• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA DAN RELEVANSINYA DENGAN FILSAF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANCASILA DAN RELEVANSINYA DENGAN FILSAF"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA SEBAGAI DUNIA KEHIDUPAN DAN RELEVANSINYA DENGAN FILSAFAT KONTINENTAL

Oleh Muhammad Halkis.1

Abstract:

This study aims to elucidate the interaction between Pancasila with

continental philosophy. Pancasila in the 1945 Constitution functions as the state

foundation. In The New Order era the interpretation of Pancasila was

monopolized by the government. In the reform era, however, Pancasila has almost

been abandoned. Husserl's phenomenological approach Pancasila can be

understood as the structures of the life world of Indonesia, namely Pancasila has

been the common talk of the intellectuals and community environment. Therefore,

it can be explained through positivistic, structural, post-structural, postmodern,

psychoanalytic as well as other paradigms. Hence, Pancasila will always be

dynamic and open for various viewpoints.

Key Words: Pancasila, phenomenology, life-world, ideology and interpretation

Pancasila dapat dilihat sebagai objek dan subjek. Kalau Pancasila dilihat

sebagai teks terdiri dari 5 (lima) kalimat terdapat dalam Pembukaaan UUD 1945

dapat diinterpretasi, maka Pancasila ditempatkan sebagai objek. Pancasila

memiliki ontologi, epsitemologi, dan axiologi sehingga dapat dijadikan objek

kajian filsafat, untuk itu perlu kemampuan menganalisa tentang cara memandang

Pancasila dalam tradisi filsafat. Namun ketika Pancasila diletakan sebagai dasar

negara, maka Pancasila sesungguhnya sebagai subjek bangsa Indonesia, Pancasila

memberikan sovereign (kedaulatan) bagi bangsa Indonesia untuk mencapai

kemerdekaannya. Pancasila sangat penting bagi bangsa poskolonial seperti

Indonesia, negara lahir atas kehendak sendiri bukan diberikan kolonial. Sesuai

dengan pendapat Bung Karno Pancasila merupakan weltanchaung bangsa

1

(2)

Indonesia, yaitu kesadaran ruang dan waktu ke-Indonesiaan.2 Pancasila sebagai

kesadaran, Cogito Cartesian sebagai kata kunci.

Ironisnya, lebih setengah abad Pancasila sudah menjadi kesepakatan

bersama (ko-teks) dan telah digunakan dalam mengatasi berbagai masalah

(konteks)3 tampaknya belum optimal digunakan ketika bangsa Indonesia dalam

menghadapi masalah krusial akhir-akhir ini, seperti membentuk partai politik,

menentukan mitra koalisi, menentukan kepemimpinan bangsa sehingga bangsa

Indonesia terlihat masih gamang hidup dengan jati dirinya sendiri. Padahal asal

usul sebuah negara menjadi penentu keberadaan negara tersebut, untuk mengatur

kehidupan rumah tangga suatu negara tersebut dan juga dalam berinteraksi dengan

dunia di global.

Menurut Edmund Husserl (1859-1938) apabila kesadaran suatu

masyarakat lahir dan berkembang dalam kalang intelektual dan mejadi

pembicaraan oleh masyarakat disebut dengan dunia kehidupan (lebenswelt).4

Tiap-tiap masyarakat memiliki cara merasa dan berpikir sendiri dalam mengatur

konstitusi kehidupan negara mereka, kadang kala memang agak terasa beragam

dan aneh karena mereka mempunyai latar belakang alamiah yang membentuk

relasi-realasi sosial atau dunia keyakinan (ideologi) yang berbeda-beda.5 Edmund

Husserl setelah menulis Fenomenologi dalam buku Logical Investigations, (1900)

Ideas I (1913) dan Méditations Cartésiennes (1931) kemudian menulis masalah

konstitusi. Karya-karya mengenai konstitusi dihimpun oleh Rudolf Bernet dan

Ullrich Melleyang dalam Die Lebenswelt (Springer, 2008). 6 Karya-karya Husserl

2

Lihat Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,Jakarta;Media Pressindo, 2006 3

Ko-tek diambil dari bahasa Jerman, berati kesepakatan bersama. Lebih lanjut Lihat Beck, Stefan,

Umgang Mit Technik Kulturelle Praxen Und Kulturwissenschaftliche Forschungskonzepte Akademie, (Penulis:Teknik Penelitian Budaya dan Konsep Penelitian Ilmiah), Berlin; Akademie Verlag GmbH,1997,p.349

4

Welton, Donn, The New Husserl, A Critical Reader, Bloomington, Indiana UP, 2003,p.32 5

Lihat Husserl, Edmund, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy—Second Book: Studies in the Phenomenology of Constitution, trans. R. Rojcewicz and A. Schuwer, Dordrecht: Kluwer, Fifth printing 2000

6

Tulisan Husserl terdiri dari; Volume I Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, Third Book: Phenomenology and The Foundations of The Sciences, Volume II Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, First Book: General Introduction to a Pure Phenomenology, Volume III Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy Second Book:

(3)

ini dapat membantu dalam menjelaskan eksistensi Pancasila dalam dimensi

filsafat kontinental.

Kemudian The Crisis of European7 merupakan karya kritis kehidupan

sosial ditulis Husserl setelah perang dunia pertama dan melihat upaya-upaya

Hitler dalam membangun Jerman. Pokok persoalannya adalah perkembangan ilmu

berkembang terlalu menekankan objektivisme, akibatnya pekembangan budaya di

luar dari dunia kehidupan (lebenswelt) manusia itu sendiri dan bahaya terhadap

kemanusian, salah satu tandanya adalah banyaknya masyarakat bersikap masa

bodoh, kelelahan, keputusaaan, atau pun hilangnya harapan. Tentunya jika

keadaan masyarakat demikian di alami bangsa Indonesia saat ini sangat bahaya,

karena dengan karakter dan identitas masyarakat yang lemah akan mudah

dipengaruhi, dieksploitasi dan tetap dikendalikan negara lain, hakekat

kemerdekaan sesungguhnya belum tercapai. Era Orde Baru yang mengekang

kehendak-kehendak bebas kita untuk menjadi diri sendiri, terjadi kapitalisasi

dalam segala aspek kehidupan, mungkin dapat meminjam istilah Habermas yang

terjadi sesunggunya Amerikanisasi8 dalam segala hal. Orde baru bertindak

dengan alasan demi pembangunan, mengutamakan objektivitas pembangunan

fisik mungkin suatu keadaan yang hampir dapat disetarakan dengan krisis Eropa

dimaksudkan Husserl tersebut.

Untuk mengatasi krisis Eropa, Husserl menyarankan salah satu dari dua

cara; membiarkan Eropa hidupnya terasing dari rasa rasionalitas, dengan menahan

diri menjadi terasing oleh dirinya sendiri, atau memetakan konstelasi semangat

Eropa untuk mengatasi naturalisme tersebut.9 Bagi Husserl budaya alamiah

membentuk persepsi dan keyakinan seseorang (ideologi) untuk menjadi dasar

dalam bertindak, sehingga berbedaan satu dengan yang lain sebuah keniscayaan.

Consciousness o f Internal Time (1893-1917), Volume V Early Writings In The Philosophy Of Logic And Mathematics, Volume VI Psychological and Transcendental Phenomenology and Confrontation with Heidegger (1927-1931), dan Volume VII Thing And Space: Lectures of 1907. Volume VIII The Idea of Phenomenology.

7 Lihat

Husserl, Edmund, Philosophy And The Crisis Of European Man, Vienna, 10 May 1935; "The Vienna Lecture".

8

Habermas, Jurgen, The Postnational Constellation, translated by Max Pensky, Tne MIT Press, Cambridge, 2001, p. 61

9

(4)

Untuk memahami struktur dunia kehidupan (lebenswelt) Husserl penting

terlebih dahulu memahami metode Fenomenologi Husserl. Prosedur berpikir

dalam Fenomenologi Husserl mulai dari epoche, yaitu kesadaran menentukan

pilihan-pilihan dari sesuatu yang umum menuju esensi, untuk itu rasionalitas

penting namun masih bersifat asumsi sehingga tahap ini disebut dengan menunda

(breaketing). Esensi pada hakikatnya adalah gramatikal melindungi pengalaman

logis kita.10 Kemudian dari berbagai pilihan kita dapat mereduksi objek secara

fenomenologi dan eidetis untuk dapat mencapai titik transendental. Semua tahap

dalam proses menuju sebuah tujuan secara tak sengaja (intesionalitas) sebagai inti

fenomenologi Husserl. Untuk itu Fenomenologi Husserl tidak hanya mengatur

tata cara penelitian dunia empiris tapi menyentuh pada persoalan transendental,

sehingga Fenomenologi Husserl tidak hanya bersifat epistemologi tapi juga

ontologi. Realitas penting dibuktikan dalam dunia kehidupan, yaitu; noema

sebagai realitas objektif dapat dipertemukan dengan noemus sebagai relitas

inter-subjektivitas.

Menurut James Dood strategi Husserl menghadapi krisis Eropa tidak

hanya untuk tujuan mengekspos kesalahan dari objektivitas, tetapi untuk

menyelidiki kesatuan dan koherensi dari teleologi batin budaya ilmiah sebagai

tradisi yang hidup, aliran dinamis dari realisasi diri dari kehidupan yang rasional

objektivitas. Tujuannya agar rasionalisme dapat dibebaskan dari distorsi

objektivisnya yang dimanifestasikan dengan cara membangun refleksi kesadaran

dari teleologis rasa-kesatuan pemahaman ilmiah.11 Upaya-upaya bersama tersebut

terangkum dalam sebuah konstitusi, sebagai pedoman bertindak secara

bersama-sama. Untuk itu persolan kita dari dimensi fenomenologi Husserl antara lain

menguji konstitusi amandemen UUD 1945 sebagai realitas politik merupakan

implementasi dunia alamiah yang membentuk manusia Indonesia itu sendiri. Bagi

Husserl dunia keyakinan adalah bentukan (givenness) dari ruang dan waktu,

10

Husserl, Edmund, The Shorter Logical Investigations, trans. J. N. Findlay, (introduction; Dermot Moran) London New York : Routledge 1973.p.92

11

(5)

sehingga dalam menghadapi persoalan-persoalan kenegaraan juga dilihat sebagai

refleksi dari ideologi bawaan kita. Dialog antar kelompok ideologi dalam tataran

intelektual maupun masyarakat sebagai ukuran terpenuhinya persyaratan

tercapainya dunia kehidupan yang baik.

Proses fenomenologis telah dilakukan oleh founding fathers. Proses

epoché menghimpung semua perbedaan, pertimbangan kedaerahan, agama, aliran

pemikiran sebagaimana yang dilakukan dalam sidang BPUPKI. Kemudian

diadakan reduksi fenomenologi, yaitu mengurangi jumlah anggota BPUPKI

diperkecil menjadi anggota PPKI. Kemudian diadakan reduksi eidetis, yaitu

mengurangi jumlah anggota dengan memperhatikan segmen ide-ide dari berbagai

aliran dalam Panitia 9. Akhirnya dilakukan reduksi transendental tentang dasar

negara, yaitu Pancasila. Jadi, Pancasila dari dimensi fenomenologi Husserlian

telah melakukan proses fenomenologis.

Beberapa studi tentang Pancasila bertititik tolak pada pemikiran Bung

Karno bahwa Pancasila sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia lahir dari bumi

ibu pertiwi bersama dengan founding fathers lainya. Kata Weltanschauung secara

sedarhana dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pandangan dunia, cara

memandang lingkungan, orang lain, diri sendiri dan sebagainya memiliki

kesamaan dengan lebenswelt. Padanan kata weltanschauung dipahami dalam

konteks ilmu filsafat kontinental, bermuara dari kelompok idealis Jerman. Dari

berbagai literatur dapat diterjemahkan dalam bahasa inggeris dengan padanan kata

kata ideology, atau dalam bahasa arab aqidah sehingga dalam bahasa Indonesia

kata weltaunschauung atau ideology atau aqidah dapat diterjemahakan secara

sederhana dengan pemikiran, kesadaran atau keyakinan. Jadi Pancasila sebagai

weltanschauung atau ideologi dibicarakan dalam konteks teori weltanschauung

atau teori ideologi itu sendiri. Artinya bagaimana suatu teori ideologi

direfleksikan terhadap Pancasila sehingga dapat dipahami beberapa teori

memungkinkan direfleksikan untuk memahami fenomena Pancasila dan sebagai

pemahaman perbandingan dengan teori fenomenologi yang digunakan.

Ideologi yang paling terkenal pada abad XX adalah Liberalisme dan

(6)

Hobbes, termasuk teori yang disebut-sebut Mr.Soepomo sebagai pilihan pada saat

sidang BPUPKI maka teori Leviathannya direfleksikan sebagai Pancasila

sehingga Pancasila diposisikan sebagai Leviathan, demikian juga dengan teori

lain. Ideologi yang lain cukup mengemuka termasuk: anarkisme, kapitalisme,

komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, nasionalisme,

demokrasi, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan semuanya punya

tokoh dan varian-varian tersendiri dan ada juga upaya-upaya untuk

menggabungkannya. Persoalanya apakah teori tersebut relevan dengan maksud

weltanschauung para founding father dan realitas bangsa Indonesia saat ini.

Dengan alasan kepentingan tertentu atau karena kemampuan batas tertentu

refleksi sebagai pemaknaan ideologis dapat terjadi, sehingga terjadi pluralitas

interpretasi ideologi tersebut.

Ideologi politik merupakan wujud dari pemikiran, keyakinan, prinsip

melalui simbol, gerakan sosial, institusi, kelompok masyarakat yang memiliki

tujuan politik, budaya dan cara-cara yang sama. Ideologi merupakan dasar

pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.

Menurut John B Thompson dalam bukunya Studies in the Theory of Ideology

menjelaskan konsep ideologi memiliki sejarah yang panjang dan sangat kompleks.

Ideologi sebagai imajinasi masyarakat bertititik tolak pada pemikiran Ideologi

Jerman Marx dan Angels yang bekerja seperti sebuah camera obskura12. Ideologi

dapat digambarkan sebagai sistem keyakinan, sistem berpikir, dan hubungan

sosial menyangkut sistem keyakinan terhadap simbol praktis. Sebagai sistem

keyakinan digambarkan oleh Martin Selinger ideologi adalah serangkat yang

mengatur tindakan dalam bentuk sistem yang koheren yang terdiri dari beberapa

elemen yang dapat digambarkan13;

12

Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, Berkeley, Los Angeles; University of Calipornia Press,1984, p 16

13

(7)

Dalam teori politik, ideologi bisa bermata dua disatu sisi memberi

pengesahan kepada kekuasaan, namun ideologi pada sisi lain juga dipergunakan

para pembaharu atau pemberontak untuk menyerang status quo. Kekuasaan bisa

melakukan tindakan kekerasan dengan dasar kedaulatan negara, kehormatan

pemerintah, kehendak rakyat dan sebagainya, di sisi lain pemberontak bisa

membenarkan tindakan kekerasannya dengan bersandar pada hak-hak dasar

kemanusian dan keadilan yang dilindungi juga oleh ideologi tersebut. Dengan

ideologi simbolik etika pelaksanaan kekuasaan dapat dilaksanakan, antara

pemimpin dan dipimpin saling tolong menolong sehingga ideologi memberi cara

kepada mereka yang menginginkannya serta kepada yang yakin akan arti

keberadaan dan tujuan tindakannya.14 Untuk itu perlu kita menelusuri pemikiran

beberapa filsuf melihat keberadaan ideologi tersebut. Pandangan Slinger ini

tanpaknya memiliki kesamaan dengan Husserl, karena setiap ideologi keyakinan

dimaksudkan Husserl dapat dipahami melalui kerangka ini.

Kajian menyangkut ideologi, bahasan tentang ide oleh Plato (429–

347 SM) penting untuk dimengerti. Ide dimaksud Plato tidak sama dengan yang

ada dalam kamus umum yang kalau diartikan dengan cita-cita atau gagasan,

karena ide maksud Plato adalah alam lain dari alam fisik yang merupakan asal

segala sesuatu yang ada, termasuk karya seni sebagaimana dijelaskannya dalam

bukunya Politea. Sekalipun seni natural begitu pas dengan alam bagi Plato tetap

14

Rodee (edt.), Introduction to political Science,(Terjemahan oleh Zulkifli Hamid:Pengantar Ilmu Politik), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983,p. 105

D D = Description

A= Analysis

Pm=Moral Prescription P1= Technical Prescription I = Implements

R= Rejection

Pm A

R Pm

P1 I

(8)

berasal dari ide, karena natur berasal dari ide. Jadi ontologi “ide” menjadi

tumpuan kajian keilmuan, karena dari ide ini konsep-konsep politik, hukum

ekonomi dan sebagainya dibangun.

Kalau dikatakan Pancasila berasal dari sejarah, kultur, lingkungan dilihat

dari teori Plato kurang tepat, karena Plato melihat sejarah dan ruang tidak

memprodukasi makna apa-apa. Namun Pancasila dapat ditempatkan jikalau

dikatakan bersumber transendental Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber

asal muasal dan tempat bergantungnya sila-sila yang lain sebagaimana dijelaskan

oleh Bung Hatta kepada golongan Islam radikal saat itu, bahwa Pancasila dapat

ditempatkan dalam teori Sidratul Muntaha sehingga kalangan umat Islam dapat

memahaminya secara umum. Ketuhanan bagi Plato adalah alam ide, di sana

“semua yang ada” bersemayam, termasuk Pancasila sebagai sumber hukum bagi sebuah negara Indonesia. Ketuhanan dalam Pancasila dimaksudkan Plato bukan

theosentris, yaitu sebuah sosok sesuatu dengan sim-salabim menciptakan alam

fisik, tapi ketuhanan adalah alam ide yang memuat sistem berpikir bahwa sebuah

identitas bangsa dengan mendasari pemikiran segala sesuatu berasal dari atas.

Kalau Plato menunjukan sesuatu berasal dari ideas, lain lagi dengan

Aristoteles (384 SM – 322 SM) yang berpendapat sesuatu dari alam nyata,

artinya materi tidak ada kalau tidak ada bentuk, dan bentuk berasal dari benda itu

sendiri. Aristoteles menunjukan pentingnya observasi, karena pengetahuan

dimulai dari sana. Tugas manusia menyusun, menganalisa dan mengkonstruksi

sesuatu sehingga perlu logika agar sesuatu tersusun dengan baik. Untuk itu

Aristoteles mempelopori pelajaran logika. Sekalipun realitas sangat penting, tapi

Aristoteles juga menyadari bahwa segala sesuatu bergerak menuju suatu tujuan,

yang disebut dengan istilah telos. Untuk itu kalau Pancasila dikatakan berasal dari

ruang dan waktu sebagai rahmat Tuhan mendapatkan dukungan dari Aristoteles,

dan relevan dengan fenomenologi Husserl dan dunia kehidupannya berasal dari

(9)

Perdamaian idealisme dan realisme telah berupaya oleh Immanuel Kant

(1724-1804), dalam bukunya Critique of Pure Reason dan Critique of Practical

Reason yang sangat revolusionel dalam menempatkan dasar-dasar keyakinan

rasionalitas dan tindakan rasional. Kritik terhadap rasio bagi Kant bukan anti

rasio, justru yang dimaksud adalah pandangan rasionalitas sebelumnya belum

memadai, sehingga pandangan Kant ini merupakan sebuah revolusi besar dalam

kajian filsafat. Upaya intelektual sangat ketat ditunjukannya bukan hanya

memahami fenomena sosial tapi juga mengetahui realitas transendental. Persoalan

hukum “sebab akibat” membuat implikasi yang luas terhadap meletakkan

berbagai persoalan menjadi perhatian utama oleh Kant, karena di sinilah peran

ilmu dibandingkan dengan agama, dalam hal ini dijelaskan dalam apriori dan

aposteriori. Hukum kausalitas bukan pernyataan faktual yang hanya benar secara

aposteriori, dan bukan pula makna-makna dalam konsep, tapi prinsip regulasi

sebagai aturan universal, semua prinsip ini adalah apriori sekaligus sintesis.15

Ideologi bagi Kant bukan terletak di alam, namun sudah tersedia dalam rasional

murni menjadi pedoman bagi rasionalitas dalam berkeyakinan dan bertindak.

Walaupun alam berupaya meyakinkan dan membuktikan, namun pembuktian

demikian tidak terkait dengan kebenaran yang diungkap dengan adanya kebenaran

itu sendiri, untuk itu ideologi Kant disebut ideologi transendental.

Pada abad modern ideologi sebagai kesadaran palsu Karl Marx

(1818-1883) cukup menarik. Marx melihat manusia tidak bisa lepas dari kondisi sosial

dan strata dari mana dia berasal, artinya inti teori struktur Marx adalah

supra-struktur berasal dari infra-supra-struktur. Sebuah tindakan bagai seseorang didasari atas

latar belakang dirinya, jadi bukan kosong tanpa ada yang mengkonstruksinya.

Memang Marx mengkritik materialisme lama dengan mengungkapkan bahwa

realitas yang tanpak objektif itu sebagai produk historis aktivitas manusia.

Menurut Marx tidak semua kesadaran bercorak ideologis, karena ideologis ada

dalam masyarakat antagonistik dengan dua sifat yaitu; penyembunyian

15

(10)

kontradiksi-kontradiksi dan difungsikan bagi reproduksi sistem dominasi.16 Marx

melihat produk manusia tidak murni produksi manusia itu, di sini Marx

menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki ide murni, ideologi hanya ilusi

kesadaran ideologis.

Menurut Bhiku Parekh, penjelasan Marx tentang ideologi; Pertama, Marx

bergantung pada perbedaan penting antara kesadaran benar dan keyakinan palsu.

Kebenaran akan muncul jika distorsi dihapus yang menghubungkan manusia

dengan materi. Kedua, ideologi juga lenyap tergantung sifat fana ideologi itu

sendiri. Jika ideologi sebuah distorsi akan lenyap ketika kesadaran kebenaran itu

tercapai. Ketiga, Konsep ideologi memberi pemahaman kesatuan ideologi. Jika

ideologi tabir yang menutup kenyataan, maka semakin cepat kita membuangnya

semakin baik. Keempat, ideologi merupakan bagian dari ilmu politik sebagai

sentral menggerakan konsepsi dunia dan berusaha mengatasi kontradiksi internal,

dengan demikian ideologi disebut sebagai citra totalitas yang terkoordinasi dalam

waktu lama, tapi keliru.

Tanpaknya Bikhu Farekh sedang berusaha menyelamatkan Marx dalam

hempasan posstrukturalis, karena bagaimana pun Marx tidak pernah menjelaskan

sesungguhnya akan kehancuran ideologi, bahkan Marx tetap otimis sekalipun

negara di dunia tidak ada satupun yang mengakuinya sebagai ideologi negara tapi

akan tetap menjadi pegangan umatnya. Bagai manapun penjelasan Bikhu dapat

merekonstruksi Marxisme dalam era baru, karena memang saat sekarang orang

tidak terlalu penting mengungkapkan dia seorang Marxis atau tidak namun

perilaku politik saja yang dapat menjelaskannya.

Penafsiran lebih lanjut teori Marx tentang ideologi masuk dalam tiga

kategori yaitu; struktural ketika ideologi mengacu pada pemikiran struktural

kelompok tertentu, genetik ketika ideologi dikondisikan atau ditentukan oleh

kelompok sosial pemikir, dan kontekstualis ketika ideologi merupakan pemikiran

yang melayani kepentingan atau mempromosikan dari kelompok sosial itu sendiri

16

(11)

Namun pada akhirnya, Marx menyebutkan tidak semua suprastruktur adalah

ideologi, terutama ketika ideologi konseptual dipisahkan dari teori penentuan

sosial, dimana interprestasi sosial dinilai keliru ketika ideologi tidak selalu

melayani kepentingan kelompok sosial.17

Refleksi pemikiran Marx terhadap Pancasila sebagai ideologi negara berasal

dari budaya Indonesia sangat tepat dijadikan dasar hukum, namun rapuh karena

menurut Marx ideologi hanya sebagai kesadaran palsu. Untuk itu agar Pancasila

dimaknai sebagai solusi dari konflik ideologi kapitalis dari penjajah dengan feodal

sang tuan tanah, sehingga Pancasila mendapat dukungan luas sebagai gerakan

proletariat. Jika benar Pancasila dibangun atas nilai-nilai environmental atau

berdasarkan geopolitik sebagai mana yang disebutkan Bung Karno dan Soepomo,

maka nilai Pancasila menjadi spekulatif dan temporer. Dalam hal ini Hatta

mengingatkan jika posisi Pancasila demikian, dimana “nilai-nilai nusantara dirumuskan demikian bisa menjangkau masyarakat kita dimaksud sampai ke

Philipina, dan dipertanyakan oleh masyarakat di wilayah timur seperti Irian Jaya”.

Pada tataran ini baik Plato, Aritoteles, Kant maupun Marx melihat Pancasila

sebagai dasar negara masih mendapat tempat yang tepat. Refleksi pandangan

Kant terhadap Pancasila sebagai norma dasar akan lebih tepat jika memenuhi

kriteria sebagaimana yang diharapkan sebagai kebenaran yang dapat masuk pada

posisi sebagai subjektifitas negara. Kategori-kategori di dalam Pancasila memuat

hukum kausalitas yang teruji secara logika dan diyakini kebenarannya secara

apriori. Sifat transendental harus dimiliki Pancasila, untuk itu perlu pembuktian

apakah Pancasila tersebut sudah teruji demikian, sehingga fenomena yang ada

hanya bersifat pembenaran dalam lapangan praksis secara aposterori. Dalam hal

ini Pancasila tidak memiliki subjek transendental selain nilai tertinggi adalah

realitas diraih melalui sifat pluralistik seperti istilah yang sudah berekembang

“gotong royong atau bhineka tinggal ika”.

17

(12)

Lebih lanjut karya transisional strukturalis Karya Lois Althusser (1918–

1990) berjudul“Tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisa, dan

Cultural Studies” merupakan buku pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia. Dalam hal ini Althusser merumuskan teori Marxisme struktural dengan

membagi kehidupan seorang individu menjadi dua sisi, suprastruktur dan

infrastruktur. Suprastruktur adalah kehidupan luaran seseorang. Pada sisi inilah

tindakan-tindakan politis, ekonomis dan lain-lain berada. Sedangkan, infrastruktur

adalah kehidupan dalam atau biasanya diterjemahkan sebagai “corak produksi”

sebagai sumber ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah bentukan pengalaman,

hubungan sosial dan status dalam masyarakat yang sebenarnya menyetir setiap

tindakan individu baik politis, sosial maupun ekonomis.

Orang dekat Althusser, Jacques Lacan (1901-1981) menjelaskan sifat tidak

sadar “corak produksi” ideologi ini dapat dijelaskan dalam teori psikoanalisa.

Menurut Lacan alam bawah sadar merupakan suatu keteraturan, setiap

pengalaman manusia akan menghasilkan dampak tertentu dalam tindakan. Jadi

ideologi hanya dimiliki sebuah negara ataupun organisasi, bukan individu namun

negara dan organisasi adalah alat penyebarluasan ideologi, dalam hal ini ideologi

negara dibentuk oleh hegemoni kekuasaan. Althusser melihat hegemoni dengan

dua cara yaitu melalui Aparatur Negara Represif (RSA=Represif State Aparatus)

seperti militer, polisi, jaksa dan alat negara lainya dan melalui Aparatur Negara

Ideologis (ISA=Ideological State Aparatus) seperti; Institusi-institusi rohaniawan,

pengusaha, politis, pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini beda dengan Marx

yang menyebut keduanya Aparatur Negara. Bagi Althusser kedua-duanya, baik

RSA maupun ISA harus sejalan, tugas negara menyiapkan aturan demikian rupa.

Aparatur ideologis mensosialisasi kepentingan negara, sementara aparat represif

bertindak untuk atas nama negara dalam mencapai tujuan dan produksi negara.

Struktur sosial demikian mempengaruhi pemaknaan ideologi yang didominasi

oleh aparatur negara ini. Penyebaran ideologi berhubungan dengan media dan

(13)

Refleksi pemikiran Althuser dipahami melalui Lacan dengan menggunakan

psikoanalisa Sigmund Freud (1856-1939) terhadap ideologi sebagai pemahaman

bawah sadar yang teratur dapat menempatkan posisi Pancasila sebagai mana

pandang Bung Karno bahwa Pancasila lahir dari ibu pertiwi. Tentunya Pancasila

sebagai sebagai anak yang lahir dari orang yang dimuliakan oleh agama tidak

perlu dipertanyakan lagi, terima apa adanya dengan menyikapi sebagai kebaikan,

spirit dalam kehidupan bernegara. Lebih lanjut bagi Althusser Aparat Negara

Ideologi seperti agamawan, politisi, pengusaha dan sebagainya berkewajiban

menjaga kemurnian ideologi tersebut dan mensosialisasikannya kepada

masyarakat. Sedangkan Aparatur Negara Represif mengawal Pancasila sekalipun

dibenarkan dengan kekerasan, dan bagi yang menantang merupakan musuh

negara. Dengan demikian pandangan Althusser dalam praktek kenegaraan lebih

tepat, dengan memperhatikan perkembangan reformasi dan HAM dewasa ini,

kecuali kalau disebut Pancasila sebagai sebuah pemahaman bawah sadar, karena

dalam budaya Indonesia tidak mau bangsanya hidup berdasarkan norma bawah

sadar tersebut.

Kemudian Roland Barther (1915-1980) termasuk filsuf posstrukturalis

ketika menulis “The Death of the Author”. Karyanya yang lebih dekat dan lebih

menarik terkait ideologi termuat dalam bukunya “Mythologies” (1972). Buku ini

menjelaskan proses dan kedudukan makna dalam semiotik. Mitos bagi Barthes

adalah apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau

antara penanda dan petanda, bedanya Barthes melampaui apa yang lakukan

Saussure. Karena mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada

tingkat konotasi bahasa. Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang

didenotasikan oleh tanda, sementara Barthes menambah pengertian ini menjadi

makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan

(14)

Hoed bahwa mitos menjadi ideologi. Posisi mitos dalam konsep Barthes 18sebagai

berikut;

Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah

isinya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis”

penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain keanekaragaman budaya dan

perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat

global dan tersebar. Ideologi merupakan penggunaan makna makna konotasi

tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga pada gambar di

atas. Dengan skema ini ideologi merupakan suatu sistem kepercayaan yang

dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada

individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga

membentuk orientasi sosial dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi

tersebut yang kelihatannya alami. Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos

ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes

mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada

banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang

kecerdasan, kecantikan, kesuksesan, pembagian peran politik dan lain sebagainya.

Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya

metabahasa. Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

18

(15)

Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai

bahasa metafor atau yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif.

Karena mitos membawa pesan, maka mitos termasuk salah satu sistem

komunikasi. Mitos sebagai modus penandaan yang dibawa melalui wacana. Mitos

dapat digambarkan melalui cara pesan tersebut disampaikan atau caranya

ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini

melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat

menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap „apa‟ dan „siapa‟ yang sedang

dibicarakan sehingga terjadi pelipat gandaan makna. Penanda bahasa konotatif

membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau

dari makna denotasinya.

Ideologi bersembunyi dibalik mitos, karena mitos menyajikan serangkaian

kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.

Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam

tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu

dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya

sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imajiner. Sebagaimana halnya mitos,

ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak

ideologi; kehadirannya tidak selalu kontinu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos

dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah.

Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja

alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut

menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan

yang ada dalam masyarakat.

Barthes dan Husserl ada kesamaan yaitu ideologi menjadi tempat di mana

orang mengalami subyektivitasnya, manusia bertindak tidak sendiri namun

adanya intusi yang memanggilnya. Dalam hal ini ideologi Pancasila dipandang

Barther perlu penyimbolan agar makna ideologi dipahami sesuai dengan strata

(16)

bidang budaya agar pemaknaan tidak terhenti, apabila pemaknaan terhenti maka

ideologi terancam sebagai simbol. Integrasi dengan mitos-mitos publik termasuk

yang beredar di iklan, film-film pemaknaan Pancasila tidak terhenti atau aktualitas

makna dalam simbol-simbol kehidupan.

Bedanya dengan Husserl, Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas

melalui konsepnya tentang sistem mitos, walaupun tidak mistis sebagaimana

diartikan secara tradisional, namun ditemui dalam bahasa keseharian dan lebih

skematik sehingga ideologi menjadi persoalan yang bermakna. Sementara Husserl

masih berbicara dalam kerangka struktural Saussure dengan melihat hubungan

kekuasaan politik dengan dan sosial masyarakat. Pemaknaan dalam dunia

kehidupan oleh Husserl berkembang, pembaca juga memiliki otoritas memaknai

sendiri dari simbol-simbol yang ada, dan bisa jadi lepas dari maksud pembuatnya.

Untuk itu pemaknaan dalam budaya perlu dipahami dan dikawal oleh aparat

negara yang cerdas. Karya intelektual dalam membangun mitos sangat diperlukan

secara terencana dalam jangka lama sehingga terlihat alami. Presentasi

orang-orang yang membawa nama besar seperti Soekarno, Soeharto dan lain-lain sangat

diperlukan Barthes, bagi orang yang memproduksi makna akan terimbas dalam

kelompok yang dimaknainya.

Pengikut Marxis Antonio Gramsci cukup fenomenal berbicara masalah

ideologi. Karya Gramsci Prison Notebooks (1971) menjadi pedoman pokok

memahami pikirannya. Gramsci tidak saja seorang akademisi tapi terlibat

langsung dengan pergerakan-pergerakan di tanah kelahirannya, antara lain pernah

menjadi pemimpin Partai Komunis Italia walaupun meninggal dalam usia relatif

muda, 46 tahun. Masa rezim Fasis Benito Mussolini sempat dipenjara, namun

dengan dipenjara justru citranya semakin menanjak. Ia dianggap sebagai salah

satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis pada satu sisi, tapi

juga juga dikenal sebagai penjaga kapitalisme dengan teori hegemoninya.

Beberapa judul artikel atau buku karangannya; Men or machine? 1916, Notes on

The Rusiian Revolution, The Revolutin Against „Capital‟, Split or Disorder? 1920,

(17)

labour, Socialists and communists, Gramsci to Togliatti, Scoccimarro, esolutions,

The Italian Crisis dll.

Gramsci mengganti kepemimpinan menjadi hegemoni, yang berlawanan

dengan dominasi. Kelompok akan menjadi hegemoni apabila kepentingan

sektoralnya menjadi kepentingan umum, kemudian merealisasinya menjadi

kepemimpinan moral dan politik. Hegemoni bekerja berdasarkan persetujuan,

bukan paksaan dan dominasi, apalagi dengan kekerasan. Maka di sini pada satu

sisi Gramsci ada kesamaan dengan Marxis terutama mengenai struktur ekonomi

membentuk suprastruktur hukum dan politik, namun sisi lain memiliki kesamaan

dengan Husserl dan Rousseau tentang proses demokrasi. Hegemoni ingin

melibatkan diri dalam negosiasi dan kompromi dengan kelompok berbeda, karena

hegemoni memahami masyarakat terdiri dari individu yang bebas dan otonom,

masing-masing mengejar kepentingan pribadi sehingga hegemoni diperlukan guna

merekonstruksi tatanan sosial di mana individu dapat mengatur dirinya sendiri

tanpa konflik dengan otoritas politik.

Intelektual memiliki kategori intelektual tradisionil dan organik. Peran

intelektual sangat penting bagi Gramsci, sebagaimana juga Husserl karena

mekanisme hegemoni berjalan dengan daya perekat dan daya tarik tinggi yang

diperankan intelektual. Tak hanya itu, intelektual tradisionil juga berperan dalam

melakukan mediasi dalam mencari titik temu berbagai kepentingan dan

menetukan pola hubungan satu dengan yang lainnya. Sementara intelektual

organik sebagai kelas baru memperoleh homogenitas dan kesadaran fungsi dirinya

baik ideologi maupun praktis.

Praktek ideologi hegemoni model Gramsci dapat juga dimungkinkan dalam

melakukan implentasi praktek ideologi Pancasila. Hapusnya otoriter dominan

orde baru, munculnya penguasa melalui proses demokrasi dengan negosiasi

berbagai elemen dapat disatukan dalam satu kelompok sebagaimana yang

dilakukan oleh SBY dengan Setkab (Sekretariat gabungan), beda dengan Sekber

(18)

tergambar dalam kekuatan kelompok-kelompok dapat disatukan dengan

perjanjian pembagian kekuasaan saling menguntungkan, beda dengan Pak Harto

persatuan politik atas nama kelompok karya dilakukan untuk melawan kelompok

ideologis. Bagi Gramsci disinilah peran intelektual tradisional mempertahankan

simbol-simbol kuasa yang sudah diakui secara luas, namun kelompok intektual

baru dari latar belakang berbeda dapat dirangkul dalam satu hegemoni kekuasaan

ideologi Pancasila. Dalam hal ini bukan pemaknaan ideologi yang berkembang

tapi perubahan konstelasi politik menuju hegemoni sangat dinamis, sebagaimana

yang terjadi dalam Setgab Jilid I maupun II.

Hegemoni berbagai lapangan kehidupan sebagai cara untuk menjaga

keberlangsungan negara tidak terhindarkan. Negara menghidupkan aparaturnya

dengan peningkatan produksi dengan cara peningkatan sumber daya manusia dan

pajak-pajak bumi sebagai tuan tanah. Pentingnya pendidikan teknis untuk

mendorong perkembangan produksi dari kelas pekerja. Kesulitanya penerapan

teori Hegemoni Gramsci pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara,

sistem legal, dsb.) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan

masyarakat sipil (keluarga, sistem pendidikan, serikat perdagangan, dsb.) untuk

melakukan konstitusionalisasi kepemimpinan melalui ideologi. Untuk itu,

Gramsci menekankan ideologi mengisi arena politik yang meliputi norma-norma

moral, budaya, dan pemahaman yang disebarkan melalui media massa, LSM,

pekerja profesional dll. Karakter kepemimpinan tradisional menjadi subordinat

ideologi, bagi kemunculan kepemimpinan baru sebagai intelektual moderat

namun dalam hegemoni kepemimpinan tradisional.

Kemudian Pancasila dapat juga dilihat sebagai kajian hermeneutika seperti

Pemikiran Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dalam bukunyaTruth and Method

(1960). Dalam buku tersebut Gadamer meletakan kesadaran subjektifitas sangat

penting untuk mendapatkan kebenaran. Bagi Gadamer ideologi merupakan

kepercayaan yang mendalam bagi diri seseorang yang dilatarbelakangi oleh

sejarah seseorang yang dia sebut dengan prapemahaman atau dalam istilah beliau

(19)

juga sebaliknya untuk itu beliau memberi tugas yang berat pada epistemologi

tentang bagaimana bisa memastikan kebenaran praanggapan itu. Harmonisasi

pemahaman secara keseluruhan dengan menyelami detail-detail merupakan

ukuran apakah pemahaman itu benar. Dalam hal ini memiliki kesamaan dengan

Husserl namun Gadamer menolak hermeneutika sebagai metode, tapi lebih pada

aplikasi tentang apa yang dikatakan oleh teks. Terkait dengan penafsiran hukum

Gadamer misalnya mengatakan;

pemahaman mengenai sebuah undang-undang tidak boleh dibatasi pada pemakaian awal saja, tapi harus meliputi bagaimana undang-undang itu ditafsirkan sebab kasus-kasus hukum yang sebelumnya harus dipandang sebagai bagian dari makna utuh seluruh undang-undang. Kebenaran dalam penghayatan refleksi diri, yang secara historis mempengaruhi kesadaran akan merupakan salah satu yang secara mendasar harus terbuka untuk pengalaman masa depan yang mengkoreksi apa yang kita mengira sudah tahu19

Konsep hermeneutika ontologis Gadamer menyebutkan pengalaman menjadi

objek hermeneutika dalam bidang seni, ilmu kemanusiaan dalam bahasa sebagai

materi utama adalah teks. Ia melihat teks sesuatu yang bernilai melebihi dari

komunikasi intersubjektif tapi memiliki historisitas pengalaman manusia dan

memiliki unsur jarak (distansi). Hubungan teks dengan penomena yang diantarai

ruang dan waktu, disinilah interpretasi bekerja. Refleksi pemikiran Gadamer

terhadap Pancasila harus dilihat dulu latar belakang dan kondisi saat

perumusannya karena para pemikir saat itu memiliki prapemahaman terhadap

kondisi bangsa dan persoalan yang dihadapinya. Untuk itu, Gadamer melihat

Pancasila sebagai ideologi pembebasan dari penjajah kolonial. Ideologi yang

memberikan identitas bangsa Indonesia untuk lepas dari kuasa kolonial asing saat

itu.

Persoalannya, sekarang Pancasila telah menjadi simbol, memungkinkan

pemaknaan berbeda dengan pendiri bangsa, karena pada saat ini bangsa Indonesia

sebagai kuasa tempat terhimpun berbagai kepentingan warganya yang didatangi

dari latar belakang yang berbeda-beda, namun makna subjektifitas yang sudah

19

(20)

melekat dari bangsa Indonesia tidak bisa terlepas. Untuk itu timbul sekarang

empat pilar kebangsaan yang tidak bisa dirubah termasuk Pancasila, disamping

NKRI, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika. Artinya Ideologi Pancasila sudah

dilindungi dengan ideologi-ideologi termasuk Bhinneka Tunggal Ika yang

merupakan ideologi pluralisme. Padahal, kalau melihat pemikiran Bung Karno

empat pilar sudah termasuk dalam Pancasila, maka disinilah fenomenologi

Husserl berperan menjelaskan ternyata ada ideologi keyakinan lain yang bekerja,

namun tetap dalam koridor konstelasi politik Indonesia.

Kemudian pemikir yang cukup kontraversial tentang ideologi adalah Daniel

Bell dan Francis Fukuyama. Melihat perkembangan globalisasi informatika saat

ini menurut Francis Fukuyama bipolarisme ideologi sudah tidak lagi menjadi

pemisah persoalan barat dan timur. Sejarah kontradiksi umat manusia berakhir

dengan mencairnya dikotomi kapitalis dan protoletariat20. Robohnya tembok

berlin dan bubarnya negara Soviet sebagai penanda. Kemajuan teknologi telah

berhasil membangun peradaban baru tanpa menghiraukan ideologi dan

kepercayaan apapun. Persoalan yang timbul pada era posindustri beralih pada

persoalan kesejahteraan dan tenaga kerja.21 Dan pada era ini menurut Daniel Bell

keputusan tertinggi berproses melalui demokrasi22 baik membentuk dominasi

ataupun hegemoni. Masyarakat tidak lagi menghiraukan dikotomi ideologi, tapi

tanpa disadari atau tidak neoliberalisme global telah tumbuh subur pada

tempatnya. Alasan bertindak manusia dalam The World Value Survey (WVS)

bukan lagi ideologis tapi pada realistas konsumtif bersifat ekonomi dan

posmaterial23.

Argumentasi Francis Fukuyama dan Daniel Bell tanpaknya cukup

meyakinkan paling tidak fenomena yang berlansung di barat, namun realitas

20

Fukuyama,Francis,The End of History,artikel yang disampaikan di Universitas Chicago,1989. 21

Dalton, Russel J., Social Modernization and the End of Ideology Debate; Patterns of Ideological Polaraization.Prepared for the conference on”Beliefts, Norms and Values in Cross-National Surveys” Tokyo, 2004

22

Bell, Daniel.Cultural Contradiction of Capitalism, New York; Basic Books Publisher, 1976. p.147

23

(21)

persoalan ideologi di negara dunia ketiga tidak bisa hilang walaupun dalam

bentuk dan sebutan berbeda. Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam kondisi

seperti ini menurut Fukuyama dan Belltidak berarti apa-apa lagi, interaksi global

antara pelaku satu dengan yang lain tidak lagi bisa dibatasi. Namun karena negara

memiliki otoritas kekuasaan atas sumber daya maka kepentingan kelompok

semakin menonjol dan pertarungan melalui Pemilu merebut kursi kekuasaan

semakin seru di satu sisi, bahkan pertarungan uang dan simpati publik menjadi

fenomena yang menarik. Pertarungan dalam Pemilu adalah pertarungan merebut

sumber daya. Pada sisi lain bagi yang tidak tersentuh perebutan kepentingan

sumber daya ditandai dengan meningkatnya Golput. Untuk itu Husserl tidak mau

merumuskan ideologi sebagai normatif, namun selalu hidup. Karena memang

diakui, apabila menjadi normatif maka nasib ideologi tersebut sebagaimana yang

dikatakan Bell dan Fukuyama.

Pemikir Posmodern yang cukup menarik diantara Michel Foucault.

Kekuasaan bagi Foucault tidak dimiliki, namun ada dimana-mana. Karyanya

tentang Discipline and Punish memperlihatkan bagaimana kekuasaan beroperasi.

Panopticon yang dijelaskan Jeremy Bentham sebagai model melakukan kontrol

terhadap para nara pidana berlaku dalam kehidupan menurut Foucault. Sang

Presiden meminta semua laporan intelijen terpusat pada Sekneg, hal ini termasuk

monopoli kontrol, sehingga sesuatu bisa dipahami dan selanjutnya kondisi bisa

diciptakan, hal itu mungkin termasuk memperkuat sistem Presidensil. Dalam

keluarga juga terlihat seorang istri yang selalu melakukan SMS pada suaminya

untuk menanyakan tentang apa yang dilakukan suaminya termasuk kekuasaan istri

sedang beroperasi, demikian juga sebaliknya. Kekuasaan di sini kesadaran, namun

sulit untuk diungkap dan kita diselimuti oleh kekuasaan itu. Lembaga pendidikan,

rumah sakit, dan kepolisian semuanya lembaga kekuasaan dan menentukan.

Seorang pegawai dikatakan sakit apabila ada keterangan sakit dari dokter,

seseorang calon pencari kerja perlu keterangan kelakuan baik dari Kepolisian dan

sebagainya. Profesionalisme adalah kekuasaan. Karena kekuasaan dalam era

(22)

seorang Presiden secara konstitusional memiliki hak untuk menaikan BBM

namun karena sesuatu beliau tidak mampu menaikan BBM tersebut. Karena “ada

sesuatu” yang berkuasa, berarti ada sesuatu kekuasaan diluar Presiden yang

sedang beroperasi.

Pancasila dilihat dari refleksi pemikiran Foucault tidak berarti apa-apa kalau

tidak didukung ilmu pengetahuan yang memadai bagi aparatur yang

menjalankannya. Otoritas pengetahuan penguasa menjalankan Pancasila sangat

penting, sehingga dapat dijalankan oleh masyarakat. Panoptikon Pancasila bagi

penguasa dapat digunakan tanpa diketahui oleh masyarakat melalui ineteijen

negara, sehingga kekuasaan pemerintahan sistem Presidensial dapat diperkuat

dengan ala panoptikon tersebut. Foucault dalam memahami kelas masyarakat juga

memakai istilah yang digunakan Nietzche, adanya jiwa budak dan jiwa tuan.

Maka di sini perlu diperhitungkan dalam pengembangan pengembangan

menginterpretasi Pancasila dalam artian perlu cara pemaknaan dalam setiap

lapisan masyarakat.

Pada akhir-akhir ini pemahaman konsep ideologi radikal Slavoj Žižek

mendapat perhatian yang cukup serius di dunia barat. Cara bertindak elit politik

kita saat reformasi sampai saat ini memiliki kesamaan dengan keadaan yang

melatarbelakangi pandangan Žižek. Di depan mata terbuka kekuatan kapitalis

mengeksploitasi sumber daya alam dengan rakusnya tanpa memperdulikan

lingkungan hidup bahkan masyarakat sekitar tambang atau perkebunan itu bisa

mati kelaparan. Teori politik Hobbes, Machiavelli, Rousseau, dan kapitalis

lainnya baik berbaju komunis maupun liberal merajalela. Gerakan separatis,

otonomi daerah atau otonomi khusus menunjukan kepercaayaan rakyat kepada

pemerintah yang menipis. Korupsi masuk keseluruh lini kehidupan negara:

manipulasi perizinan HPH (Hak Penguasaan Hutan), HGU (Hak Guna Usaha), KP

(Kuasa Pertambangan) sampai kepada aparat pengutip pajak, perencanaan dan

pelaksanaan APBN/APBD merusak rasa keadilan masyarakat. Fenomena ini lebih

kurang sama dengan keadaan negara-negara sosialis Eropa Timur yang sudah

(23)

sangat produktif merumuskan pemikiran-pemikiran besarnya antara lain; The

Sublime Object of Ideolog(1989), The Ticklish Subject (1999), The Parallax View.

(2006), In Defense of Lost Causes(2008), dan Living in The End Time. (2010).

Ideologi dalam era globalisasi saat ini Žižek membagi ideologi radikal dan

ideologi spontan. Banyak tindakan masyarakat hanya dalam batas ideologi

spontan dalam melindungi kepentingannya. Ideologi Pancasila termasuk ideologi

radikal dalam menyelamatkan bangsa dan negara melalui: dokrinisasi,

kepercayaan, dan ritual.14 Ideologi radikal bersentuhan dengan struktur hukum,

namun ideologi spontan menunjukan realiatas yang sedang terjadi. Untuk peneliti

melihat pandangan Žižek sangat tepat melihat fenomena kondisi ideologi

Pancasila dalam praktek kehidupan saat ini. Epistemologi Žižek sepintas memiliki

kesamaan dengan Husserl, yaitu sama-sama tiga langkah menuju transendental,

atau Real bagi Žižek. Epoche Hussserl ada kesamaan dengan simbolik Žižek,

walaupun maksud beda, demikian juga reduksi eidetic dengan imajinari Žižek.

Padahal memiliki ontologi yang bertolak belakang, karena Real dari real material

bagi Žižek, sedangkan transendental Husserl sebaliknya, yaitu Tuhan bekerja

dalam realitas.

Dari uraian di atas tampak fenomenologi Husserl dapat memahami Pancasila

baik sebagai objek maupun subjek yang dikontruksi sebagai struktur dunia

kehidupan, sehingga dapat didiskusikan dengan perkembang pemikiran filsafat

kontinental lainnya, mulai dari struktural, posstruktural, posmodern sampai

psikoanalisis. Persoalan amandemen UUD 1945 tetap akan menjadi persoalan

kerena hasil amandemen sekarang interpretasi Pancasila dari partai politik yang

didominasi ideologi lama yang sarat dengan pemikiran warisan otoriter Orde

Baru, positivisme, saintifik dan kaku yang mengutamakan rekonstruksi atau

dekonstuksi berbaju reformasi sehingga perlu masyarakat melakukan pemetaan

konstelasi politik dengan memahami lebih jauh tipe-tipe ideologi, relasi sosial

yang akan bekerja secara proporsional termasuk dalam menentukan

kepemimpinan nasional. Untuk mendekatkan pandangan Husserl dengan gerak

(24)

naturalisme bukan membiarkan konstelasi politik terbentuk karena kebencian

antar elit. Kita penting merebut kemenangan yang diharapkan, kemerdekaan

berkreasi untuk berbagi dengan yang lain tanpa memandang suku, ras agama

bahkan partai politik, tapi yang utama terintegrasi dalam satu kesadaran bersama

yaitu struktur dunai kehidupan Pancasila, intinya membangun Bhinneka Tunggal

Ika, “Indonesia Bergotong-Royong” di era kita ***

Daftar Bacaan

Adian, Donny Gahral, Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer,

Koekoesan, Depok, 2011

Aiken, Henry,,Abad Ideologi,Ar-Ruzz Media, Jojakarta,2010.

Bell,Daniel.Cultural Contradiction of Capitalism, New York; Basic Books

Publisher,1976Fukuyama,Francis,The End of History,artikel yang

disampaikan di Universitas Chicago,1989

Dalton, Russel J., Social Modernization and the End of Ideology Debate; Patterns

of Ideological Polaraization.Prepared for the conference on”Beliefts,

Norms and Values in Cross-National Surveys” Tokyo, 2004

Dodd, James. Crisis and Reflection, an Essay Husserl‟s Crisis of The European

Sciences, New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow; Kluwer

Academic Publishers, 2004

Fukuyama,Francis, The End of History,artikel yang disampaikan di Universitas

Chicago,1989.

Hoed, Benny H., Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok;Komunitas

Bambu, 2011.

Husserl, Edmund, The Shorter Logical Investigations, trans. J. N. Findlay,

(introduction; Dermot Moran) London New York : Routledge 1973.

---, “Philosophy as Rigorous Science,” trans. in Q. Lauer

(ed.), Phenomenology and the Crisis of Philosophy, New York: Harper

(25)

---, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a

Phenomenological Philosophy—First Book: General Introduction to a

Pure Phenomenology, trans. F. Kersten. The Hague: Nijhoff 1982

---, Formal and Transcendental Logic, trans. D. Cairns. The Hague:

Nijhoff 1969.

---, Cartesian Meditations, trans. D. Cairns, Dordrecht: Kluwer

1988.

---, Experience and Judgement, trans. J. S. Churchill and K. Ameriks,

London: Routledge 1973

---, The Crisis of European Sciences and Transcendental

Phenomenology, trans. D. Carr. Evanston: Northwestern University Press

(= Crisis) 1970.

---, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a

Phenomenological Philosophy—Second Book: Studies in the

Phenomenology of Constitution, trans. R. Rojcewicz and A. Schuwer,

Dordrecht: Kluwer.

Hyder, David and Hans-Jörg Rheinberger (ed.),Science and the Life- World

Essays on Husserl‟s „Crisis of European Sciences.(2010)

Rodee (edt.), Introduction to political Science,(Terjemahan oleh Zulkifli

Hamid:Pengantar Ilmu Politik), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983

Sutrisno,Mudji, Ranah-ranah, Hermeneutika,Yogyakarta; Kanisius, 2011

Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, Berkeley, Los Angeles;

University of Calipornia Press,1984

Welton, Donn, The New Husserl, A Critical Reader, Bloomington, Indiana UP,

Referensi

Dokumen terkait

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila

hukum negara”, yaitu penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai

Pancasila adalah cita hukum ( staatside ) baik hukum tertulis dan tidak tertulis ( konvensi ). 2) Sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan kaidah Negara

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya adalah sebagaimana nilai- nilainya yang bersifat fundamental menjadi suatu sumber dari segala sumber hukum dalam

Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum,

“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil

Dengan Pancasila sebagai philosophische grondslag negara, maka dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi acuan dalam pembangunan hukum nasional yang religius, baik

Peraturan tersebut disusun berdasarkan pertimbangan: Pertama, bahwa Pancasila sebagai dasar, ideologi, dan filosofis negara merupakan sumber dari segala sumber hukum