• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Mula Nama Daerah tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asal Mula Nama Daerah tangerang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Asal Mula Nama Daerah

"Tangerang"

Minggu, 19 Agustus 2007

Dulu bernama Tanggeran. Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata "tengger" dalam bahasa Sunda memiliki arti "tanda" yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17.

Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung Jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :

(2)

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652, benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana (Yudhanegara, Wangsakara dan Santika) yang diangkat oleh penguasa Banten. Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Agung Tirtoyoso (1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana tersebut berturut-turut gugur satu persatu.

Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut "Tangeran" dengan "Tangerang". Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini.

Sebutan "Tangerang" menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta (Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po No. 34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut, Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.

Asal Mula Penduduk Tangerang

Latar belakang penduduk yang mendiami Tangerang dalam sejarahnya dapat diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti, berita-berita Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di Nusantara.

(3)

perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangeran sebelah barat".

[1] Orang Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah Tangeran.

Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.

Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di masa kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680. Diduga mereka pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang selalu melanda Batavia.

Menurut sebuah sumber, pada tahun 1846, daerah Tangeran juga didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah Tangeran Utara dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung Melayu (Thahiruddin, 1971)

[2]. Informasi mengenai seputar migrasi orang Lampung, akan dibahas dalam tulisan ini di bagian bab berikutnya, Di jaman kemerdekaan dan Orde Baru, penduduk Tangerang makin beragam etnis. Berkembangnya industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang baik dari Jawa maupun luar Jawa yang akhirnya menjadi warga baru. Menurut sensus penduduk tahun 1971, penduduk Tangerang berjumlah 1.066.695, kemudian di tahun 1980 meningkat menjadi 1.815.229 dan hingga tahun 1996 tercatat mencapai 2.548.200 jiwa. Rata-rata pertumbuhan per-tahunnya mencapai 5,23% per tahun.

(4)

Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa

[3]. Persebaran penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang lebih mendalam.

Pada tahun 2006 Tangerang sempat mendapat predikat sebagai kota terkotor, hal yang terbilang cukup melakukan memang, tetapi hal tersebut justru menjadi bahan

pembelajaran untuk memperbaiki kota Tangerang hingga akhirnya pada tahun 2010, Tangerang mendapat piala adipura, bahkan hingga 3 tahun berturut turut. Mengingat Tangerang merupakan kota Industri yang menyanggah ibukota, piala adipura

merupakan suatu prestasi yang cukup dapat dibanggakan. Sebagai kota Industri, ada beberapa masalah yang dihadapi kota Tangerang, yaitu pencemaran lingkungan, salah satunya menurunya kualitas air yang disebabkan oleh tercemarnya limbah Industri yang banyak dibuang ke Sungai Cisadane. Padahal sungai tersebut adalah sumber air baku bagi PDAM Tirta Benteng. Berdasarkan hasil tes laboratorium, air baku mengandung COD/BOD yang tinggi. Ini harus ditindaklanjuti. Namun sebelum menyalurkan air kepada konsumen, pihak PDAM Tirta Benteng sudah terlebih dahulu memproses sehingga layak konsumsi.

Kini, ada sekitar 246 industri di Kota Tangerang, diawasi Badan Pengendalian

(5)

lingkungan hidup relatif rendah. Banyak yang masih membuang limbah ke sungai tanpa dikelola terlebih dahulu. Dan untuk menindaknya, dilakukan pemberian sanksi tertulis, sanksi administrasi paksaan pemerintah, dan negosiasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Hingga saat ini, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Tangerang telah memberikan sanksi kepada empat pabrik karena terbukti mencemari lingkungan. Tiga pabrik di antaranya dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga miliaran rupiah, sedangkan satu pabrik dijatuhkan sanksi pidana di pengadilan. Awalnya pihak perusahaan diberi peringatan dan pembinaan, namun karena tetap membandel akhirnya mereka diberi sanksi administratif dan pidana. Kedepannya, BPLH dan DPRD Kota Tangerang akan mengundang para pemilik perusahaan yang terdaftar untuk diberikan peringatan bahwa di Kota Tangerang tidak bisa lagi dicemari

lingkungannya.

