• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemunduran Demokrasi di Dunia Arab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemunduran Demokrasi di Dunia Arab"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah UTS DINAMIKA KAWASAN TIMUR TENGAH DAN

AFRIKA

KEMUNDURAN DEMOKRASI DI DUNIA ARAB

Disusun oleh:

Sa’dan Mubarok (0906632253)

Departemen Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia Arab secara geografis merupakan daerah yang sangat strategis karena berada di antara tiga benua yaitu Asia, Eropa, dan Afrika. Nilai strategis yang terdapat dalam dunia Arab membuat banyak negara-negara besar berusaha untuk menjadikan dunia Arab sebagai daerah yang berada dibawah kontrol dan kekuasaan mereka. Hal ini dapat terlihat dari sejarah perjalanan negara-negara yang berada di kawasan dunia Arab dimulai saat mereka berada dalam pengaruh kekuasaan kesultanan Ottoman hingga masuknya negara-negara barat pada abad ke-19 masehi. Masuknya negara-negara barat seperti Inggris dan Perancis menjadi awal persinggungan dunia Arab dengan nilai-nilai barat setelah terjadinya perang salib pada abad ke-11 masehi yang bermotifkan kolonialisme. Namun, dibalik motif tersebut mereka juga memiliki tujuan untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi yang mereka anggap sebagai konsep terbaik bagi sebuah model pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai kebebasan dan persamaan.

Menurut Larbi Sadiki, Persentuhan dunia Arab dengan demokrasi pun dimulai pada pertengahan abad ke-19 masehi dimana Tunisia berhasil menciptakan konstitusi islam pertama di dunia pada tahun 1860 dan dilaksanakannya pemilihan umum pertama di Mesir pada tahun 1868.1 Proses demokratisasi yang terjadi di dunia Arab bersifat long-term effect dimulai dengan terjadinya liberalisasi politik yang diawali pada tahun 1866 di Mesir dengan berakhirnya okupasi Inggris selama 14 tahun, munculnya gelombang kemerdekaan negara-negara Arab yang berbasiskan nation-state system sepanjang tahun 1920-an sampai 1970-an hingga terjadinya perang Arab-Israel yang menghasilkan kekalahan bagi negara-negara Arab sehingga menimbulkan goncangan politik tersendiri di dalam negara-negara tersebut seperti terbunuhnya Anwar Sadat yang mengubah kekuatan politik di Mesir.

Akan tetapi, berjalannya proses liberalisasi politik di negara-negara Arab tidak serta merta memberikan efek yang positif dan memberikan ruang lebih bagi terciptanya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. bahkan, negara-negara Arab cenderung mengalami proses yang

(3)

dinamakan set back democracy karena sel/ama berjalannya proses demokratisasi tidak ada inisiatif dari aktor-aktor internal seperti penguasa rezim dan dari masyarakat sendiri untuk melakukan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dipahami sebagai langkah untuk menstabilkan dan memantapkan proses demokratisasi yang berlangsung di suatu negara. Keberhasilan proses stabilisasi dan pemantapan demokrasi menurut Schedler dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu behavioral, attitudinal, dan structural foundation dari proses konsolidasi demokrasi yang dilihat dari respon para aktor yang terdapat dalam suatu negara.2 Penjelasan yang disebutkan Schedler tersebut bila dikontekstualisasikan kedalam proses demokrasi di Timur Tengah maka fondasi perilaku, sikap dan struktur pemimpin politik yang cenderung bersifat despotic dan otoriter serta masyarakat yang cenderung mendukung status quo atau pasrah dengan kondisi yang ada, dan adanya struktur budaya dalam masyarakat Arab yang patriarki sehingga menciptakan hirarki sosial maka sangat sulit untuk terjadinya konsolidasi demokrasi untuk menciptakan kondisi yang demokratis di negara-negara kawasan Timur Tengah.

Berdasarkan data yang dikeluarakan oleh freedom house, sebuah lembaga think tank yang fokus terhadap proses demokrasi yang berlangsung di suatu negara mengeluarkan sebuah blueprint mengenai indeks demokrasi yang terdapat di kawasan Timur Tengah.3 Dalam laporannya yang di published setiap satu tahun sekali dapat dilihat bahwa negara-negara Arab non-Israel berada dalam kategori not free yaitu negara-negara teluk seperti Irak, Kuwait, Bahrain, dan lainnya serta negara-negara di kawasan Afrika Utara. Hal yang berbeda disampaikan oleh Sadiki yang menyebutkan negara-negara di kawasan Timur Tengah dikategorikan menjadi negara yang non-domokratis seperti negara-negara yang mempraktekan monarki absolute seperti Arab Saudi dan negara yang semi-demokratis seperti Mesir, Jordan, dan Tunisia.4 Dari kedua persepsi di atas yang mencoba mendefinisikan bentuk demokrasi yang terdapat di kawasan Timur Tengah dapat ditarik kesimpulan bahwa negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah tidak diakui sebagai negara yang berdemokrasi secara penuh.

2 Andreas Schedler, Measuring Democratic Consolidation, diakses melalui

http://lasa.international.pitt.edu/LASA97/schedler.pdfpada tanggal 1 November 2011 pukul 13.12 WIB

3 Diakses melalui http://freedomhous.org/FIW2011_MENA_Map_1st draft.pdf pada tanggal 1 November 2011 pukul 13.26 WIB

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, penulis berupaya merumuskan sebuah pertanyaan yang menjadi panduan dalam melakukan analisis terhadap masalah yang ingin dibahas. Untuk itu, makalah ini berupaya untuk menjawab pertanyaan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran demokrasi di kawasan Timur tengah yang menyebabkan demokrasi tidak berkembang di negara-negara Arab?

1.3 Kerangka Konseptual

a. Model Transisi Demokrasi

Dalam beberapa literatur yang membahas demokratisasi di Timur Tengah disebutkan bahwa hal yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya proses demokratisasi adalah proses transisi yang terjadi di dalamnya. Proses transisi demokrasi yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya menghasilkan sebuah kepemimipinan baru baik yang berasal dari pemimpin rezim lama yang secara sadar melakukan perubahan politik untuk menjadi rezim yang lebih demokratis maupun dengan munculnya figur baru yang menggantikan figur lama. Dalam menjelaskan terjadinya proses transisi demokrasi di Timur Tengah penulis menggunakan pendekatan transisi demokratisasi yang diperkenalkan oleh Huntington yang secara spesifik membagi proses transisi demokrasi ke dalam tiga bentuk. Namun, dari ketiga bentuk transisi demokrasi hanya dua yang dapat diimplementasikan kedalam kasus transisi demokrasi di Timur Tengah yaitu: 5

1. Pertama, proses transformasi dengan adanya transisi demokrasi yang diprakarsai melalui inisiatif dan peran elit yang berkuasa dalam situasi kelompok pembaharu lebih kuat dari kelompok konservatif, kelompok moderat lebih kuat dari kelompok ekstrimis. maupun pemerintah lebih kuat dari oposisi. Huntington menjelaskan dalam proses transformasi ini pihak-pihak berkuasa dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sebuah sistem demokratis.

2. Proses transisi yang kedua dalam bentuk replacement atau pergantian. Proses pergantian menyangkut perubahan yang terjadi melalui tekanan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa, biasanya dilakukan melalui penggulingan kekuasaan. Dalam proses ini interaksi antara pemerintah dengan oposisi dan interaksi antara

(5)

kelompok moderat dengan ekstrimis berperan besar karena demokrasi bisa terwujud bila kelompok oposisi memiliki pengaruh yang lebih besar dan semakin kuat dibandingkan kelompok pemerintahan sehingga kekuatan rezim akan tumbang dengan penggulingan kekuasaan.

Untuk lebih menjelaskan proses transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara Arab penulis menggunakan pendekatan transisi politik dari O'Donnell, Schmitter, dan Whitehead yang menganggap bahwa proses transisi bergantung dari dinamika yang terjadi dalam koalisi elit dan pihak oposisi. Menurut mereka perpecahan yang terjadi dalam kalangan elit penguasa akan memungkinkan terjadinya transisi politik. Selain kekuatan elit, kekuatan oposisi yang terdiri atas kelompok radikal dan moderat menentukan arah transisi politik yang dipengaruhi oleh bentuk kerjasama yang terjalin diantara keduanya.6 kerjasama antara kelompok oposisi radikal dan moderat juga berdampak terhadap berlangsungnya tahap liberalisasi politik yang memungkinkan terjadinya proses transisi yang berulang-ulang dimana ketika kekuatan radikal terlalu kuat maka proses reformasi menjadi terhenti yang artinya proses demokratisasi mengalami kebuntuan.

b. Islam dan Demokrasi

Penjelasan mengenai islam dan demokrasi dewasa ini sangat luas karena terlalu banyak teori-teori yang membicarakan keduanya termasuk teori yang diutarakan oleh Ernest Gellner yang menganggap ia menganggap bahwa Muslim Exceptionalism mengenai bagaimana seharusnya islam sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Anggapan Gellner mengenai adanya pengecualian tersebut disebabkan implicit constitution yang menyediakan blueprint bagi tatanan sosial.7 Hal ini didasari atas bagaimana persepsi muslim di suatu negara dipengaruhi oleh struktur kepercayaan dan tradisi yang di implementasikan kedalam kehidupan setelah mereka mengadopsi islam dimana teori mengenai implicit constitution berpijakan kepada dua asumsi dasar yaitu: masa kini lebih memengaruhi kondisi sekarang dibandingkan masa lalu yang menyiratkan bahwa serta karakteristik dari masyarakat muslim dipengaruhi oleh periode jauh dan tertentu dari masa lalu mereka selama tatanan sosial dan politik yang memandu mereka telah terbentuk.

BAB II

(6)

PEMBAHASAN

Dalam bagian ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara Arab dianggap gagal menghasilkan sebuah rezim pemerintahan yang demokratis di kawasan Timur Tengah? Apakah islam dianggap sebagai instrument penghambat bagi berlangsungnya demokratisasi di kawasan Timur Tengah? Serta faktor lain yang menyebabkan kemunduran bagi demokrasi di kawasan Timur tengah?

2.1 Faktor Penyebab Kemunduran Demokrasi di Timur Tengah a. Faktor Kegagalan Transisi Demokrasi

Berbicara mengenai transisi demokrasi di Timur Tengah maka faktor yang sangat berpengaruh yang menjadi pemicu dalam terjadinya transisi tersebut adalah konflik politik domestic yang menciptakan kekerasan politik.8 Hal tersebut dapat dilihat dari, proses transisi tranformasi dan replacement yang mewarnai pergantian kekuasaan selama beberapa decade di Timur Tengah. Proses transformasi muncul ketika adanya desakan dari bawah yang memprotes penguasa rezim yang menciptkan dinding-dinding kekuasaan yang otoriter sehingga dengan adanya gejolak dari bawah berupa bread of riots yang dilatarbelakangi oleh peningkatan harga barang pangan membuat rezim melakukan reformasi dan berubah menjadi rezim yang lebih demokratis. Rezim penguasa kemudian berusaha untuk melakukan tindakan yang menurut akin disebut sebagai democratic bargain dimana penguasa berusaha untuk mempertahankan legitimasi kekuasannya dengan mengadakan barter dengan rakyatnya berupa subsidi terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan komitmen negara untuk memberikan pekerjaan.9

Proses transisi demokrasi yang kedua menurut Huntington yang terjadi di kawasan Timur Tengah adalah replacement dengan adanya pergantian rezim yang terjadi di suatu Negara dengan melengserkan rezim lama digantikan dengan rezim baru. Hal ini terjadi di Negara-negara Arab seperti Libya, Tunisia, Mesir, dan Aljazair yang terjadi pada tahun 1950-an hingga 1990-an. Pola

8 Larbi Sadiki, Towards Arab Liberal Governance: From the Democracy of Bread to Democracy of the Vote, Third World Querterly, Vol. 18, No 1 (Mar., 1997), pp. 127-148 published by : Taylor & Francis, Ltd. hal 2. diakses melalui

(7)

transisi demokrasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah juga pararel dengan apa yang O’Donnell, Schmitter, dan Whitehead katakan bahwa transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara Arab terjadi akibat adanya perpecahan dalam tubuh koalisi penguasa dan meningkatnya pertalian antara kelompok radikal dan kelompok moderat dalam menekan rezim penguasa. Perpecahan yang terjadi diantara kelas penguasa ditambah dengan adanya pertalian oposisi antara kelompok radikal dan kelompok moderat yang memnungkinkan terjadinya replacement baik dalam proses transisinya kekuasaan akan berpindah ketangan kelompok penguasa lain yang jika kita melihat konteks budaya Arab, kelompok penguasa terdiri dari kabilah-kabilah yang terdapat di negara tersebut maupun berpindah ketangan oposisi baik dari kelompok radikal maupun kelompok moderat.

Setelah terciptanya transisi demokrasi di negara-negara Timur Tengah maka hal yang terjadi selanjutnya adalah proses demokratisasi tidak mengindahkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Telah terjadi kegagalan transisi politik di Timur Tengah yang menurut Horger dan Schlumberger disebabkan oleh kepemimpinan politik yang selalu berusaha menjaga legitimasi politiknya. Mereka tidak mau secara sukarela meletakkan kekuatan politiknya karena rezim otoriter meraih keuntungan struktural ketimbang pihak oposisi.10 Penguasa rezim untuk mempertahankan legitimasinya kemudian memanfaatkan instrument pemilihan umum dengan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasannya dimana model demokrasi pemilihan umum yang mengantikan democracy of bread merebak di negara-negara Arab pada periode 1990-an hingga kini. Pola pemilihan umum yang kemudian disebut sebagai electoral fetishism mencerminkan proses demokratisasi yang bersifat top-down dimana yang menjadi pusat dari demokrasi bukan ada pada rakyat, tetapi pusat dari demokrasi ada pada negara yang dimana negara dijadikan sebagai instrument kekuasaan rezim penguasa.11

Akibat dari sifat demokrasi yang top-down berimplikasi kepada lemahnya kekuatan oposisi dan kebebasan pers seperti yang terjadi di Mesir pada masa Hosni Mubarok yang menentukan sendiri pihak oposisinya serta melakukan tindakan pengekangan terhadap kebebasan

10 Holger dan Oliver Schlumberger, Waiting for Godot: Regime Change without Democratization in the Middle East,

Vol.25, No. 4, International Political Science Review, (Oktober, 2004), hal. 371-392

(8)

pers. Hal yang sama juga terjadi di hampir seluruh negara-negara Timur Tengah seperti di Tunisia, Irak, Al- Jazair, Yaman, dan Sudan dimana penguasa rezim melakukan kooptasi terhadap lembaga legislative serta kebebasan pers. Selain itu, adanya tekanan terhadap penguasa menyebabkan tidak tranparannya rezim serta adanya perlindungan terhadap HAM.

Efek lain yang dihasilkan dari kegagalan transisi demokrasi di kawasan Timur Tengah adalah dimana rezim yang berkuasa tidak melakukan mekanisme pemilihan umum dengan adil dan kompetitif. Penguasa rezim baik yang berlatar belakang militer dan non-militer melakukan manipulasi dalam pemilihan umum. Menurut Andreas Schedler, tindakan yang dilakukan oleh rezim penguasa merupakan sebuah survival strategic untuk tetap menjaga legitimasi dan kekuasaannya dengan melakukan monopoli kekuasaan.12 Bentuk dari manipulasi yang terjadi dalam electoral fetishism di negara-negara Timur Tengah berupa penggelembungan suara dalam pemilihan umum, adanya tindakan represif secara politik terhadap kelompok penekan terutama oposisi, rezim penguasa melakukan manipulasi terhadap aturan dalam pemilu, dan melaksanakan pemilu yang tidak kompetitif. Ia menganggap tindakan yang dilakukan oleh rezim penguasa tidak menyebabkan absennya demokrasi dalam negara tersebut, tetapi lebih kepada pengikisan terhadap demokrasi itu sendiri.

b. Faktor Budaya

Dalam membahas penyebab terjadinya kemunduran demokrasi di Timur Tengah dapat dilihat dari bagaimana faktor budaya berperan penting sebagai bentuk penerimaan masyarakat Arab terhadap demokrasi yang diperkenalkan oleh negara-negara Barat pada abad ke-19 masehi bersamaan dengan praktek kolonialisme. Namun, hal yang menjadi pertanyaan dalam hubungannya antara islam dan demokrasi adalah apakah islam merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya kemunduran bagi proses demokratisasi di Timur Tengah?

Jawaban dari pertanyaan tersebut setidaknya dapat dilihat dari bagaiamana melihat islam. apakah islam selama ini dianggap bagian dari budaya arab atau islam merupakan entitas sendiri yang memiliki perbedaan dengan entitas cultural masyarakat Arab. Penulis menilai, nilai-nilai universal islam telah dianut oleh masyarakat arab dan non-arab seperti halnya di Indonesia dan Turki. Hal tersebut dapat dibutikan dengan melakukan komparasi antara negara-negara Arab dan

(9)

non-Arab dimana perbandingan tersebut menghasilkan sebuah perbedaan yang sangat jelas. Proses demokrasi yang berlangsung di negara berpenduduk mayoritas Islam Arab dan non-Arab bertolak belakang dimana negara-negara berpenduduk mayoritas islam Arab mengalami kemunduran demokrasi dengan banyaknya penguasa-penguasa otoriter sedangkan negara yang berpenduduk mayoritas islam non-Arab seperti Indonesia dan Turki mengalami progress demokrasi yang cukup signifikan.

Tidak adanya pemisahan antara islam dan budaya Arab menyebabkan persepsi yang bias mengenai proses berlangsungnya demokrasi di Timur Tengah dimana para akademisi politik menyebutnya sebagai islam exceptionalism. Dari penjelasan mengenai konsep hubungan antara islam dan demokrasi yang penulis angkat dalam makalah ini mengenai implicit constitution yang dikemukakan oleh Ernest Gellner. Dalam implicit constitution dijelaskan bahwa pengaruh utama dari sikap masyarakat muslim terhadap demokrasi dipengaruhi oleh sejarah yang sangat memengaruhi tradisi dan budaya yang mereka anut. Selain itu, hal yang determinan yang memengaruhi kondisi masyarakat islam dewasa ini lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan yang sedang terjadi dan bukan dari masa lalu. Dari pernyataan Gellner tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan masyarakat terhadap demokrasi berdasarkan pada tradisi yang berkembang di daerah setempat sehingga satu daerah dan dengan daerah lainnya memiliki persepsi yang berbeda mengenai penerimaan masyarakat terhadap demokrasi. 13 Contoh konkret dari penyataan Gellner adalah bagaimana sikap masyarakat islam di Arab yang berbeda dengan sikap masyarakat islam di Indonesia dan Turki mengenai demokrasi.

Argumentasi penulis dalam mengkaitkan penyebab dari gagalnya demokrasi berkembang di kawasan Timur Tengah disebabkan karena faktor cultural yang melekat dalam kehidupan masyarakat Arab. Bentuk kultur tersebut menurut Kedourie berupa masyarakat Arab sudah terbiasa dengan sistem autokrasi dan sifat kepatuhan yang pasif dari masyarakat Arab.14 Budaya autokrasi dan kepatuhan pasif tersebut kemudian berimplikasi terhadap tradisi politik masyarakat Arab yang cenderung apatis dan menerima kondisi politik yang terjadi.

c. Faktor Ekonomi dan Geopolitik

13 Abdou filali-Ansary, The Global Divergence of Democracy, op. cit,. Hal 52-53

(10)

Perkembangan demokrasi sangat ekuivalen dengan performa ekonomi di sebuah negara. Hal ini dapat dilihat di negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, serta negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika Utara dimana perkembangan ekonomi searah dengan terjadinya demokrasi di negara tersebut. Namun, kondisi ini tidak ditemui di kawasan Timur Tengah diamana secara pendapatan perkapita negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, dan Qatar selevel dengan negara di kawasan Eropa dan Amerika Utara tidak mengalami proses demokrasi yang membuahkan hasil. Kondisi yang menyebabkan kemuduran demokrasi di Timur Tengah lebih kepada faktor minyak dan struktur ekonomi. Oil Curse tampaknya mampu mengubah kondisi pemerintahan menjadi kearah otoritarianisme.15

Peningkatan jumlah permintaan minyak dunia membuat penguasa rezim semakin memperkaya dan hal ini berpengaruh terhadap struktur ekonomi yang terdapat di dalam negara-negara Arab.16 Monopoli terhadap pendapatan dari minyak membuat negara yang menjadi instumen rezim penguasa lebih superior dibandingkan mayarakatnya sehingga tercipta hirarki stuktur ekonomi. Stuktur ekonomi tersebut membuat masyarakat sangat tergantung kepada negara sehingga negara mampu mengendalikan masyarakat. implikasi dari ketergantungan terhadap negara juga berpengaruh terhadap peran civil society dalam memperjuangkan penyebaran demokrasi dan isu-isu lainnya yang secara kepentingan bertolak belakang dengan penguasa rezim.

