KONSELING KELUARGA DENGAN HUMAN VALIDATION PROCESS MODEL UNTUK MENINGKATKAN PROSOSIAL ANAK DALAM KELUARGA DI DESA KEMBANG KUNING KERAMAT II SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
OLEH :
UMMY HABIBAH
B53213074
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAKSI
Ummy Habibah (B53213074), konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model dalam Meningkatkan Prosoial Anak dalam Keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya.
Fokus penelitian adalah (1) Apakah penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II? (2) Bagaimana proses konseling dengan human validation process model dalam kasus meningkatkan prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya? (3) Bagaimana hasil akhir konseling keluarga dengan human validation process model dalam kasus meningkatkan prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
Dalam menjawab permasalah tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif komparatif. Dalam menganalisa penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga. Data yang digunakan berupa hasil observasi yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisa data. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga diantaranya adalah orangtua konseli tidak memberikan konseli kesempatan untuk mengutarakan keinginannya (honest), konseli memberontak karena tidak dapat mengutarakan keinginannya, orangtua tidak mengajarkan berperilaku prososial (modelling). Dalam penelitian ini, konseling keluarga menggunakan pendekatan human validation process model dimana konseli diharapkan dapat membangun komunikasi positif sebagai salah satu syarat interaksi positif sehingga perilaku prososial dapat ditingkatkan. Hasil akhir dari penelitian melalui proses konseling keluarga dengan human validation process model cukup berhasil dengan prosentase 66,7%, yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan pada sikap atau perilaku konseli yang kurang baik mulai menjadi lebih baik.
DAFTAR ISI
COVER ... i
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Definisi Konsep ... 6
F. Metode Penelitian ... 13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 13
2. Subjek Penelitian ... 13
3. Tahap-Tahap Penelitian ... 14
4. Jenis dan Sumber Data ... 15
5. Teknik Pengumpulan Data ... 17
6. Teknik Analisis Data ... 19
7. Teknik Keabsahan Data... 19
G. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II: KONSELING KELUARGA, HUMAN VALIDATION PROCESS MODEL, PROSOSIAL A. Konseling Keluarga ... 22
1. Konseling Keluarga ... 22
a. Definisi Konseling Keluarga ... 22
b. Permasalahan Dalam Keluarga ... 27
c. Peranan Konselor Dalam Konseling Keluarga ... 30
2. Human Validation Process Model ... 31
a. Konsep Dasar ... 31
b. Tujuan Terapi ... 34
c. Fungsi dan Peran Konselor... 36
d. Teknik-Teknik Konseling... 37
3. Prososial ... 40
a. Tahapan Perilaku Prososial ... 41
b. Faktor Penentu Perilaku Prososial ... 43
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 48
BAB III: PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 49
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49
2. Rekapitulasi Usia Penduduk ... 51
3. Deskripsi Konselor ... 51
4. Deskripsi Konseli ... 53
a. Deskripsi Kepribadian Konseli ... 53
b. Deskripsi Masalah Konseli ... 54
c. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 55
d. Kondisi Ekonomi Konseli ... 57
e. Kondisi Keagamaan Keluarga ... 58
f. Kondisi Lingkungan Konseli... 59
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 60
1. Proses Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 61
a. Identifikasi Masalah ... 61
b. Diagnosis ... 63
c. Prognosis ... 64
d. Treatment/Terapi ... 65
e. Evaluasi/Follow up ... 72
2. Deskripsi Hasil Akhir Pelaksanaan Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 71
BAB IV: ANALISIS DATA A. Analisis Data Tentang Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 77
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Konsep Human Validation Process Model
Tabel 3.1 Data Penduduk
Tabel 3.2 Kontrak Perubahan Perilaku Konseli
Tabel 3.3 Kontrak Perubahan Perilaku Bapak
Tabel 3.4 Kontrak Perubahan Perilaku Ibu
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Tahap-tahap Melakukan Tindakan Prososial
Bagan 2.2 Tahapan Perilaku Prososial
Bagan 3.1 Genogram
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keharmonisan dalam sebuah keluarga adalah harapan banyak orang.
Sebuah keharmonisan keluarga, tentu hal yang dapat dicapai dengan adanya
interaksi antar anggota keluarga. Interaksi antar anggota tidak akan terjadi
tanpa adanya komunikasi. Komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pernyataan atau informasi oleh seseorang kepada orang lain untuk mengubah
perilaku atau pendapat orang tersebut baik secara langsung maupun melalui
media massa.2
Komunikasi adalah satu penyebab terjadinya interaksi antar anggota
keluarga, baik verbal maupun non-verbal.3 Namun, bagaimanakah sebuah
interaksi dapat terjadi dengan baik apabila tidak ada komunikasi yang baik.
Tidak mungkin dalam sebuah keluarga tidak ada interaksi yang terjadi, karena
tidak mungkin anggota keluarga tidak berkomunikasi dengan anggota yang
lain. Namun dalam sebagian keluarga tetap saja komunikan, baik itu orangtua
ataupun anak tidak bisa menangkap pesan komunikasi yang dilakukan
sekalipun berkomunikasi dengan efektif.
