KONSEP DASAR KRITIK SASTRA
( http://www.academia.edu/8064116/KONSEP_DASAR_KRITIK_SASTRA ) Kritik sastra
adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis,memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai buruk atau tidaknya. (Rachmat Djoko Pradopo,Prinsip-prinsip Kritik Sastra: 9)
Kritik Sastra
adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusasteraan yang dikritik. (Jassin, 1959:44)
Kritik sastra
adalah “Kritik seperti yang ku ketahui adalah usaha untuk membeda
-bedakan pengalaman(jiwa) dan memberikan penilaian kepadanya (sastra).” (Richards, 1970:vii) Kritik sastra
tidak semata-mata memberikan penilaian atau judgment melainkan masih disertai dengankegiatan lain. (Darma, 1950:2)
Kritik sastra
adalah studi sastra yang berhubungan dengan kegiatan (i) mengidentifikasi, (ii)mengklasifikasi, (iii) menganalisis, dan (iv) mengevaluasi karya sastra. (Abrams, 1981:35)
Kritik sastra
adalah hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewatpemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. (Hardjana, 1981:ix)Jadi,
kesimpulannya
A. Sejarah Perkembangan Kritik Sastra
Istilah kritik memiliki perjalanan sejarah yang panjang, karena kritik telah berlangsung sekitar lima ratus sebelum masehi, ketika Xenophanes dan Heraclitus mengecam keras karya sastra Homerus yang gemar mengisahkan dongeng-dongeng bohong tentang tingkah lakutidak seninoh dan melakukan seperti penipuan, perzinahan dan pencurian oleh dewa-dewi Yunani Kuno.
Kata kritik berasal dari kata krinein bahasa Yunani Kuno, bermakna “menghakimi, membanding, dan menimbang”. Asal usul kata krinrin dari kata kreterion bermakna “dasar, pertimbangan, dan penghakiman”. Pelaku yang melaksanakan “pertimbangan dan penghakiman” itu disebut “krites” bermakna hakim.
Kritikus Xenophanes dan Heraclitus mengutamkan nilai moral, dan Aristophanes menjunjung nilai kemarsyarakatan dari pada nilai kesenian, maka dirangkumkan oleh Plato tentang kualitas baik sebuah puisi adalah; pertama, memberi ajaran moral yang mulia; kedua, memberikan kenikmatan; ketiga, memberikan ketepatan ekspresi. Penggunaan istlah kritikus dilakukan kaum Pergamon pemimpinan Crates dalam antitesisnya terhadap kaum “Grammatikos” pimpinan Aristarchus di kota Alexandria. Tahun 305 S.M. mahaguru Philintas berasal dari pulau Kos diundang sebagai pengajar Raja Ptolemaeus II yang termasyur itu ke kota Alexandria sehingga diberi julukan “penyair dan kritikus”. Selanjutnya sanggahan dan kritikus terhadap puisi-puisi Yunani Kuno tahun 335 S.M. yang terungkap dalam penelitian Gerald F. Else berjudul “Aristotlr’s Poetics” (1957) tertuang dalam "Poetaca”sampai ke abad enam belas.
Di Inggris tahun 1605, Francis Bacon dalan bukunya “Advancement of Learning” memperkrnalkan perbedaan ilmu pengetahuan terbagi dua; “the one critical, and the other pedentical’. Adapun kategori pertama bericikan; berkaitan dengan arahan penerbitan karya satrawan; keuda, berkaitan dengan petunjuk saat yang tepat dalam penafsiran karya sastra; keempat, berkaitan dengan penilaian dan pertimbangan kualitas karya sastra; kelima, berkaitan dengan morfologi dan sintaksis dan uraian gramatikalnya.
Di Jerman, istilah “ kritikisme” popular tahun 1669, ketika Theophilus Galus dalam “Contora Gentiles” berupa pengkajian masalah bahasa yang sebelumnya dikenal gramatika mulai beralih dengan istilah “kritikisme”. Sedangkan tahun 1674 di Italila, Ravin dalam “Reflection on Aristole” menggambarkan akhir abad itu telah banyak kehadiran para kritikus yang jauh meninggalkan perkembangan yang terjadi di Inggris.
Perkembangan di Indonesia yang masih tradisional, istradisional, istilah da pengertian kritik sastra baru dikenal ketika para sastrawan Indonesia memperoleh pendidikan menurut sistm pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengacu pada sistem pendidikan yang berlaku di Eropa pada awal abad XX. Sebelum itu, bukan tidak terjadi penghakiman dan penilaian terhadap pujangga dan penyair di tanah air.
Pada awal abad XX tumbuhnya pergerakan sastrawan 80 “De Tachtigers” dari negeri Belanda dan sangat berpengaruh kuat bagi sastrawan Hindia Belandan sehingga tidak mau melepaskan diri dari aktivitas melakukan pembaharuan besar-besar di bidang sastra. Kelompok ini bernaung di bawah panji-panji majalah Pujangga Baru tahun 1933 dimotori Sutan Takdir Aliajahbana bertekad untuk melekukan pembaharuan-pembaharuan kehidupan, masyarakat melalui karya sastra bertendens seperti roman “Layar Terkembang” (1933).
Setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat dibubarkan bersaan dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia tahun 1966, maka dirumuskan kembali bentuk keritik sastra melalui diskusi antara kelompok penelitian sastra; Arief Budiman dan Gunawan Muhammad dari Dewan Kesenian Jakarta dan J.U. Nasution dari Lembaga Kesusastraam Fakultas Sastra Universitas Indonesia, serta S. Efendi dari Direktorat Bahasa dan Kesusastraan mendiskusikan masalah kritik sastra tahun 1968. Bagian-bagian unsur dalam karya sastra, sedangkan kelompok kritikus sastra “Ganzheit” lebih menekankan prinsiplah dalam nenahami sastra modern. Penilaian karya sastra menurut kelompok kritikus sastra Ganzheit lebih bersifat totalitas yang memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan kualitas elemen-elemen yang membentuk karya sastra.
