It Takes A Village To Raise A Child
: Menuju Indonesia Yang Layak Anak
Oleh: Rolan P. Sihombing, STh1 Abstraksi
Indonesia sedang mengalami darurat perlindungan anak. Awal bulan lalu, Engeline menjadi korban kekerasan terhadap anak yang berujung pada kematian bocah malang kelas 2 SD. Kasus Engeline hanya fenomena puncak gunung es, dimana banyak Engeline yang lain yang berpotensi ataupun sedang mengalami kekerasan. Selain penanganan kasus kekerasan terhadap anak secara ligitatif harus didorong agar lebih efektif, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dengan menggunakan sistem dan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas, harus menjadi pilihan yang diambil oleh masyarakat Indonesia. Karena upaya menangani kasus-kasus kekerasan pada anak, tidak bisa lagi berbasis isu sempit dan sektoral, ataupun berfokus pada kelompok anak tertentu. Melalui sebuah mekanisme dan sistem perlindungan anak yang efektif di dalam komunitas, anak-anak yang ada di komunitas akan terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran.
Pendahuluan: Elegi2 Untuk Engeline
Pada tanggal 10 Juni 2015, Engeline, bocah cantik yang dikabarkan menghilang sejak 16 Mei 2015, telah ditemukan dalam keadaan membusuk di bawah kandang ayam di halaman rumahnya. Menurut keterangan tim evakuasi, jenazah gadis malang ini dibungkus sprei dalam keadaan telungkup sembari memeluk boneka kesayangannya. Sejak diberitakan menghilang oleh ibu angkatnya Margriet, perhatian publik pun tersedot dalam keprihatinan terhadap nasib Engeline. Bahkan pada tanggal 3 Juni yang lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bersama Yayasan
Sahabat Anak Bali, Safe Childhood Foundation dan Kerobokan Mum’s Community melakukan
aksi penyusuran jalan sejauh 2 km, yang merupakan rute Engeline berangkat ke sekolah setiap harinya. Berita tentang Engeline ini juga diramaikan dengan pernak-pernik cerita seperti diusirnya Menteri PAN-RB, Yuddy Chrisnandi, dari kediaman ibu angkat Engeline; atau berita lainnya tentang kedatangan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise ke rumah Margriet yang berbuah nihil, karena tidak ada satu pun orang di rumah yang berlokasi di Jalan Sedap Malam, Sanur tersebut.
Pada sekitar pukul 9 malam di hari yang sama, Agus Tai Hamdamai yang merupakan mantan pembantu rumah tangga di rumah Margriet, mengaku telah memperkosa dan mengubur Engeline yang malang ini. Namun selang 9 hari kemudian, ia membuat pengakuan yang berbeda, bahwa ia tidak pernah memperkosa Engeline; ia hanya diperintahkan Margriet untuk mengubur Engeline. Menurutnya lebih lanjut Engeline sudah sekarat ketika ia melihat di kamar majikannya, Margriet
1 Penulis adalah alumni STT INTI. Saat artikel ini ditulis (tahun 2015) penulis bekerja di sebuah lembaga donor, Indonesia Untuk Kemanusiaan di Jakarta.
Megawe. Polisi juga saat ini sedang menguji bercak darah yang ditemukan di kamar tersebut, dan masih menelusuri kemungkinan ada pelaku lain yang terlibat dalam kematian Engeline. Dan pada 28 Juni 2015, Margriet Megawe resmi dinyatakan sebagai tersangka penganiayaan dan pembunuhan berencana terhadap Engeline. Sampai tulisan ini dibuat, polisi masih menelusuri pelaku lain yang terlibat dalam penganiayaan Engeline yang malang.
Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian yang terjadi pada Engeline, seakan kembali mencuatkan kesadaran bahwa dunia yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah dengan penuh kasih ini, ternyata masih merupakan tempat yang tidak aman untuk anak-anak. Ironisnya peristiwa tragis yang menimpa Engeline tersebut merupakan fenomena puncak gunung es kasus kekerasan terhadap anak. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat sebanyak 3.700 kasus kekerasan atas anak terjadi setiap tahunnya. Jika dihitung secara mendetail, per hari terdapat sekitar 13 hingga 15 kasus terjadi setiap hari. Terkait kasus kekerasan pada anak, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan bahwa di Jakarta saja pada tahun 2015 tercatat lebih dari separuh kasus kekerasan pada anak yang terdata atau sebanyak 52,7 persen (332 kasus), merupakan kasus kekerasan seksual. Dari data yang mencengangkan itu, 22 persen kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak pernah sampai ke pengadilan karena dianggap kurang bukti. Jika sampai pengadilan pun, para terdakwa pada umumnya hanya divonis 3-9 tahun penjara. Yang lebih memilukan hati adalah sebagian lain dihukum kurang dari 3 tahun penjara, atau bahkan malah divonis bebas.
Kasus Kekerasan Terhadap Anak: Refleksi Dari Pengalaman Meng-advokasi Hak Anak di Kabupaten Manggarai
Kekerasan terhadap anak-anak adalah pelanggaran terhadap hak anak-anak, seperti yang sudah diatur dalam UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penyelenggaraan perlindungan anak ini berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) meliputi: (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam UU tentang perlindungan anak ini, setiap anak di Indonesia dijamin untuk memperoleh hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sehingga terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Non-diskriminasi Partisipasi
Hubungan empat prinsip hak anak tersebut digambarkan dalam diagram. Diagram tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan Kualitas Hidup (well-being) anak sangat tergantung dari pemenuhan hak lain, yaitu:
1. Prinsip atas Hak Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang. Setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan dan negara wajib menjamin kelangsungan hidup serta perkembangan anak sampai batas maksimal.
2. Prinsip Non Diskriminasi. Semua hak yang diakui dan terkandung di dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun, berdasarkan asal-usul, suku, ras, agama, politik, dan sosial ekonomi.
3. Prinsip Kepentingan Terbaik untuk Anak. Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak. Anak yang memiliki pandangan-pandangan sendiri dan mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangan-pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak. Terdapat nilai menghormati hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya.
Menurut Suharto (1997), kekerasan pada anak dapat dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, kekerasan anak secara fisik. Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Para pelaku kekerasan secara fisik terhadap anak, khususnya orangtua atau guru, biasanya beralasan bahwa perbuatan mereka terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
Kelangsungan Hidup
Kekerasan fisik sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau risiko cedera tersebut. Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).
Kedua, kekerasan anak secara psikis. Kekerasan secara psikis meliputi bullying, penghardikan, ataupun penyampaian kata-kata kasar dan kotor, seperti bodoh, tolol, anak kurang ajar dan sebagainya. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan secara angkuh, misalnya perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan; teror, misalnya ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak; mengeksploitasi atau merusak, misalnya mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal; menyangkal respon emosional, misalnya mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang; dan mengisolasi, misalnya membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan (Brassard & Hart, 2000).
Ketiga, kekerasan anak secara seksual. Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Upaya orang dewasa memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak, juga dapat dikategorikan sebagai perilaku kekerasan anak secara seksual.
Keempat, kekerasan anak secara sosial. Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.3
Pada saat penulis menangani proyek Child Protection and Advocacy (CPA) di Kabupaten Manggarai bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) Kabupaten Manggarai, penulis beberapa kali melakukan kegiatan body mapping.4 Dari kegiatan-kegiatan tersebut ditemukan fakta bahwa bagian kepala, paha dan betis merupakan bagian tubuh anak-anak yang sering mendapatkan jambakan, jitakan, pukulan dan juga cubitan dari pelaku kekerasan. Lebih mengejutkan, pelaku kekerasan yang menjambak, memukul dan mencubit, adalah guru di sekolah,5 orangtua dan keluarga seperti paman/bibi, serta teman sebaya.
