• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Guru Yang Membebaskan lsinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menjadi Guru Yang Membebaskan lsinya"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Menjadi Guru Yang Membebaskan

1 Oleh: Hardiyan Triasmoroadi

Pranata tentang jabatan khusus2 mengungkapkan bahwa, pendeta adalah orang yang dipanggil oleh Tuhan Allah sebagai gembala, pemimpin, dan pemuka gereja, yang menjalankan fungsi kenabian, keimaman, dan keguruan dalam rangka

memenuhi panggilan dan pengutusanNya.

Lebih lanjut secara khusus dalam uraian tentang fungsi keguruan yang harus

diemban pendeta, dinyatakan bahwa fungsi keguruan pendeta terutama dijalankan dengan cara:

1. Mengajar dan mendidik warga anak dan warga calon supaya tumbuh menjadi warga jemaat yang mandiri dalam iman serta perilaku kristianinya.

2. Memberikan teladan, bimbingan, dan nasihat kepada warga jemaat agar dapat mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan cinta kasih di tengah masyarakat yang secara terus-menerus berubah dan berkembang.

Dengan demikian, laku seorang guru yang menggulirkan proses pendidikan,

dihayati oleh Greja Kristen Jawi Wetan sebagai bagian yang inheren dari panggilan kependetaan. Pendeta dalam fungsinya menjalankan tugas seorang guru. Pendeta pun seorang guru. Sehingga dengan demikian, pendidikan agama Kristen,

pendidikan iman, pendidikan karakter kristiani, pendidikan religiositas, katekisasi --atau apapun namanya-- yang dimaksudkan demi hadirnya

pertumbuhan-kemandirian iman serta matangnya perilaku kristiani, menjadi sebuah keniscayaan penting yang harus terus diperjuangkan secara seksama.

Disharmoni

Namun terkadang, harapan ideal akan hadirnya keutamaan hidup dan dampak baik dari perilaku kristiani pada tataran teori, kerapkali berkebalikan dengan realitas praktis. Kesenjangan terjadi, sebab harapan tidak berjumpa dengan kenyataan. Proses pendidikan yang digulirkan seringkali gagal menjawab persoalan-persoalan riil yang mendesak dan urgen.

Bila dielaborasi, ada pelbagai faktor yang saling berkelidan dan mempengaruhi satu sama lain, yang menjadi akar permasalahan. Antara lain, disharmoni antara guru dengan murid, disharmoni guru dengan system, murid dengan system, dan guru-murid berhadapan dengan system.

Disharmoni antara guru dengan murid dapat terjadi ketika relasi tidak terbangun secara manusiawi. Tatkala guru mengajar secara otoriter, doktriner dan anti

dialog/menghambat kebebasan murid, pastilah minor antusiasme dari pihak murid. Ketika guru mendaku diri sebagai satu-satunya sumber yang memiliki legitimasi guna “memberikan” petunjuk, maka serta merta proses pendidikan menjadi timpang dan sebagaimana dituturkan Terence J.Lovat, orientasi pun menjadi sekadar transmisif-satu arah. Saat dialog dan komunikasi --yang menurut Levinas merupakan perjumpaan antar wajah, yang memungkinkan penyingkapan kesejatian “aku “—secara sadar atau tidak malah diberangus, maka keharmonisan akan

berjalan di tempat, dan pada gilirannya proses pendidikan menjadi mandeg. Demikian pula saat di satu sisi, sistem (kurikulum) terlampau mengikat secara ketat, melulu bersifat dogmatis-konservatif, dan tidak sejalan dengan pemahaman guru serta dinamika konteks yang ada, sementara di sisi lain, guru tak mampu melakukan kritik/perlawanan, pastilah akan mengkondisikan keringnya proses pendidikan. Konsekuensinya, semua metode didaktik dan ragam upaya

pengkomunikasikan materi menjadi sia-sia.

