• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) Secara Kompleksasi dengan ION Cu2+ = Synthesis of Natural Dyes from Quail Eggshell (Coturnix coturnix Linnaeus) UsinG Cu2+

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) Secara Kompleksasi dengan ION Cu2+ = Synthesis of Natural Dyes from Quail Eggshell (Coturnix coturnix Linnaeus) UsinG Cu2+ "

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix Linnaeus) USING Cu2+ COMPLEXATION

Oleh : Dio Prantisa

652013005

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

(2)

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix Linnaeus) USING Cu2+ COMPLEXATION

Oleh : Dio Prantisa

652013005 TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

Pembimbing Utama

Dr. Yohanes Martono, M.Sc.

Pembimbing Pendamping

Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Ketua Program Studi

Ir. Sri Hartini, M.Sc.

Dekan

Dr. Suryasatriya Trihandaru, M.Sc. nat

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA 2017

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Dio Prantisa

NIM : 652013005

Program Studi : Kimia

Fakultas : Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) secara Kompleksasi dengan Ion Cu2+

Yang dibimbing oleh :

1. Dr. Yohanes Martono, M.Sc. 2. Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

Adalah benar – benar hasil karya saya.

Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta symbol yang saya aku seolah – olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 31 Mei 2017 Yang memberikan pernyataan,

Dio Prantisa

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dio Prantisa

NIM : 652013005

Program Studi : Kimia

Fakultas : Sains dan Matematika Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak bebas royalty non-ekslusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:

Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) secara Kompleksasi dengan Ion Cu2+

Beserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Salatiga

Pada tanggal: 31 Mei 2017 Yang menyatakan

Dio Prantisa Mengetahui,

Pembimbing I

Dr. Yohanes Martono, M.Sc.

Pembimbing II

Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

(5)

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix Linnaeus) USING Cu2+ COMPLEXATION

Dio Prantisa*, Yohanes Martono**, dan Cucun Alep Riyanto** *Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

**Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Jln. Diponegoro no. 52-60 Salatiga 50711, Jawa Tengah-Indonesia dioprantisa@gmail.com

ABSTRACT

Porphyrin is a natural color pigment contained in the quail's egg shell. The aim of this research is to standardize the porphyrin extracts from three different of the samples obtained (Ambarawa, Salatiga, and Boyolali) and optimization of complexation reactions between extract quail egg shell with ions Cu2+ based on the effect of temperature, pH and concentration of metal ions Cu2+. Standardize the porphyrin extract by UV-Vis spectrophotometer and optimation complex formation was analyzed using analysis of Response Surface Method (RSM).

The results of the porphyrin extract standardization samples showed that the highest peak absorbance at 409nm. Porphyrin levels sample of Ambarawa, Salatiga and Boyolali calculated by the equation Lambert-Berr showed on 1,5189x10-4% (); 1,2963x10-4% (); and 1,4935x10-4% (), respectively. Honestly significance diffirence test with a level of significant differences 5% showed that three different of the sample obtained had not different significantly. Condition complexation based on Respon Surface Method was obtain at pH 6; the ratio of 1:1, and temperature 30 ° C. That condition defined by maximum absorbance at 845nm.

(6)

1. PENDAHULUAN

Zat pewarna merupakan suatu zat aditif yang ditambahkan pada suatu produk. Penambahan zat pewarna tersebut bertujuan untuk membuat suatu produk menjadi tampak lebih menarik (Fardhyanti dan Riski, 2015). Zat pewarna yang biasanya digunakan dalam proses membatik adalah zat warna sintetis dan alami (Kombado, 2014). Berdasarkan sumber diperolehnya, zat pewarna tekstil dibedakan menjadi dua, yaitu: Zat Pewarna Alami (ZPA) dan Zat Pewarna Sintesis (ZPS) (Paryanto dkk., 2012). Pada kenyataannya zat warna sintetis dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan dan berbahaya bagi mahkluk hidup. Zat pewarna sintetis bersifat karsinogenik, sehingga dapat mengakibatkan alergi kulit dan kanker kulit (Fardhyanti dan Riski, 2015). Oleh karena itu penggunanan zat pewarna alami mulai dikembangkan kembali. Salah satu sumber zat pewarna alami adalah kulit telur puyuh.

Pada saat ini kulit telur puyuh masih belum banyak dimanfaatkan. Sebagian besar rumah makan, penjual sate telur, maupun rumah tangga hanya membuang kulit dari telur puyuh tersebut. Padahal kulit telur puyuh dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami kain batik karena memiliki pigmen warna yang khas (Solomon, 2002). Pigmen yang terdapat pada kulit telur puyuh adalah kecoklatan berbintik-bintik hitam yang tak beraturan berasal dari porfirin dan biliverdin (Kennedy and Vevers, 1973). Pigmen penyusun tersebutlah yang dapat menjadi sumber pewarna kain.

Porfirin terdiri atas empat atom nitrogen pirol yang jari-jari ioniknya sangat selektif untuk dapat berikatan dengan ion-ion logam dengan radius sekitar 70 pm. Mordan ion Cu2+ digunakan karena jari-jari ionik Cu2+ adalah 72 pm sehingga akan mudah untuk membentuk kompleks dengan porfirin (Kilian et al., 2016). Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kombado (2014), kompleks porfirin dan biliverdin dengan berbagai mordan akan memberikan efek warna pada kain katun. Penggunaan ion logam Cu2+ belum dilakukan padahal porfirin memiliki kemampuan untuk mekhelat ion logam Cu2+ yang baik dan akan mencerahkan warna.