Selain kekerasan fisik, kekerasan lainnya yang kerap dilakukan terhadap anak adalah mempekerjakan anak. Berdasarkan focus group discussion (FGD) yang penulis lakukan pada saat kegiatan bersama anak, praktek yang paling jamak terjadi adalah adalah anak-anak kerap kali disuruh oleh sebagian oknum guru tempat anak-anak tersebut bersekolah, untuk menimba air di sumur ataupun mencuci piring kotor di dapur oknum guru tersebut. Ironisnya, mempekerjakan
3 Bentuk ekploitasi orang dewasa kepada anak yang mudah ditemui di kota-kota besar, adalah eksploitasi secara ekonomi, yaitu anak yang sebagian besar waktunya berada dan/atau bekerja dan hidup di jalanan. Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI, anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa. Data lapangan ditemukan anak yang sengaja menjadi pengamen di jalanan untuk mendapatkan uang jajan. Berbagai penyebab anak harus berada di jalan, diantaranya adalah karena orangtua (bapak meninggal dunia) sehingga anak harus mencari sendiri kebutuhan hidupnya, karena pencari kerja utama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup tidak ada lagi. Kemudian ditemukan juga anak yang terjebak dalam perdagangan orang dan mengalami tindak kekerasan seksual.
4 Body mapping adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengalaman kekerasan yang dialami anak. Anak-anak secara partisipatif menggambarkan bentuk badan secara utuh dari kepala sampai kaki. Setelah bentuk badan sudah tergambar, anak-anak kemudian menempelkan sticker atau post-it notes pada bagian-bagian tubuh yang kerap mendapatkan tindakan kekerasan dari orang dewasa.
anak juga menjadi praktek yang lumrah dilakukan para pemilik toko di kota yang sangat dingin tersebut. Dapat dengan mudah dijumpai anak-anak yang seharusnya masih harus bersekolah, menjadi karyawan di toko-toko yang ada. Dalam diskusi antara penulis dengan Suster Chaterine dari Kesusteran Gembala Baik Ruteng, tak jarang anak-anak tersebut dipekerjakan tanpa mendapatkan upah yang layak, ataupun minimal diupayakan untuk tetap bersekolah.
Selain pekerja anak domestik, tak sedikit juga kasus child trafficking yang terjadi di Kabupaten Manggarai. Dalam sebuah kegiatan wawancara mendalam untuk baseline survey Child Protection and Advocacy di Kabupaten Manggarai yang merupakan proyek dari World Vision Australia yang dikelola oleh penulis dua tahun yang lalu, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Manggarai Bripka Syamsu, SH, menyatakan bahwa kasus child trafficking di Kabupaten Manggarai tidak bisa dianggap sepele. Deraan kemiskinan di desa-desa yang ada di Kabupaten Manggarai, menjadi salah satu faktor pendorong utama banyaknya anak-anak di bawah 18 tahun dari desa-desa di Kabupaten Manggarai, pergi mencari peruntungan di Jakarta, Surabaya dan Makassar dengan menjadi pembantu rumah tangga. Tak sedikit juga yang nekat dengan bekal pendidikan seadanya, menjadi buruh migran ilegal. Bahkan ada beberapa korban perdagangan anak yang menjadi korban perdagangan anak namun berhasil diamankan Unit PPA Polres Manggarai, tidak bisa menggunakan dispenser karena belum pernah melihat dispenser sebelumnya.
