petani skala kecil juga menjadi karakter petani kopi di Tana Toraja.

Bituang dan Ge’tengan merupakan wilayah produksi kopi yang juga memasok

sebagian kopi ke KUD Sane. Wilayah produksi ini berada pada rata-rata

ketinggian 1000-1500 mdpl. Toarco juga masih berperan dalam pembelian kopi di

Tana Toraja, namun persaingan tidak terlalu ketat seperti di Toraja Utara.

4.3.3 Kondisi Umum Industri Kopi Enrekang

Berbeda dari Toraja Utara dan Tana Toraja, kopi bukanlah komoditas

dominan dibandingkan dengan sayur-sayuran. Walaupun demikian, bukan berarti

Enrekang sama sekali tidak memproduksi kopi.

Berdasarkan data BPS 2009, Kecamatan Baraka dan Buntu Batu

merupakan daerah yang memiliki perkebunan kopi paling luas dibanding

kecamatan lain di Enrekang, yaitu 1990 Ha dan 2116 Ha dengan produksi kopi

781,2 ton dan 935,7 ton. Selain itu, berbanding lurus dengan luas perkebunan dan

hasil produksi kopi, jumlah petani terbanyak juga terdapat di kecamatan ini, yaitu

2.221 dan 3.373 petani. (BPS Enrekang, 2010).

Di Enrekang, Baraka menjadi salah satu wilayah produksi kopi yang

cukup berperan memasok kopi ke KUD Sane. Rata-rata ketinggian wilayah

produksi kopi di Enrekang terletak pada 1000-1500 mdpl.

Sangat berbeda dengan Toraja Utara dan Tana Toraja, Toarco tidak ikut

bersaing dalam pembelian kopi di Enrekang ini. Hanya KUD Sane yang menjadi

pembeli tunggal kopi asal Enrekang. Keuntungan juga didapat KUD karena

walupun pengusahaan kopi masih tradisional, jumlah produksi kopi di Enrekang

ini jauh lebih besar dibanding dua lokasi sebelumnya (Tana Toraja dan Toraja

Utara). Enrekang bisa menghasilkan sekitar 400-500 kg/Ha kopi dalam setiap

(50)

BAB 5

PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI SULAWESI

SELATAN

5.1 Kondisi Mata Rantai Nilai kopi

5.1.1 Manusia / Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Selain kaitan dengan karakter fisik, sistem mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan juga memiliki kaitan kuat dengan peranan manusia/aktor di dalamnya. Karakter manusia yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa indikator. Beberapa karakter yang mempengaruhi para aktor dalam setiap pengambilan keputusan atau suatu tindakan dibagi kedalam tiga kelompok, sosial, ekonomi dan Budaya (Goledge, 1997). Indikator yang diambil dalam karakter sosial dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan para aktor, sedangkan dari ekonomi adalah besar kontribusi kopi pada keseluruhan pendapatan (khusus petani), sedangkan dari sisi budaya adalah ikatan dengan acara seremonial serta aturan dalam pengaturan status kepemilikan tanah.

5.1.1.1 Tingkat Pendidikan Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai a. Petani kopi

(51)

perkopian, Pak Burhanudin beranggapan bahwa akan ada hasil memuaskan yang didapat, asal ada niat baik.

Sedangkan petani di Toraja Utara maupun Tana Toraja umumnya hanya menanam jika harga kopi tinggi dan bekerja hanya musim panen. Mereka jarang merawat pohon kopi, seperti memotong pucuk yang terlalu tinggi dan menanam tanaman penaung, bahkan saat harga kopi rendah, mereka lebih memilih tidak mengolah kebun kopinya, atau jika pun ada kopi hanya hasil yang tumbuh secara alami tanpa ada usaha pemeliharaan. Dalam kasus penelitian ini, status pendidikan pada petani tidak menjadi penghalang untuk memajukan pengusahaan pertanian kopi. Hal ini tergantung sifat dan karakter individu masing-masing yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan budaya.

b. Tengkulak Relasi

Berdasarkan hasil penelitian, tengkulak yang memiliki ikatan jual beli dengan KUD adalah tengkulak relasi. Hasil wawacara dengan tengkulak relasi, umumnya mengindikasikan bahwa tengkulak lebih melihat prospek jangka panjang dari industri kopi. Umumnya, tengkulak mengenyam pendidikan lebih tinggi atau memiliki kemampuan baca dan berhitung lebih baik dibanding petani bisaa.

