• Tidak ada hasil yang ditemukan

hubungan antara pola asuh dengan delinku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hubungan antara pola asuh dengan delinku"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Adapun Hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Universitas Indonesia (BNN, 2011) menunjukkan bahwa pelaku penyalahgunaan narkoba dengan suntikan adalah sebesar 572.000 orang dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang. Jumlah penyalahgunaan narkoba sebesar 1,5% dari populasi 3,2 juta orang, yang terdiri dari 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi laki-laki sebesar 79% dan perempuan 21% (BNN, 2011). Kelompok teratur pakai terdiri dari penyalahgunaan ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42%, dan obat penenang 22% (BNN, 2011). Kelompok pecandu terdiri dari penyalahgunaan ganja 75%, heroin, putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34%, dan obat penenang 25% (BNN, 2011).

Hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak (Ado, 2010) menyebutkan sebanyak 21,2 persen remaja di Indonesia mengaku pernah melakukan aborsi karena hubungan di luar nikah dengan teman dekatnya. Akibatnya 8 ribu atau 57,1% kasus HIV/AIDS terjadi pada remaja dengan 37,8% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 62,2% terinfeksi melalui penggunaan narkoba jarum suntik.

(2)

1995 hingga 1999 terjadi sejumlah 1316 kasus tawuran se-Indonesia. Di Pulau Jawa terjadi sejumlah 933 kasus. Sedangkan tawuran di luar Pulau Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, yaitu sebanyak 253 kasus.

Berdasarkan catatan Kanwil Depdiknas DKI Jakarta (dalam Nawawi, 2001), selama tahun ajaran 1999/2000, jumlah pelajar yang terlibat tawuran pelajar tercatat 1.369 orang. Sebanyak 26 pelajar tewas, 56 oramg luka berat, dan 109 orang luka ringan (Suara Pembaharuan, 2000). Menurut versi harian Media Indonesia (2000) 0,08% dari 1.685.084 orang jumlah siswa terlibat tawuran di Jakarta.

Polda Metro Jaya telah melakukan bukti pelanggaran terhadap 17.000 anak dibawah usia 15 tahun selama 2012 dan 8.000 anak selama Januari-Juni 2013 (Beritasatu, 2013). Salah satu insiden kecelakaan yang cukup fenomenal pada bulan September 2013 adalah kecelakaan yang terjadi Minggu dini hari yang menyebabkan tujuh korban tewas dan sembilan lainnya luka-luka. Ironisnya, penyebab peristiwa itu berasal dari mobil yang dikendarai AQJ, seorang bocah masih berusia 13 tahun, anak seorang musisi ternama di Indonesia (Republika, 2013).

Berdasarkan data BPS (BPS, 2010) tindak pidana yang dilakukan remaja pada umumnya adalah tindak pencurian yaitu sebanyak 60%. Hal ini dilakukan dengan alasan faktor ekonomi sebesar 46%. Pencurian yang dilakukan oleh remaja ini karena pihak keluarga kurang mampu menopang kebutuhan secara materi. Sehingga mereka memilih jalan pintas melalui mencuri.

Menurut Survei Lembaga Modernisator dan LPEP FEB Unair (dalam Jawapos, 2013) sebanyak 12,98% pelajar SMP, SMA dan SMK menjadi perokok aktif dan 14,3% mengaku bahwa kadang-kadang merokok. Lebih lanjut, mereka menyatakan sebanyak 63% penyebab merokok karena keluarga.

(3)

serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja (juvenile delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Helen (2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah kecenderungan individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial, melanggar hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos sekolah, kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya (pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan lain, mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas, bunuh diri, percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan, aborsi, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang. Secara umum, kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi dua. Yakni index offenses yaitu perilaku kriminal yang dilakukan orang dewasa dan status offenses yaitu perilaku kenakalan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dapat disebut ilegal (Santrock, 2003).