Keluarga adalah wadah berkomunikasi yang paling intens dalam
membangun kepribadian seorang anak. Beberapa hal yang mempengaruhi
kepribadian seorang anak adalah sebagai berikut:
2
Onong Uchana Effendy, Dinamika Kelompok, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2008), hal. 5
3
2
1. Macam dan kualitas hubungan antarpersonal, terutama antara orangtua
dan anak;
2. Tingkat kualitas dan kuantitas hubungan antarpersonal dapat
menghindarkan anak dari deprivasi;
3. Metode pengasuhan (parenting) dalam keluarga.4
Menurut paparan diatas, kita dapat mengetahui bahwa kepribadian
anak itu sangat dipengaruhi oleh keluarga. Dalam keluarga ada orang–orang
yang memiliki kedekatan emosional dengan anak yang disebut dengan
holding environment. Anak memiliki kedekatan emosional dengan orangtua
atau dengan salah satu dari orangtua (ayah atau ibu). Ayah, ibu dan anak
membentuk susunan nuclear family.5
Dalam sebuah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak. Keluarga adalah sebuah wadah terkecil dalam struktur atau
tatanan kehidupan bersosial. Keluarga merupakan ladang pertama dimana
individu mendapatkan hak–haknya sebagai manusia. Untuk memenuhi hak–
haknya maka individu juga harus melakukan kewajibannya. Melihat
fenomena yang terjadi banyak keluarga yang mengalami ketimpangan.
Ketimpangan yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh kurangnya
komunikasi yang persuasif dalam keluarga.6 Hal tersebut menyebabkan
tindakan yang dilakukan anggota keluarga, baik anak, ayah ataupun ibu tidak
proporsional atau pemenuhan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga
4
Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal. 6
5
Sri Lestari, Psikologi Sosial, (Jakarta: Kencana , 2012), hal. 3 6
3
tidak dijalankan. Namun, ada pula yang sudah menjalankan kewajiban dan
mendapatkan haknya, sehingga individu itu bisa membantu orang lain. Hal ini
terjadi karena dalam keluarga, sejak kecil sudah diajari bagaimana bersikap
demikian.
Fenomena yang sosial yang dikutip dari detik.com yang dilaporkan
oleh Maya Safira menuturkan bahwa orang yang berkepribadian menolong
dan tidak egois disebabkan adanya penanaman nilai semenjak usia dini.
Kepribadian menolong tidak dapat muncul tanpa adanya nilai–nilai yang
diajarkan orang tua kepada anak.7
Dalam skripsi yang ditulis tahun 2012 oleh Maya Budi Indriani yang
berjudul “perilaku prososial pada remaja ditinjau dari pola asuh demokratis”,
dapat diketahui bahwa keluarga sangat berperan dalam terciptanya perilaku
prososial. Dalam penanaman sikap prososial maka sangat perlu dimulai sejak
dini. Dengan penanaman nilai tolong menolong ini, maka keluarga dapat
mengajarkan anak bagaimana bersosialisasi dengan baik dengan
lingkungannya terutama dalam keluarga. Sehingga tidak dapat dihindari
bahwa hal tersebut sangatlah penting.8 Maka perlu diketahui bahwa keluarga
yang mendukung penanaman nilai akan membantu terbentuknya perilaku
prososial.
7 Maya Safira “Berbagi Makanan Sejak Kecil Buat Orang Lebih Baik”, detikFood, (online),(http://www.search.detik.com/index.php?fa=detik.searchresult&query=Prososial+keluarga &area-id=news&siteid=&x=0&y-0, diakses 11 November 2014)
4
Peneliti menemukan sebuah keluarga dengan fenomena anak yang
hidup dalam sebuah keluarga yang kurang harmonis. Sebut saja namanya
Dwi, dia anak kedua dari tiga orang bersaudara. Kakaknya sudah menikah di
usia enam belas (16) tahun dan adiknya kelas tiga (3) SD. Dwi adalah seorang
anak yang rentan putus sekolah, suka membolos dan kurang perhatian dari
orangtuanya.
Orangtua Dwi, Pak Totok bekerja sebagai seorang kuli bangunan
sedangkan ibunya, terkadang bekerja sebagai buruh setrika dan terkadang
malam harinya berjualan matrabak telur dipasar. Salah seorang dari orangtua
sangat menekannya, sehingga dia sangat tertutup dengan lingkungan. Saat ia
hendak mengutarakan sesuatu didepan orangtua, dia terlihat sangat sesak dan
bergetar–getar. Berbeda sekali saat menemuinya sendiri, konseli bisa
meluapkan emosinya dengan menangis.
Hal itu tidak bisa diungkapkannya saat berhadapan langsung dengan
kedua orang tuanya dan peneliti. Konseli merasa apa pentingnya untuk
berbuat sesuatu apabila tidak ada imbasnya untuk dirinya. Maka, Dwi masih
rendah keinginannya untuk prososial dan konseli memerlukan dukungan dari
keluarga. Keluarga yang mengajarkan kita untuk memiliki kepribadian yang
baik dan mampu berbuat prososial. Sikap prososial adalah sikap yang akan
tumbuh di dalam keluarga apabila sejak dini telah mengajarkan untuk
bersikap demikian. Sedangkan keluarga dari Dwi tidak mengajari dirinya
untuk prososial dengan dirinya sendiri apalagi dengan lingkungan sekitarnya.
5
keterbukaan sehingga dapat meningkatkan prososial Dwi terhadap dirinya
sendiri maupun dengan keluarga bahkan lingkungannya.