Dalam hal ini, bagaimanapun juga, guru sebagai ujung tombak pelaksana

pendidikan seharusnya mau dan mampu membuat terobosan secara aktif, kreatif, dan konstruktif. Manakala disharmoni terjadi, guru diharapkan menjadi pionir yang menyadari ketimpangan realitas untuk kemudian memecahkan kebuntuan demi tercapainya sebuah proses pendidikan yang membebaskan.

Membangun kesadaran

Peran dan fungsi guru pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam kehidupan. Secara indah kaum sikh mengungkapkan kebenaran tersebut melalui syair

sanskerta-nya:

1 Tulisan ini ada dalam rangka mengenang Pdt. Budyanto Th.D, sebagai Guru yang inspiratif dan liberatif.

(2)

“gurur brahma, gurur Vishnu, gurur maheswarah

Gurur saakshaat para-brahmaa, tamai shri guruve namah”

(Bagaikan sang pencipta, gurulah yang menanam benih kesadaran dalam diri Bagaikan sang pemelihara, dialah yang memelihara tanaman kesadaranku Bagaikan sang pemusnah, dialah yang memusnahkan ketidaksadaranku.)3

Kesadaran merupakan hal utama yang memungkinkan transformasi. Sehingga seorang guru pun dipanggil untuk terlebih dahulu memiliki kesadaran. Menjadi guru yang ‘sadar’ membutuhkan ketekunan dan kesetiaan untuk melakukan refleksi /saat teduh pribadi secara rutin, supaya ibarat pohon yang ditanam di tepi aliran air, ia senantiasa dimampukan untuk menghasilkan buah pada musimnya, tidak layu daunnya, dan selalu berhasil dalam setiap upaya yang dilakukan. 4 Kata kuncinya memang terletak pada kesadaran. Bukan sekadar kepintaran. Mengingat bahwa seorang guru yang pintar belum tentu sekaligus seorang guru yang berkesadaran. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kesadaran sudah pasti memiliki

kecemerlangan daya intelektualitas.

Kesadaran sendiri selalu terkait erat dengan spiritualitas. Secara bebas, spiritualitas dapat dimaknai sebagai “tindakan memelihara atau memberi makan jiwa.”

Sehingga dalam kerangka membangun kesadaran, maka pertanyaannya adalah: Konstruksi teologis dan spiritualitas semacam apakah yang dapat digunakan untuk terus memelihara jiwa, dan berdampak pada kokohnya kesadaran seorang guru?”

Dalam rangka memberikan wacana alternatif, ijinkan saya menyerukan dan

menyodorkan spiritualitas pembebasan yang dikandung, dilahirkan dan diinisiasikan oleh teologi hitam, sebagai sebuah jawaban.

Mencerap spiritualitas pembebasan dari Teologi Hitam

Tersebutlah Profesor James H. Cone5, yang pada tanggal 13 Juni 1969, dalam rangkaian kegiatan di interdenominational theological center-atlanta-USA,

mengumumkan secara resmi untuk pertama kali definisi dari Teologi hitam (black theology) :

Teologi Hitam adalah teologi pembebasan orang kulit hitam. Teologi ini berusaha mempertimbangkan kondisi orang berkulit hitam dalam terang Tuhan yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, sehingga dengan demikian komunitas orang berkulit hitam dapat melihat Injil yang sepadan dengan pencapaian kemanusiaan orang berkulit hitam. Teologi hitam adalah teologi dari sebuah kegelapan (blackness). Teologi ini adalah penegasan dari hakikat kemanusiaan orang kulit hitam yang merdeka dari orang kulit putih yang rasis, yang atasnya tersedia kebebasan yang otentik, baik bagi orang kulit putih maupun orang kulit hitam sendiri. Teologi hitam sendiri sebenarnya menegaskan kemanusiaan orang berkulit putih, tatkala mengungkapkan penolakannya terhadap penindasan orang berkulit putih yang melebihi batas6