Berikutnya kritikus sastra sekaligus penyair Abdul Hadi W.M. dalam “Realisme Sosial dan Humanisme Universal” (1982) memperkenalkan kritik sastra universal yang bertujuan untuk merenggut keabadian yang telah menunjuk diri kepermukaan dalam kreasi sastra, Satu-satunya ideologi kepenyairan adalah universalisme, sedangkan tanah air adalah kehidupan itu sendiri.
Dalam diskusi Sastra Indonesia tahun 1985, Ariel Heryanto dalam “Perdebatan Sastra Kontekstual” (1985) memperkenalkan kritik sastra kontekstual berupa kaitan erat antara hakikat sastra dan karya-karya sastra saling mengisi dan saling membentuk. Dengan demikian kritik sastra lebih tertuju kepada para pembaca dan para pengamatnya. Menurutnya tidak satu pun karya sastra yang tidak kontekstual. Semua karya sastra adalah kontekstual atau berkonteks. Kesalahpahaman terjadi akibat campur aduknya makna hakikat sastra. Karya sastra bersifat material, sedangkan hakikat sastra bersifat non material dan hanya ada dalam pemikiran manusia mengenai karya sastra dan bukan karya sastra.
Selanjutnya dalam Seminar Sastra Masa Depan tahun 1988, kelompok kritikus muda sastra Universitas Nasional memperkenalkan kelompok kritikus Aliran Sawomanila yang dimotori oleh Zulfa Hanum, Wahyu Wibowo dan Leonard Gultom. Kelompok ini berorientasi kepada pemahaman hakikat karya sastra yang berkualitas di masa deapan adalah berwujud karya sasta yang mampu menampilkan etika yang sejalan dengan ilmu dan teknologi yang mampu membimbing serta mengarahkan komunitas yang terlibat di dalamnya untuk meningkatkan kualitas kehidupan kualitas umat manusia. Hal ini sesuai dengan motto kelompok ini; menghibur, mendidik dan mencerdaskan. B. Pradigma Fakta Dalam Kritik Sastra
Sebagai satu konsep, istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun dalam “The Structure of Scientific Revolution” (1962) yang menempati pososo sentral di tengah-tengah berbagai disiplin, khususnya ilmu kesusastraan selama lima dekade terakhir ini. Sebabnya adalah melalui paradigma menawarkan metode dan teknik yang bermanfaat bagi para penelitidan pengeritik kesusastraan menganalisis disiplin ilmu itu. Thomas Khun bukanlah seorang peneliti dan pengeritik kesusastraan melainkan seorang fisikawan. Tujuan utamanya adalah menantang pandangan ilmu mengenai perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif yang berlaku umum pada hal pandangan tersebut hanyalah mitos yang tidak rasional. Inti tesis Khun bahwa ilmu pengetahuan bukanlah secara komulatif melainkan terjadi secara revolusi. Thomas Khun berpendapat bahwa untuk sementara komulatif berkembang dalam perkembangan ilmu trikan dalam bentuk kehidupamnpengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi akibat revolusi.
pengeritik kesusastraan memusatkan perhatian mereka untuk menemukan objek “yang ada” sebagai fokus penelitian mereka. Dengan demikian para peneliti dan pengeritik kesusastraan berharap untuk menemukan sesuatu objek yang sungguh-sungguh ada sebagai fokus penelitian disiplin ilmu kesusastraan. Dalam paradigma meta fisik terdapat unsur “examplar” sebagai hasil temuan penelitian yang diterima secara universal.
Batasan pengertian kesusastraan disingkat sastra semakin kabur, sebagian pakar menyatakan bahwa sastra adalah seni bahasa. Ada jiga sebagian lainnya mengatakan sebagai ungkapan spontan dari perasaan mendalam. Selain itu juga ada yang menyatakan sasta adalah ekspresi pikiran dalam bahasa berupa pandangan, gagasan-gagasan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Batasan lain mengatakan bahwa sastra adalah inspirasi kehidupan yang dipatrika kitn dalam bentuk keindahan. Melalui beberapa batasan tersebut diatas kiranya dapat dirangkum terdapat beberapabatasan yang selalu di ungkap. Unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, gagasan-gagasan, semangat, kayakinan dan kepercayaan. Ekspresi adalah upaya mengeluarkan sesuatu dari dalam bawah sadar manusia. Dapat saja seseorang memiliki isi pengalaman yang unik, dan hebat, serta pikiran-pikiran yang cemerlang, perasaan-perasaan menakjubkan dan mendalam serta keyakinan yang kukuh, tetapi selama individu itu tidak mampu mengekspresikan ke publik tentu sja tidak akan dipahami dan dimengerti para penikmat sastra. Unsur ke tiga adalah bentuk atau struktur. Unsur isi bawah sadar manusia tadi diekspresikan ke publik dalam barbagai bentuk. Dalam kesusastraan bentuk itu menjalma sebagai seni sastra. Unsur keempat adalah bahasa sebagai media utama suatu bentuk yang indah. Melalui unsur-unsur tersebut di atas dapat didefinisikan bahwa sastra adalah ekspresi pribadi manusia berupa gagasan-gagasan, pemikiran, perasaan, semangat dan keyakinan dalam bentuk gambaran nyata dapat membangkitkan pesona dan keindahan melalui media bahasa.