“ Saya lulusan D3 di Toraja, tapi saya lebih memilih kembali berkecimpung di bidang perkopian, karena sepertinya prospeknya bagus” (Lukas, tengkulak Toraja Utara).

Pak Lukas telah cukup lama memiliki relasi dengan KUD, dia mengatakan bahwa lebih baik konsisten menjual kopi pada satu perusahaan, karena relasi akan sulit dibangun jika kita tidak konsisten.

c. KUD Sane

(52)

sedangkan pegawai diambil dari sekolah kejuruan yang ada di Toraja. Tingginya status pendidikan yang dimiliki oleh KUD ini pula yang berpengaruh pada pengambilan keputusan membeli maupun menolak kopi dari tengkulak.

5.1.1.2 Kontribusi Pengusahaan Kopi Pada Pendapatan Petani a. Toraja Utara

Kontribusi penjualan kopi di Toraja Utara hanya 21 % dari keseluruhan pendapatan yang diperoleh (Neilson et al, 2011). Sisa pendapatan diperoleh dari kiriman anak yang bekerja di luar Toraja (remittance). Selain itu, dari 23 rumah tangga di Toraja Utara, hanya satu keluarga yang terindikasi menggantungkan pendapatannya pada kopi (Shonk, 2012). Kontribusi yang diberikan kopi kepada petani nantinya dapat dijadikan penjelasan atas fenomena yang terjadi setelah diterapkannya skema sertifikasi.

b. Tana Toraja

Tidak seberapa jauh dengan Toraja Utara yang kontribusi kopi dibawah 50%, di Tana Toraja besarnya hanya 13 % (Neilson et al, 2011). Dan sisanya menggantungkan hidup pada kiriman anak yang bekerja di luar Toraja. Fenomena ini hanya terjadi di Toraja dan akan berbeda dengan karakter Enrekang, khususnya Baraka. Kecilnya kontribusi kopi ini akan lebih jelas lagi dibahas pada karakter budaya masyarakat Toraja.

c. Enrekang

Berbeda dengan petani kopi di Toraja Utara dan Tana Toraja, petani kopi Enrekang khususnya Kecamatan Baraka sangat besar menggantungkan pendapatannya pada kopi.

(53)

Berdasarkan bahasan mengenai kontribusi kopi terhadap pendapatan petani, terdapat variasi di tiga lokasi berbeda. Besaran kontribusi dari kopi pada keseluruhan pendapatan petani akan sangat berpengaruh pada respon petani jika sertifikasi CAFÉ Practices diterapkan. Respon ini dapat dilihat dan akan masuk kedalam bahasan penerapan skema sertifikasi CAFÉ Practices pada sub bab 5.2.

5.1.1.3 Pengaruh Budaya Pada Pengusahaan Kopi a. Toraja Utara dan Tana Toraja

Toraja Utara dan Tana Toraja memiliki kesamaan budaya yang kental. Upacara adat yang khas asal Toraja ternyata sampai saat ini masih sangat kuat diterapkan di lingkungan penduduk desa. Salah

satunya adalah upacara adat pemakaman. Dalam melaksanakan upacara adat pemakaman penduduk Toraja membutuhkan biaya yang sangat besar dan dalam kepercayaan mereka, salah satu biaya terbesar digunakan untuk merancang dan menghias makam (Gambar 5.1).

Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk upacara pemakaman sangat mahal, masyarakat Toraja harus tetap melaksanakan upacara pemakaman jika ada keluarga yang meninggal.

Bagi kerabat yang berduka, mereka harus membawa bingkisan jika sedang melayat. Bingkisan itu bisa berupa kerbau atau bisa juga babi. Jika tidak membawa bingkisan, mereka akan malu dan dianggap sebagai keluarga yang tidak memiliki jiwa sosial.

(54)

Toraja enggan menanam kopi, karena hasil yang diperoleh tidak seberapa. Jika harga kopi tinggi, penduduk Toraja bersedia menanam kopi kembali.