Melihat hal ini, peneliti merasa fenomena ini layak untuk diangkat
menjadi bahan penelitian. Peneliti ingin melihat seberapa jauh komunikasi
dalam keluarga mempengaruhi Dwi untuk melakukan perilaku prososial
dalam keluarganya. Maka peneliti mengangkat judul “Konseling Keluarga
dengan Human Validation Process Model Dalam Meningkatkan Prososial Seorang Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses konseling keluarga dengan human validation process
model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di
Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
2. Bagaimana hasil proses konseling keluarga dengan human validation
process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam
keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses konseling keluarga dengan human validation process
model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di
Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya
2. Mengetahui hasil proses konseling keluarga dengan human validation
process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam
6
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk masyarakat dan
mahasiwa pada khususnya. Manfaat adanya penelitian ini antara lain, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan konseling keluarga
yang ada dengan menginovasikan beberapa teori lama.
b. Sebagai sumber referensi dan pengetahuan bagi peneliti selanjutnya
dan dapat dijadikan rujukan dalam penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini mampu diaplikasikan bagi diri peneliti sendiri
maupun lingkungan dalam mengahadapi kasus prososial dalam
keluarga.
b. Bagi Masyarakat
Masyarakat bisa mengaplikasikannya bagi kehidupan mereka sehari–
hari, sehingga apabila menemukan kasus yang sama maka bisa
menjadikannya rujukan penelitian.
E. Definisi Konsep
1. Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model
Konseling secara etimologi konseling berasal dari kata
“counseling” yang berarti “to give advice” atau memberikan saran dan
nasihat9. Menurut Hallen, konseling merupakan alat yang paling penting
9
7
dari usaha yang pelayanan bimbingan. Sehingga konseli mampu
memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, mampu memecahkan
masalahnya, dan mengarahkan potensi dirinya dengan optimal, sehingga
mencapai kebahagiaan pribadi dan kebermanfaatan sosial.10
Aryatmi Siswohardjono mengungkapkan bahwa konseling (dari
sisi pertolongan dalam bentuk wawancara) menuntut adanya komunikasi
dan interaksi mendalam dan usaha mencapai tujuan guna memecahkan
masalah, pemenuhan kebutuhan ataupun pengubahan sikap dan tingkah
laku.11
Konseling dapat dilakukan melalui tatap muka langsung ataupun
tidak. Jadi, konseling adalah hubungan antara konselor dan konseli guna
memberikan bantuan untuk memecahkan masalah, pemenuhan kebutuhan
atau perubahan sikap atau tingkah laku. Konseling dilakukan guna
membantu konseli mendapatkan jawaban dari permasalahan yang terjadi
dalam keluarga.
Keluarga merupakan sistem sosial alamiah yang berfungsi
membentuk aturan–aturan, komunikasi dan negosiasi antar anggota
keluarga. Reiss mengungkapkan bahwa keluarga adalah suatu kelompok
kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi
utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.12
Konseling juga dapat diartikan sistem sosial yang alamiah dan
berfungsi sebagai pembentuk aturan, komunikasi dan negosiasi dalam
10
Hallen, Bimbingan dan Konseling,(Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hal. 11 11
Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islam, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hal. 34 12
8
anggota keluarga.13 Jadi, keluarga adalah wadah sosialisasi paling kecil
dalam tatanan sosial. Dari keluarga, sang anak mampu mengetahui,
memahami dan membiasakan dirinya untuk dapat berperilaku positif atau
berperilaku sebaliknya yaitu berperilaku negatif dan lain sebagainya.
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa hal itu sangat berkaitan dengan
meningkatkan prososial anak dalam keluarga.
Di Amerika Serikat, konseling keluarga muncul terutama dalam
masalah–masalah hubungan antara anggota keluarga (ayah, ibu, dan
anak–anak) dalam prespektif sosial.14 D. Stanton menyebutkan bahwa
konseling keluarga dianggap sebagai konseling khusus dari sudut
pandang oleh konselor terutama konselor non-keluarga, konseling
keluarga sebagai (1) modalitas yaitu konseli adalah anggota dari sebuah
keluarga, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau
pasangan.15
Konseling keluarga adalah proses membantu individu dengan
melibatkan anggota keluarga dalam upaya memecahkan masalah yang
terjadi.16 Upaya konseling keluarga ini kemudian ditujukan untuk
membangun keluarga bahagia. Keluarga bahagia yang islami kemudian
biasanya disebut sebagai keluarga sakinah.17
13
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 99
14
Sulistyarini dan Moh. Jauhar, Dasar–Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2014), hal. 235
15
Latipun, Psikologi Konseling,(Malang: UMM, 2015), hal. 149 16
Farid Mashudi, Psikologi Konseling, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2014), hal. 241 17
9
Menurut Glick dan Kessler mengemukakan tujuan umum dari
konseling keluarga, sebagai berikut:
a. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota
keluarga
b. Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi
c. Memberi pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu
yang ditunjukkan kepada orang lain.18
Dari paparan diatas, dapat diketahui bahwasanya konseling
keluarga adalah konseling khusus guna membantu memecahkan masalah
dalam anggota keluarga dengan melibatkan seluruh anggota keluarga.
Konseling keluarga yang dilakukan dapat berupa konseling kelompok
maupun konseling individu. Jadi, konseling yang diberikan pada konseli
berupa konseling keluarga baik itu perorangan maupun secara keseluruah
anggota keluarga untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi
anggota keluarga.