(7)

kompleks dilakukan guna untuk memastikan bahwa ion logam Cu terikat pada tengah-tengah gugus porfirin atau berikatan dengan keempat cincin pirol, sehingga warna yang terbentuk akan lebih stabil.

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kulit telur puyuh yang terstandardisasi berdasarkan kandungan profirin, melakukan optimasi reaksi kompleksasi antara ekstrak kulit telur puyuh dengan ion logam Cu2+ berdasarkan pengaruh suhu, pH, dan konsentrasi ion logam Cu2+.

2. BAHAN DAN METODA 2.1 Bahan dan Piranti

Sampel limbah kulit telur puyuh diperoleh dari pedagang di Pasar Projo Ambarawa. Bahan yang digunakan diantaranya HCl, CuSO4•5H2O, chloroform,

dan dimetileter. Semua bahan yang digunakan berderajat PA (pro-analysis) diperoleh dari E-Merck, German.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Spektrofotometer (Optizen, 2120), neraca dengan ketelitian 0,01g (Ohaus, TAJ602), neraca analitis dengan ketelitian 0,1 mg (Ohaus, PA214), dan moisture analyzer (Ohaus, MB 25), pH meter (Hanna, HI 9812), rotary evaporator (Buchi, R-114), dan Ultrasonic (Krisbow, DSA50-GL2-2.5L).

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Preparasi Sampel (Kombado, 2014)

Kulit telur puyuh dikeringkan dalam drying cabinet selama 24 jam. Kulit telur puyuh yang telah kering di haluskan dan diayak denngan ukuran partikel sebesar 20 mesh.

2.2.2 Ekstraksi (Mikšík et al., 1996; Wang et al., 2007 yang dimodifikasi)

Metode ekstraksi yang digunakan adalah dengan menggunakan metode maserasi. Sejumlah 50,00 gram serbuk telur puyuh dimaserasi dalam metanol 96% yang mengandung HCl 5% dengan perbandingan antara metanol dan HCl 2:1 ( ⁄ ). Sample dilakukan maserasi secara bertingkat ( 3 × 500 mL) dengan waktu masing-masing perendaman selama satu jam. Perbandingan yang digunakan antara sampel dan pelarut tiap waktu maserasi adalah 1:10 ( ⁄ ).

(8)

Standardisasi ekstrak kulit telur puyuh berdasarkan kandungan porfirin dilakukan dengan pemindaian ekstrak kulit telur puyuh pada kisaran panjang gelombang 360-700 nm. Spektra yang diperoleh dicocokan spektrum Sinar Tampak Senyawa Porfirin Standar yang telah dilakukan oleh Lui et al. (2001).

Kandungan porfirin dalam ekstrak kulit telur puyuh diukur berdasarkan persamaan Lambert-Berr berikut:

A= ε b.C ...(1)

Keterangan :

A : Absorbansi ekstrak pada panjang gelombang 407 nm.

ε : absortivitas molar porfirin dalam pelarut 1,5M HCl (297.000 L mol-1.

cm

-1

)

b : panjang jalan masuk sinar atau lebar kuvet yaitu 1cm. C : konsentrasi porfirin dalam ekstrak kulit telur puyuh. 2.2.4 Kompleksasi (Nurdin et al., 2009)

Kompleks Cu-porfirin dibuat dengan cara mereaksikan ion logam Cu2+dan ekstrak kulit kulit telur puyuh dengan perbandingan 1:1; 1:2; dan 1:3 (mol/mol). Ekstrak kulit telur puyuh diatur pH-nya (2, 4, dan 6) dengan menambahkan larutan buffer. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 30 menit menggunakan ultrasonicator pada pada variasi suhu suhu 30oC, 40 oC, dan 50oC. Sebagai kontrol adalah larutan Cu2+ dan ekstrak kulit telur puyuh.

Analisa pembentukan kompleks ekstrak kulit telur puyuh dengan ion logam Cu2+ berdasarkan pemindaian pada kisaran panjang gelombang 360-1060nm. Spektra yang diperoleh dicocokan dengan spektra standart porfirin yang telah dilakukan oleh Lui et al. (2001) dan Fagadar-Cosma et al.

(2014).

2.2.5 Analisa Data

(9)

Boyolali). Pengujian rataan antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.

Analisa data kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+ dilakukan dengan metode RSM berdasarkan metode Heleno (2016). Optimasi reaksi kompleksasi dilakukan dengan metode Response surface methodology

(RSM). Desain optimasi menggunakan model 33 central composite design

dengan tiga variabel dan tiga level faktor. Sebagai variabel yaitu pH (x1),

rasio larutan ion logam Cu2+ dengan ekstrak kulit telur puyuh (x2), dan suhu

reaksi (x3). Faktor X1 meliputi pH 2, 4, dan 6. Faktor X2 meliputi rasio 1:1 ;

1:2 ; dan 1: 3 (v/v). Faktor X3 meliputi suhu 30oC, 40 oC, dan 50oC. Setiap

variabel dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1; dan +1,68. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi yang digunakan tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.

Kode Level Nilai Level pH Rasio Suhu -1,68 0,64 1:0,32 23,2

-1 2 1:1 30

0 4 1:2 40

+1 6 1:3 50

+1,68 7,36 1:3,68 56,8

Analisa pemodelan polinomial orde dua pada penelitian ini berdasarkan persamaan matematis berikut ini, yaitu:

∑ ∑ ∑ ∑

Berdasarkan persamaan tersebut dilakukan analisa data sesuai dengan peubah bebas dan kode aras faktor optimasi yang dilakukan pada penelitian. Faktor optimasi dan respon hasil serapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Analisa data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan

software Design Expert 7.