Peduli Lingkungan Tangerang menyebutkan sebanyak tiga sungai di Kabupaten

Tangerang, Banten, sudah tercemar limbah industri. Ada tiga sungai di Tangerang yang tercemar limbah industri akibat penggunaan air permukaan yang kurang diawasi. Oleh karena itu, pihaknya meminta Pemerintah Daerah di Tangerang, untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan air permukaan dan air bawah tanah oleh pihak industri atau pabrik.

(6)

Usaha lain yang dilakukan untuk memperbaiki lingkungan kota tangerang adalah dengan membangun lingkungan bersih dan sehat dengan program 1000 bank sampah di 13 kecamatan sampai tahun 2014.

Selain piala adipura, prestasi lainnya yang didapat kota Tangerang adalah

penghargaan langit biru untuk kategori kota metropolitan. Pemerintah Kota Tangerang dinilai berhasil melakukan pengelolaan kualitas udara yang bersih dan sehat karena pencemaran udara di perkotaan merupakan permasalahan yang serius. Meningkatnya penggunaan bermotor dan polusi udara akan mengakibatkan pada pencemaran udara dan perubahan iklim yang akan menimbulkan kerugian kesehatan, produktivitas dan ekonomi bagi Negara. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah kota Tangerang adalah melakukan uji emisi. Uji emisi dilakukan untuk pengendalian pencemaran udara di Kota Tangerang, apalagi kendaraan menjadi penyumbang polusi terbesar yang harus diantisipasi. Tidak ada sanksi bagi pengguna kendaraan yang kendaraannya tidak lulus uji emisi, karena LH tidak memiliki kewenangan terkait hal tersebut. Namun kendaraan yang tidak lolos uji emisi akan dapat pembinaan dengan saran untuk merawat

(7)

(CO) dan nitrogen dioksida (NO2). Hal ini mebuktikan bahwa meskipun dicap sebagai kota Industri dengan berbagai macam pabrik dan juga sekaligus kota Metropolitan, kota Tangerang tetap menunjukkan kualitas lingkungannya dengan berbagai macam

prestasi.

Sumber :http://sandratifani13006.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/?p=75

2013, Tangerang akan Miliki 120 Bank Sampah

Baru

Selasa, 16 Oktober 2012, 23:05 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG—Tahun 2013, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang, Banten berencana membangun 120 Bank sampah untuk mengatasi masalah kebersihan.

Bank sampah yang pertama kali dikembangkan oleh aparatur Desa Kunciran Indah, Kecamatan Pinang Kota Tangerang ini, kini telah menjadi andalan dalam masalah penanggulangan sampah.

Sehingga Pemkot berencana mengembangkan jumlahnya agar dapat dimanfaatkan oleh Desa-desa lain yang ada di Kota Tangerang. Rencana tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Tangerang, Agus Sudrajat pada Republika, Selasa (16/10) siang.

Dirinya mengatakan, Bank sampah ini berbeda dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) biasa. Menurutnya, Bank sampah tersebut adalah sebuah tempat yang digunakan oleh warga sekitar untuk membuang sampahnya dengan cara ‘menabung’.

“Jadi apa yang dibuang warga ke Bank sampah ini menjadi saldo mereka yang nantinya dapat diuangkan. Sehingga ya bukan sekedar tumpukan sampah yang tidak berguna,” kata dia.

Agus menambahkan, dengan keberadaan Bank sampah ini kesadaran warga terbukti sanggup ditingkatkan dalam hal kepedulian kebersihan. “Bayangkan saja, dengan mereka buang ke Bank sampah, kebersihan terjaga, lingkungan bersih, dapat uang lagi, siapa yang jadi tidak mau,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengatakan dengan keberadaan Bank sampah ini mampu memberikan semacam edukasi lebih kepada warga.