Tidak hanya kekerasan fisik seperti pukulan, cubitan dan sebagainya ataupun kasus child trafficking yang marak terjadi di Kabupaten Manggarai; kasus kekerasan seksual terhadap anak juga marak terjadi dengan tren kasus yang semakin meningkat setiap tahunnya. Menurut data terbaru dari Unit PPA Polres Manggarai, jumlah kasus pelecehan seksual dan persetubuhan anak di bawah umur sejak Januari hingga Juni 2015 yang sudah ditangani sebanyak 9 kasus. Salah satu kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kota Ruteng baru-baru ini, adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang kakek berusia 62 tahun terhadap seorang siswi kelas 5 SD.6
Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Gelles (1987) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor. Pertama, pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violance). Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini
sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Dan sebaliknya, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
Salah satu contoh pelanggengan budaya kekerasan yang diturunkan dari generasi ke generasi
berikutnya, tercermin pada pernyataan “Di ujung rotan, ada emas.” Arti dari pernyataan itu adalah jika anak-anak melakukan kesalahan maka sebagai cara untuk mendidik dan memperbaiki kelakuan anak-anak, maka setiap pukulan yang dilakukan orangtua kepada anak, baik menggunakan alat bantu ataupun tidak, akan membentuk perilaku anak-anak menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Namun pada faktanya, angka kekerasan yang terjadi di daerah yang mempercayai pernyataan menyesatkan ini, justru menghasilkan generasi-generasi yang akan mewariskan pengalaman kekerasannya pada generasi berikutnya. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan bahwa agar budaya kekerasan dapat sirna dari NTT,
maka pernyataan tersebut harus diganti dengan “Di ujung rotan, ada penjara.7
Kedua, stress sosial (social stress). Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini antara lain seperti pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), keberadaan orang cacat (disabled person) di rumah, dan peristiwa kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
Ketiga, isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat. Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak pada umumnya memiliki kecenderungan terisolasi secara sosial. Hasil-hasil penelitian menunjukkan sedikit sekali orangtua yang melakukan kekerasan pada anaknya, aktif terlibat dan ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat; dan pada saat yang sama, para pelaku umumnya tidak memiliki hubungan yang aktif dengan teman ataupun kerabat. Contoh nyata terlihat pada kasus Engeline, dimana warga sekitar tempat tinggal Margriet, baik yang di Bekasi maupun yang di Bali, menyatakan bahwa keluarga Margriet cukup tertutup sehingga warga tidak terlalu mengenal baik Margriet dan anak-anaknya.8
Keempat, struktur keluarga. Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua
7 http://kupang.tribunnews.com/2014/06/18/kekerasan-fisik-menimpa-100-anak
utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Dari beberapa faktor di atas, faktor-faktor menjadi fakta penyebab kekerasan terhadap anak sangatlah kompleks dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Kemiskinan, tingkat pendidikan, level stres orangtua, ataupun kultur adalah sebagian faktor-faktor pendorong yang menyuburkan dan melanggengkan kasus-kasus kekerasan pada anak. Tetapi faktor-faktor tersebut merupakan efek dari kegagalan menjawab asumsi atau prakondisi yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak. Lemahnya kesadaran hukum di antara orangtua dan komunitas masyarakat yang ada di sekitar anak, dan ditambah minimnya pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki oleh orangtua tentang pola-pola pengasuhan tanpa kekerasan serta pengetahuan mengenai UU Perlindungan Anak, menjadi penyebab makin rentannya anak-anak mendapatkan kekerasan. Hal-hal tersebut masih diperparah dengan rendahnya keterampilan dan pengetahuan para pelaksana tugas dan penyedia layanan perlindungan anak mengenai pengetahuan-pengetahuan mendasar terkait anak seperti psikologi perkembangan anak, dan tingkat partisipasi anak, menjadi sinyalamen bahwa mekanisme perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan multi stakeholders yang ada di masyarakat, sangatlah diperlukan sehingga proses pengarusutamaan hak anak (PUHA)9 dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat dapat terjadi, yang kemudian pada akhirnya akan bermuara pada sebuah lingkungan yang ramah anak.
Untuk memaksimalkan berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak, diperlukan pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan berfokus hanya pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak yang efektif akan dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran.
Membangun Sistem dan Mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Komunitas
9
Sistem dan mekanisme perlindungan anak yang efektif dan berdasarkan pengarusutamaan hak
anak, mensyarakatkan adanya komponen-komponen yang saling terkait. Komponen-komponen
ini meliputi: (a) sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga; (b) sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional; dan (c) mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat, berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak dan meningkatkan kapasitas keluarga untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat masyarakat, haruslah dimulai dari layanan
pencegahan primer dan sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan
primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang mengubah sikap dan perilaku, memperkuat keterampilan orangtua, dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak.