Faktor geopolitik yang terdapat dalam kawasan Timur Tengah juga berpengaruh terhadap kemunduran demokrasi. Secara geografis wilayah Timur Tengah sangat strategis karena berada di tengah-tengah dunia yang menghubungkan antara benua Asia, Eropa, dan Afrika.atas dasar tersebut membuat banyak negara yang mencoba merebut pengaruh dan kendali atas wilayah Timur Tengah terutama Amerika Serikat dan Eropa.17 Hal lain yang menyebabkan Timur Tengah spesial adalah potensi minyaknya sebagai bagian dari energi security dari negara-negara barat untuk menjaga suplai minyak dan gas yang digunakan untuk industri. Dari kedua faktor ini kemudian menjadikan negara-negara seperi Mesir, Aljazair, dan Arab Saudi mendapatkan keuntungan diplomatic dengan adanya hibah dari Amerika Serikat dan Eropa untuk memperkuat pertahanan mereka sehingga sangat menguntungkan rezim otoriter. Hal ini berpengaruh terhadap kekuatan rezim otoriter untuk menekan terjadinya pergolakan politik yang terdapat dalam negeri

15 Ellen Lust-Okar, Why the failure of Democratization? Explaining 'Middle East Exceptionalism. Op, cit,. hal 6 16 Larry Diamond, Why Are There No Arab Democraies, op, cit,. hal 97

(11)

yang memungkinkan terjadinya perubahan rezim sehingga kepentingan Amerika dan Eropa di Timur Tengah tetap terjaga tanpa adanya gangguan dari pergolakan politik domestic.

BAB III KESIMPULAN

(12)

Arab dan Demokrasi telah dimulai semenjak pertengahan abad ke-19 masehi melalui proses kolonialisasi.

Persinggungan ini kemudian berlanjut dengan adanya liberalisasi politik menuju proses demokrasi yang diawali dengan adanya transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara Arab. transisi Demokrasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah merupakan imbas dari konflik politik domestic yang menyebabkan kekerasan politik dalam masyarakat Arab sehingga terjadi perpecahan dalam elite penguasa dan adanya perlawanan dari kelompok oposisi yang terdiri dari kelompok radikal dan moderat. Namun, proses transisi demokrasi yang terjadi tidak mengarah kearah yang demokratis malah sebaliknya, transisi politik yang terjadi di negara-negara Arab menyebabkan terjadinya kemunduran demokrasi.

Kemunduran demokrasi yang terjadi di dunia Arab disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pertama, kemunduran demokrasi di Timur Tengah disebabkan oleh gagalnya transisi demokrasi itu sendiri yang menyebabkan munculnya pengusa-penguasa rezim yang otoriter. Rezim otoriter kemudian berusaha untuk mempertahankan legitimasinya dengan cara melakukan electoral fetishism yang menyebabkan Dunia Arab dikenal dengan sebutan electoralism without democracy. Faktor yang kedua adalah budaya masyarakat Arab yang sangat dekat dengan autokrasi sehingga tidak adanya tradisi politik yang mampu memberikan ruang bagi demokrasi untuk berkembang. Faktor yang terakhir adalah ekonomi dan geopolitik dimana keduanya berkontribusi untuk melanggengkan kekuasaan otoriter.

Daftar Pustaka Sumber Buku:

filali-Ansary, Abdou. The Global Divergence of Democracy, edited by Larry Diamond and Marc F. Plattner (Maryland, The Johns Hopkins University Press,2001)

Sadiki, Larbi. Rethinking Arab Democratization: Election without Democracy, (Oxford: Oxford University Press, 2009).

(13)

Sumber Jurnal:

Diamond, Larry. Why Are There No Arab Democraies? volume 1, no 1. Journal of Democfracy (Januari 2010)

Holger dan Oliver Schlumberger, Waiting for Godot: Regime Change without Democratization in the Middle East, Vol.25, No. 4, International Political Science Review, (Oktober, 2004),

Lust-Okar, Ellen Why the failure of Democratization? Explaining 'Middle East Exceptionalism. Hal 10. Diakses dari http://www.nyu.edu/gsas/dept/politics/seminars/lust-okar.pdf pada Senin, 31 Oktober 2011 pukul 14.35 WIB

Sadiki, Larbi Towards Arab Liberal Governance: From the Democracy of Bread to Democracy of the Vote, Third World Querterly, Vol. 18, No 1 (Mar., 1997), pp. 127-148 published by : Taylor & Francis, Ltd. diakses melalui http://www.jstor.org/stable3992905 pada tanggal 18 Oktober 2011 pukul 13.22 WIB

Schedler, Andreas Measuring Democratic Consolidation, diakses melalui

http://lasa.international.pitt.edu/LASA97/schedler.pdf pada tanggal 1 November 2011 pukul 13.12 WIB

______________, The Nested of Democratization by Elections, Vol. 23 No.1, International Political Review, (Januari, 2002),

Sumber Internet:

Referensi

Dokumen terkait