Tabel 3. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan.

(10)

x1 x2 x3

2 1:1 30 -1 -1 -1

2 1:1 50 -1 -1 +1

2 1:3 30 -1 -1 -1

2 1:3 50 -1 +1 +1

6 1:1 30 +1 -1 -1

6 1:1 50 +1 -1 +1

6 1:3 30 +1 +1 -1

6 1:3 50 +1 +1 +1

2 1:2 40 -1 0 0

7,36 1:2 40 +1,68 0 0

4 1: 0,32 40 0 -1,68 0

4 1: 3,68 40 0 +1,68 0

4 1:2 23,2 0 0 -1,68

4 1:2 56,8 0 0 +1,68

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1Standardisasi Ekstrak Porfirin dalam Metanol-HCl

Standardisasi porfirin dilakukan pada ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali. Hasil pemindaian dengan spektrofotometer UV-Vis sampel Ambarawa dapat dilihat pada Gambar 6.

(11)

puyuh dari Salatiga dan Boyolali dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8. Hasil pemindaian kedua sampel dari kota Salatiga dan kota Boyolali juga memiliki puncak serapan soret Q pada panjang gelombang 409 nm.

Gambar 7. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Salatiga

Gambar 8. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Boyolali Ketiga hasil yang diperoleh menunjukkan serapan tertinggi (soret Q) pada panjang gelombang 409 nm, yang merupakan area serapan protoporfirin IX (Dean

et al., 2011). Protoporphyrin IX memiliki serapan tertinggi pada panjang gelombang 407 nm. Pergeseran puncak serapan ini dikarenakan beberapa ligan OH -tergantikan oleh Cl-, sehingga serapan tertinggi pada 407 nm bergeser ke panjang gelombang 409 nm (Malinowska et al., 2001).

(12)

Gambar 9. Ekstrak Porfirin Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali

Berdasarkan puncak serapan dan spektra yang terbentuk tersebut maka nilai absorptivitas molar dari standar porfirin yang telah dilakukan Lui et al. (2001) dapat digunakan untuk menentukan jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh. Jumlah porfirin yang terkandung dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah porfirin terkandung dalam kulit telur puyuh

Genotip Ambarawa Salatiga Boyolali

Jumlah

Porfirin yang terkandung dalam kulit telur tersebut dianalisa dengan Rancangan Acak Langsung (RAL). Analisa data terhadap porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh tersebut disajikan dalam Lampiran 1.

Analisa jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur dengan tingkat kebermaknaan 5% yang disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur rata-rata kandungan porfirin (g) dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dengan tingkat kebermaknaan 5%

Salatiga Ambarawa Boyolali

w = 6,0645x10-4

Berdasarkan analisa BNJ 5% pada Tabel 5 dapat diamati bahwa kandungan porfirin dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan

(13)

Boyolali tidak berbeda secara signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali memiliki kandungan yang sama. 3.2Kompleksasi Ekstrak Porfirin dengan Ion Cu2+

Sifat optik dari ion Cu yang digunakan memiliki satu serapan utama yaitu pada panjang gelombang 809 nm. Sedangkan sifat optik dari rekasi kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+ menggeser serapan maksimal ion Cu2+ pada 809 nm menuju 845 nm. Pergeseran tersebut terjadi untuk semua kombinasi faktor yang digunakan, yaitu faktor pH, rasio antara konsentrasi ion Cu2+, dan suhu. Pergeseran serapan ion Cu2+ yang terjadi menunjukkan porfirin dalam kulit telur puyuh dapat membentuk kompleks dengan ion Cu2+. Pembentukkan kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+ dapat terjadi karena porfirin yang diperoleh yang terdiri dari empat atom nitrogen pirol sangat selektif untuk mengikat logam dengan diameter radius 70 nm, seperti halnya jari jari ion Cu2+ yaitu 72 nm (Kilian et al., 2016).

Pergeseran serapan maksimum ion Cu2+ pada 809 nm menuju pajang gelombang 845 nm menunjukan bahwa energi gap HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) dan LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) pada reaksi kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+ lebih kecil dari ion Cu2+ saja. Hal itu disebabkan karena pergeseran serapan maksimum menuju panjang gelombang yang lebih tinggi. Pergeseran tersebut mempengaruhi energi eksitasi dari senyawa kompleks Cu-porfirin yang terbentuk menjadi lebih rendah dibandingkan ion Cu2+. Rendahnya energi eksitasi yang terbentuk tersebut akan mengurangi kelebihan energi pada daerah triplet. Energi yang lebih rendah tersebut menyebabkan senyawa kompleks Cu-porfirin lebih stabil dibandingkan dengan ion Cu2+. Hal itu disebabkan karena jika energi pada daerah triplet tinggi, maka terjadinya transfer energi dengan molekul oksigen lebih tinggi dan akan mudah teroksidasi atau rusak (Fiedor et al., 2003; Scheer, 2003).

Hasil optimasi reaksi kompleksasi dengan metode Response surface methodology (RSM) menggunakan model 33central composite design dengan tiga peubah dan tiga aras faktor. Setiap peubah dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1; dan +1,68. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi yang digunakan tersebut disajikan pada Tabel 6.