Dari identifikasi yang dilontarkan sendiri oleh Cone, maka minimal terdapat beberapa poin acuan yang dapat digunakan untuk menyatakan “apa itu Teologi Hitam.” Yang pertama, teologi berarti sebuah refleksi iman yang konkrit!. Konkrit dalam arti selalu terkait dengan situasi/kondisi, tempat serta waktu yang tentu sifatnya partikular. Lebih lanjut dengan tegas Cone menyatakan:

“No one can write theology for all the times, place and persons. Therefore, when one reads a theological textbook, it is important to note the year of its publication, the audience for whom it was written, and the issues the author felt compelle to address”7

3 Anand Krishna, Shangrilla, mencecap sorga dunia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 2000), hlm.107.

4 Mazmur 1:2,3

(3)

Dengan begitu agaknya ingin ditegaskan sifat kontekstual dari sebuah teologi yang pendefinisian dan pemaknaannya dilakukan oleh situasi kemanusiaan yang secara konkrit mengandungnya.

Kedua, mengingat teologi berangkat dari pergumulan konteks kemanusiaan yang partikular, maka dalam tataran ini yang menjadi konteks pergumulan Teologi Hitam adalah munculnya paham rasisme yang mendasari klaim supremasi orang kulit putih atas orang kulit hitam di Amerika Serikat; yang atas dasar itu lantas berdampak pada penghisapan, penindasan, peminggiran, perlakukan tidak adil yang dilakukan orang kulit putih terhadap kulit hitam baik secara kultural, politis, maupun social-ekonomis.

Ketiga, atas dasar konteks tersebut di atas, maka teologi hitam berhadapan dengan keharusan restorasi, sebuah upaya membangun kembali kerusakan dan kondisi tanpa daya (powerless) yang disebabkan oleh praktek perbudakan. Restorasi yang dikatakan Cone merupakan bagian dari Injil ini dilakukan dengan cara memprotes dan meminta perhatian Negara dan gereja kulit putih, yang menyaru diri sebagai pelayan Tuhan-yang selama ini hanya berdiam diri, untuk melakukan rekonsiliasi, meminta maaf kepada orang kulit hitam atas perlakuan mereka8 serta menyediakan sumberdaya-sumberdaya yang sekiranya dapat mengembalikan atau membangkitkan kondisi orang kulit hitam dari

ketidakberdayaannya.9 Gereja orang kulit putih haruslah meneladani Zakeus, sosok yang menyadari kesalahannya untuk lantas berucap “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang, akan kukembalikan empat kali lipat”

Konstruksi Allah dan Kristus menurut Teologi Hitam.

Pemahaman Teologi Hitam terhadap Allah sengatlah konkrit. Allah yang menyatakan diri dalam Perjanjian Lama dan lantas menyatakan diri sejauh terlaksana dalam diri Yesus Kristus di dalam Perjanjian Baru, dipahami Teologi Hitam sebagai Allah yang

partisan, yang memihak kepada yang lemah dan yang berada dalam penderitaan bersama mereka yang tersisihkan secara nyata.

Dalam Perjanjian Lama, Cone memperlihatkan bahwa gagasan Allah yang partisan, identik dengan “Allah sang liberator” yang membebaskan bangsa Israel dari tanah perbudakan di Mesir, dan yang menyertai bangsa Israel selama 40 tahun berada dalam keterasingan di gurun pasir. Pun dengan yang terdapat dalam Perjanjian Baru, yang memperlihatkan betapa besar kasih Allah terhadap manusia, sehingga Allah berkenan menyatakan diriNya secara langsung dalam rupa Yesus dari

Nazareth, sosok tukang kayu miskin yang secara kultural lebih dekat dengan kalangan orang kecil ketimbang golongan penguasa maupun imam yang berotoritas.