(4)

Tabel 1.1 Review Jurnal Tentang Kenakalan Remaja

No. Peneliti Metode Hasil

1. Sujoko, sangat signifikan antara keluarga broken home, pola

Hasil menunjukkan terdapat hubungan negatif antara persepsi terhadap kontrol

orang tua dengan

(5)

beberapa teknik berupa menunjukkan ekspresi kecewa, penumbuhan rasa bersalah, penarikan rasa sayang serta teknik-teknik lainnya untuk menumbuhkan rasa bangga, bersalah, dan malu (Segrin dan Flora,, 2005). De kemp, Scholte, Overbeek, dan Engels (2006) mengindikasikan bahwa pengasuhan secara langsung berkaitan dengan perilaku delinkuensi. Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan berhubungan dengan menurunnya level perilaku delinkuensi remaja pada interval 6 bulan berikutnya.

Namun dalam penelitian ini kami memilih untuk lebih fokus pada gaya pengasuhan. Karena menurut kami, gaya pengasuhan sudah terbentuk sejak masih anak-anak. Kami memandang bahwa gaya pengasuhan menjadi faktor yang riskan bagi terbentuknya kenakalan remaja. Karena keluarga adalah tempat pertama bagi seseorang untuk tumbuh kembang. Oleh karena itu, kami lebih memfokuskan hubungan gaya pengasuhan dengan kenakalan remaja (juvenile delinquency).

Berdasarkan fenomena yang terjadi tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh dengan kenakalan remaja (juvenile delinquency). Namun kenakalan remaja (juvenile delinquency) yang ingin diungkap adalah status offenses yakni kenakalan yang apabila dilakukan orang dewasa tidak dikatakan ilegal. Hal ini ingin diketahui lebih lanjut oleh peneliti, karena lebih jarang ditemukan data berupa kenakalan remaja yang tidak sampai melanggar hukum.

1.2. Batasan Masalah

(6)

1.3. Rumusan Masalah

 Bagaimana gambaran kenakalan remaja yang terjadi saat ini yang

terkait status offenses (kenakalan yang tidak ilegal dimata hukum)?

 Apakah terdapat perbedaan status offenses remaja ditinjau dari pola

asuh orangtua (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected)?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kenakalan remaja terkait status offenses dan mengetehui apakah ada perbedaan status offenses ditinjau dari pola asuh orangtua (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected).

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis:

 Dapat menambah wawasan terkait hubungan antara pola asuh

dengan juvenile delinquency khususnya status offense remaja.

 Dapat mengetahui ada atau tidaknya perbedaan status offenses

remaja ditinjau dari pola asuh orangtua (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected)

b. Manfaat Praktis:

 Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan panduan bagi

orangtua dalam mengasuh anak. Sehingga dapat dengan tepat memberikan batas dan kotrol dari perilaku anak.

 Diharapkan mampu membuat remaja menyadari pentingnya

(7)

BAB 2

Kajian Teori

1. Remaja

2.1.1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan sosial.

Secara teoritis ada pembagian masa perkembangan remaja. Pembagian masatersebut didasarkan pada timbulnya ciri yang berbeda dari tiap masa atau munculnya sesuatu ciri membedakan dari masa sebelumnya.

Hurlock (dalam Simandjuntak, 1984) membuat pembagian usia perkembangan yaitu early adolesence dengan usia 12 hingga 16 tahun dan late adolesence dengan usia 17 hingga-21 tahun. Pada masa remaja cenderung muncul masalah dalam lingkup yang lebih luas. Masalah yang ditimbulkan oleh remaja tidak lagi terbatas dalam lingkungan keluarga, tetapi sudah ke masyarakat yang lebih luas. Karena itu, masalah yang ditimbulkan oleh remaja menjadi masalah sosial. Apabila masyarakat atau orang tua menolak kehadiran para remaja untuk berperan dalam kehidupan masyarakat, maka remaja dapat melakukan hal yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, perilaku yang menarik perhatian untuk mencari eksistensi dirinya.

Berikut merupakan ciri-ciri remaja:

(8)

b. Remaja mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan pengalaman akademis. Keterampilan dan konsep yang berguna bagi masa depan remaja, banyak diperoleh pada masa ini.

c. Masa remaja merupakan periode timbulnya keinginan-keinginan, kesadaran diri, serta pengembangan idealisme. Remaja mengalami keinginan untuk bergaul lebih luas dan masuk ke dalam kehidupan kelompok. Status dalam kelompok sangat berarti bagi remaja sehingga norma-norma kelompok, sering mengalahkan norma-norma keluarga. Disamping itu perhatian terhadap lawan jenis mulai timbul.

d. Masa remaja dianggap sebagai suatu periode mencari identitas diri, mencari status yang jelas bagi dirinya Remaja berusaha mendapatkan status kedewasaan dengan jalan melepaskan diri dari orang tuanya. Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan minat terhadap pekerjaan.