(14)

pH Rasio Suhu

-1,68 0,64 1:0,32 23,2

-1 2 1:1 30

0 4 1:2 40

+1 6 1:3 50

+1,68 7,36 1:3,68 56,8

Berdasarkan nilai aras faktor optimasi tersebut, maka dapat ditentukan faktor optimasi pembentukan kompleks. pH, rasio, dan suhu merupakan faktor optimasi pada pembentukan kompleks antara ekstrak porfirin dengan ion logam Cu2+. Hasil pembentukan kompleks berdasarkan faktor optimasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan. Faktor pH Faktor Rasio Faktor

Suhu A845

2 1:1 30 1,039

6 1:1 30 2,921

2 1:3 30 2,469

6 1:3 30 1,091

2 1:1 50 0,787

6 1:1 50 1,951

2 1:3 50 1,932

6 1:3 50 0,984

4 1:2 40 1,347

4 1:2 40 1,446

4 1:2 40 1,384

4 1:2 40 1,348

2 1:2 40 1,447

7,36 1:2 40 1,558

4 1:0,32 40 0,306

4 1:3,68 40 2,108

4 1:2 23,18 1,469

4 1:2 56,82 1,457

4 1:2 40 1,33

4 1:2 40 1,388

(15)

digunakan berdasarkan uji pemodelan yang digunakan. Data pada penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan yang terbentuk mengikuti persamaan polinomial yang ditunjukkan pada persamaan (1). Uji pemodelan yang digunakan disajikan dalam Lampiran 2 dan Tabel 8.

Tabel 8. Tabel Pengujian Pemodelan Penelitian berdasarkan Nilai R2

Sumber Ragam Standart Deviasi R2

Linear 0.60 0.1461

2FI 0.37 0.7306

Quadratic 0.41 0.7640

Cubic 0.045 0.9987

Lampiran 2 menunjukkan bahwa persamaan (1) tepat untuk digunakan. Hal itu dapat dilihat dari jangkauan kuartil (JK) bahwa Linear, 2FI, dan Quadratic

dapat digunakan untuk menentukan persamaan yang tepat. Persamaan (1) digunakan karena dapat menunjukkan hubungan antara faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pH, rasio, dan suhu. Sedangkan pemodelan

Cubic tidak tepat digunakan karena memiliki nilai sum of square sebesar 0,000. Selain dilihat berdasarkan nilai sum of square, uji pemodelan juga dilihat berdasarkan nilai R2. Pemodelan 2FI dan quadratic menunjukkan bahwa nilai R2 yang digunakan cukup baik yaitu sebesar 0,7306 dan 0,7640.

(16)

Tabel 9. Tabel koefisien persamaan polinomial penelitian Koefisien A845

ß0 19,95

Linear

ß1 -0,24

ß2 -9,79

ß3 -0,98

Kuadrat

ß11 0,37

ß22 0,88

ß33 0,012

Interaksi

ß12 -0,62

ß13 -0,016

ß23 0,52

R2 0,9981

CV 3,25

Secara matematis, persamaan polinomial untuk tiga faktor pembentukan kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+ pada penelitian ini ditunjukkan pada persamaan (2):

Y = 19,95-0,24X1-9,79X2-0,98X3-0,62X1X2

-0,16X1X3+0,52X2X3+0,37X12+0,88X22+0,012X32... (2)

Dimana :

Y : Absorbansi kompleks Cu-porfirin X2 : Rasio

X1 : pH X3 : Suhu

(17)

dengan data aktual disajikan dalam Grafik 1. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai interaksi dari pH, rasio, dan suhu pada pembentukkan kompleks memiliki ambsorbansi tertinggi sebesar 2,921 Abs dan terendah sebesar 0,306.

Grafik 1. Data Prediksi Model Vs Data Aktual

Hubungan dari pH, rasio, dan suhu dalam pembentukkan kompleks porfirin dengan ion Cu2+ dapat diamati dalam Diagram 1. Pada Diagram 1 tersebut data disajikan dalam bentuk kubus untuk menunjukkan tiga interaksi faktor dengan titik hasil interaksi yang dihasilkan. Titik interaksi optimum dengan absorbansi tertiggi ada pada titik A. Titik A adalah pembentukan kompleks dengan pH 6, rasio atau perbandingan antara porfirin dengan ion Cu2+ sebesar 1:1, dan suhu 30oC. Titik optimum tersebut dapat diamati pada Diagram 2 dan Diagram 3 , yaitu dalam bentuk 3D dan dalam bentuk 2D atau kontur.

Diagram 1. Optimasi Interaksi Faktor Pembentukan Kompleks Cu-porfirin dalam Bentuk Kubus

Design-Expert® Software R1

Color points by value of R1:

2.921 0.306

Actual

P

re

d

ic

te

d

Predicted vs. Actual

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

(18)

Diagram 2. Optimasi Interaksi Faktor Pembentukan Kompleks Cu-porfirin dalam Bentuk 3D

(19)

4. KESIMPULAN

Ekstrak kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga dan Boyolali adalah porfirin degan puncak soret Q pada panjang gelombang 409 nm. Hasil standardisasi menunjukan bahwa kandungan porfirin yang diperoleh dari ketiga genotip (Ambarawa, Salatiga, Dan Boyolali) tidak berbeda secara signifikan sehingga kadar dan kualitas porfirin yang diperoleh dapat dikatakan sama. Jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh tersebut berdasarkan perhitungan dengan hukum Lambert-Beer berturut-turut adalah 1,5189x10-4%( ⁄ ); 1,2963x10-4%( ⁄ ; dan 1,4935x10-4% ( ⁄ ). Hasil kondisi kompleksasi optimal berdasarkan response surface method antara porfirin dengan ion Cu2+ dilihat pada panjang gelombang 845nm yaitu pada pH 6; rasio 1:1, dan suhu sebesar 30°C.