Pemahaman Black Theology berbeda dengan White Theology, yang dikatakan Cone lebih banyak berbicara perihal penyataan (revelation) yang spekulatif dan abstrak serta jauh dari kenyataan riil. Secara lantang Cone --yang dikutip Wessels--

mempertanyakan kembali serta menggugat white theologians terkait apa artinya mengenal gagasan-gagasan ortodoksi tentang keputusan Nicaea tahun 325 akan kesehakikatan (homoousious) Kristus dengan Bapa, juga konsili Chalcedon (451), yang menyatakan bahwa tabiat keAllahan dan kemanusiawian Yesus Kristus tidak bercampur, sekaligus tidak terbagi, jika secara de facto Yesus tidak dikenal sebagai Juruselamat dan Sahabat yang berbela rasa terhadap sesama.10

Teologi hitam dikatakan Cone mendasarkan diri pada identifikasi antara Injil yang berdialog dengan pergerakan sejarah-politis (historico-political movement). Sebuah prosedur pengidentifikasian yang bagi white theologians, penganut teologi

penyataan Allah dianggap invalid.11 Dengan berkata seperti itu, Cone sebenarnya hendak menggarisbawahi pentingnya memperhatikan keprihatinan konteks,

sekaligus melakukan counter argumentasi terhadap white theologians, yang kerap dianggap melangit, tidak membumi serta berdiam diri ketika melihat ketidakadilan.

8 Vulker Kuster, The Many Faces of Jesus Christ, (London: SCM Press, 2000), hlm.150.

9 J.H.Cone and Gayraud S.Wilmore, Black Theology a documentary history volume one:1966-1979, (New York: ORBIS, 1999), hlm.38.

(4)

Dengan begitu, Kristus menurut Teologi Hitam dipandang otentik, ketika Ia

dikonstruksikan dan dimunculkan secara apa adanya—sebagai sosok sederhana, yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Allah dekat dengan keseharian kaum papa yang tersisihkan. Sebaliknya, gambar Kristus Yesus dipandang tidak otentik – Wessel membahasakannya sebagai dikhianati—tatkala dipergunakan untuk

menyokong ideologi diskriminatif yang menganggap diri sendiri superior sementara orang lain inferior. Dalam tataran ini, teologi hitam menolak gambar Yesus sebagai

pantokrator, sosok penguasa alam semesta berambut pirang, bermata biru, bermahkota emas, berjubah ungu-mewah.

Respon terhadap teologi hitam.

Ada tiga respon yang muncul sebagai tanggapan atas Teologi Hitam.

Yang pertama, gambar Kristus serta pemahaman akan Allah yang berbela rasa dengan kaum tertindas disambut positif oleh orang berkulit hitam, yang pada gilirannya memperkuat perjuangan dan memampukan mereka untuk memandang diri secara lebih positif. Daya pembebasan yang muncul dari aplikasi akan gambar baru Allah pengasih yang rela menderita bersama umatNya memampukan orang kulit hitam untuk bangkit dari kondisi tanpa daya serta memulihkan martabat serta harga diri mereka. Dan akhirnya, mereka sedikitnya dapat belajar untuk menerima keberadaan diri sendiri. Inilah yang disebut Vulker Kuster sebagai kristologi yang berfungsi menciptakan identitas di tengah konteks kemiskinan serta ketertindasan.

Respon yang kedua cenderung sinis. Ketimbang melakukan introspeksi terkait kristologi yang telah dikonstruksikan, sebagian orang kulit putih malah memilih untuk mencibir Teologi Hitam sebagai sebuah teologi yang bukan teologi, karena dianggap emosional dan anti- intelektual. Taruhlah diantaranya Father Andrew M. Greely yang mengklaim teologi hitam sebagai sekadar “teologi yang dipenuhi api kebencian terhadap orang kulit putih dan yang mengasumsikan superioritas moral orang kulit hitam terhadap orang kulit putih.” Lebih lanjut, secara lugas M Greely menilai Teologi Hitam sebagai “mentality Nazist ,“ teologi yang bermental Nazist. Dalam tataran ini menjadi benar Malcolm X yang berkata: “dengan kemampuan memanipulasi media massa, mereka (orang-orang kulit putih) mampu menjadikan korban seakan-akan seorang kriminal, dan kriminal seolah-olah sang korban.”12