Yang dimaksud dengan layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak-anak, misalnya melalui konseling dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Sedangkan layanan penanganan tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakan-tindakan buruk lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan memberikan layanan dukungan.
Dalam pengalaman penulis, layanan kesejahteraan sosial dan keluarga di Kabupaten
Untuk membangun sistem dan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas yang efektif, maka perlu diadakan sebuah ruang dimana seluruh unsur masyarakat bertemu, berdiskusi dan menyepakati pentingnya melindungi anak dari ancaman kekerasan yang dilakukan oleh orang di luar komunitas atau bahkan yang dilakukan oleh orang terdekat dari seorang anak. Dalam pertemuan ini masyarakat harus membuat konsensus bersama, dan dengan penuh komitmen tersebut mengupayakan terwujudnya lingkungan yang ramah anak—dimulai dari rumah masing-masing individu hingga kelompok komunitas yang lebih luas lagi.
Mengenai arti komunitas, Kenneth Wilkinson (1991) dalam Green dan Haines (2002:4) menyatakan bahwa komunitas yang efektif sekurang-kurangnya mempunyai tiga unsur dasar, yaitu:
1. Adanya batasan wilayah atau tempat (territory or place).
2. Merupakan suatu organisasi sosial atau institusi sosial yang menyediakan kesempatan untuk warganya agar dapat melakukan interaksi antar warga secara reguler.
3. Interaksi sosial yang dilakukan terjadi karena adanya minat ataupun kepentingan yang sama (common interest).
Pada pertemuan-pertemuan yang terjadi di komunitas inilah, selain upaya membangun consensus bersama mengenai pentingnya membangun mekanisme dan sistem perlindungan anak sejak dini, masyarakat juga perlu diberikan peningkatan kapasitas mengenai: (a) pengetahuan-pengetahuan praktis tentang isu-isu kekerasan pada anak dan pola asuh yang tanpa kekerasan; (b) pemetaan anak-anak di komunitas yang rentan mengalami kekerasan atau penelantaran; (c) pemetaan kapital-kapital ataupun aset-aset yang ada di masyarakat yang dapat digunakan, seperti bangunan yang dapat digunakan untuk kegiatan warga ataupun kegiatan anak, atau layanan-layanan perlindungan anak yang tersedia di komunitas; (d) bagaimana cara melaporkan sebuah kasus kekerasan anak yang terjadi dan merujuk kasus kekerasan pada anak pada penyedia layanan yang ada di tengah masyarakat.
Mengenai layanan-layanan perlindungan anak yang perlu diketahui masyarakat antara lain: 1. Di tingkat nasional, sudah ada lembaga yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus
perlindungan anak, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dua lembaga ini memiliki tugas lembaga terdepan dalam advokasi maupun pendampingan anak yang menjadi korban ataupun yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, terkait anak yang menjadi korban kekerasan ataupun menjadi saksi terhadap kasus kekerasan pada anak yang sedang ditangani secara hukum, ada lembaga khusus yang dibentuk Negara, yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini dibentuk secara khusus oleh Pemerintah untuk menjamin perlindungan secara komprehensif terhadap saksi dan korban sebuah tindak kejahatan.
kasus kekerasan pada anak, dan juga kasus kekerasan pada perempuan. Selain itu Unit PPA juga melakukan proses penanganan kasus dengan melakukan penyidikan perkara. 3. Di tingkat Kota, ada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberyaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A). P2TP2A merupakan lembaga pelayanan yang harus ada di setiap daerah di seluruh Indonesia, yang bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat dapat melindungi anak-anak dan perempuan dari bahaya kekerasan. P2TP2A juga merupakan pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi masyarakat terutama perempuan dan anak korban tindak kekerasan melalui wahana operasional pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dikelola oleh masyarakat dengan pemerintah melalui pelayanan fisik, informasi, rujukan, konsultasi dan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak. Layanan lain yang tersedia bagi anak yang mengalami kekerasan, adalah khususnya layanan visum. Bagi korban yang terdaftar sebagai korban oleh LPSK, layanan ini akan dibayarkan oleh LPSK.