Salah satu pendekatan dalam konseling keluarga adalah human
validation procees model. Human validation process model yang
dicetuskan oleh Virgia Satir (1916–1988) yang merupakan seorang
terapis yang berpengaruh hingga sekarang. Human validation process
model atau Satir’s Theory berfokus kepada perkembangan holistik yang
18
10
sesuai dengan keperluan individu dan keluarga.19 Untuk mengetahui
keperluan itu, maka perlu ada komunikasi antar anggota keluarga dan
orientasi humanistik untuk mengupayakan harga diri dan penilaian diri
dari seluruh anggota keluarga.20
Penghargaan diri masing–masing individu diperkuat melalui
dialog–dialog internal individu. Dengan adanya penghargaan diri dari
internal, maka akan mudah untuk memahami orang lain. Dari
penghargaan diri maka selanjutnya individu membangun komunikasi.
Komunikasi dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Dari
komunikasi disfungional yang ada, kemudian dibangun dari harga diri
yang rendah.
Konseling keluarga dengan human validation process model
dalam penelitian ini, konseling yang dilakukan dalam keluarga dengan
human validation process model bertujuan untuk menjalin komunikasi
yang baik antara masing–masing anggota keluarga. Dengan terjalinnya
komunikasi antara masing–masing anggota keluarga, maka dapat
meningkatkan prososial dalam keluarga. Semakin adanya komunikasi
yang terjalin dengan sangat baik, maka besar kemungkinan melakukan
interaksi dan terciptanya prososial (keterbukaan dan membantu) dalam
keluarga, masyarakat dan lingkungan.
19 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”. Pendidikan Kaunseling, 7 ( Januari, 2007), hal. 94
20
11
2. Prososial
Prososial adalah tindakan yang menguntungkan penerima tetapi
tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya.21 Dalam situs
pribadinya, Diana Septi Purnama menuturkan perilaku prososial adalah
segala sesuatu yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang
lain, tanpa memperdulikan motif si penolong.22 Myres menyatakan
bahwa perilaku prososial adalah keinginan untuk membantu orang lain
tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri.23
William menegaskan bahwa tindakan prososial adalah tindakan
yang mengarah kepada perubahan keadaan fisik atau psikologis penerima
bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik dalam material maupun
psikologis. Tindakan prososial juga dikenal dengan tindakan menolong
dalam prespektif sosial.
Terdapat tiga norma paling penting dalam perilaku prososial
yaitu:
a. Norma tanggung jawab sosial, menentukan bahwa kita seharusnya
membantu orang lain yang bergantung pada kita
b. Norma timbal balik, menyatakan bahwa seharusnya kita menolong
orang yang membantu kita
21
Tri Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial, (Malang : UMM Press, 2009), hal. 155 22
Diana Septi Purnama (dianaseptipurnama@uny.ac.id, Altruisme dan Perilaku Prososial, Email kepada UNY (www.uny.ac.id)
12
c. Norma keadilan sosial, aturan dimana keadilan dan pembagian
sumber daya secara adil.24
Tiga norma diatas menegaskan bahwa perilaku sosial bukan semata
bantuan yang diberikan tanpa ada faktor yang mendorong atau mendasari,
mengapa perilaku sosial terjadi. Maka perilaku prososial tanpaa didasari
oleh beberapa hal yang tidak bisa dilepas dari penyebab adanya perilaku
prososial.
Ada tiga indikator yang menjadikan sebuah perilaku dinamakan
perilaku prososial:
a. Tindakan berhenti pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan
kepada pihak pelaku;
b. Tindakan itu terjadi secara sukarela;
c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Jadi, beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan hal positif bagi
penerima, baik berupa materi, fisik, psikologis dan tanpa ada keuntungan
yang jelas bagi penolong.
Perilaku prososial yang diamati dalam penelitian ini adalah
prososial anak dalam keluarga. Prososial anak dimulai dari penanaman
nilai pada diri anak. Prososial yang dibidik adalah perilaku saling berbagi
antara anak dan orangtua mapuun sebaliknya. Penelitian dilakukan melalui
24
13
konseling keluarga dengan human validation process model sehingga anak
mampu meningkatkan perilaku prososial anak kepada orangtua dalam
keluarga.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian
yang dilakukan untuk memahami fenomena/kejadian yang dialami oleh
subyek penelitian lebih dalam.25 Jenis penelitian ini berupa studi kasus
yaitu studi mendalam pada sekelompok orang atau fenomena yang
dideskriptifkan. Sebuah kasus terikat dengan waktu dan aktivitas, peneliti
melakukan tahap pengumpulan data dalam waktu berkesinambungan.26
Maka penelitian dengan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi
kasus, karena peneliti ingin memahami lebih dalam fenomena/kejadian
yang dialami konseli dalam waktu tertentu untuk meningkatkan
prososial.
2. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Pakis VIII
bernama Dwi Septiana Purwanti. Anak ini memiliki pendapat–pendapat
yang belum diungkapkannya. Saat orangtua bersikap yang tidak sesuai
dengan pendapatnya. Dia hanya bisa menangis, dia sesak, dan bibirnya
25
C. P Chaplin, Kamus Psikologi, (Jakarta : PT. Renika Cipta), hal. 305 26
14
bergetar–getar, seolah ingin mengungkapkan keinginannya. Saat diminta
untuk berbuat sesuatu maka dia sering menolaknya.