Respon ketiga, demi melihat tumbuhnya kesadaran dalam diri kaum tertindas

(oppressed), maka kaum penindas (oppressor) tidak diam begitu saja. Didorong oleh motivasi mengeruk kapital dan profit sebesar-besarnya, mereka segera

mencari celah-celah baru, dan merancang terobosan metode yang memungkinkan terjadinya penindasan baru. Maka sebut saja persekutuan terkutuk tiga lembaga keuangan besar dunia (IMF, World Bank, Asian Development Bank), yang dibalik jubah sinterklasnya, nyatanya menyimpan motif penjajahan gaya baru;

menggelontorkan hutang besar-besaran dengan kemasan pinjaman dana demi pembangunan, kepada negara-negara dunia ketiga. Pada momentum tertentu tatkala negara pengutang tak berdaya dan tak mampu membayar utang dikarenakan pengkondisian yang telah dilakukan sebelumnya, dengan mudah kontrol kebijakan, intervensi –untuk tidak menyebut menjajah— dan pengambil-alihan kedaulatan dilakukan sedemikian rupa.

Selain itu, jika mencermati perkembangan media massa dewasa ini, sebenarnya terlihat upaya massif penggiringan opini public dan pencucian otak sebagian besar masyarakat—yang menjadi penikmat (korban?) media—kepada pemahaman bahwa yang berkulit putih, berambut lurus, berhidung mancung, berwajah “bule

(sebagaimana yang selalu menjadi preferensi utama sinetron-sinetron di Indonesia) yang layak dan pantas disebut sebagai cantik dan ganteng. Implikasinya,

berbondong-bondonglah masyarakat untuk membeli produk komersial pemutih wajah, mengikuti prosedur ketat program pengurusan badan, melakukan operasi plastik, dan meluruskan rambut. Jelas bahwa tafsiran tunggal atas kecantikan, didalangi oleh kapitalis (representasi penindas) yang dengan segala macam cara berupaya memenuhi pundi-pundi uangnya.

Relevansi Teologi Hitam di tengah konteks kehidupan menggereja.

Berbicara Teologi Hitam, berarti berbicara dikotomi penindas vis a vis tertindas, dan dalam sejarah dikotomi ini akan senantiasa ada. Ketertindasan telah menjadi

keniscayaan, bahkan karena kerapkali didengung-dengungkan, terkadang ketertindasan menjadi sekadar retorika yang diusung di mimbar-mimbar, didiskusikan di kelas-kelas, untuk kemudian (mungkin) dilupakan begitu saja.

(5)

Suasana Kerajaan Allah yang didalamnya tidak terdapat kondisi penghisapan, kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan jelas-jelas telah menjadi visi Injil yang mewarnai keseluruhan hidup dan karya Yesus Kristus. Syaloom, Irene, Damai

Sejahtera sedikit banyak telah kehilangan makna dan direduksi begitu saja menjadi sekadar salam yang diucapkan demi menyatakan identitas pembeda. Begitu pula halnya dengan Gereja. Gereja yang semula telah di-plot, dan menyediakan diri untuk menjadi pelayan yang secara konsisten mengupayakan terwujudnya visi Injil Kristus-Kerajaan Allah, ternyata kerapkali lalai dan terjebak dalam euforia

kemewahan, sehingga tak jarang energi dan spiritualitas pembebasannya menjadi tumpul, dan artificial—untuk tidak menyebutnya kering.13

Jika menimba inspirasi dari spiritualitas pembebasan yang menjadi ruh Teologi Hitam, setidaknya dapat dipertimbangkan dan dipertanyakan kembali, apakah gambar Yesus yang telah diterima dan diupayakan untuk diaplikasikan oleh gereja selama ini telah sesuai dengan gambar Yesus yang genuine? Dalam kaitan tersebut, menarik untuk direnungkan pertentangan konstruksi wajah Yesus yang sederhana, lekat dengan orang papa yang menderita akibat penindasan di segala tempat, dengan wajah Yesus yang terpampang di gedung gereja seharga satu miliar, atau misalnya di langit-langit basilica Santo Petrus yang menawan.14

Guru yang lekat dengan spiritualitas pembebasan.