5. SARAN

Pada penelitian selanjutnya sebaiknya digunakan perbandingan mol yang lebih kecil untuk melihat interaksi antara porfirin dengan ion Cu2+ .

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Day Jr, R.A. dan Underwood, A.L. 2002. Kimia Analisis Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. Dean, M.L., Miller, .A. and r ckner, C. 2011. Egg-Citing! Isolation of Protoporphyrin

IX from Brown Eggshells and Its Detection by Optical Spectroscopy and Chemiluminescence. Journal of Chemical Education. 88(6): 788-792.

Fagadar-Cosma, E., Vlascici, D., Fagadar-Cosma, G., Palade, A., Lascu, A., Creanga, I., Birdeanu, M., Cristescu, R. and Cernica, I. 2014. A sensitive A3B porphyrin nanomaterial for CO2 detection. Molecules. 19(12): 21239-21252.

Fardhyanti, D.S. dan Riski, R.D. 2015. Pemungutan Brazilin dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) dengan Metode Maserasi dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Kain. Jurnal Bahan Alam Terbarukan.4(1): 6-13.

Fiedor, L., Stasiek, M., Myśliwa-Kurdziel, . and Strzałka, K. 2003. Phytol as one of the

determinants of chlorophyll interactions in solution. Photosynthesis research. 78(1): 47-57.

Heleno, S.A., Prieto, M.A., Barros, L., Rodrigues, A., Barreiro, M.F. and Ferreira, I.C. 2016. Optimization of microwave-assisted extraction of ergosterol from Agaricus bisporus L. by-products using response surface methodology. Food and Bioproducts Processing.100: 25-35.

Keneddy, G.Y. and Vevers, H.G. 1973. Eggshell pigments of the Araucano fowl, Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Comparative Biochemistry. 44(1): 11-25.

Kilian, K., Pęgier, M. and Pyrzyńska, K. 2016. he fast method of Cu-porphyrin complex

synthesis for potential use in positron emission tomography imaging. Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy. 159: 123-127.

Kombado, A. 2014. Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica) sebagai Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB).

Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

(21)

Malinowska, E., Niedziółka, J. and Meyerhoff, M.E. 2001. Potentiometric and spectroscopic characterization of anion selective electrodes based on metal (III) porphyrin ionophores in polyurethane membranes. Analytica chimica acta. 432(1): 67-78.

Mikšík, I., Holáň, V. and Deyl, Z. 1996. Avian eggshell pigments and their

variability. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology. 113(3): 607-612.

Nurdin., Tanziha, I., Kusharto, C.M. dan Januwati, M. 2009. Kandungan Klorofil Berbagai Jenis Daun Tanaman dan Cu-Turunan Klorofil serta Karakteristik Fisiko-Kimianya.Jurnal Gizi dan Pangan. 4(1): 13-19.

Paryanto, P., A., Kwartiningsih, E., dan Mastuti, E. 2012. Pembuatan Zat warna Alami dalam Bentuk Serbuk untuk Mendukung Industri Batik di Indonesia. Jurnal Rekayasa Proses. 6(1): 26-29.

Scheer, H. 2003. Chemistry and spectroscopy of chlorophylls. In: CRC Handbookof Organic Photochemistry and Photobiology, Volumes 1 & 2, Second Edition. Munchen: CRC Press. ISBN-10: 0849313481.

Solomon, S. 2002. The oviduct in chaos. World’s Poult Sci. J. 58:41-48.

(22)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dasira Rancangan Acak Lengkap porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali.

Sumber Ragam Db Jk KT Fhit F tabel

5% 1%

Perlakuan 2 3,3272x10-8 1,6636 x10-8 0,2425 9,2766 29,4567

Galat Acak 24 1,6468x10-6 6,8617 x10-8

Total 26

Lampiran 2. Tabel Pengujian Pemodelan Penelitian berdasarkan Lack of Fit Test

Sumber Ragam Db JK KT F tabel nilai p

Linear 11 5.34 0.49 237.85 < 0.0001

2FI 8 1.68 0.21 102.83 0.0002

Quadratic 5 1.47 0.29 144.03 0.0001

Cubic 0 0.000

(23)

STANDARDISASI EKSTRAK KULIT TELUR PUYUH DARI TIGA

DAERAH BERBEDA BERDASARKAN KANDUNGAN PORFIRIN

STANDARDIZATION OF QUAIL EGG SHELL EXTRACTS FROM

THREE REGIONS SAMPLES OBTAINED BASED ON LEVEL OF

PORFIRIN

Dio Prantisa1*, Yohanes Martono1, Cucun Alep Riyanto1

1

Jurusan Kimia,Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, 50711, Jawa Tengah, Indonesia

*email: 652013005@student.uksw.edu

ABSTRAK

Porfirin merupakan pigmen warna alami khas yang terdapat dalam kulit telur puyuh. Tujuan penelitian ini untuk melakukan standardisasi ekstrak metanol-HCl berdasarkan kandungan porfirin dari tiga genotip sampel yang berbeda (Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali) menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil standardisasi ekstrak porfirin ketiga sampel menunjukkan bahwa puncak absorbansi maksimum spektra ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh adalah pada panjang gelombang 409 nm. Hasil standardisasi porfirin dalam sampel dari Ambarawa, Salatiga, dan

Boyolali dihitung dengan persamaan Lambert-Berr berturut-turut yaitu 1,5189x10-4% ( );

1,2963x10-4%( ; dan 1,4935x10-4%( ). Berdasarkan uji Beda Nyata Jujur dengan tingkat

kebermaknaan 5%, kandungan porfirin dalam ekstrak metanol-HCl tiga genotip tidak berbeda secara signifikan.

Kata Kunci: kulit telur puyuh, porfirin, standardisasi, spektrofotometer UV-Vis

ABSTRACT

Porphyrin is a natural color pigment contained in the quail's egg shell. The aim of this research is to standardize the porphyrin extracts from three different genotype samples (Ambarawa, Salatiga, and Boyolali). Standardize the porphyrin extract by UV-Vis spectrophotometer. The results of the porphyrin extract standardization samples showed that the highest peak absorbance at 409nm. Porphyrin levels sample of Ambarawa, Salatiga and Boyolali

calculated by the equation Lambert-Beer showed on 1,5189x10-4% ( ); 1,2963x10-4% ( );

and 1,4935x10-4% ( ), respectively. Tuckey test with a level of significant differences 5%

showed that three genotypes of the sample obtained had not different significantly.

Key word: porphyrin, quail's eggs shell, standardization, UV-Vis spectrophotometer

PENDAHULUAN

Zat pewarna merupakan suatu zat

aditif yang ditambahkan pada suatu produk.

Penambahan zat pewarna tersebut bertujuan

untuk membuat suatu produk menjadi

tampak lebih menarik, contohnya adalah kain

batik [1]. Zat pewarna yang biasanya

digunakan dalam proses membatik adalah

zat warna sintetis dan alami [2]. Zat pewarna

sintetis bersifat karsinogenik, sehingga dapat

mengakibatkan alergi kulit dan kanker kulit

[1]. Untuk mengurangi potensi karsinogenik

(24)

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017 Surakarta, 22 April 2017

Salah satu sumber zat pewarna alami adalah

kulit telur puyuh.

Saat ini, sebagian besar rumah

makan, penjual sate telur, maupun rumah

tangga hanya membuang kulit dari telur

puyuh tersebut. Padahal kulit telur puyuh

dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami

kain batik karena memiliki pigmen warna

yang khas [3]. Pigmen yang terdapat pada

kulit telur puyuh adalah kecoklatan

berbintik-bintik hitam tak beraturan yang berasal dari

porfirin dan biliverdin [4].

Porfirin mengandung empat cincin

pirol, yaitu suatu cincin segi lima yang terdiri

dari empat atom karbon dengan atom

nitrogen pada satu sudut [5]. Keempat atom

nitrogen di tengah molekul porfirin dapat

mengikat ion logam seperti magnesium, besi,

seng, nikel, kobalt, tembaga, dan perak [5,6].

Porfirin yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari ekstraksi kulit

telur puyuh. Ekstrak porfirin dari kulit telur

puyuh dilakukan pada sampel yang diperoleh

dari tiga genotip (Ambarawa, Salatiga, dan

Boyolali). Ekstrak porfirin dari genotip/daerah

yang berbeda ini belum pernah dilakukan

standardisasi. Proses standardisasi

dilakukan untuk menentukan dan

memastikan kualitas ekstrak yang diperoleh

dari ketiga sampel berdasarkan kandungan

porfirin. Standardisasi dilakukan dengan

melakukan pemindaian menggunakan

spektrofotometer UV-Vis. Hasil spektra

dibandingkan dengan spektra porfirin standar

yang telah dilakukan oleh Lui et al [7].

Standardisasi porfirin yang terkandung dalam

kulit telur puyuh tersebut ditentukan

berdasarkan hukum Lambert-Beer dengan

nilai koefisien absorptivitas molar,  sebesar

297.000 L mol-1.cm-1 [7].

Berdasarkan latar belakang tersebut,

penelitian ini bertujuan untuk melakukan

standardisasi ekstrak porfirin dari tiga genotip

berbeda berdasarkan tempat diperoleh

sampel (Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali)

dengan spektrofotometer UV-Vis dan

menentukan kandungan porfirin dalam

ekstrak dengan pelarut metanol-HCl sampel.

METODE PENELITIAN

Sampel limbah kulit telur puyuh

diperoleh dari pedagang di Pasar Projo,

Ambarawa; Pasar Raya I, Salatiga; dan

Pasar Ampel, Boyolali. Bahan yang

digunakan diantaranya HCl dan metanol.

Semua bahan yang digunakan berderajat PA

(pro-analysis) diperoleh dari E-Merck,

Germany.

Alat yang digunakan dalam penelitian

ini diantaranya Spektrofotometer (Optizen,

2120), neraca dengan ketelitian 0,01g

(Ohaus, TAJ602), neraca analitis dengan

ketelitian 0,1 mg (Ohaus, PA214), dan

moisture analyzer (Ohaus, MB 25), serta

rotary evaporator (Buchi, R-114).

Preparasi Sampel [8]

Kulit telur puyuh dikeringkan dalam

drying cabinet selama 24 jam. Setelah kering

sampel dihaluskan lalu diayak dengan

ayakan 20 mesh.