Selain acara seremonial, faktor kepemilikan tanah juga sangat berperan. tanah yang dimiliki petani kopi di Toraja adalah tanah adat yang merupakan warisan nenek moyang. Adanya ikatan dengan tanah adat mengakibatkan petani tidak bisa menjual dan mereka tidak akan bisa membeli tanah orang lain dengan bebas (Sarjana, Kepala KUD Sane). Jika dikaitkan dengan skala ekonomi, jumlah produksi kopi yang dihasilkan dari luas tanah yang sempit akan sedikit, bahkan cenderung menurun. Ikatan yang kuat dengan tanah adat menghambat petani memperbesar skala produksi kopinya. Jumlah produksi kopi pun tidak proporsional dengan biaya angkut (ongkos transport) yang ada. Petani yang luas tanahnya sempit, menanam kopinya hanya saat kopi memiliki harga tinggi. Sedangkan saat harga kopi turun, pohon kopi tidak dirawat. Petani umumnya hanya mengusahakan kopi saat musim panen (Neilson, 2007). Akan sulit memang menggantungkan pendapatan pada kopi, terlebih lagi tuntutan memperoleh pendapatan besar untuk upacara pemakaman selalu jadi masalah utama. Oleh karena itu banyak generasi muda yang memilih merantau untuk mencari uang sebanyak mungkin agar nantinya dapat dikirim ke desa. Hal inilah yang menyebabkan jumlah produksi kopi di Toraja tidak terlalu besar, padahal kualitas kopi di sini sudah diakui bagus oleh pasar ( Neilson, 2007).

b. Enrekang

(55)

Berdasarkan perbandingan tiga lokasi yang berbeda pada penelitian ini, selain pendidikan dan kontribusi pengusahaan kopi pada pendapatan, ikatan budaya juga memiliki peran sangat kuat dalam pengusahaan kopi di Sulawesi Selatan terutama dalam ikatan dengan tanah adat.

5.1.2 Aktivitas Utama Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Dalam menganalisis satu sistem mata rantai nilai kopi, harus kita ketahui terlebih dahulu aktivitas utama dan pendukung. Dalam tinjauan aktivitasnya, perdagangan kopi arabika di Sulawesi Selatan tidak bisa lepas dari kekuatan perusahan internasional (Starbucks) (Gambar 5.2), yaitu sebagai salah satu perusahaan internasional pembeli kopi terbesar yang ada di Sulawesi Selatan. Starbucks Coffee berperan membawa kopi arabika asal Sulawesi Selatan masuk ke pasar internasioanl. Jika hanya mengandalkan petani lokal, kemungkinan kopi arabika asal Sulawesi Selatan untuk masuk pasar internasional akan sangat kecil, dan bahkan tidak mungkin. Oleh karena itu, agar mampu memasuki pasar internasional, dibutuhkan adanya tenaga / power yang diberikan ke aktor lokal seperti petani.

(56)

Jika merujuk pada konsep Porter (1998), suatu sistem mata rantai nilai memiliki dua aktivitas, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Pada aktivitas utama memungkinkan keseluruhan sistemnya melewati batas Negara.

Pada penelitian mata rantai nilai kopi lokal Sulawesi ini, hanya akan dibahas sampai tahap tiga pada aktivitas utama, yaitu inbound logistic, operation dan outbound logistic.

a. Inbound Logistic

(57)

dimulai dari penanaman bibit, hingga panen dalam bentuk buah kopi. Setelah panen, barulah dilakukan pengolahan lokal oleh petani sendiri (pengolahan tahap 1), karena jika tidak langsung diolah buah kopi bisa busuk dan nilai jualnya bisa menurun. Pengolahan yang dilakukan petani berakhir hingga mendapatkan hasil kopi kulit tanduk. Setelah

itu, kopi kulit tanduk dijual ke aktor dengan ordo lebih tinggi. Setelah sampai pada bentuk kopi kulit tanduk, petani menjual nya ke tengkulak. Dari tengkulak relasi dilakukan penyortiran kopi kulit tanduk agar sesuai dengan kriteria KUD Sane Maupun Toarco. Sedangkan untuk Tengkulak dan eksportir, indbound logistic dilihat dari upaya memperoleh (membeli) kopi.

b. Operation

Yaitu kegiatan mengolah kopi. Pengolahan ini berbeda sesuai dengan tugas para aktor. Petani bertugas memproses buah kopi hingga

(58)

menghasilkan biji tanduk, tengkulak ada yang bertugas menyortir, dan eksportir bertugas merubah kopi tanduk jadi kopi biji hijau. Eksportir diperankan oleh KUD Sane/Toarco untuk diolah hingga menjadi kopi biji hijau / green bean (Gambar 5.4).

c. Outbound Logistic

Merupakan kegiatan menggudangkan dan mendistribusikan barang kepada aktor yang berbeda. Bagi petani, outbound logistic adalah mendistribusikan kopi tanduk kulitnya ke tengkulak. Aktivitas outbound logistic tengkulak adalah mendistribusikan kopi hasil beli dari petani ke eksportir seperti KUD maupun Toarco. Sedangkan Eksportir adalah melakukan kegiatan pergudangan hingga pengiriman kopi biji hijau yang sudah siap diekspor.