Bisnis

Sampah Organik? Kapan Kita Mau Mulai?

(8)

1

Kita sering dengar banyak pengusaha yang memulai bisnis daur ulang sampah. Mereka membangun sebuah pabrik, kemudian mempekerjakan pemulung untuk memungut sampah yang akan didaur ulang di pabrik tersebut. Hasil daur-ulangnya kemudian di jual ke luar negeri seperti Jepang.

Sistem ini memang layaknya kita dukung, terutama karena dia membantu Indonesia menjadi negara yang lebih “hijau”. Tetapi, ada dua hal yang menurut saya masih kurang dari sistem ini.

Pertama, sistem ini cuma eksis untuk plastik, logam, dan kertas. Setahu saya, Indonesia belum punya sistem daur ulang sampah organik yang matang. Kebanyakan orang mendaur ulang sampah organik di belakang rumah sendiri. Negara-negara lain punya pabrik daur ulang sampah organik, seperti SITA di Inggris. Bahkan di Korea Selatan, tingkat daur ulang makanan bekas lebih dari 80%.

Bayangkan, bagaimanakah Indonesia apabila kita punya sebuah sistem di mana truk memungut sampah dari restoran yang kemudian dibawa ke pabrik pengolahan sampah organik. Ini akan mengurangi beban TPA sekaligus menghasilkan energi tambahan. Seperti yang sering kita dengar, sampah organik bisa kita daur ulang menjadi pupuk kompos dan gas alam. Kompos bisa dijual di pasar. Gas alam bisa dibakar untuk menghasilkan listrik.

Gambar 1. Sampah Organik [sumber: Recycle for Dorset Blog]

(9)

Gambar 2. Pemulung TPA Mancani [sumber: Idris Prasetiawan, Fotokita]

Sebenarnya sudah banyak model-model bisnis yang bisa kita tiru di Indonesia, mulai dari pabrik besar yang mengumpulkan sampah organik dari seluruh kota, sampai ke mesin-mesin kecil yang bisa mendaur ulang sampah di daerah perumahan. Teknologinya sudah tersedia. Yang kita perlukan adalah bisnis, seorang entrepreneur.

Membangun sebuah pabrik besar tidak mudah, terutama karena sampah merupakan sebuah isu yang sering dipolitisi dan karena biaya membangun pabrik tidaklah kecil. Yang kita bisa lakukan sekarang adalah memulai sedikit demi sedikit, yakni memulai bisnis sampah organik dengan resiko investasi rendah. Mesin kecil untuk penghasilan kecil. Kompos bisa dijual di pasar. Gas alam bisa menjadi bahan bakar kompor.

(10)

Gambar 3. Mesin pendaur ulang sampah organik di Chiang Mai [suber: Chiang Mai Construction]

Mesin-mesin seperti sering digunakan di daerah perdesaan di India atau Cina. Kalau saja kita bisa memulai bisnis menjual mesin ini ke restoran supaya mereka bisa mendapatkan penghasilan lebih.

(11)

Gambar 4. Pabrik biogas mini di USM [sumber: USM]

Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang sudah dilakukan di berbagai negara, bukan cuma negara maju saja. Sekarang yang kita perlukan adalah orang-orang yang mau memulai bisnis sampah organik. Kita perlu cari tahu model bisnis yang paling pas untuk Indonesia. Kita bisa cari konsultasi dari pakar-pakar bisnis daur ulang sampah. Saya sendiri masih belajar.

Gambar

Gambar 1. Sampah Organik [sumber: Recycle for Dorset Blog]
Gambar 2. Pemulung TPA Mancani [sumber: Idris Prasetiawan, Fotokita]
Gambar 3. Mesin pendaur ulang sampah organik di Chiang Mai [suber: Chiang Mai Construction]
Gambar 4. Pabrik biogas mini di USM [sumber: USM]

Referensi

Dokumen terkait