2.1.2. Tugas Perkembangan Remaja

Perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3) Mampu membina hubungan baik dengan lawan jenis. 4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

(9)

10)Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas perkembangan dengan baik. Sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009)

2.1.3. Remaja Akhir (Late Adolescent)

Sulaeman (1995) menyebutkan ciri-ciri umum masa remaja akhir yaitu pemilihan jalan kehidupan mulai menjadi fokus perhatian, mncul kesadaran akan bakat yang dimiliki, dan kecenderungan untuk menetapkan jenis pekerjaan yang akan dipilihnya

Menurut Mappiare (1982) ciri- ciri umum remaja akhir yaitu stabilitas mulai timbul dan meningkat, citra diri dan pandangan yang lebih realistis, menghadapi masalahnya secara lebih matang, dan perasaan menjadi lebih tenang. Mappiare (1982) menyatakan bahwa ciri- ciri yang ada pada remaja akhir yang dikemukakakan sebelunya merupakan ciri-ciri remaja akhir yang dapat dikatakan tidak mempunyai persoalan serius.

Remaja akhir menurut Widyastuti dkk (2009) adalah remaja yang berusia sekitar 16-19 tahun dengan ciri mengungkapkan kebebasan diri, pencarian teman sebaya yang lebih selektif, memiliki citra tersendiri terhadap dirinya, dapat mewujudkan perasaan cinta, dan memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

(10)

2. Kenakalan Remaja

2.2.1. Pengertian Kenakalan Remaja

John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja (juvenile delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Helen (2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah kecenderungan individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial, melanggar hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos sekolah, kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya (pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan lain, mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas, bunuh diri, percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan, aborsi, penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang.

Kesimpulan kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah perilaku yang merugikan diri sendiri bahkan oranglain antara lain dengan melawan hukum (kriminal) maupun yang tidak kriminal (melanggar norma).

2.2.2. Status Offenses dan Index Offenses

(11)

2.2.3. Aspek – Aspek Kenakalan Remaja

Sejumlah ahli telah mengklasifikasikan perilaku delinkuensi remaja ke dalam berbagai macam bentuk. Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dan lain-lain. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak

sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, membantah perintah, dan lain-lain.

Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.

(12)

2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) sebagai berikut : a. Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya peran identitas, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson (dalam Santrock, 1996) percaya bahwa kenakalan remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas.

b. Kontrol diri

Hasil penelitian yang Santrock (1996) menunjukkan bahwa kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak, dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak.

c. Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan kenakalan masa remaja. Namun, tidak semua anak yang bertingkah laku nakal pasti saat remaja kan menjadi seseorang yang berperilaku nakal pula (Kartono, 2003).

d. Jenis kelamin

(13)

melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya. Sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah dan mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.

3. Pola Asuh Orang Tua

2.3.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. Pola asuh berarti bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya (Casmini, 2007).

(14)

dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas, serta diliputi dengan penghinaan, ejekan dan pemberian label-label negatif maka yang akan menimbulkan citra diri negatif pada remaja. Kesimpulannya, pola asuh akan menjadi membentuk perilaku anak.

Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004), pola asuh dibagi menjadi 4 jenis yaitu Authoritarian, Authoritativ, permissive,dan neglected.Pola asuh authoritarian menetapkan standar perilaku pada anak akan tetapi kurang responsif terhadap hak dan keinginan anak. Orang tua memiliki kendali yang tinggi dalam membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku anak. Kurang adanya kedekatan dan komunikasi antara anak dengan orang tua. Pola asuh ini menekankan pada kebutuhan orang tua yaitu ketika pendapat orang tua lebih di utamakan dan hukuman menjadi cara untuk membentuk kepatuhan terhadap anak. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini biasanya memiliki mood yang kurang stabil, pasif, penuh konflik dalam sosialisasi, dan jika frustrasi ia akan cenderung memusuhi sesama.