Secara umum, aktivitas utama mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan adalah produksi dan ekspor. Dari aktivitas utama itu sendiri terdapat unsur transportasi, aksesibilitas dan sumberdaya manusia yang mendukung kegiatan utama tahap satu (produksi) oleh petani, kemudian diolah hingga menjadi kopi

(59)

kulit tanduk. Setelah menjadi kulit tanduk dijual ke tengkulak dan disortir, baru lah setelah disortir dijual ke KUD. Sedangkan dalam aktivitas utama tahap dua, yaitu operation, diperankan oleh KUD Sane / Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam satu sistem mata rantai nilai kopi yang dilakukan oleh para aktor di Sulawesi Selatan juga mengandung berbagai aspek spasial. Hal ini dapat dilihat dalam kaitan aktor, aktivitas dan lokasinya ( Tabel 5.1).

Buntu Pepasan, Barupu, Bituang, Mengkendek dan Baraka merupakan wilayah penghasil kopi yang tersebar di Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang dan merupakan sumber produksi kopi yang akan dijual ke KUD Sane/ Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja. Hampir seluruh kopi di Silawesi Selatan memiliki produk kopi yang memiliki kualitas baik, namun Buntu pepesan dan wilayah penghasil kopi di Utara lainnya dikenal memiliki kualitas terbaik dikarenakan faktor alamnya yaitu yang umumnya kebun kopi berada di ketinggian ≥ 1500 mdpl.

Tabel 5.1 Hubungan antar aktor dengan aspek spasial. (Sumber: Pengolahan data 2013) Aktor Aspek spasial Tempat

(60)

Starbucks Coffee baru memasuki memasuki persaingan kopi arabika di Sulawesi Selatan sekitar tahun 1997 yang diwakili oleh KUD Sane/ Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja dan pada awal masuknya, Starbucks sudah memiliki pesaing berat yang merupakan pelopor pengembangan kopi di Sulawesi Selatan, khususnya Toraja, yaitu Key Coffee asal Jepang yang pembeliannya diwakili oleh Toarco. Alasan utama mengapa Starbucks Coffee adalah karena harga yang diberikan Starbucks Coffee cukup bersaing.

Ketika itu, sekitar tahun 1997, harga kopi melunjak tinggi membuat hampir semua petani berlomba-lomba memproduksi kopi ditambah lagi muncul KUD Sane yaitu sebagai perwakilan Starbucks dalam membeli kopi dari petani. Peluang petani dibagian Selatan, seperti Tana Toraja dan Enrekang yang memiliki peluang kecil menjual kopi ke Toarco karena seleksi kualitas yang sulit. Tidak menutup kemungkinan tengkulak maupun petani yang tadinya menjual kopinya ke Toarco mencoba peruntungan menjual kopinya ke KUD Sane.

Pada awal masuknya Starbucks, banyak petani yang langsung menjual kopi ke KUD untuk mendapatkan harga maksimum dan ada pula yang memilih menjual ke tengkulak di pasar terdekat dengan alasan lokasi aktivitas pengusahaan kopi oleh petani dengan pasar lebih dekat agar tidak banyak ongkos dikeluarkan.

“Pada Awalnya, relasi (petani, maupun tengkulak yang memiliki perjanjian menjual kopi ke KUD) kami bisa mencapai ratusan”, (Pak Sarjana, Pimpinan KUD Sane / Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja).

(61)

Dapat dilihat pula (Peta 5.1), tempat pembelian kopi oleh Toarco juga terletak lebih dekat dengan wilayah penghasil kopi di Utara, yaitu di Tondok Litak. Posisi strategis yang dimiliki Toarco dalam membeli kopi asal Utara agaknya menyebabkan KUD hanya memiliki sedikit kuota untuk memperoleh kopi asal Utara . Hal ini karena perhitungan ongkos yang lebih murah bagi aktor kopi asal Utara yang ingin menjual kopinya ke Toarco. Selain itu, petani dan tengkulak di Utara merasa lebih memiliki kedekatan sosial yang lebih tinggi dengan Toarco karena Toarco dirasa telah berjasa memberi penyuluhan pada masyarakat untuk menanam kopi dengan baik sejak tahun 1976.