Penelitian ini dilakukan di Desa Kembang Kuning Keramat II,
Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Dwi adalah anak yang dulu
putus sekolah karena tidak adanya penanaman nilai prososial orangtua
terhadapnya. Hal ini menyebabkan dirinya tidak prososial terhadap
orangtua. Sehingga yang perlu dilakukan atau dicermati adalah
lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Dimana keluarga adalah tempat
pertama konseli menjadi tempat konseli belajar untuk berperilaku
prososial. Orangtua juga perlu bekerjasama untuk mengajarkan
bagaimana perilaku prososial dapat berkembang dengan baik dalam diri
anak.
3. Tahap–Tahap Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ini terdapat 3 tahapan, yaitu:27
a. Tahap pra lapangan
Tahap pra lapangan adalah tahap dimana seorang peneliti
melakukan penjajakan terlebih dahulu di lapangan. Pada tahap ini,
seorang peneliti melakukan:
1) Menyusun rencana penelitian
Dalam hal ini peneliti membuat draft atau susunan
rencana/kerangka penelitian sebelum terjun ke lapangan guna
mempermudah peneliti saat di lapangan.
27
15
2) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
Dalam menjajaki dan menilai keadaan lapangan, peneliti
memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan konseli melalui
wawancara kepada teman, saudara, maupun tetangga konseli.
3) Memilih informasi
Dalam hal memilih informasi, peneliti harus
memanfaatkan informan yang berkaitannya dengan konseli.
Sehingga informasi yang didapatkan akurat, tepat dan tidak
mengada–ngada mengenai seluk-beluk kondisi maupun keadaan
konseli di lapangan. Informasi dapat berasal dari konseli
langsung maupun holding environment.
b. Tahap persiapan lapangan
Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan untuk memasuki
lapangan dan menyusun jadwal penelitian yang mencakup waktu dan
tempat penelitian dilakukan. Sehingga peneliti dapat memperkirakan
situasi yang tepat untuk melakukan penelitian.
c. Tahap pekerjaan lapangan
Pada tahap ini, peneliti memulai terjun dilapangan dan
memanfaatkan informan yang ada serta peneliti sudah melakukan
pendekatan dengan konseli maupun keluarga konseli. Sehingga
peneliti menemukan informasi-informasi yang diperlukan.
4. Jenis dan Sumber Data
16
a. Jenis Data
1) Data primer
Data primer adalah data yang didapat berupa kata-kata
maupun tindakan yang didapatkan melalui hasil wawancara dari
pengamatan langsung di lapangan.28 Data primer yang
didapatkan selama proses lapangan di Desa Kembang Kuning
Keramat II Surabaya adalah ucapan, sikap dan perubahan
perilaku sebelum dan sesudah proses konseling yang diberikan
kepada konseli.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang didapat dari
dokumen, buku harian, lampiran-lampiran dari berbagai
lembaga resmi hasil survey, dan sebagainya. Data sekunder
penelitian ini antara lain laporan pendampingan CSR,
dokumen-dokumen keluarga, catatan-catatan konseli dan lampiran dari
lembaga signal mandiri serta surat dari lembaga Dinas Sosial
Pemerintah Kota Surabaya.
b. Sumber data
1) Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh
atau dikumpulkan langsung di lapangan.29 Dalam penelitian ini,
28
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitaif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), hal. 128
29
17
peneliti mendapatkan data melalui observasi dan wawancara
dengan konseli maupun orangtua konseli untuk melihat
bagaimana perilaku dan ucapan konseli sebelum dan sesudah
dilakukannya proses konseling.
2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan
dari sumber pertama sebagai sarana untuk memperoleh data atau
informasi untuk menjawab masalah yang diteliti. Adapun data
sekunder dapat diperoleh melalui kerabat konseli, tetangga
konseli, maupun riwayat pendidikan konseli.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah proses penentuan apakah sebuah
penelitian baik atau tidak untuk dilakukan. Maka, data yang didapatkan
berkaitan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan peneliti antara lain:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab antara dua orang atau
lebih secara lisan mengenai permasalahan yang harus diteliti, dan
mengetahui informasi yang lebih mendalam.30 Peneliti harus
membangun rapport yang baik dengan informan guna mendapatkan
data yang konkret mengenai objek penelitian. Dalam penelitian yang
30
18
dilakukan, wawancara dilakukan kepada konseli, orangtua konseli
maupun yang terlibat menjadi sumber data terkait penelitian.
b. Observasi
Observasi adalah studi yang digunakan untuk meneliti hal–
hal yang berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala–
gejala alam melalui proses pengamatan dan ingatan.31 Observasi bisa
bersifat partisipan artinya ikut terjun langsung mengamati objek
yang diteliti atau bersifat non partisipan yaitu pengamatan secara
tidak langsung terhadap objek penelitian.
Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah terjun
langsung ke lapangan yaitu datang ke rumah konseli untuk
mengetahui bagaimana keadaan konseli dan keluarga. Selain itu,
penelitian ini juga menggunakan observasi tak langsung seperti
mendatangi rumah tetangga konseli.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara yang dipakai untuk menyediakan
dokumen–dokumen sebagai bukti akurat adanya pencatatan sumber–
sumber informasi khusus sebuah penelitian. Dokumen dapat
berbentuk tulisan, gambaran dan catatan–catatan kecil serta
dokumen berbentuk karya misalnya karya seni dan sebagainya.32
Penelitian ini mengambil beberapa dokumen seperti data Kartu
31
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, 212 32
19
Keluarga konseli, foto pasca dilakukannya konseling, data-data
seperti catatan pendampingan CSR.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data sudah terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah
analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis berupa analisis
deskriptif komparatif. Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan proses konseling keluarga dengan human
validation process model dalam meningkatkan perilaku prososial
anak dalam keluarga.
b. Mendeskripsikan keberhasilan konseling keluarga dengan human
validation process model dalam meningkatkan perilaku prososial
anak dalam keluarga.
7. Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data merupakan faktor yang menentukan
kemantapan validitas data. Keabsahan data merupakan salah satu
objektifitas dari hasil penelitian yang dilakukan. Maka langkah yang
harus ditempuh peneliti adalah :
a. Perpanjangan keikutsertaan
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu
singkat, tetapi memerlukan waktu yang cukup panjang. Hal ini
dilakukan guna untuk memperoleh data yang valid. Jadi,
keikutsertaan peneliti dalam waktu yang cukup lama menentukan
20
b. Ketekunan Pengamatan
Pada tahap ini, peneliti menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari.
Dari situasi–situasi yang relevan dengan persoalan yang diteliti
kemudian peneliti mendapatkan data yang dibutuhkan dalam
penelitian.
c. Triangulasi
Methodological triangulation atau metode triangulasi adalah
pengujian data dengan jelas membandingkan data penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang berbeda
tentang data yang semacam.33
Dalam triangulasi, data atau sumber dari permasalahan yang
sama diambil menggunakan beberapa sumber. Artinya data yang ada
dilapangan diambil dari beberapa sumber penelitian yang berbeda
dan dapat dilakukan dengan:34
1) Membandingkan data pengamatan dengan data wawancara
2) Membandingkan apa yang dikatakan masyarakat dengan apa
yang mereka katakan secara pribadi sendiri
3) Membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang
diperoleh
33
Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, (Malang: UIN Maliki Press), hal. 294-295
34
21
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menggunakan teknik
wawancara dan observasi untuk memperoleh data. Sehingga data
yang diperoleh benar-benar akurat baik dari data primer maupun data
sekunder.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep dan sistematika
pembahasan.
Bab II Kerangka Teori. Berisi kajian teoritik dan penelitian terdahulu
yang relevan.
Bab III Penyajian Data. Memuat data yang berkenaan dengan hasil
penelitian. Dalam sub bab ini dibahas metode penelitian, teknik pengumpulan
data, teknik keabsahan data, dan teknik analisis data.
Bab IV Analisis proses dan hasil. Kajian analisis atau jawaban dari
rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Bab ini berisi tentang apakah
konseling keluarga dengan human validation process model untuk
meningkatkan prososial anak dalam keluarga.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan bagian akhir yang berisi
kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik
1. Konseling Keluarga
a. Definisi Konseling Keluarga
Konseling keluarga berasal dari dua term yaitu konseling dan keluarga.
Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai makna dari masing–
masing term tersebut :
1) Konseling
Konseling yang biasa kita ketahui dikenal dengan kata penyuluhan
yang secara awam diartikan dengan pemberian informasi, penerangan atau
nasehat kepada pihak lain. Kata konseling (counseling) sendiri, berasal dari
kata counsel yang dari bahasa Latin yaitu counselium, artinya “bersama”
atau “bicara bersama”. Pengertian “berbicara bersama–sama” dalam hal ini
pembicaraan bersama antara konselor dan konseli mengenai
permasalahannya.35
Konseling merupakan bantuan yang bersifat terapiutik yang
diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku individu. Wawancara
konseling dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Konseling adalah upaya membantu individu normal, bukan individu yang
mengalami kesulitan kejiwaan, melainkan individu yang mengalami
35
23
kesulitan dalam adaptasi diri dalam pendidikan, pekerjaaan dan kehidupan
sosialnya.36
Hal tersebut merupakan salah satu konsep dasar dari konseling yaitu
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yang terdapat dalam Surah Al-Imran ayat 104:
ْْلَو
ْْنُكَت
ْ
ِْْم
ْْمُك
ْ
ْ ةمُأ
ْ
ْْدَي
ْْوُع
ْْلٱْىَلِإَْن
ْْيَخ
ْْأَيَوِْر
ْْوُرُم
ْْلٱِبَْن
ْْعَم
ْْوُر
ْْوَهَيَوْ ِف
ْْلٱْ ِنَعَْن
ُْْم
ِْرَك
ْ
لْوُأَو
َْكِئ
ْ
ُْمُ
ْْْلٱ
ْْفُم
ْْوُحِل
َْنْ
ٔٓٗ
ْْ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-Imran:104)37
Hendaklah diantara kamu yang dimaksudkan pada ayat diatas adalah
tanggung jawab sebagai konselor dalam membantu konseli mencapai
kebahagiaan atau keberuntungan. BAC (British Association for Counseling)
menyebutkan bahwa konseling adalah membangun hubungan dan bekerja
dengan orang yang mungkin saja bertujuan untuk pengembangan diri,
dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah
dan memberikan konseli, kesempatan untuk bereksplorasi dan menemukan
cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.38
Stone dan Shertzer membahas definisi konseling sebagai upaya
membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara
konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan
36
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 22
37
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jawa Barat: CV. Dipenogoro, 2006),hal. 05 38
24
lingkungannya, mampu mengambil keputusan sehingga konseli merasa
bahagia dan efektif bahagia.39
ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan
bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh
dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada
konseli. Konselor menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk
membantu konseli mengatasi permasalahannya.