Selain membentuk ruang diskusi dan pemberdayaan masyarakat mengenai mekanisme dan sistem perlindungan anak, masyarakat juga perlu memberi ruang bagi anak menyatakan pendapatnya ataupun berpartisipasi dalam menyuarakan haknya sebagai anak. Ini bisa dimulai dari unit terkecil dalam keluarga, yaitu keluarga. Orangtua dapat menciptakan sebuah ruang dimana anak bebas menyatakan pendapatnya, seperti menu makanan yang ia inginkan, atau usulan perjalanan rekreasi yang bisa dilakukan secara bersama.
Di level komunitas, masyarakat dapat memberikan ruang partisipasi anak untuk mengekspresikan pendapatnya mengenai hal-hal seperti kebersihan lingkungan, sarana bermain ataupun perpustakaan komunitas. Ruang partisipasi ini bisa melalui media majalah dinding yang ditempelkan di kantor Kelurahan, ataupun melalui ajang musrenbang anak di tingkat desa atau kelurahan. Untuk pengarusutamaan hak anak, Pemerintah bersama masyarakat juga mendorong anak-anak untuk membentuk Forum Anak Desa/Kelurahan. Forum Anak ini merupakan amanat dari Permeneg PP & PA Nomor 03 tahun 2011 Tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan.
Kesimpulan: Yesus dan Anak-anak
Injil Markus pasal 10 ayat 13 sampai 16, merupakan nats yang merekam bagaimana perlakuan dan tindak-tanduk Yesus terhadap anak-anak.
anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya. Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
Dari nats di atas, terdapat tiga perilaku Yesus yang menggambarkan perlakuan dan pemahamanNya sebagai orang dewasa kepada anak-anak. Pertama, adalah Yesus tidak meng-eksklusi10 anak-anak yang dibawa datang kepadaNya. Sebagaimana Yesus melakukan pelayanan pada orang-orang yang membutuhkan kuasa-Nya, Yesus juga memasukkan anak-anak di dalam daftar orang-orang yang Ia layani. Anak-anak yang masih bergantung pada orangtuanya tersebut, Ia izinkan untuk berada di dekatNya. Ia memfasilitasi anak-anak yang datang padaNya, serta memberikan akses kepada anak-anak untuk mendapatkan pengurapan dan berkat dariNya. Tak tanggung-tanggung, Ia juga memarahi murid-muridNya sendiri yang berupaya menghalangi anak-anak itu dariNya.
Kedua, sementara murid-muridNya menganggap anak-anak sebagai pengganggu yang akan merepotkan Gurunya, Yesus justru menilai anak-anak yang datang sebagai pribadi yang utuh dan bahkan mengenali anak-anak sebagai pemilik Kerajaan Allah. Yesus tidak memandang keberadaan anak-anak yang mungkin dipandang sebelah mata oleh murid-muridNya. Yesus mengenali anak-anak yang dibawa kepadaNya sebagai yang empunya Kerajaan Allah.
Berdasarkan ranah pemberdayaan masyarakat, anak-anak dapat dikelompokkan dalam kelompok yang kurang beruntung. Ini bukan dikarenakan anak-anak defisit potensi atau daya, tetapi karena anak membutuhkan perantara yang menjembatani gap antara daya yang sebenarnya ada pada anak dengan stigma masyarakat yang menganggap anak sebagai “setengah” manusia yang belum mampu melakukan apa pun. Sehingga memberdayakan anak, sejatinya adalah adalah sebuah upaya untuk meningkatkan daya dari kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged) karena minimnya kesempatan mengakses sumber daya yang mereka butuhkan (Ife, 2006:65).