(62)
(63)

5.1.3 Aktivitas Pendukung Mata Rantai Nilai Lokal Kopi

Selain kegiatan utama, terdapat aspek yang mendukung kegiatan utama. Beberapa diantaranya adalah transportasi dan menejemen sumber daya manusia (Porter, 1998):

5.1.3.1 Transportasi

Transportasi merupakan unsur penting dalam satu sistem mata rantai nilai. Transportasi menjadi satu pertimbangan dalam setiap keputusan yang diambil oleh tiap aktor untuk mendistribusikan kopi. Berdasarkan hasil penelitian, ongkos yang dikeluarkan jika menggunakan angkutan umum di wilayah ketinggian ≥ 1500 mdpl cenderung mahal, yaitu sekitar Rp. 10.000 satu kali jalan. Oleh karena itu, KUD Sane mendirikan pusat pembelian kopi di Lampan yang memudahkan tengkulak maupun petani relasi asal Toraja Utara yang ingin menjual kopi ke KUD Sane tidak perlu ke Ge’tengan (Tana Toraja).

Beberapa faktor yang mempengaruhi mahalnya ongkos adalah infrastruktur jalan yang tidak memadai, di Toraja Utara, jalan menuju pasar Sapan hanya bisa dilalui satu truk, sehingga bila ada kendaraan dari arah berlawanan harus menunggu terlebih dahulu. Selain itu, kondisi fisik jalan yang buruk juga memperlambat gerak kendaraan sehingga bahan bakar yang digunakan juga semakin banyak. Mahalnya biaya angkutan umum ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi petani untuk menjual kopinya langsung ke pusat pembelian kopi KUD Sane.

(64)

Selain itu, jumlah produksi kopi tiap petani tidak seberapa banyak untuk mampu menutupi ongkos. Biaya tiap karung kopi juga dipatok sebesar Rp. 15.000/karungnya. Oleh karena itu, ketika harga kopi menurun, petani kopi lebih memilih menjual kopinya ke tengkulak. Kasus seperti ini pun juga terjadi di Tana Toraja. .

5.1.3.2 Menejemen Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia menjadi hal yang sangat krusial dalam suatu sistem mata rantai nilai, hal ini juga dialami sistem mata rantai nilai kopi Sulawesi Selatan. Sejak awal masuknya Starbucks Coffe ke Sulawesi, sudah dilaksanakan pelatihan kepada petani untuk menghasilkan kopi dengan kualitas ekspor. Namun pada awal masuk hingga sebelum 2008, belum ada peningkatan standar. Barulah setelah 2008, peningkatan standar diterapkan dengan mengikuti CAFÉ Practices.

Umumnya petani yang perkebunannya ada di Toraja Utara dan Tana Toraja sudah pernah mengikuti standar yang diberikan oleh Key Coffee sebagai TNC pelopor. Namun karena memang kualitas kopi asal Utara kualitasnya tinggi, perlakuan yang diberikan oleh petani menjadi tidak begitu berperan. Lain halnya dengan petani di Enrekang, umumnya baru memulai berTanam kopi ketika Starbucks masuk sekitar 1997.

“Saya mulai nanam kopi sekitar tahun 1997, dan KUD Sane memberi saya pelatihan bagaimana cara menanm kopi yang baik. Saya karena saya cukup berhasil saat itu, banyak penduduk lain yang tertarik belajar pada saya. Enrekang tanahnya tidak sesubur Toraja, jadi kita butuh usaha lebih untuk mengolah tanah agar kopi hasil tanaman lebih bagus” (Burhanudin, petani & tengkulak relasi asal Baraka).

Gambar

Gambar  1.1 Grafik pertumbuhan ekspor kopi Arabica dari Makasar , nilai dalam Ton dan USD/Kg
Gambar 2.1  Konsep dasar sistem mata rantai nilai (Porter, 1998)
Table 2.1 Berbagai Penelitian Terkait Rantai Nilai, Rantai Komoditas dan Upgrading
Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait