BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Umum
Setiap bangunan sipil seperti gedung, jembatan, terowongan, menara, tanggul
dan sebagainya harus memiliki pondasi untuk dapat mendukungnya. Istilah pondasi
digunakan dalam teknik sipil untuk mendefenisikan suatu konstruksi bangunan yang
berfungsi sebagai penopang bangunan dan meneruskan beban bangunan di atasanya
(upper structure) ke lapisan tanah yang cukup kuat daya dukungnya. Untuk itu peran
pondasi untuk menopang bangunan di atasnya harus diperhitungkan agar dapat
menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri,beban yang bekerja, gaya –
gaya luar seperti angin, gempa bumi dan lain sebagainya. Disamping itu, tidak
diizinkan terjadi penurunan melibihi batas yang diijinkan. Adapun fungsi pokok dari
pondasi ini adalah melanjutkan beban yang bekerja pada bangunan tersebut ke lapisan
tanah yang berada di bawah pondasi. Pondasi ialah bagian dari suatu sistem rekayasa
yang meneruskan beban yang di topang oleh pondasi dan beratnya sendiri kepada dan
kedalam tanah dan batuan yang terletak dibawahnya (Bowles, 1997).
Istilah struktur atas umumnya dipakai untuk menjelaskan bagian sistem yang
direkayasa yang membawa beban kepada pondasi atau struktur bawah. Istilah struktur
atas mempunyai arti khusus untuk bangunan-bangunan dan jembatan-jembatan; akan
tetapi, pondasi tersebut juga hanya menopang mesin-mesin, mendukung peralatan
Dalam menentukan perencanaan pondasi suatu bangunan ada dua hal yang
harus diperhatikan pada tanah bagian bawah pondasi, yaitu:
1. Daya dukung pondasi yang direncanakan harus lebih besar daripada beban
yang bekerja pada pondasi tersebut baik beban statik maupun beban
dinamiknya.
2. Penurunan yang terjadi akibat pembebanan tidak boleh melebihi penurunan
yang diijinkan.
Pondasi dibedakan atas dua jenis, yaitu pondasi dangkal (shallow foundation),
dan pondasi dalam (deep foundation). Pondasi dangkal digunakan apabila lapisan
tanah keras terletak tidak jauh dari permukaan tanahnya. Pondasi dangkal didesain
dengan kedalaman lebih kecil atau sama dengan lebar dari pondasi tersebut (𝐷𝑓
𝐵 ≤
1). Sedangkan pondasi dalam digunakan apabila lapisan tanah kerasnya terletak jauh
dari permukaan tanah. Pondasi dalam didesain dengan kedalaman lebih besar atau
sama dengan lebar dari pondasi tersebut (𝐷𝑓
𝐵 ≥ 4) (Das, 1995).
Untuk memilih pondasi yang memadai, perlu diperhatikan apakah pondasi itu
memungkinkan untuk diselesaikan secara ekonomis sesuai dengan jadwal kerjanya.
Bila keadaan tersebut dipertimbangkan dalam menentukan macam pondasi, hal-hal
berikut ini perlu dipertimbangkan.
1) Keadaan tanah pondasi
3) Batasan-batasan dari sekelilingnya
4) Waktu dan biaya pekerjaan.
Berikut ini diuraikan jenis-jenis pondasi yang sesuai dengan keadaan tanah
pondasi yang bersangkutan.
a) Bila tanah pendukung pondasi terletak pada permukaan tanah atau 2 – 3 meter
di bawah permukaan tanah. Dalam hal ini pondasinya adalah pondasi telapak
(spread foundation).
b) Bila tanah pendukung pondasi terletak pada kedalaman sekitar 10 meter di
bawah permukaan tanah. Dalam hal ini dipakai pondasi tiang atau pondasi
tiang apung (floating pile foundation) untuk memperbaiki tanah pondasi.
c) Bila tanah pendukung pondasi terletak pada kedalaman sekitar 20 meter di
bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, tergantung dari penurunan
(settlement) yang diizinkan dapat dipakai pondasi Kaison terbuka, apabila
tidak terjadi penurunan, biasanya dipakai pondasi tiang pancang (pile driven
foundation). Tetapi bila terdapat batu besar (cobble stones) pada lapisan antar,
pemakaian Kaison lebih menguntungkan.
d) Bila tanah pendukung pondasi terletak pada kedalaman sekitar 30 meter di
bawah permukaan tanah. Biasanya dipakai Kaison terbuka, tiang baja atau
tiang yang dicor di tempat. Tetapi apabila tekanan atmosfir yang bekerja
e) Bila tanah pendukung pondasi terletak pada kedalaman lebih dari 40 meter di
bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, yang paling baik adalah tiang baja
dan tiang beton yang dicor di tempat.
Haruslah diamati pula kondisi beban (besar, penyebaran, arah dan lain-lain),
sifat dinamis bangunan atas (statis tertentu atau statis tak tentu, kekakuan dan
sebagainya), kegunaan dan kepentingan bangunan atas, kesulitan pemeliharaan dan
bahan-bahan untuk bangunan. Misalnya penurunan pondasi jenis pondasi yang akan
dipakai tergantung kepada, apakah sifat bangunan itu mengizinkan atau tidak,
terjadinya penurunan pondasi. Apabila jenis struktur bangunan diatasnya telah
ditetapkan, maka sulit sekali memilih pondasi yang ekonomis. Misalnya, suatu
jembatan direncanakan sebagai balok menerus, bila penurunan pondasi tidak boleh
terjadi, seringkali biaya pembuatan pondasi menjadi amat tinggi, tergantung pada
macam pondasi. Sebaliknya, bila bangunan atas dianggap sebagai balok sederhana
dan penurunan diizinkan pada pondasi maka biaya pengerjaan biaya bangunan atas
meningkat, walaupun biaya pengerjaan pondasi menjadi lebih kecil. Secara
keseluruhan, jembatan menjadi lebih ekonomis. Agar diperoleh perencanaan yang
ekonomis dan rasionil, maka perlu diadakan pengamatan menyeluruh terhadap
pengerjaan bangunan atas dan pondasi seperti disebutkan diatas (Sosrodarsono,
2000).
2.2.Penetrometer Statis (Static Penetrometer)
Penetrometer statis di Indonesia dikenal dengan sebutan sebuah alat sondir
percobaan penetrasi kerucut (Cone Penetration Test = CPT). Penetrometer ini dipakai
secara luas di Indonesia. Ada dua macam alat sondir yang umum digunakan
(Soedarmo, 1993).
1) Sondir ringan dengan kapasitas = 2,50 ton
2) Sondir berat dengan kapasitas = 10 ton
Pemeriksaan /Penyelidikan Tanah dengan Alat Sondir
Tujuan :
Untuk menentukan lapisan-lapisan tanah berdasarkan tahanan ujung konus
dan daya lekat tanah setiap kedalaman pada alat sondir.
Alat-alat yang digunakan :
1) Mata sondir, sebuah alat khusus yang dapat melakukan penetrasi ke dalam
tanah (konus biasa/ tunggal dan konus ganda/bikonus). Untuk bikonus
yang biasa digunakan Dutch Cone Penetrometer jenis Begemann dengan
kapsitas maksimum 250 kg/cm2.
2) Perlengkapan-perlengkapan lain :
- 4 buah baja kanal dan jangkar/angker
- 2 buah manometer dengan kapasitas masing-masing
Sondir ringan : 0 sampai 50 kg/cm2
0 sampai 250 kg/cm2
Sondir berat : 0 sampai 59 kg/cm2 dan
0 sampai 600 kg/cm2
- Linggis (alat penggali lain)
- Rol meter dan waterpass
- Tangki/stang pemutar angker dan lain-lain.
Persiapan
a) Semua alat diperiksa, dibersihkan, kemudian dibawa kelapangan
tempat penyelidikan.
b) Angker dipasang pada jarak ± 1,00 meter.
c) Alat sondir dipasang pada kedua angker dan dipasang baja kanal
sedemikian rupa, sehingga alat sondir berdiri tegak lurus pada tanah
dan dilem dengan angker.
d) Kamar instalasi diberi oli, untuk menekan pegas dan manometer.
e) Pipa yang berisi castor oli diperiksa apakah berisi udara atau tidak.
Pelaksanaan
1. Pasang konus atau bikonus, sesuai kebutuhan pada ujung alat
penyambungnya dan dijepitkan pada kamar instalasi.
2. Tekan pipa untuk memasukkan konus atau bikonus sampai kedalaman
20 cm.
3. Penekanan batang :
- Apabila digunakan konus biasa, maka pembacaan manometer
hanya dilakukan pada perlawanan penetrasi konus (ppk atau
𝑞𝑐)
- Apabila digunakan bikonus, maka penetrasi ini pertama-tama
bacalah manometer sebagai perlawanan penetrasi konus (ppk).
Penekanan selanjutnya terhadap konus dan selubung (mantel)
ke bawah sedalam = 8 cm, bacalah manometer sebagai hasil
jumlah perlawanan (jp) yaitu perlawanan penetrasi konus (ppk)
dan hambatan lekat atau cleef (c).
4. Tekanlah pipa bersama batang sampai kedalaman berikutnya yang
akan diukur. Pembacaan dilakukan pada setiap penekanan pipa
sedalam = 20 cm.
5. Pekerjaan sondir dihentikan apabila :
- Pembacaan pada manometer tiga kali berturut-turut
menunjukkan harga > 150 kg/cm2 dan sondir ringan sudah
mencapai kedalaman 30 meter.
- Alat sondir terangkat keatas, sedangkan pembacaan manometer
belum menunjukkan angka yang maksimum, maka alat sondir
perlu diberi pemberat yang diletakkan pada baja kanal/angker.
𝐶𝑓 = 𝐴𝐵
A = tahapan pembacaan 20 cm2
B = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑜𝑛𝑢𝑠 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑡𝑜𝑟𝑎𝑘 =
10 cm2 1 cm2 = 10
Jumlah hambatan lekat :
JHLi = Ʃ HL...(2.2)
i = kedalaman lapisan tanah yang ditinjau.
Hasil – hasil perhitungan ini digambarkan dalam kertas grafik/kurva yang
telah tersedia.
Gambar 2.3. Alat sondir dengan bikonus (Soedarmo, 1993)
Tabel 2.1. Harga – harga Empiris ϕ dan Dr Pasir dan Lumpur Kasar Berdasarkan Sondir
Penetrasi konus PK = qc (kg/cm2)
Densitas relatif Dr (%)
Sudut geser dalam (°)
20 - 25 – 30
20 – 40 20 – 40 30 – 35
40 – 120 40 – 60 35 – 40
120 – 200 60 – 80 40 – 45
>200 >80 >45
(Soedarmo, 1993)
2.3. Penetrometer dinamis (Dynamic penetrometer)
Penetrometer dinamis yang percobaannya disebut percobaan penetrasi standar
(standard penetration test) berasal dari Amerika Serikat. Cara melakukan percobaan
tabung sendok pemisah (split spoon sampler) dimasukkan kedalam tanah pada dasar
lubang bor dengan memakai suatu beban penumbuk dengan berat 140 lb (63 kg) yang
tanah sedalam 6 in (15 cm) jumlah pukulan ditentukan untuk memasukkannya
kedalam sedalam 12 in (30cm) berikutnya. Jumlah pukulan ini disebut nilai N (N
value) atau Number of blows, dengan satuan pukulan/kaki (blows per foot). Setelah
percobaan selesai, sendok pemisah dikeluarkan dari lubang bor dan dibuka untuk
mengambil tanah yang ada didalamnya. Tanah ini dapat digunakan untuk percobaan
kadar air, batas-batas Atterberg dan analisis pembagian butir. Hasil percobaan
penetrasi standar ini hanya sebagai perkiraan yang kasar saja karena bukan
merupakan nilai-nilai yang teliti. Nilai N yang diperoleh dari percobaan penetrasi
standar dapat dihubungkan dengan beberapa sifat lain yang bersangkutan secara
empiris, demikaian juga halnya dengan percobaan sondir (Soemarno, 1993)
Gambar 2.4. Alat percobaan penetrasi standar (Soedarmo, 1993)
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kekuatan tanah pada
setiap lapisan tanah. Diperoleh kepadatan relatif (relative density), sudut geser tanah
Tabel 2.2. Hubungan Dr, ϕ dan N dari pasir (Peck, Meyerhoff)
Nilai N Kepadatan Relatif (Dr)
Sudut Geser Dalam
SPT pada tanah kohesif berbutir halus atau tanah dengan permeabilitas
rendah,mempengaruhi perlawanan penetrasi, memberikan harga SPT yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanah permeabilitas tinggi untuk kepadatan sama.
Mungkin terjadi bila jumlah tumbukan N>15, maka koreksi Terzaghi & Peck (1948)
menghasilkan harga N, merupakan jumlah tumbukan yang terjadi:
𝑁0 = 𝑁1+2𝜎+1050 ...(2.3)
Tabel 2.4. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk penentuan harga N
Klasifikasi Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
Unsur tanah, variasi daya dukung vertikal (kedalaman permukaan dan susunannya), adanya lapisan lunak (ketebalan lapisan yang mengalami konsolidasi atau penurunan), kondisi drainase dan
lain-lain
diperhatikan langsung Tanah lempung (Kohesif)
Keteguhan, kohesi, daya dukung dan ketahanan terhadap
hancur (Sosrodarsono,2000)
Melalui SPT, angka N dari suatu stratigrafi (sistem pelapisan tanah di lokasi)
dapat diketahui (N SPT > 50 : tanah pasir & N SPT > 30: tanah lempung), dan dari
angka itu didapat karekteristik suatu lapisan tanah pada Tabel 2.4 di atas.
Walaupun hasil penyelidikan sondir telah diperoleh, masih diperlukan
pengetahuan tentang tanah lebih teliti, penyelidikan tanah dilengakapi dengan
pengambilan contoh tanah (untuk menentukan sifat fisis dan mekanis lapisan tanah
melalui uji laboratorium). Pengambilan contoh tanah ada dua macam yaitu tidak
terganggu (undisturbed sample), contoh tanah asli dan tanah terganggu (disturbed
sample). Boring untuk mengetahui kedalaman muka air tanah (ground water level) di
lapangan dan memperoleh stratigrafi.
N dari SPT untuk menghitung daya dukung tanah, dimana tergantung pada kuat geser
𝜏 = 𝑐 + 𝜎 tan ∅...(2.4)
dimana :
τ = kekuatan geser tanah (kg/cm2)
c = kohesi tanah (kg/cm2)
σ = tegangan normal yang terjadi pada tanah (kg/cm2)
ϕ = sudut geser tanah (°).
Harga sudut geser dari tanah tidak kohesif (pasiran); dipakai rumus Dunham (1962):
Tanah berpasir berbentuk bulat dengan gradasi seragam, atau butiran pasir
bersegi-segi dengan gradasi tidak seragam, mempunyai sudut geser sebesar :
∅ = √12 𝑁 + 15 ...(2.5)
∅ = √12 𝑁 + 50 ...(2.6)
Butiran pasir bersegi dengan gradasi seragam, maka sudut gesernya :
∅ = 0,3 𝑁 + 27 ...(2.7)
Hubungan penetrasi standar dengan sudut geser tanah dan kepadatan relatif untuk tanah berpasir, dilihat pada Tabel 2.5 dibawah ini.
Tabel 2.5. Hubungan antara angka penetrasi standar dengan sudut geser dalam dan kepadatan relatif pada tanah pasir
Hubungan harga N dengan berat isi riil hampir tidak mempunyai arti karena
hanya mempunyai partikel kasar (Tabel 2.6). Harga berat isi yang dimaksud sangat
tergantung pada kadar air.
Tabel 2.6. Hubungan antara N dengan berat isi tanah
(Das, 1995)
Tanah non kohesif, daya dukung sebanding dengan berat isi; tinggi muka air
tanah mempengaruhi daya dukung tanah pasir. Tanah di bawah muka air tanah
memiliki berat isi efektif yang ± ½ berat isi tanah di atas tanah. Tanah dengan daya
dukung baik, dinilai dari ketentuan berikut: Lapisan kohesif memiliki nilai SPT, N >
35; Lapisan kohesif memiliki harga kuat tekan (𝑞𝐿) 3 - 4 kg/cm2 atau harga SPT, N >
15. Jumlah pukulan untuk 15 cm pertama yang dinilai, 𝑁1 tidak dihitung, karena
dianggap sudah terganggu. Nilai 𝑁2 dan 𝑁3 diambil dari jumlah pukulan pada lapisan
berikutnya, nilai N’ = 𝑁2 + 𝑁3dan jika nilai N’ > 15 maka:
N = 15 + ½ (N’ -15)...(2.8)
2.4. Tiang Bor (Bored Pile) atau Pilar yang Dibor
Pilar yang dibor (Drilled pier) dibuat dengan cara membor sebuah lubang
lubang silindris atau sumuran ini bisa berupa lubang lurus atau bagian dasarnya
diperluas dengan cara under reaming (penggerekan dasar lubang) (Bowles, 1988).
Bagian struktural ini disebut juga :
a) Sumuran yang dibor (drilled shaft)
b) Kaison yang digali (drilled caisson) atau sering disebut hanya Kaison saja.
c) Tiang yang dibor biasanya dibatasi D > 760 mm.
Jika bagian dasarnya diperluas, disebut juga
d) Pilar dengan dasar berbentuk lonceng (belled Pier) atau Kaison dengan dasar
berbentuk lonceng (belled Caisson).
Macam-macam konfiguarsi ini ditunjukkan dalam Gambar 2.5
Gambar 2.5. Konfigurasi pilar bor biasa (Bowles, 1998)
2.4.1. Metode Konstruksi Mutakhir
Pada awalnya pilar – pilar dengan cara menggali sumuran (shaft) dan atau
manusia atau kuda sudah dipakai pada awal tahun 1900. Yang termasuk metode kuno
ini adalah metode – metode Chicago seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Metode – metode awal konstruksi Kaison (Bowles, 1998)
Pada metode Chicago, para pekerja menggali sumur berbentuk lingkaran
hingga pada kedalaman yang diinginkan dan memasang cangkang silindris yang
terbuat dari papan – papan vertikal atau papan – papan yang ditahan dengan cincin –
cincin komperesi pada bagian dalam. Penggalian dilanjutkan sampai kedalaman yang
sama dengan panjang papan berikutnya dan pengikat papan berikutnya dipasang,
demikian seterusnya hingga pada kedalaman sumuran yang diinginkan. Pengikat
(Tiers) dipasang dengan diameter yang tetap atau diperkecil sekitar 50 mm.
Metode Gow memakai serangkaian selubung (cangkang) metal berbentuk
seperti teloskop yang berkurang diameternya pada pengikat yang berurutan,
pemasangan sama pada metode yang menggunakan acuan yang dipakai pada saat
dasarnya tidak melekuk (yakni jika dibangun pada lempung tak retak yang agak
kaku). Banyak pilar-pilar zaman dahulu yang didirikan diatas batuan.
Kerangka tulangan dimasukkan kedalam sumuran dan kemudian sumuran
diisi dengan beton, atau bisa juga sumuran diisi sebagian dengan beton dan kemudian
kerangka tulangan dipasang. Kerangka tulangan adalah susunan kerangka bertulang
yang diikat dengan kawat pada jarak tertentu dan dengan pengikat jarak secara
vertikal. Kerangka ini bisa berbentuk persegi atau bulat, yang hanya dipasang
dibagian atas karena momen – momen yang di dukung oleh sumuran dan yang
menyebar kebawah hingga pada panjang sekitar L/2 beban sumuran yang utama
adalah beban aksial. Untuk saat ini metode yang sering dipergunakan sebagai berikut:
1. Metode Kering
Rangkaian pembuatannya seperti pada Gambar (a) di bawah ini. Pertama
-tama sumuran digali (dan dasarnya dibentuk lonceng jika perlu). Kemudian sumuran
diisi sebagian dengan beton seperti pada Gambar (b) dan kerangka tulangan dipasang
dan setelah itu sumuran telah selesai dikerjakan. Harap diingat bahwa kerangka
tulangan tidak boleh dimasukkan sampai mencapai dasar sumuran karena diperlukan
pelindung beton minimum, tetapi kerangka tulangan boleh diperpanjang sampai
hampir mendekati kedalaman penuh daripada hanya mencapai kira-kira setengahnya
Metode ini membutuhkan tanah tempat proyek yang tak berlekuk (kohesif)
dan permukaan air berada di bawah dasar sumuran atau jika permeabilitasnya cukup
rendah, sumuran bisa digali (mungkin juga dipompa) dan di beton sebelum sumuran
terisi air cukup banyak sehingga bisa mempengaruhi kekuatan beton.
Gambar 2.7. Metode kering konstruksi pilar yang dibor (Bowles, 1998)
2. Metode acuan
Metode ini telah diuraikan pada Gambar 2.8. Acuan dipakai pada tempat –
termpat proyek yang mungkin terjadi lekukan, atau deformasi lateral yang berlebihan
terhadap rongga sumur (shaft cavity). Sebelum casing dimasukkan, suatu adonan
spesi encer (slurry) digunakan untuk mempertahankan lubang. Setelah acuan
dipasang, adonan dikeluarkan dan sumur diperdalam hingga pada kedalaman yang
diperlukan dalam keadaan kering.
Acuan bisa saja ditinggalkan dalam sumuran atau bisa juga dikeluarkan. Jika
dibiarkan ditempat, maka ruang melingkar antara acuan dan tanah (yang diisi dengan
diinjeksikan dengan tekanan. Adukan encer adalah campuran semen dan dengan cara
menyisipkan pipa pada dasar adonan dan memompakan grout maka adonan akan
dipindahkan keatas puncak sehingga rongga tersebut diisi dengan adukan encer.
Sebagai kemungkinan lain, acuan bisa diangkat secara hati – hati untuk memastikan
bahwa :
a) Beton di dalam acuan tetap dalam keadaan encer
b) “Kepala” beton selalu lebih besar daripada kepala adonan sehingga beton
yang menggantikan adonan bukan sebaliknya.
Gambar 2.8. Metode acuan pilar yang dibor (Bowles, 1998)
3. Metode Adonan
Metode ini bisa diterapkan pada semua keadaan yang membutuhkan acuan. Hal ini
diperlukan jika tidakmungkin mendapatkan penahan (water seal) yang sesuai dengan
acuan untuk menjaga agar air tidak masuk kedalam rongga sumuran (shaft capity).
2.9. Metode adonan untuk konstruksi pilar yang dibor
Bentonite adalah bahan yang paling sering dipakai sebagai campuran dengan
air untuk membuat adonan (“adonan bentonit”). Beberapa percobaan diperlukan
untuk memenuhi presentase optimum tempat proyek tetapi dalam jumlah yang
berkisar antara 4 sampai 6% dari berat biasanya sudah cukup memadai.
Bentonite harus dicampur merata dengan air sehingga campurannya tidak
menggumpal. Adonan seharusnya mampu membentuk lapisan penyaring (filler cake)
pada dinding seumuran dan mengikat pertikel – partikel galian yang terkecil (kira –
kira di bawah 6 mm) dalam suspensi. Seringkali jika tanah setempat sangat pekat,
tanah ini dipakai sebagai campuran untuk mendapatkan adonan yang cukup memadai.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam memakai metode ini adalah :
1) Jangan membiarkan adonan terlalu lama dalam sumuran sehingga akan
terbentuk lapisan penyaring yang terlalu tebal pada dinding sumuran karena
2) Memompa adonan keluar dan partikel – partikel yang lebih besar dalam suspensi dipisahkan dengan memakai adonan “ conditioned” yang
dikembalikan lagi kedalam sumuran sebelum dibeton.
3) Hati – hati saat menggali lempung melalui adonan.
Setelah sumuran selesai digali, tulangan kerangka dimasukkan kedalam
sumuran dan sebuah corong pipa (tremie). Beton dipompa dengan hati – hati
sehingga corong pipa selalu terendam dalam beton sehingga hanya ada sedikit
daerah yang terkontaminasi oleh adonan. Beton tampaknya cukup mampu
menggantikan partikel – partikel adonan dari kerangka tulangan, sehingga
akan terjadi tulangan yang baik.
2.4.2. Pemakaian Pilar/Tiang yang Dibor
Tiang – tiang yang dibor bisa dipakai pada hampir semua kasus yang
memerlukan pondasi tiang. Jika tanah tempat proyek memerlukan pemakaian pondasi
dalam, seseorang perlu mengadakan analisis perbandingan untuk menentukan mana
yang lebih ekonomis antara tiang pancang atau tiang yang dibor.
Tiang yang dibor mempunyai kelebihan – kelebihan sebagai berikut:
1) Eliminasi sungkup tiang pancang (pile caps) seperti pantek – pantek
penyambung (dowels) bisa dipasang dalam beton basah pada tempat yang
diperlukan dalam rencana (meskipun pusat pilar agak tidak ditempatkan
segaris (mislighned) sebagai sambungan untuk kolom.
3) Maniadakan cukup banyak getaran (vibrasi) dan suara gaduh yang biasanya
merupakan akibat dari pendorongan tiang pancang.
4) Bisa menembus tanah berangkal yang dapat mengakibatkan tiang – tiang
pancang yang didorong bisa bengkok. Berangkal yang berukuran kurang dari
sepertiga diameter bisa bengkok.
5) Lebih mudah memperluas bagian puncak sumuran pilar sehingga
memungkinkan momen – momen lentur yang lebih besar.
6) Hampir semua sumuran dengan diameter berkisar antara 0,5 sampai dengan
3,5 m bisa dibuat.
Beberapa kelemahan tiang yang dibor sebagai berikut :
1. Tidak bisa dipakai jika lapisan pendukung (bearing stratum) yang sesaui tidak
cukup dekat dengan permukaan tanah (dengan menganggap bahwa tanah pada
lapisan yang kompeten (mampu) tidak dapat diandalkan untuk tahanan kulit).
2. Keadaan cuaca yang buruk dapat mempersulit pengeboran atau pembetonan.
3. Akan terjadi tanah runtuh jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
4. Pembuangan tanah dari bor (“kotoran”) dan pembuangan adoanan jika adonan
ini yang dipakai.
2.4.3. Proses Pembuatan Pondasi Tiang Bor 1. Pengeboran
Ini merupakan proses awal dimulainya, pengerjaan pondasi tiang bor,
permukaan tanah menjadi parameter utama dipilihnya alat – alat bor. Ini perlu
diantisipasi sehingga bisa disediakan metode, dan peralatan yang cocok.
Gambar 2.10. Mata bor
Setelah mencapai suatu kedalaman yang mencukupi untuk menghindari tanah
di tepi lubang berguguran maka perlu di pasang casing, yaitu pipa yang mempunyai
ukuran diameter dalam kurang lebih sama dengan diameter lubang.
Gambar 2.11. Pemasangan casing
Setelah casing terpasang, maka pengeboran dapat dilanjutkan. Mata
auger diganti dengan Cleaning Bucket yaitu untuk membuang tanah atau
lumpur di dasar lubang. Setelah beberapa lama dan diperkirakan sudah
mencapai kedalaman rencana maka perlu dipastikan terlebih dahulu apakah
Gambar 2.12. Pengecekan tanah manual
Perlu juga diperhatikan bahwa tanah hasil pemboran perlu dicheck dengan
data hasil penyelidikan terdahulu. Apakah jenis tanah sama seperti yang diperkirakan
dalam menentukan kedalaman tiang bor tersebut. Ini perlu karena sampel ta nah
sebelumnya umumnya diambil dari satu dua tempat yang dianggap mewakili. Tetapi
dengan proses pengeboran ini maka secara otomatis dapat dilakukan prediksi dapat
dilakukan prediksi kondisi tanah secara tepat, satu persatu pada titik yang dibor.
Apabila kedalaman dan juga lubang bor telah siap, maka selanjutnya adalah
penempatan tulangan.
Jika perlu, apabila terlalu dalam maka penulangan harus disambung dilapangan.
Gambar 2.14. Penyambungan tulangan jika perlu
Gambar 2.15. Tulangan setelah dipasang
2. Pengecoran beton
Setelah proses pemasangan tulangan baja maka proses selanjutnya adalah
pengecoran beton. Ini merupakan bagian yang paling kritis yang menentukan
berfungsi tidaknya suatu pondasi. Meskipun proses pekerjaan sebelumnya sudah
benar, tetapi apabila pada tahapan ini gagal maka gagal pulalah pondasi tersebut
benar dengan beton, misalnya ada yang bercampur dengan galian tanah atau segresi
dengan air, tanah longsor sehingga beton mengisi bagian yang tidak tepat. Adanya air
pada lubang bor menyebabkan pengecoran memerlukan alat bantu khusus, yaitu pipa
tremie. Pipa tersebut mempunyai panjang yang sama atau lebih besar dengan
kedalaman lubang yang dibor.
Gambar 2.16. Penempatan pipa tremie
Gambar 2.16 diatas disebut pipa tremie. Ujung di bagian bawah agak khusus,
tidak berlubang biasa tetapi ada detail khusus sehingga lumpur tidak ikut masuk
kedalam tetapi beton di dalam pipa bisa mendorong keluar.
Yang telihat di Gambar 2.17 adalah corong beton yang akan dipasang di
ujung atas pipa tremie, tempat memasukkan beton segar, dari gambar ini terlihat
pekerjaan pengecoran pondasi tiang dibagian lain, terlihat mesin bor (warna kuning)
yang difungsikan cranenya (mata bor tidak dipasang, mesin bor dinonaktifkan.
Pada tahap pengocoran pertama kali, truk ready mixed dapat menuangkan
langsung ke corong pipa tremie seperti terlihat diatas. Pipa tremie yang dipasang
perlu dicabut lagi. Kalau beton yang dituang terlalu banyak maka pencabutan pipa
yang tertanam menjadi susah. Sedangkan jika terlalu dini mencabut pipa tremie,
beton pada bagian bawah belum terkonsolidasi dengan baik, maka bisa saja terjadi
segresi (tercampurnya beton dengan tanah).
Gambar 2.18. Ready mix
Jika beton yang dicor sudah semakin ke atas (volumenya semakin banyak)
kering. Untuk kasus ini karena pengecoran beton masih diteruskan maka diperlukan
bucket karena beton tidak bisa dituang kecorong tersebut.
Gambar 2.19. Pengangkatan pipa tremie
Adanya pipa tremie tersebut menyebabkan beton dapat disalurkan ke dasar
lubang langsung dan tanpa mengalami pencampuran dengan air atau lumpur. Karena
berat jenis beton lebih besar dari berat jenis lumpur maka beton makin lama makin
kuat untuk mendesak lumpur naik keatas. Jadi pada tahapan ini tidak perlu takut
dengan air atau lumpur naik ke atas.
Gambar 2.20 di bawah menunjukkan air / lumpur mulai terdorong ke atas,
lubang mulai digantikan dengan beton. Proses pengecoran memerlukan bahan beton
yang terus-menerus, andai saja ada keterlambatan beberapa jam. Jika terjadi setting
Gambar 2.20. Proses pengecoran
Jika pengerjaan pengecoran dapat berlangsung dengan baik, maka pada
akhirnya beton dapat dapat muncul dari kedalaman lubang. Jadi pemasangan tremie
mensyaratkan bahwa selama pengecoran dan penarikan maka pipa tremie tersebut
harus selalu tertanam pada beton segar. Fungsi utama dari pipa tremie ini adalah
sebagai penyumbat atau penahan agar tidak terjadi segresi (bercampurnya tanah, air,
lumpur dengan beton).
2.5. Daya Dukung Aksial Tiang Bor (Bored Pile)
Tiang (Pile) adalah bagian bawah konstruksi pondasi yang berbentuk batang
langsung yang dibor didalam tanah sampai mencapai lapisan tanah keras. Daya
dukung aksial suatu pondasi pada umumnya terdiri atas dua bagian yaitu daya dukung
akibat gesekan sepanjang tiang dan daya dukung ujung dasar tiang. Berdasarkan
sumber data yang digunakan pada dasarnya terdapat dua cara untuk memperkirakan
daya dukung aksial tiang. Cara pertama adalah dengan menggunakan
menggunakan uji SPT (Standard Penetration Test), Sondir (Cone Penetration Test),
dan PDA (Pile Dynamic Analysis).
2.5.1. Daya Dukung Tiang Bor (Bored Pile) dari Hasil Sondir
Diantara perbedaan tes dilapangan, sondir atau Cone Penetration Test (CPT)
sering kali sangat dipertimbangkan perannya dalam perencanaan pondasi. CPT atau
sondir adalah test yang cepat, sederhana, ekonomis dan tes tersebut dapat dipercaya
dilapangan dengan pengukuran terus – menerus dari permukaan tanah dasar. CPT
atau sondir juga dapat mengklasifikasikan lapisan tanah dan dapat memperkirakan
kekuatan dan karakteristik dari tanah. Didalam perencanaan pondasi tiang, data tanah
sangat diperlukan dalam merencanakan kapasitas daya dukung (bearing capacity)
dari bored pile sebelum pembangunan dimulai, guna menentukan kapasitas ultimit
dari pondasi tiang.
Utuk menghitung daya dukung tiang bor berdasarkan data hasil pengujian
sondir dapat dilakukan dengan menggunakan metode Mayerhoff.
Daya dukung ultimate pondasi tiang dinyatakan dengan rumus :
Qult = (qc x Ap) + (JHL x K)………..………...…(2.9)
dimana :
Qult = Kapasitas daya dukung tiang bor tunggal (kg)
qc = Tahanan ujung sondir (kg/cm2)
Ap = Luas penampang tiang (cm2)
K = Keliling tiang (cm)
Daya dukung ijin pondasi dinyatakan dengan rumus :
Qijin = 𝑞𝑐 𝑥 𝐴𝑝3 +𝐽𝐻𝐿 𝑥 𝐾5 ……….…...… (2.10)
dimana :
Qijin = Kapasitas daya dukung ijin pondasi (kg)
qc = Tahanan ujung sondir (kg/cm2)
Ap = Luas penampang tiang (cm2)
JHL = Jumlah hambatan lekat (kg/cm)
K = Keliling tiang (cm)
2.5.2. Daya Dukung Tiang Bor (Bored Pile) dari Hasil SPT
Kapasitas daya dukung pondasi tiang pada tanah pasir dan silt didasarkan
pada data SPT, ditentukan dengan perumusan berikut:
1. Daya dukung ujung tiang (end bearing), (Reese & Wright,1977)
Untuk tanah tidak kohesif: korelasi antara qP dan NSPT menurut (Reese &
Wright, 1977) seperti Gambar 2.22 dibawah ini.
Gambar 2.21. Daya dukung ujung batas tiang bor pada tanah pasiran
(Reese & Wright, 1977)
Untuk N ≤ 60 maka 𝑞𝑃 = 7 N (t/ m2) < 400 (t/ m2) untuk N > 60 maka 𝑞𝑃 = 400 (t/m2)
N = Nilai rata – rata SPT, N = 𝑁1+𝑁2 2
2. Daya dukung selimut (skin friction), (Reese & Wright, 1977)
𝑄𝑠 = f. 𝐿𝑖 . p...(2.14)
Dimana:
f = Tahanan satuan skin friction, (ton/m2)
𝐿𝑖 = Panjang lapisan tanah, (m)
𝑄𝑠 = Daya dukung selimut tiang, (ton)
Pada tanah kohesif:
f = α . 𝐶𝑢...(2.15)
diamana:
α = faktor adhesi (berdasarkan penelitian Reese & Wright (1977) α = 0,55
𝐶𝑢 = kohesi tanah, (ton/m2)
Pada tanah non kohesif; N < 53 maka f = 0,32 N (ton/m2)
53 < N ≤ 100 maka f : dari koreksi langsung dengan 𝑁𝑆𝑃𝑇 (Reese & Wright,1977).
Gambar 2.22. Tahanan geser selimut tiang bor pada tanah pasiran
(Reese & Wright, 1977)
Nilai f juga dihitung dengan formula:
dimana : 𝐾0 = 1 –sin φ
𝜎𝑣′.= Tegangan vertikal efektif tanah, (ton/m2)
2.5.2. Uji Pembebanan ( Loading Test ) Statik
Maksud dan tujuan dilaksanakannya percobaan pembebanan (loading test)
terhadap pondasi tiang adalah untuk mengetahui secara tepat dan akurat berapa besar
daya dukung pondasi tiang tersebut memikul gaya/beban vertikal (compressive load),
gaya/beban (lateral load) dan gaya/beban tarik (uplift load).
Didalam tugas akhir ini penulis hanya akan membahas mengenai percobaan
pembebanan vertikal (compressive loading test). Dilakukan percobaan pembebanan
vertikal (compressive loading test) terhadap pondasi tiang adalah untuk mengetahui
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hubungan antara beban dan penurunan pondasi akibat
beban rencana.
2. Untuk menguji bahwa tiang yang dilaksanakan mampu mendukung beban
rencana dan membuktikan bahwa dalam pelaksanaan tidak terjadi kegagalan.
3. Untuk menentukan daya dukung ultimate nyata (real ultimate bearing
capacity) sebagai contoh dari hasil perhitungan berdasarkan formula statis dan
dinamis.
4. Untuk mengetahui kemampuan elastisitas daripada tanah.
Daya dukung dapat diperhitungkan menurut cara-cara statis maupun dinamis.
cukup homogen, keadaan tanah keras tidak begitu dalam dan mempunyai ketebalan
yang cukup, maka penentuan daya dukung tidaklah begitu sulit. Tetapi
kadang-kadang penyelidikan memberikan hasil yang meragukan, sehingga agak sukar untuk
menentukan daya dukung pondasi dengan tepat. Untuk mengetahui daya dukung
pondasi tiang dengan tepat dan akurat, maka dilakukan percobaan pembebanan
(loading test). Pengujian hingga 200% dari beban kerja sering dilakukan pada tahap
verifikasi daya dukung, tetapi untuk alasan lain misalnya untuk keperluan optimasi
dan untuk kontrol beban ultimit pada gempa kuat, seringkali diperlukan pengujian
sebesar 250% hingga 300% dari beban kerja.
Yang terpenting adalah dari hasil nilai uji pembebanan statik, seorang praktisi
dalam rekayasa pondasi dapat menentukan mekanisme yang terjadi, misalnya dengan
melihat kurva beban penurunan, besarnya deformasi plastis tiang, kemungkinan
terjadinya kegagalan bahan tiang, dan sebagainya.
Pengujian pembebanan tiang umumnya dilaksanakan dengan maksud :
1. Menentukan grafik hubungan beban dan penurunan, terutama pada
pembebanan di sekitar beban yang diharapkan.
2. Sebagai percobaan guna meyakinkan bahwa keruntuhan pondasi tidak
akan terjadi sebelum beban ditentukan tercapai. Nilainya beberapa kali
beban rencana. Nilai pengali tersebut dipakai sebagai faktor aman.
3. Menentukan kapasitas ultimit riil, mengecek hasil hitungan kapasitas
Uji pembebanan biasanya perlu dilakukan untuk kondisi-kondisi seperti
berikut ini :
1. Perhitungan analitis tidak memungkinkan untuk dilakukan karena
keterbatasan informasi mengenai detail dan geometri struktur.
Kinerja struktur yang sudah menurun karena adanya penurunan
kualitas bahan akibat serangan zat kimia, ataupun akibat gempa,
kebakaran, pembebanan yang berlebihan, dan lain-lain.
2. Tingkat keamanan struktur yang rendah akibat jeleknya kualitas
pelaksanaan ataupun akibat adanya kesalahan perencanaan yang
sebelumnya tidak terdeteksi.
3. Struktur direncanakan dengan metode - metode khusus, sehingga
menimbulkan kekhawatiran akan tingkat keamanan struktur tersebut.
4. Perubahan fungsi struktur, sehingga menimbulkan pembebanan
tambahan yang belum diperhitungkan pada perencanaan.
5. Diperlukan pembuktian mengenai kinerja suatu struktur yang baru
saja dicor.
Pengujian beban statik melibatkan pemberian beban statik dan pengukuran
pergerakan tiang. Beban – beban umumnya diberikan secara bertahap dan penurunan
tiang diamati. Umumnya defenisi keruntuhan yang dicatat untuk interpretasi lebih
lanjut adalah bila di bawah suatu beban yang konstan, tiang terus mengalami
Sesudah tiang uji dibor, perlu ditunggu terlebih dahulu selama tujuh hingga
tiga puluh hari sebelum pengujian pembebanan tiang. Hal ini penting untuk
memungkinkan tanah yang telah terganggu kembali ke keadaan semula, dan tekanan
air pori yang terjadi akibat pemancangan tiang telah berdisipasi. Beban kontra dapat
dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan menggunakan sistem kentledge
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.23. Cara kedua dapat menggunakan kerangka baja
atau jangkar seperti ilustrasi Gambar 2.24. Pembebanan diberikan pada tiang dengan
menggunakan dongkrak hidrolik.
Pergerakan tiang dapat diukur menggunakan satu set dial guges yang
terpasang pada kepala tiang. Toleransi pembacaan antara satu dial gauge lainnya
adalah satu milimeter. Perlu diperhatikan bahwa pengukuran pergerakan relatif tiang
sangatlah penting.Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari interaksi tanah
dengan tiang, pengujian tiang sebaiknya dilengkapi dengan instumentasi.
Instrumentasi yang dapat digunakan adalah strain gauges yang dapat dipasang pada
lokasi-lokasi tertentu sepanjang tiang. Tell – tales pada kedalaman-kedalaman
tertentu atau load cells yang ditempatkan di bawah kaki tiang. Instrumentasi dapat
memberikan informasi mengenai pergerakan kaki tiang, deformasi sepanjang tiang,
atau distribusi beban sepanjang tiang selama pengujian (American Society Testing
Gambar 2.23. Pengujian dengan sistem kentledge (Coduto,2001)
2.5.3. Metode Pembebanan
Terdapat empat metode pembebanan, yaitu :
1. Prosedur Pembebanan Standar (SML) Monotonik
Slow Maintained Load Test (SML) menggunakan delapan kali peningkatan
beban. Direkomendasikan oleh ASTM D1143-81 (1989), metode uji standar
ASTM ; umum digunakan pada penelitian di lapangan sebelum dilakukan
pekerjaan selanjutnya, terdiri atas :
a. Beban tiang dalam delapan tahapan yang sama (yaitu 25%, 50%,
75%, 100%, 125%, 150%, 175%, dan 200%) hingga 200% beban
rencana.
b. Setiap penambahan beban harus mempertahankan laju penurunan
harus lebih kecil 0,01 in/jam (0,25 mm/jam).
c. Mempertahankan 200% beban selama dua puluh empat jam.
d. Setelah waktu dibutuhkan diperoleh, lepaskan beban dengan
pengurangan sebesar 25% dengan jarak waktu satu jam diantara
pengurangan.
e. Setelah beban diberikan dan dilepas ke atas, bebani tiang kembali
untuk pengujian beban dengan penambahan 50% dari beban
desain, menyediakan waktu dua puluh menit untuk penambahan
beban.
f. Kemudian tambahkan beban dengan penambahan 10% beban
2. Quick Load Test ( Quick ML )
Karena prosedur standar membutuhkan waktu yang cukup lama, maka para
peneliti membuat modifikasi untuk mempercepat pengujian.
Direkomendasikan oleh Dinas Perhubungan Amerika Serikat, Pengelola
Jalan Raya dan ASTM 1143-81 (opsional), terdiri atas :
a. Bebani tiang dalam penambahan dua puluh kali hingga 300% dari
beban desain (masing - masing tambahan adalah 15% dari beban
desain).
b. Pertahankan tiap beban selama lima menit, bacaan diambil setiap
2,5 menit.
c. Tambahkan peningkatan beban hingga jacking continue
dibutuhkan untuk mempertahankan beban uji.
d. Setelah interval lima menit, lepaskan atau hilangkan beban penuh
dari tiang dalam empat pengurangan dengan jarak diantara
pengurangan lima menit.
Metode ini lebih cepat dan ekonomis, lebih mendekati suatu kondisi.
Waktu ujinya 3-5 jam. Metode ini tidak dapat digunakan untuk estimasi
Gambar 2.25. Contoh hasil uji pembebanan statik aksial tekan (Tomlinson,2001)
3. Prosedur Pembebanan Standar (SML) siklik
Metode pembebanan sama dengan SML monotonik, tetapi pada tiap tahapan
beban dilakukan pelepasan beban dan kemudian dibebani kembali hingga
tahap beban berikutnya (unloading – reloading). Dengan cara ini, rebound
dari setiap tahap beban diketahui dan perilaku pemikulan beban pada tanah
dapat disimpulkan dengan lebih baik. Metode ini membutuhkan waktu yang
lebih lama daripada metode SML monotonik.
4. Prosedur Pembebanan dengan Kecepatan Konstan (Constant Rate of
Penetration Method atau CRP)
Metode CRP merupakan salah satu alternatif lain untuk pengujian tiang secara
statis. Metode ini disarankan oleh Komisi Pile Swedia, departemen
a. Kepala tiang didorong untuk settle pada 0,05 in/menit
(1,25 mm/menit).
b. Gaya yang dibutuhkan untuk mencapai penetrasi akan dicatat.
c. Uji dilakukan dengan total penetrasi 2-3 in ( 50-70 mm )
Keuntungan utama dari metode ini adalah lebih cpat 2-3 jam dan lebih
ekonomis. Hasil pengujian tiang dengan metode CRP menunjukkan bahwa
beban runtuh relatif tidak tergantung oleh kecepatan penetrasi bila digunakan
batasan kecepatan penurunan kurang dari 1,25 mm/menit. Kecepatan yang
lebih tinggi dapat menghasilkan daya dukung yang sedikit. Beban dan
pembacaan deformasi diambil setiap menit. Pengujian dihentikan bila
pergerakan total kepala tiang mencapai 10% dari diameter tiang bila
pergerakan (displacement) sudah cukup besar.
2.5.5. Interpretasi Hasil Uji Pembebanan Statik
Dari hasil uji pembebanan, dapat dilakukan interpretasi untuk menentukan
besarnya beban ultimit. Ada berbagai metode interpretasi, yaitu :
1) Metode Chin
Dasar dari teori ini, diantaranya sebagai berikut (Gambar 2.26):
a. Kurva load settlement digambar dalam kaitannya dengan S/Q,
dimana :
b. Kegagalan beban (Qf) atau beban terakhir (Qult) digambarkan
sebagai :
𝑄𝑢𝑙𝑡 = 𝐶1
1...(2.18)
dimana :
S : settlement
Q : penambahan beban dan C1 : kemiringan garis lurus
Gambar 2.26. Grafik hubungan beban dengan penurunan menurut metode Chin
Kegagalan metode Chin dapat digunakan untuk tes beban dengan cepat dan
tes beban yang dilakukan dengan lambat. Biasanya memberikan perilaku yang tidak
realistik untuk kegagalan beban, jika tidak digunakan suatu kenaikan waktu yang
konstan pada uji tiang. Jika sepanjang kemajuan tes beban statis, keruntuhan pada
tiang akan bertambah maka garis Chin akan menunjukkan suatu titik temu, oleh
karena itu dalam merencanakan tiap pembacaan metod Chin perlu dipertimbangkan.
Metode Chin memperhatikan batasan beban yang diregresikan linier yang mendekati
ditentukan dari dua cara yang telah disebutkan. Secara umum dua titik akan
menentukan satu garis dan titik ketiga pada garis yang sama mengkorfimasikan suatu
garis (Fellenius, Bengt H. 2001).
2) Metode Davisson (1972)
Prosedur penentuan beban ultimit dari pondasi tiang dengan menggunakan
metode ini adalah sebagai berikut :
Gambarkan kurva beban terhadap penurunan.
1. Penurunan elastic dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
𝑆𝑒
Q = Beban uji yang diberikan (ton)
L = Panjang tiang (m)
Ap = Luas penampang tiang (m2)
Ep = Modulus elastisitas tiang (ton/m2)
2. Tarik garis OA seperti gambar berdasarkan persamaan penurunan elastic (Se).
3. Tarik garis BC yang sejajar dengan garis OA dengan jarak X, dimana X
adalah :
Dengan D adalah diameter atau sisi tiang dalam satuan inch.
4. Perpotongan antara kurva beban – penurunan dengan garis lurus merupakan
daya dukung ultimit.
Gambar 2.27. Interpretasi daya dukung ultimit dengan metode Davisson
2.5.6. Pengujian Tiang dengan Metode Pile Dynamic Analyzer (PDA)
Tujuan pengujian dinamis ini adalah untuk mengetahui besarnya daya dukung
ultimate tiang bor tunggal yang dilakukan dilapangan dengan berbagai dimensi dan
karakteristik tiang yang telah ditentukan melalui perencanaan sebelumnya, baik untuk
pemilihan tiang maupun lokasinya.
Beban dinamik akibat tumbukan dari drop hammer pada kepala tiang, akan
menimbulkan regangan pada tiang dan pergerakan relative (relative displacement)
yang terjadi antara tiang dan tanah sekitarnya, menimbulkan gelombang akibat
perlawanan gelombang yang timbul. Gelombang aksi maupun reaksi akibat
perlawanan tanah akan direkam.
Saat ini pengujian PDA banyak dilakukan untuk bermacam-macam pondasi
seperti pondasi tiang pancang maupun pondasi tiang bor. Pengujian PDA untuk tiang
berdiameter besar dan daya dukung besar sangat menguntungkan, karena proses
pengujian dangat singkat (dari persiapan sampai selesai hanya berlangsung selama
1-3 jam).
Untuk menghasilkan beban dinamik pada tiang, digunakan palu yang
berfungsi sebagai alat tumbuk. Berat minimum dari palu yang akan digunkan
ditentukan sebesar 1% dari perkiraan daya dukung ujung tiang. Sebagai contoh: untuk
daya dukung ijin tiang direncanakan sebesar 500 ton, dan diambil daya dukung
batasnya 200% dari daya dukung ijinnya, sebesar 1000 ton, maka berat minimum
palu adalah 10 ton. Tinggi jatuh palu diambil antara 1 m sampai 2 m, dipilih
ketinggian minimum berapa yang sudah menghasilkan output daya dukung batas
tiang. Pengujian dilakukan 2 sampai 5 kali tumbukan, sedangkan besarnya daya
dukung tiang ditentukan dengan rekaman 1 gelombang tumbukan saja.
Prosedur Pengujian Daya Dukung Tiang Tunggal dengan PDA :
1. Gelombang akibat tumbukan (impact wave)
Pengujian dinamis PDA dilakukan dengan menginterpretasikan gelombang satu
dimensi (one dimentional wave) yang merambat pada media yang diuji. Gelombang
gelombang sesuai dengan kebutuhan pengujian. Pengujian PDA tiang tunggal
menggunakan alat tumbuk Drop Hammer 1,5 ton.
2. Instrumen PDA
a. Strain Transducer dan Accelerometer
Untuk mengukur regangan dan percepatan selama perambatan gelombang
akibat tumbukan yang diberikan pada tiang, strain transducer dan
accelerometer (dipasang masing-masing 2 buah di kedua sisi tiang untuk
mencegah tidak bekerjanya instrument pada saat penumbukan), berfungsi
merubah regangan dan percepatan menjadi sinyal elektronik, melalui
kabel penghubung akan direkam oleh alat PDA. Dipasang atau diletakkan
pada permukaan bagian atas tiang dengan jarak lebih besar dari 1,5W -
2W dari ujung atas kepala tiang, untuk mendapatkan hasil rekaman yang
baik.
b. Computer laptop PDA
Hasil pengukuran direkam dengan alat Computer PDA type PAK dari
GRL USA di lapangan dan dianalisa dengan program CAPWAP.
3. Pemasangan Instrumen PDA
Sesuai ketentuan ASTM D4945-96 maka pemasangan instrumen Starin
Transducer harus dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari pengaruh
faktor momen dapat diabaikan.
4. Pekerjaan persiapan
Sebelum pengujian dilaksanakan, telah dilakukan persiapan untuk PDA
dengan mencatat hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pengeboran lubang
pada tiang bor untuk pemasangan Strain Transducer dan Accelerometer.
Gambar 2.29. Pemasangan Strain Transducer dan Accelerometer
5. Pelaksanaan Pengujian PDA
Tiang bor diberi beberapa kali tumbukan, penumbukan dihentikan jika telah
diperoleh mutu rekaman cukup baik pada komputer dan energi tumbukan
(EMX) relatif cukup tinggi. Kualitas rekaman yang baik tergantung dari
beberapa faktor, yaitu
b. Sistem elektronik komputer dan efisiensi hammer yang digunakan.
Saat pengujian secara temporer dilakukan pengecekan/pengencangan
instrumen strain transducer dan accelerometer. Nilai EMX tergantung nilai
efisiensi hammer yang dipakai. Hasil uji dinamis PDA dianalisis lebih lanjut
dengan program CAPWAP, didapat perbandingan kekuatan daya dukung
tiang bor di lapangan termasuk distribusi kekuatan friksi tanah di setiap
lapisan tanah, tahanan ujung, tegangan tiang, dan lainnya.
2.6. Metode Elemen Hingga
Metode elemen hingga dalam rekayasa geoteknik adalah metode yang
membagi - bagi daerah yang akan dianalisis kedalam bagian - bagian yang kecil.
Bagian - bagian yang kecil inilah yang disebut dengan elemen. Semakin banyak
pembagian elemen maka hasil perhitungan numeriknya akan semakin mendekati
kondisi asli. Metode elemen hingga pada rekayasa geoteknik memiliki sedikit
perbedaan dengan metode elemen hingga pada rekayasa struktur, sebab dalam
rekayasa geoteknik terjadi interaksi elemen yang memiliki kekakuan yang berbeda.
Seperti halnya pondasi dan tanah, dalam menganalisis pondasi dengan metode elemen
hingga terdapat perbedaan kekakuan antara dua elemen, yaitu elemen tanah dan
elemen struktur atau pondasi itu sendiri.
2.7. Plaxis
Plaxis adalah sebuah paket program yang disusun berdasarkan metode elemen
hingga yang telah dikembangkan secara khusus untuk melakukan analisis deformasi
Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan untuk menjalankan program Plaxis
ini adalah sebagai berikut:
1. Instalasi program. Langkah instalasi program dapat dilihat pada bagian
informasi umum dalam buku latihan manual Plaxis versi 8.
2. Pemodelan secara umum. Untuk setiap proyek baru yang akan dianalisis,
penting untuk terlebih dahulu membuat model geometri. Tiga buah komponen
utama dalam model geometri dijelaskan dengan lebih detail berikut ini.
Titik : Titik-titik akan menjadi awal dan akhir dari garis. Titik-titik
juga dapat digunakan untuk mendapatkan jangkar, beban terpusat,
jenis perletakan dan untuk penghalusan jaringa.n secara lokal atau
setempat.
Garis : Garis-garis berfungsi untuk mendefenisikan batas fisik dari
suatu geometri, misalnya dinding atau pelat.
Klaster : Klaster merupakan suatu bidang yang dibatasi oleh beberapa
garis dan membentuk suatu poligon tertutup.
Dapat dibedakan tiga buah komponen penyusunnya berikut ini:
Elemen
Sebuah pilihan dapat diambil antara elemen dengan 15 buah titik nodal
dan elemen dengan 6 buah titik nodal. Elemen 15 titik nodal sangat
berguna untuk menghasilkan perhitungan tegangan dan beban runtuh
yang akurat. Selain itu, elemen dengan 6 titik nodal dapat dipilih untuk
Titik nodal
Sebuah elemen dengan 15 titik nodal akan terdiri dari 15 titik nodal
dan sebuah elemen segitiga dengan 6 titik nodal. Penyebaran titik-titik
nodal dalam suatu elemen baik pada elemen 15 titik nodal maupun
pada elemen 6 titik nodal ditunjukkan pada Gambar 2.30.
Titik tegangan
Sebuah elemen 15 titik nodal memiliki 12 buah titik tegangan seperti
ditunjukkan pada Gambar (a) sedangkan elemen 6 titik nodal memiliki 3
buah titik tegangan seperti ditunjukkan pada Gambar (b).
Gambar 2.30. Titik nodal dan titik tegangan
3. Proses pemasukan data
Ada empat buah jenis masukan yang digunakan sebagai berikut:
a. Masukan obyek geometri (misalnya saat penggambaran lapisan
tanah)
b. Masukan teks ( misalnya saat memasukkan nama proyek)
d. Masukan pilihan ( misalnya saat memilih pemodelan tanah)
Mouse untuk menggambar dan memilih, papan ketik digunakan memasukkan
teks dan angka.
3.1.Masukan Obyek Geometri
Pembuatan sebuah obyek geometri didasarkan pada masukan berupa
titik-titik dan garis-garis. Hal ini dilakukan dengan menggunakan penunjuk
atau kursor mouse pada bidang gambar.
3.2.Masukan Teks dan Angka
Seperti perangkat lunak yang lain, diperlukan beberapa masukan
berupa angka dan teks. Masukan yang diperlukan akan ditampilkan dalam
kotak editor. Beberapa kotak editor, untuk hal-hal yang spesifik akan
dikelompokkan dalam suatu jendela.
3.3. Pemilihan masukan
Disini terdapat fasilitas radio button, check box dan combo box.
Fungsi dari masing – masing bagian ini adalah didalam radio button hanya
ada satu pilihan yang dapat aktif. Pilihan aktif dapat dilakukan dengan
mengklik tombol mouse. Check box bisa diaktifkan lebih dari satu pilihan
dengan cara memberi centang atau tick mark pada kotak berwarna putih
menggunakan tombol mouse.
Masukan yang diperlukan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi selogis
mungkin. Beberapa jenis masukan terstruktur akan dibahas berikut ini.
Gambar 2.31. Kontrol halaman (page control) dan lembar tab (tab sheet)
Kontrol halaman dan lembar tab : Lembar tab dapat diaktifkan dengan
mengklik lembar tab yang bersangkutan atau dengan menekan (Ctrl)
(Tab) pada papan ketik.
Kotak kelompok : Kotak kelompok adalah kotak dengan sebuah judul.
4. Memulai program
Pengguna diminta mengklik pada bagian proyek baru, dan pengguna
akan diminta mengikuti langkah – lengkah berikutnya.
4.1. Pengaturan global
Jendela ini terdiri dari dua lembar tab. Dalam lembar tab pertama
pengaturan untuk proyek harus diberikan. Seperti judul, model, elemen yang
Gambar 2.32. Pengaturan global lembar tab proyek
Lembar tab kedua.Pada bagian ini akan ditampilkan satuan dasar
panjang, gaya dan waktu, dimensi atau ukuran minimum dari bidang gambar
yang akan digunakan.
Gambar 2.33. Pengaturan global lembar tab dimensi
4.2.Membuat model geometri
Bagian - bagian terpenting dari jendela utama ditunjukkan dan dibahas
Gambar 2.34. Jendela utama dari program masukan
Menu utama :
Menu utama membuat seluruh pilihan yang tersedia dari
toolbar - toolbar, serta bebarapa pilihan lain yang jarang digunakan.
Toolbar (Umum) :
Toolbar ini berfungsi untuk pencetakan, zooming
(memperbesar atau memperkecil obyek).
Toolbar (Geometri) :
Toolbar ini memuat tombol - tombol untuk aktivitas khusus
yang berhubungan dengan pembuatan model geometri.
Tombol-tombol ini disusun secara berurutan sehingga akan menghasilkan
geometri yang lengkap.
Mistar :
Pada sisi kiri dan atas dari bidang gambar terdapat mistar yang
menunjukkan koordianat x dan y dari model geometri. Mistar ini
Bidang gambar : Bidang gambar adalah area gambar dimana model
geometri dibuat. Barisan teratur atau grid dari titik-titik kecil pada
bidang gambar dapat digunakan sebagai bantuan untuk menggambar
dengan tepat
Koordinat pusat : Koordinat pusat digambarkan sebagai sebuah
lingkaran kecil dengan sumbu x dan sumbu y diindikasikan oleh anak
panah.
Masukan manual : Nilai kedua koordinat x dan y dapat diketikkan
langsung disini dengan memberikan spasi diantaranya.
Indikator posisi kursor :Indikator posisi kursor menunjukkan posisi
saat ini dari mouse pada layar tampilan.
Gambar 2.35. Toolbar
2.8.Teori Mohr Coulumb
Mohr Coulumb merupakan modellinear elastic dan plastic sempurna (linear
Modulus kekakuan tanah (Modulus Young, E) dan (rasio Poisson,v) yang
memodelkan elastisitas tanah.
(Kohesi, c) dan (sudut geser dalam tanah, φ’) yang memodelkan prilaku
plastis tanah.
(Sudut dilatansi, Ѱ) yang memodelkan prilaku dilatansi tanah.
Model ini cukup baik sebagai tingkat pertama (first of order) pendekatan
prilaku tanah dan batuan. Disini setiap lapisan tanah dianggap mempunyai kekakuan
konstan atau meningkat secara linear terhadap kedalaman. Kelemahan model ini
adalah melinearkan kekakuan tanah (tidak memperhitungkan perubahan nilai E
terhadap perubahan tegangan.
2.8.1. Persamaan Lingkaran Mohr
Gambar 2.36. Grafik lingkaran Mohr
Bidang keruntuhan (fungsi leleh) tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
sin 𝜑′ = 𝑅 𝑝 +𝑐 cot 𝜑′
Center Of Mohr Circle, p = 𝜎1+𝜎3 2
sin 𝜑′= 𝜎1′+𝜎3′𝜎1′−𝜎3′2
2 + 𝑐 cot 𝜑′
...(2.21)
2.9.Parameter Tanah 2.9.1. Modulus Young (E)
Pengujian sondir yang dilakukan oleh DeBeer (1965) dan Webb (1970)
memberikan korelasi antara tahanan kerucut qc dan N sebagai berikut:
qc = 4.N (untuk pasir)....………...………….……..(2.22)
Menurut Bowles (1997) memberikan persamaan yang dihasilkan dari
pengumpulan data pengumpulan data sondir, sebagai berikut :
E= 3.qc(untuk pasir)………...………..(2.23)
E= 2. qc sampai dengan 8. qc (untuk lempung)...(2.24)
dengan qc dalam kg/cm2
Nilai perkiraan modulus elastisitas dapat diperoleh dari pengujian SPT
(Standart Penetration Test). Nilai modulus elastis yang dihubungkan dengan nilai
SPT, sebagai berikut:
E = 6 ( N + 5 ) k/ft2(untuk pasir berlempung)……….(2.25)
Selain itu modulus elastisitas tanah dapat juga dicari dengan pendekatan terhadap
jenis dan konsistensi tanah dengan N-SPT , seperti pada Tabel 2.7 berikut:
Tabel 2.8. Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah pasir
(Schmertman,1970)
2.9.2. Poisson’s Ratio (μ')
Rasio Poisson diasumsikan nilainya sebesar 0,2 – 0,4 dalam pekerjaan
mekanika tanah. Nilai sebesar 0,5 biasanya dipakai untuk tanah jenuh dan
nilai 0 sering dipakai untuk tanah kering dan tanah lainnya untuk kemudahan
dalam perhitungan. Oleh karena nilai dari rasio Poisson sukar untuk diperoleh
untuk tanah. Sementara pada program Plaxis khususnya model tanah
undrained μ'<0,5.
Tabel 2.9. Hubungan Jenis Tanah, konsistensi dan Poisson ratio (μ)
2.9.3. Berat Jenis Tanah Kering (γdry)
Berat jenis tanah kering adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan
satuan volume tanah.
2.9.4. Berat Jenis Tanah Jenuh (γsat)
Berat jenis tanah jenuh adalah perbandingan antara berat tanah jenuh air
dengan satuan volume tanah jenuh. Di mana ruang porinya terisi penuh oleh air.
2.9.5. Sudut Geser Dalam (ø)
Sudut geser dalam bersama dengan kohesi merupakan faktor dari kuat geser
tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang
bekerja pada tanah. Deformasi dapat terjadi akibat adanya kombinasi keadaan kritis
dari tegangan normal dan tegangan geser. Nilai dari sudut geser dalam didapat dari
engineering properties tanah, yaitu dengan triaxial test dan direct shear test.
2.9.6. Kohesi (c)
Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan
sudut geser tanah, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan
ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah. Nilai
dari kohesi didapat dari engineering properties, yaitu dengan triaxial test dan direct
shear test.
2.9.7. Sudut Dilatansi ( Ѱ)
Sudut dilatansi adalah sudut yang dibentuk bidang horizontal dengan arah
merupakan fenomena yang terjadi pada pasir padat dan over-consolidated clay
dimana pada saat dibebani (mengalami gaya geser) struktur tanah mengalami
pengembangan volume (pertambahan volume). Tanah lempung normal konsolidasi
tidak memiliki sudut dilatansi, tetapi pada tanah pasir, besar sudut ini tergantung pada
kepadatan relatif (Dr) dan sudut geser dalamnya yang dinyatakan dengan persamaan:
Ѱ= Ø-30˚……….……(2.27)
2.9.8. Permeabilitas (k)
Berdasarkan persamaan Kozeny-Carman, k = 𝑒3
1+𝑒 dimana k = koefisien
rembesan pada angka pori e, nilai permeabilitas untuk setiap layer tanah dapat dicari
dengan menggunakan rumus dibawah ini.
Untuk tanah yang berlapis-lapis harus dicari nilai permeabilitas untuk arah vertikal
dan horizontal dapat dicari dengan rumus :
kH = 𝐻1(𝑘𝐻1𝐻1+ 𝑘𝐻2𝐻2 + 𝑘𝐻3𝐻3 + 𝑘𝐻𝑛𝐻𝑛 ) ...(2.28)
kV =
𝐻
(𝐻1𝑘1)+ (𝐻2𝑘2)+ (𝐻3𝑘3)…+(𝐻𝑛𝑘𝑛)………...……….……..(2.29)
Di mana :
H = Tebal lapisan
e = Angka Pori
kH = Koefisien Permeabilitas Arah Horizontal
kV = Koefisien Permeabilitas Arah Vertikal
Nilai koefisien permeabilitas tanah dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah tersebut
seperti pada Tabel 2.10 berikut ini:
Tabel 2.10. Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah
Jenis Tanah K
cm/detik ft/menit
Kerikil Bersih 1.0-100 2.0-200
Pasir Kasar 1.0-0.01 2.0-0.02
Pasir Halus 0.01-0.001 0.02-0.002 Lanau 0.001-0.00001 0.002-0.00002 Lempung <0.000001 <0.000002
(Das, 1995) 2.10. Parameter Tiang Bor (Bored Pile)
Parameter yang digunakan untuk mendefinisikan tiang bore adalah material
model linear elastic dan material tipe non - Porous. Model linear elastik didasarkan
pada hukum Hooke yang berlaku untuk prilaku material yang elastik dan isotropik.
Model ini cocok untuk massa yang sangat kaku yang berada dalam tanah, misalnya
saja Bored Pile, dimana kondisi tegangan pada material tersebut masih jauh dari
kekuatan batasnya (ultimate Strenght).
2.11. Penurunan Tiang Tunggal
Menurut Poulus dan Davis (1980), perkiraan penurunan tiang tunggal dapat dihitung
berdasarkan :
a. Untuk tiang apung atau friksi
𝑆 = 𝐸𝑄.𝐼
dimana :
S = besar penurunan yang terjadi (mm)
Q = besar beban yang bekerja (kg)
D = diameter tiang (cm)
Es = modulus elastisitas bahan tiang (kg/cm2)
𝐼0 = faktor pengaruh penurunan tiang yang tidak mudah mampat
(Incompressible) dalam massa semi tak terhingga
Rk = faktor koreksi kemudah mampatan tiang untuk μ=0,3
Rh = faktor koreksi untuk ketebalan lapisan yang terletak pada tanah keras
Rμ = faktor koreksi angka Poisson
Rb = faktor koreksi untuk kekakuan lapisan pendukung
H = kedalaman (m)
K adalah suatu ukuran kompressibilitas relatif dari tiang dan tanah yang
dinyatakan oleh persamaan
𝐾 =𝐸𝑝.𝑅𝑎
Dimana :
𝑅𝑎 = 𝐴𝑝 1 4𝜋𝑑2
………...………..……….(2.34)
Dengan :
K = faktor kekakuan tiang
Ep = modulus elastisitas dari bahan tiang (kg/cm2)
Es = modulus elastisitas tanah di sekitar tiang (kg/cm2)
Eb = modulus elastisitas tanah di dasar tiang (kg/cm2)
Gambar 2.38. Faktor Penurunan Rµ (Poulus dan Davis, 1980)