Ketiga, Yesus memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Yesus tidak hanya sekedar menyambut kedatangan anak-anak dengan ramah, ataupun memandang anak-anak sebagai yang empunya Kerajaan Allah; tetapi Yesus juga mengekspresikan penerimaannya dan keyakinanNya akan potensi anak-anak melalui sikap dan perilaku yang penuh dengan kasih sayang. Dalam teks Injil tersebut di atas, dinyatakan bahwa Yesus memeluk anak-anak yang datang kepadaNya. Bahkan tidak hanya itu, Yesus pun meletakkan tanganNya atas mereka, dan memberkati mereka.
Perilaku Yesus yang penuh kasih sayang terhadap anak-anak yang datang padaNya, merupakan cerminan dari pengalaman masa kecilNya yang diasuh dengan penuh kasih sayang. Meski tidak dinyatakan dengan jelas mengenai kehidupan Yesus pada masa kanak-kanak hingga kemunculanNya pada usia 30 tahun untuk memulai pelayanan, Injil Lukas 2:52 menyatakan bahwa Yesus semakin mendapat mengalami kasih sayang dari Allah dan dari manusia. Yesus tumbuh dalam lingkungan keluarga dan tetangga yang menerima dan mengasihiNya. Sehingga tak heran, Yesus pun memperlakukan anak-anak yang datang kepadaNya dengan penuh kasih sayang.
Berdasarkan tiga hal tersebut, maka teladan Yesus dalam membuka diri terhadap anak-anak dan menerima mereka, menemukenali jatidiri dan potensi anak, serta memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang dan bukan dengan kekerasan, dapat menjadi landasan untuk pembentukan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas dan mengupayakan sebuah lingkungan yang ramah dan layak bagi anak untuk hidup bertumbuh dan berkembang sesuai rencana Allah, dapat berpartisipasi menyatakan pendapatnya tanpa mengalami perlakuan diskriminasi dan mendapatkan segala hal yang terbaik yang anak-anak butuhkan untuk masa depannya.
“It takes a village to raise a child,” demikian peribahasa kuno Afrika yang dipopulerkan oleh
Hillary Clinton lewat bukunya yang berjudul sama pada tahun 1996. Peribahasa ini menyatakan dengan eksplisit bahwa well-being seorang anak, merupakan kerja kolektif seluruh anggota masyarakat. Ketika anak dihargai sebagai manusia utuh yang memiliki potensi, ketika ia dilindungi oleh seluruh masyarakat sekitarnya, ketika ia didengar pendapatnya dan diminta berpartisipasi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitarnya, maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi agen-agen perubah masyarakat yang lebih sejahtera. Ketika masyarakat secara kolektif menyadari bahwa well-being seorang anak merupakan tanggung jawab bersama, maka tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi korban.
Selamat jalan Engeline. Maafkan kami semua karena belum mampu memberikan tempat yang aman untukmu tumbuh dewasa mencapai segala hal-hal yang baik yang mungkin dapat kamu alami. Semoga darimu, kami lebih aktif bertindak, dan arif belajar sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban. Damailah di Surga, Adik sayang.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Buku-buku
Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial:Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: FISIP-UI Press.
____________________. 2012. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat: Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Astuti, Mulia. 2013. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak: Studi Kasus Program Kesejahteraan Anak di Propinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan NAD. Jakarta: P3KS Press.
Departemen Sosial RI. 2008. Pedoman Pelayanan Anak Terlantar Berbasis Keluarga dan Masyarakat. Jakarta.
Gelles, Richard J., & Jane Lancaster (ed). 1987. Child Abuse and Neglect: Biosocial Dimensions. Hawthorne, NJ: Aldine De Gruyter.
Green, Gary Paul., & Anna Haines. 2002. Asset Building and Community Development. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Percikan Pemikiran. Bandung: LSP
__________. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama.
__________, 2013. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.