Konseling menurut Prayitno dan Erman Amti adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh
seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami
suatu masalah (disebut konseli) yang berfokus dalam mengatasi masalah
yang dihadapi konseli.40 Carl Rogers berpendapat bahwa konseling
merupakan hubungan terapi dengan konseli yang bertujuan untuk
melakukan perubahan self (diri) konseli. Rogers menekankan bahwa
perubahan konseling system self konseli sebagai tujuan konseling akibat
dari struktur hubungan konselor dengan konseli.41
Konseling adalah sebuah hubungan melalui proses wawancara
langsung maupun tidak antara konselor dan konseli dalam upaya mengatasi
permasalahan yang dihadapi konseli, mengembangkan diri (eksplorasi) dan
menemukan cara hidup yang lebih baik kedepannya.
2) Keluarga
Hill menyebutkan bahwa keluarga adalah rumah tangga yang
memiliki hubungan darah atau perkawinanan atau menyediakan
39
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 10
40
Afufudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 15 41
25
terselenggaranya fungsi–fungsi instrumental mendasar dan fungsi–fungsi
ekspresif keluarga bagi yang anggotanya yang berada dalam sebuah
jaringan. Reiss berpendapat bahwa keluarga adalah suatu kelompok kecil
yang terstruktur dalam pertalian kelurga dan memiliki fungsi utama berupa
sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.42 Keluarga adalah sistem
sosial yang alamiah, berfungsi membentuk aturan–aturan, komunikasi, dan
negosiasi diantara para anggotanya. Keluarga melakukan suatu pola
interaksi dan keberadaan para anggotanya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa keluarga adalah suatu kelompok
sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan maupun
hubungan darah.43 Keluarga sangat berperan dalam mewariskan nilai–nilai
kehidupan yang mulia kepada generasi–generasi selanjutnya. Keluarga di
masa sekarang berbeda dengan keluarga di masa dahulu. Dalam ikatan
keluarga, orang–orang mengalami pergolakan dan perubahan yang hebat,
terutama mereka yang hidup di perkotaan. Jika dilihat dari keluarga–
keluarga yang belum terpengaruh keberadaan industri, teknologi dan
informasi, maka akan jauh berbeda jika dibandingkan dengan keluarga yang
berada di tengah segala kemewahan materi. 44
Konseling keluarga telah berkembang pesat pada tahun 1970-an.
Teknik konseling keluarga juga semakin inovatif. Pada saat sekarang ini,
konseling keluarga lebih menekankan penanganan permasalahan–
permasalahan konseling secara kontekstual daripada secara terpisah
42
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penangan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 6
43
Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas – Asas Psikologi Keluarga Idaman, Cet.3, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), hal. 43
44
26
individu–individu.45 Pendapat lain juga menyebutkan bahwa konseling
keluarga sebagai sebuah upaya memberikan bantuan kepada individu yang
dilakukan melalui mengubah interaksi antar anggotanya sehingga keluarga
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya untuk kesejahteraan
seluruh anggota keluarga.46
Samsul Munir Amin juga menyebutkan bahwa konseling keluarga
adalah upaya pemberian bantuan kepada para individu sebagai pemimpin
atau anggota keluarga agar mereka mampu menciptakan keluarga yang
harmonis dan utuh, mengoptimalkan kemampuan diri dengan norma
keluarga, serta berperan aktif dalam mencapai kehidupan keluarga yang
bahagia.47 Keluarga yang bisa menjaga anggota keluarga mereka
merupakan salah satu upaya mencapai keluarga yang bahagia, sebagaimana
yang tercantum dalam Surah At-Tahrim ayat 6, sebagai berikut:
ْ َي
اَه يَأ
ْ
ْْيِذلٱ
ْْوُ َماَءْ َن
ْوُقْْا
ْْاْ
ْْ نَأ
ْْمُكَسُف
ْ
َْْأَو
ْْيِل
ْْمُك
ْ
ْ راَنا
ْ
ْْوُ قَو
اَُد
ْ
ْْلٱَوْ ُسا لٱ
ُْةَراَجِح
ْ
ْْ يَلَع
اَه
ْ
ْ ةَكِئ َلَم
ْ
َْلِغ
ْ ظ
ْ داَدِش
ْ
ّْ
ْ
ْْعَ ي
ْْوُص
َْنْ
ْاَمَْللٱ
ْْمَُرَمَأ
ْ
ْْفَ يَو
ْْوُلَع
َْنْ
اَمْ
ْْؤُ ي
ْْوُرَم
َْنْ
٦
ْْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim: 6)48
Hal tersebut dilakukan melalui pembenahan sistem keluarga agar
potensi yang ada dalam keluarga tersebut berkembang dengan optimal dan
masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan dan keinginan dari seluruh
45
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 102
46
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga, (Bandung : Alfabet, 2013), hal. 83 47
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 66 48
27
anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga. 49
Jadi, konseling keluarga dilakukan tidak secara terpisah–pisah, namun lebih
berpusat secara keseluruhan dari permasalahan yang terjadi dalam keluarga.