Ekstraksi [9,10 yang dimodifikasi]

Metode ekstraksi yang digunakan

adalah dengan menggunakan metode

maserasi. Sejumlah 50,00 g serbuk telur

puyuh dimaserasi dalam metanol 96% yang

mengandung HCl 5% dengan perbandingan

antara metanol dan HCl 2:1 ( ). Sampel

dilakukan maserasi secara bertingkat (3×500

(25)

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017 Surakarta, 22 April 2017

perendaman selama satu jam. Perbandingan

yang digunakan antara sampel dan pelarut

tiap waktu maserasi adalah 1:10 ( ).

Standardisasi

Standardisasi ekstrak kulit telur puyuh

berdasarkan kandungan porfirin dilakukan

dengan pemindaian ekstrak kulit telur puyuh

pada kisaran panjang gelombang 360-700

nm. Spektra yang diperoleh dicocokkan

dengan spektra sinar tampak senyawa

porfirin standar yang telah dilakukan oleh Lui

et al [7].

Kandungan porfirin dalam ekstrak kulit

telur puyuh diukur berdasarkan persamaan

Lambert-Beer berikut:

A= ε.b.C ...(1)

Keterangan :

A : Absorbansi ekstrak pada

panjang gelombang 407 nm.

ε : absortivitas molar porfirin dalam

pelarut 1,5M HCl (297.000 L

mol-1.cm-1)

b : panjang jalan masuk sinar atau

lebar kuvet yaitu 1cm.

C : konsentrasi porfirin dalam

ekstrak kulit telur puyuh.

Analisa Data [11]

Hasil yang diperoleh dianalisa dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan tiga faktor dan sembilan

ulangan. Sebagai faktor adalah tempat

diperoleh sampel (Ambarawa, Salatiga, dan

Boyolali). Pengujian rataan antar perlakuan

dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

dengan tingkat kebermaknaan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Standardisasi porfirin dilakukan pada

ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali. Hasil

pemindaian dengan spektrofotometer UV-Vis

sampel Ambarawa dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Spektra serapan ekstrak porfirin

kulit telur puyuh dari kota Ambarawa

Hasil pemindaian ekstrak porfirin

dalam kulit telur puyuh dari Ambarawa

menunjukkan bahwa spektra yang diperoleh

sesuai dengan spektra porfirin standar yang

telah dilakukan oleh Lui et al [7]. Serapan

tertinggi dari puncak Q ekstrak porfirin dari

Ambarawa terletak pada panjang gelombang

409 nm. Hal yang serupa juga ditunjukkan

oleh hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam

kulit telur puyuh dari Salatiga dan Boyolali.

Spektra hasil pemindaian ekstrak porfirin

dalam kulit telur puyuh dari Salatiga dan

(26)

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017 Surakarta, 22 April 2017

Gambar 3. Spektra serapan ekstrak porfirin

kulit telur puyuh dari kota Boyolali

Ketiga hasil yang diperoleh

menunjukkan serapan tertinggi (soret Q)

pada panjang gelombang 409 nm, yang

merupakan area serapan protoporfirin IX

[12]. Protoporphyrin IX memiliki serapan

tertinggi pada panjang gelombang 407 nm.

Pergeseran puncak serapan ini dikarenakan

beberapa ligan OH- tergantikan oleh Cl-,

sehingga serapan tertinggi pada 407 nm

bergeser ke panjang gelombang 409 nm [13].

Selain serapan pada puncak Q dari

spektra standardisasi porfirin di atas, juga

terdapat serapan pada puncak B yaitu pada

panjang gelombang 556nm dan 600nm.

Serapan pada puncak B tersebut

menentukan warna yang diperoleh [14].

Warna Ekstrak porfirin yang diperoleh dari

ketiga daerah tersebut adalah hijau seperti

pada Gambar 4. Menurut Day dan

Underwood [15] warna komplementer yang

terserap dari warna hijau adalah jingga pada

panjang gelombang 500-560 nm. Hal itu

sesuai dengan serapan dari puncak B yaitu

pada panjang gelombang 556nm.

Sedangkan serapan pada panjang

gelombang 600nm memberikan warna jingga

dengan warna komplementer hijau-biru.

Gambar 4. Ekstrak Porfirin Ambarawa,

Salatiga, dan Boyolali

Berdasarkan puncak serapan dan

spektra yang terbentuk tersebut maka nilai

absorptivitas molar dari standar porfirin yang

telah dilakukan Lui et al [7] dapat digunakan

untuk menentukan jumlah porfirin yang

terkandung dalam kulit telur puyuh. Jumlah

porfirin yang terkandung dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah porfirin terkandung dalam kulit telur puyuh

Genotip Ambarawa Salatiga Boyolali

Jumlah

Porfirin yang terkandung dalam kulit

telur tersebut dianalisa dengan Rancangan

Acak Langsung (RAL). Analisa data terhadap

porfirin yang terkandung dalam kulit telur

puyuh tersebut disajikan dalam Tabel 2.

(27)

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017 Surakarta, 22 April 2017

Tabel 2. Dasira Rancangan Acak Lengkap porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali.

Sumber Ragam Db Jk KT Fhit F tabel

5% 1%

Perlakuan 2 3,3272x10-8

1,6636 x10-8

0,2425 9,2766 29,4567

Galat Acak 24 1,6468x10-6 6,8617 x10-8

Total 26

Analisa jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh dilanjutkan dengan uji Beda

Nyata Jujur dengan tingkat kebermaknaan 5% yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur kandungan porfirin (g) dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dengan tingkat kebermaknaan 5%

Salatiga Ambarawa Boyolali

w = 6,0645x10-4

porfirin dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur

puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali

tidak berbeda secara signifikan. Hal itu

menunjukkan bahwa kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali memiliki

kandungan yang sama.