Pola asuh authoritative menetapkan standar perilaku atau aturan terhadap anak namun tetap responsif terhadap kebutuhan anak (Bee & Boyd, 2004). Orang tua menggunakan pendekatan secara rasional dan demokratis. Terjalin keakraban antara orang tua dan anak serta peran orang tua yang mampu menghargai dan mengarahkan aktivitas anak. Orang tua dapat menghargai dan mendengarkan pendapat anak. Peraturan yang diberikan adalah peraturan yang disertai dengan penalaran dan alasan. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini akan lebih kompeten dalam bersosialisasi, adaptif, terampil bergaul, dan percaya diri.

(15)

akan mengalami kesulitan ketika menghadapi tugas-tugas, dan kurang patuh terhadap aturan.

Pola asuh neglected biasanya memiliki interaksi waktu yang sedikit dengan anak-anaknya. Pola asuh ini orang tua lebih mementingkan kepentingan sendiri misalnya terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak tahu anaknya dimana atau sedang dengan siapa, dan lain sebagainya.

2.3.2. Aspek – Aspek Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind (Bee & Boyd, 2004), terdapat empat aspek yang dalam pola asuh orang tua, yaitu :

1. Kendali dari orang tua (Parental control)

Merupakan tingkah laku orang tua dalam menerima dan menghadapi perilaku anak yang tidak sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Hal ini juga termasuk usaha orang tua untuk mengubah tingkah laku anak yang dianggap kurang baik.

2. Tuntutan terhadap tingkah laku matang (Parental maturity demands) Perilaku orang tua dalam membantu anak agar dapat bersikap mandiri serta bertanggung jawab dalam segala tindakan.

3. Komunikasi antara orang tua dan anak (Parent-child communication)

Usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi verbal dengan anak atau ada komunikasi dua arah (antara orang tua dan anak).

4. Pengasuhan dan pemeliharaan orang tua terhadap anak (Parental nurturance)

Ungkapan kasih sayang, perhatian, dan dorongan orangtua pada anak. Terdiri kehangatan yang merupakan pencurahan bentuk kasih sayang orang tua berupa sentuhan fisik, dukungan verbal, dan keterlibatan yang ditunjukkan dengan pengenalan akan tingkah laku dan perasaan anak.

(16)

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak adalah (Edward, 2006):

a. Pendidikan orang tua

Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan pada individu untuk menghasilkan perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang memiliki pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan pengasuhan. Selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi dalam perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut, dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).

2.4. Perbedaan Status Offenses ditinjau Dari Pola Asuh

(17)

(juvenile delinquency). Chassin, McLoughlin, dan Sher (1988) menyatakan bahwa orang tua yang menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) berpengaruh pada anak. Menurut Baumrind (2011) pola asuh neglected dan authoritarian cenderung dikaitkan dengan penggunaan narkoba.

2.5. Hipotesis

HO : Tidak ada perbedaan status offenses ditinjau dari gaya pengasuhan (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected).

(18)

Bab 3

Metode Penelitian

3.1. Identifikasi Variabel

Pada penelitian ini , peneliti ingin mengetahui perbedaan status offenses ditinjau dari pola asuh (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah status offenses sedangkan variabel bebas adalah pola asuh orang tua yang terdiri atas authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected.

3.2. Definisi Operasional

(19)

ketika sesorang tidak mematuhi atau melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di sekolah.

Definisi operasional pola asuh adalah cara orangtuas mendidik, merawat, mendisiplikan, dan melindungi anaknya. Pola asuh authoritarian adalah pola asuh yang memiliki aturan yang tegas dan keras dalam membentuk perilaku anak. Kendali anak sepenuhnya berada pada orangtua. Pola asuh authoritative adalah pola asuh demokratis dengan menetapkan standar perilaku yang jelas namun tetap mempertimbangkan keinginan anak, dan mampu menjalin kedekatan dengan anak. Pola asuh permissive adalah pola asuh yang cenderung memanjakan anak dan tidak memiliki aturan yang jelas. Kendali anak sepenuhnya berada pada diri mereka sendiri. Pola asuh neglected adalah pola asuh yang terabaikan dengan kedekatan emosional antara orangtua dan anak yang sangat lemah.

Pengukuran terhadap perilaku status offenses dan pola asuh (authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected) diukur dengan menggunakan skala likert. Angket status offenses terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai perilaku membolos, menentang orang tua, melanggar peraturan, dan berbohong. Angket pola asuh terdiri atas pola asuh authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected. Terdapat pilihan jawaban yang terdiri dari pernyataan yang sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Tabel Angket No Variabel Definisi

(20)

Sangat tidak setuju

2. Membolos Tidak mengikuti proses belajar

(21)

an keinginan

(22)

Pada penelitian ini peneliti menggunakan subjek yang berusia 17-21 tahun yang dikatakan sebagai remaja akhir. Remaja berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dan berdomisili di kota Surabaya. Subjek yang digunakan adalah 30 orang dari SMA Kristen Petra 5 Surabaya dan 30 orang remaja yang bersekolah di SMA 9 Surabaya. Subjek adalah remaja yang sedang bersekolah atau berstatus sebagai pelajar yang totalnya adalah 60 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non random yaitu accidental. Artinya memberikan angket pada siswa yang ditemui pada saat menyebar angket.

3.4. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala angket dengan pertanyaan tertutup yang disebarkan pada sampel. Skala tersebut yaitu skala pola asuh dan skala status offenses. Skala pola asuh dengan 16 pertanyaan dan skala status offenses dengan 15 pertanyaan.

3.5. Teknik Analisis

Skala favorable SS memiliki nilai 5, S memiliki nilai 4, N memiliki nilai 3, TS memiliki nilai 2, STS memiliki nilai 1. Skala unfavorable SS memiliki nilai 1, S memiliki nilai 2, N memiliki nilai 3, TS memiliki nilai 4, STS memiliki nilai 5. Kemudian data-data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis statistik, yaitu:

A. Uji Instrumen  Uji Reliabilitas

(23)

subjek. Alat ukur dapat dikatakan reliabel apabila alpha cronbach (α) lebih dari 0,6

 Uji validitas

Validitas yang digunakan dalam peneltiian ini adalah content validity untuk menguji apakah pertanyaan yang diajukan telah sesuai dengan konteks yang ingin diukur yakni terkait kenakalan remaja berupa status offenses dan pola asuh orangtua authoritative, authoritarian, permissive, neglected. Alat ukur dapat dikatakan valid apabila alpha cronbach (α) > 0,3

B. Uji Asumsi

Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui distribusi data, data ekstrem dengan juling kanan, juling kiri, atau data tersebar merata. Suatu data dikatakan memenuhi distribusi normal maka nilai koefisien ρ > 0,05.

C. Uji Hipotesis

Apabila data yang dihasilkan normal, maka menggunakan parametrik dengan anava 1 jalur untuk melihat mean pada keempat pola asuh (authoritative, authoritarian, permissive, neglected ) terhadap status offenses. Selain itu apabila ada perbedaan, ingin mengetahui pola asuh manakah yang berkontribusi paling besar terhadap status offenses.

(24)

3.6.Blue Print Angket

Skala Status Offenses

Dimensi Favorable Unfavorable Jumlah butir

Proporsi

Membolos sekolah

1, 2, 4 3 4 26,67%

Menentang orangtua

5, 6 7, 8 4 26,67%

Berbohong 9, 10, 11, 12 - 4 26,67%

Melanggar peraturan sekolah

13, 14, 15 - 3 20%

Skala Pola Asuh

Dimensi Favorable Unfavorable Jumlah butir

Proporsi

Authoritative 1, 2, 3, 4 - 4 25%

Authoritarian 5, 6, 7, 8 - 4 25%

Permissive 9, 10, 11, 12 - 4 25%

Neglecting 13, 14, 15, 16

(25)

Lampiran Angket

Angket Status Offenses

No Pernyataan SS S N TS STS

1. Jika guru sedang menjelaskan pelajaran dengan cara yang membosankan saya merasa ingin membolos mata pelajaran tersebut. 2. Bila terlambat sekolah, saya berpikir

lebih baik nongkrong di tempat lain. 3. Saya akan tetap mengikuti pelajaran

yang membosankan daripada membolos.

4. Saya lebih suka pergi bersama teman-teman daripada mengikuti les. 5. Bila orang tua tidak mengijinkan

saya berpacaran maka saya akan kabur bersama pacar saya.

6. Bila orang tua membuat saya kesal, ingin rasanya untuk memaki.

7. Bila orang tua memaksakan kehendaknya saya berusaha memahami alasan mereka.

8. Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan yang halus agar mereka tidak tersinggung. 9. Bila saya mendapat nilai ulangan

harian buruk, saya akan memalsu tanda tangan orang tua pada kertas ulangan tersebut.

(26)

padahal saya sedang berpacaran. 11. Saya menutupi nilai saya yang buruk

pada orang tua.

12. Saya memilih untuk mengatakan sedang mengerjakan tugas kelompok ketika orang tua melarang pergi bersenang-senang bersama teman-teman.

13. Jika kepala sekolah membuat peraturan sekolah yang terlalu ketat, saya akan mengajak teman-teman untuk berdemo agar peraturan tersebut dihilangkan.

14. Saya tidak suka menggunakan atribut yang seharusnya diwajibkan untuk digunakan saat sekolah.

15. Saya suka merokok di sekolah.

Angket Pola Asuh

No Pernyataan SS S N TS STS

1. Saya pikir orang tua mendukung saya untuk mandiri dalam melakukan kegiatan belajar di rumah.

2. Saya menilai orang tua selalu memberikan teladan yang baik bagi saya untuk berperilaku.

3. Orang tua memberikan ijin kepada saya untuk melalukan kegiatan bersama teman-teman sebatas kegiatan tersebut sesuai norma. 4. Orang tua menetapkan

batasan-batasan yang jelas agar perilaku saya tidak menyimpang.

(27)

mengikuti suatu kegiatan tanpa alasan yang jelas.

6. Orang tua saya memberikan aturan-aturan yang menghambat aktivitas saya.

7. Orang tua saya memberikan hukuman fisik ketika saya tidak mentaati peraturan.

8. Orang tua memegang kendali penuh terhadap perilaku saya.

9. Orang tua membebaskan saya melakukan kegiatan apapun asal masih dalam sepengetahuan mereka. 10. Orang tua selalu menuruti apapun

yang saya inginkan.

11. Orang tua tidak memberikan peraturan yang jelas bagi saya sehingga saya memiliki kendali sepenuhnya atas perilaku saya.

12. Orang tua tidak pernah mengontrol perilaku saya meskipun hal tersebut melanggar norma.

13. Orang tua tidak pernah memberikan penghiburan ketika saya sedih.

14. Orang tua saya akan bersikap cuek walaupun saya mendapatkan nilai yang baik di sekolah.

15. Orang tua jarang mengajak saya berbicara tiap kali ada kesempatan. 16. Orang tua saya malas berdiskusi

(28)

Daftar Pustaka

Ado, (2010). Diunduh pada 1 Oktober 2013

http://health.liputan6.com/read/302884/komnas-pa-212-persen-remaja-pernah-aborsi

Ali, M. & Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja.Jakarta : Bumi Aksara.

Anwar, M. (2000). Peranan Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas Tumbang Anak.

Barber, B. K., Maughan, S. L., & Olsen, J. A. (2005). Patterns of parenting across adolescence. New Directions for Child and Adolescent Development, 1008, 5 – 16

Baumrind, D. (2011). Prototypical Descriptions of 3 Parenting Styles

http://www.devpsy.org/teaching/parent/baumrind parenting_styles.pdf

Bee, H. & Boyd, D. (2004). The Developing Child”, 10th ed, Pearson Education. Berita Satu, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013

(29)

BNN, (2011). Diunduh pada 1 Oktober 2013 http://bnn.go.id/portal/

BPS, (2010) Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/files/search/searchtex t.xml

Casmini. (2007). Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.

Chassin, L., McLaughlin, L. M., & Sher, K J. (1988). Self-awareness theory, family history of alcoholism, and adolescent alcohol involvement. Journal ofAbnormal Psychology, 97, 206-217.

De Kemp, R. A. T., Scholte, R.H. J., Overbeek, G.., Engels, & Rutger C. M. E. (2006). Early Adolescent Delinquency : The Role of Parents and Best Friends. Criminal Justice and Behavior 33: 488

Dornbusch, S. M., Ritter, P. L., Mont-Reynaud, R., & Chein, Z. (1990). Family decision making and academic performance in a diverse high school population. Journal of Adolescent Research, 5,143-160.

Edward, D. C. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan Orang Tua Untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung : PT. Mizan Utama.

Helen, (2000). Peranan psikologi dalam menanggulangi masalah juvenile delinquency di Indonesia. Jurnal ilmiah psikologi arkhe. Vol 5, 9, 79-84.

Hurlock, E.B. (1973). Adolecent Development. Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd.

Hurlock, E.B. (1991). Child Development. 6th. Ed. (Alih Bahasa oleh Tjandrasa, M; dan Zarkasih, M.). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth edition. Mc Graw Hill.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Jawapos, (2013). Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.jawapos.com/

Kartono, K. (2003). Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Cetakan Ketiga. Bandung: PT Raja Grapindo Persada.

Kakihara, F. & Tilton-W, L. (2009). Adolescents' interpretations of parental control: differential by domain and types of control. Child Development Volume 80 number 6

(30)

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Media Indonesia, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.indonesiamedia.com/

Murtiyani, N. (2011). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja Di RW Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Keperawatan. Vol 1, No. 1.

Nawawi, A. (2001). Diunduh pada 3 Oktober 2013 Intervensi sosial terhadap tawuran remaja http://www.scribd.com/doc/91828342/Intervensi-Sosial-Tawuran-Pelajar

Neuman, L. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach (3th ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon A Viacom Company. Polri, 2010. Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://metro.polri.go.id/

Rahmania, A. M. dan Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara Persepsi terhadap Kontrol Orangtua dengan Kecenderungan Perilaku Delikuensi pada Remaja yang pernah Terlibat Tawuran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 3.

Republika, 2013. Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/13/09/10/msw3n0-polisi-perketat-pemberian-sim-di-bawah-umur

Santrock, J.W. (1996). Adolescence. 6th Edition. Dubuque, Lowa : Wm. C. Brown Publishers.

Santrock, J. W. (2003). Adolescece Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W (2006). Life – Span Development jilid 2 (terjemahan). Jakarta:

Erlangga.

Sarwono, W. S. (2004). Psikologi remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Segrin, C. & Flora, J. (2005). Family communication. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates, Publishers.

Simandjuntak, B. (1984). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Percetakan Offset Alumni.

Suara Pembaruan, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.suarapembaruan.com/home/

Sujoko. (2011). Hubungan antara Keluarga Broken Home, Pole Asuh Orang Tua, dan Interaksi Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja.

Sulaeman, D. (1995). Psikologi Remaja, Dimensi-dimensi Perkmbangan. Bandung: Mandar Maju.

Supartini. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. EGC, Jakarta.

Ulwan. 2009??

(31)

Wiwit Wahyuning., Jash., & Metta Rachmadian, 2003??

Gambar

Tabel 1.1 Review Jurnal Tentang Kenakalan Remaja
Tabel Angket

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah: 1). Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh permisif dengan sikap terhadap perilaku seks bebas pada remaja. 2) untuk mengetahui

Adanya pola asuh otoriter yang sedang yang diterima oleh remaja SMA N 1 Karangdowo karena lingkungan Karangdowo masih termasuk lingkungan pedesaan, dimana cara-cara

Resiliensi pada Remaja ditinjau dari Pola Asuh Demokratis Orang Tua dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua.. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ).Yogyakarta : Fakultas

[57] [20] Santrock (1995) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial , melanggar status, hingga melakukan tindak kriminal.

Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Perilaku Delinquency Pada Remaja di SMP Bhakti Turen Malang

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada remaja di Rutan Surabaya yang melakukan tindakan delinquency terkait hubungan antara pola asuh orangtua dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari Pola Asuh Orang tua dengan Kenakalan Remaja, adapun subjek responden pada penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Negeri

Hasil ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang sangat signifikan antara keluarga broken home, pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya terhadap kenakalan remaja dan