Agaknya apa yang digagas oleh Teologi Hitam melalui gambar Yesus khas orang kulit hitam yang secara diametral dan oposisional berbeda dengan dominasi

konstruksi kristologis menurut orang kulit putih, patut menjadi sumber inspirasi bagi gereja untuk membangun spiritualitas dan kesadarannya. Mengingat bahwa konteks yang dihadapi Indonesia saat ini masih saja berbicara sekitar pengangguran,

ketidakjujuran (korupsi), kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, juga

ketertindasan yang diakibatkan kemunculan kaum kapitalis baik dalam tataran lokal (raja-raja kecil), nasional maupun internasional, yang berupaya dengan segenap cara memperkaya diri tanpa mempertimbangkan derita sesama. Di tengah upaya-upaya rakus bin egois yang dilakukan segelintir kelompok ini, gereja harus lantang dan berani menyuarakan suara kenabiannya, dan itu berarti dengan tegas berkata: Tolak penindasan!.

Sehingga seorang guru sebagai bagian dari gereja, yang bertugas menuntun, menanam benih kesadaran, memelihara, menjadi media dan fasilitator bagi murid, tentu selayaknya terlebih dahulu melekatkan rohnya dengan spiritualitas

pembebasan. Melalui spirit pembebasan, kesadaran personal serupa Kristus

(imitatio Christo) akan hadir, dan pada gilirannya diharapkan memampukan untuk menjadi sosok unik yang melakukan pedagogi secara proporsional, sigap mengatasi kekeringan dan kegamangan proses pendidikan, kreatif dalam mensinkronkan idealisme pada ranah teori dengan realitas pada ranah praktis, serta yang terpenting piawai dalam mendewasakan dan memupuk kedalaman hidup murid.

Akhirnya kunci penting terletak pada guru. Sebelum berupaya untuk membebaskan dan menyadarkan murid untuk menjadi subyek yang otentik dan berkesadaran, alangkah indahnya jika kesadaran dan spiritualitas pembebasan telah menjiwai, dan terlebih dahulu terinternalisasi dalam hidup sang guru.

***

Daftar Bacaan

Cone H. James, A Black Theology of Liberation, (New York: ORBIS books,

2002)

Cone H. James dan Wilmore S. Gayraud, Black Theology a documentary

history, (New York: ORBIS book, 1999)

Muler Vulker, The Many Faces of Jesus Christ, (London: SCM Press, 2000)

Wessels Anton, Memandang Yesus, (Jakarta: BPK-GM, 2000)

13 Bandingkan dengan kisah kontroversial sumbangan emas yang dilakukan PGI di masa krisis moneter, di era rezim Suharto.

14 Konon gedung gereja yang megah dan mewah tersebut dibangun dengan cara

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur hanya pada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Analisis Pengaruh Jenis Asing Invasif Acacia nilotica

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pengetahuan mengenai penanganan penyakit diabetes dengan kepatuhan melaksanakan diet diabetes.. Partisipan penelitian adalah

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Pertimbangan Pertimbangan Biaya Biaya Biaya untuk Biaya untuk memenuhi input memenuhi input produksi seperti produksi seperti bahan bahan baku,biaya baku,biaya energy,dan

Berdasarkan lembar penilaian aktivitas siswa, perolehan skor aktivitas siswa adalah 28 dengan kategori sangat baik. Aktivitas siswa yang memperoleh penilaian

SIKLUS HIDUP BEBERAPA PARASIT Cacing Tambang .. )0acing de/asa *ada mukosa usus-. 0acing tambang de/asa melekat *ada villi usus halus dengan bucal ca*sulnya. Tam*ak cacing

Simple repetition is the most dominant types of repetition that used in the body text of shampoo advertisements because the use of simple repetition in the body text of

Dalam dunia akademik, prinsip wasatiyyah ini boleh digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai, menganalisa dan menerima sesuatu pandangan yang dikemukakan oleh pihak lain,