KESIMPULAN

Ekstrak kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga dan Boyolali adalah

porfirin degan puncak soret Q pada panjang

gelombang 409 nm. Hasil standardisasi

menunjukan bahwa kandungan porfirin yang

diperoleh dari ketiga genotip (Ambarawa,

Salatiga, Dan Boyolali) tidak berbeda secara

signifikan. Jumlah porfirin yang terkandung

dalam kulit telur puyuh tersebut berdasarkan

perhitungan dengan hukum Lambert-Beer

berturut-turut adalah 1,5189x10-4%( );

1,2963x10-4%( ; dan 1,4935x10-4% ( ).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Fardhyanti, D.S. and Riski, R.D., 2015,

Pemungutan Brazilin dari Kayu

Secang (Caesalpinia Sappan L)

dengan Metode Maserasi dan

Aplikasinya untuk Pewarnaan

Kain, Jurnal Bahan Alam

Araucano fowl, Comparative

Biochemistry and Physiology Part B: Comparative Biochemistry, 44(1), pp.11-25.

[5] Biesaga, M., Pyrzyńska, K. and

Trojanowicz, M., 2000, Porphyrins in

analytical chemistry, A

review. Talanta, 51(2), pp.209-224.

[6] Hudson, M.F. and Smith, K.M., 1975,

Bile pigments, Chemical Society

Reviews, 4(3), pp.363-399.

[7] Lui, H., Macaulay, C., Zeng, H.,

McLean, D.I. and Bissonnette, R., The

(28)

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017 Surakarta, 22 April 2017

2001, Photoactivation of endogenous

porphyrins for treatment of psoriasis. U.S. Patent 6,269,818.

[8] Kombado, A.,2014, Limbah Kerabang

Telur Puyuh (Cortunix cortunix

japonica) sebagai Pewarna Alami Kain

Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif

terhadap Ketuaan dan Ketahanan

Luntur Ditelaah dengan Metode

Pengolahan Citra Digital RGB),

Universitas Kristen Satya Wacana., Salatiga.

[9] Mikšík, I., Holáň, V. and Deyl, Z., 1996,

Avian eggshell pigments and their

variability, Comparative Biochemistry

and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology, 113(3), pp.607-612.

[10] Wang, X.T., Deng, X.M., Zhao, C.J., Li, J.Y., Xu, G.Y., Lian, L.S. and Wu, C.X., 2007, Study of the deposition process

of eggshell pigments using an

improved dissolution method, Poultry

science, 86(10), pp.2236-2238.

[11] Steel, R. G. D dan J. H. Torie., 1989,

Prinsip dan Prosedur Statistika, PT. Gramedia., Jakarta.

[12] Dean, M.L., Miller, .A. and Br ckner,

C., 2011, Egg-Citing! Isolation of

Protoporphyrin IX from Brown

Eggshells and Its Detection by Optical

Spectroscopy and

Chemiluminescence, Journal of

Chemical Education,88(6), pp.788-792.

[13] Malinowska, E., Niedziółka, J. and

Meyerhoff, M.E., 2001, Potentiometric and spectroscopic characterization of anion selective electrodes based on metal (III) porphyrin ionophores in

polyurethane membranes, Analytica

chimica acta, 432(1), pp.67-78.

[14] Fagadar-Cosma, E., Vlascici, D.,

Fagadar-Cosma, G., Palade, A.,

Lascu, A., Creanga, I., Birdeanu, M., Cristescu, R. and Cernica, I., 2014, A sensitive A3B porphyrin nanomaterial

for CO2 detection. Molecules,19(12),

pp.21239-21252.

[15] Day Jr, R.A. dan Underwood, A.L.,

2002, Kimia Analisis Kuantitatif,

(29)

Gambar

Tabel 2. Tabel 2. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.
Gambar 6. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Ambarawa
Gambar 7. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Salatiga
Gambar 9. Ekstrak Porfirin Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rencana kegiatan PKB (2) Kebutuhan yang belum dapat dipenuhi (diajukan/di- koordinasikan oleh Dinas Pddk untuk dipertimbang- kan) (1.a) dilakukan oleh guru sendiri (1.b)

Pada tindakan siklus II dari hasil nilai rata-rata keterampilan menulis halus kelas II SD Negeri Kertonatan 1 Kartasura, terjadi peningkatan persentase ketuntasan

Tingkat defoliasi memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi ubi jalar meliputi parameter jumlah daun, panjang daun, intersepsi cahaya, berat umbi dan

Berdasarkan hasil analisis ragam, interaksi pemberian dosis TSP dan KCl tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot umbi total per tanaman akan tetapi dalam penelitian

Dimana dengan ketawakalan, ketawadlu’an, kesabaran, laku spiritual (baik puasa, dzikir dan istiqomah dalam dakwah dan mengaji), dan akhlaq luhurnya terhadap sang guru

prototype awal yang terdiri dari: (a) kisi-kisi soal penalaran matematika tipe TIMSS untuk siswa kelas VIII SMP menggunakan konteks budaya Lampung berdasarkan indikator

Khusus untuk Peserta Kliring Lokal yang Penyelenggaranya adalah pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, pengenaan biaya sebagaimana dimaksud dalam angka 1

[r]