Konseling keluarga juga diartikan sebagai penerapan konseling secara
khusus dalam sebuah keluarga. Konseling keluarga ini secara khusus
berfokus kepada permasalahan yang berhubungan dengan situasi keluarga
dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.50
b. Permasalahan Dalam Keluarga
Mengingat banyaknya permasalahan yang akan dihadapi dan harus
diatasi setiap individu, maka semuanya tidak akan dibicarakan satu per satu.
Apabila masalah–masalah dilihat secara umum, maka persoalan yang timbul
bersumber pada masalah atau kesulitan mencapai kesesuaian. Keadaan–keadaan
maupun pribadi–pribadi, terus–menerus mengalami pengelolahan yang
mengakibatkan perubahan–perubahan. Perubahan–perubahan ini menuntut
penyesuaian terus–menerus dari pribadi–pribadi. Apabila pribadi–pribadi tidak
dapat mengikuti perubahan diluar dirinya maka akan terjadi jarak perbedaan
yang akan menimbulkan perselisihan. Maka hal inilah yang menjadi sumber
pokok permasalahan yang dikenal dengan masalah penyesuaian diri ataupun
adaptasi.51
Permasalahan yang terjadi dalam keluarga atau yang sering juga disebut
dengan konflik keluarga. Konflik keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku
oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam
keluarga berturut–turut adalah konflik sibling, konflik orang tua–anak, dan
49
Kathryn Geldard & David Geldard, Konseling Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 13-14
50
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press, 2015), hal. 149 51
28
konflik pasangan.52 Hubungan antara masing–masing anggota keluarga
merupakan jenis hubungan yang sangat dekat dan memiliki intensitas yang
sangat tinggi. Maka tidak heran apabila permasalahan dalam keluarga dapat
terjadi apabila individu atau anggota keluarga yang satu dengan anggota
keluarga yang lain tidak dapat berkomunikasi dan tidak memahami satu sama
lainnya. Semakin berkembangnya zaman, maka berkembang dan semakin
kompleks permasalahan keluarga terjadi.
Dilihat pada era masa kini, selain adaptasi ada banyak sekali faktor–
faktor yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan diantaranya :
1) Miskomunikasi atau kurang intensnya komunikasi,
2) Kurang perhatian antara orangtua dan anak,
3) Cara mendidik yang salah,
4) dan lain sebagainya.
Referensi lain menyebutkan bahwa segala macam permasalahan dalam
pernikahan apabila dikumpulkan, maka masalah–masalah tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa tipe:
1) Masalah suami isteri yang berhubungan dengan masa lalu mereka dan masa
depan yang akan mereka jalani. Memulai kehidupan baru tanpa mengetahui
kisah masa lalu dari pasangan itu ada baik dan ada buruknya. Baiknya,
apabila masalah tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap pasangan.
Jeleknya, apabila permasalahan yang terjadi di masa lampau yang tidak
dialami bersama–sama, namun menyenangkan bagi yang lainnya. Jika
suami isteri tidak dapat mengkomunikasikan dengan baik kepada
52
29
pasangannya, maka api konflik akan menghanguskan keutuhan keluarga
tersebut.
2) Masalah pribadi suami isteri yang memasuki lingkungan keluarga baru:
mertua, ipar, kakak, nenek, dan lain sebagainya. Memulai adaptasi dengan
individu, watak, perilaku bahkan keseharian orang–orang yang berada
dilingkungan baru yang belum pernah ditemui sebelumnya. Jika suami
maupun istri tidak dapat memahami lingkungan keluarga dengan baik,
maka bisa saja permasalahan justru semakin meluap.
3) Masalah yang berhubungan dengan keluarga baru dan rencana–rencananya
yang akan dibentuk, meliputi hari depan perkembangan dan pendidikan
anak. Dengan lahirnya seorang anak, maka kebutuhan keluarga meningkat
(dipandang dari segi ekonomi) sehingga sang ayahpun harus mencari
nafkah. Sedangkan ibu harus meluangkan waktu untuk mengurus anaknya.
Jika nafkah yang diberikan terpenuhi dan waktu untuk mengurus anak
sudah sesuai maka konflik dapat dihindari. Namun berbeda apabila yang
terjadi malah sebaliknya, malah akan menyulut api konflik dalam keluarga
tersebut. 53
Masalah–masalah yang awalnya kecil menjadi besar hanya karena
individu yang ada dalam keluarga tidak berusaha untuk memperbaiki atau
mengatasi permasalahan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Ada yang
tergerak hatinya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi namun takut,
apabila yang dilakukan salah. Namun, ada pula yang acuh tidak mau
mengetahui permasalahan apa yang terjadi. Hal ini menjadikan permasalahan
yang ada terus menumpuk dan tak kunjung teratasi.
53
30
Sangat disayangkan sekali, permasalahan–permasalahan yang terjadi
dalam keluarga yang terus menerus terjadi bahkan tidak terselesaikan. Akhirnya
berujung pada sebuah kekerasan, penindasan, bahkan perceraian. Hal ini dapat
dianalogikakan kedalam Surah Ali „Imran ayat 109 sebagai berikut:
ْْحَرْاَمِبَف
َْةَم
ْ
َْنِم
ْ
ِْْلِْللٱ
ْْمُهَلْ َت
ْ
ْْوَلَو
ُْْك
َْت
ْ
اظَف
ْ
ْْيِلَغ
َْظ
ْْْلٱ
ْْلَق
ِْب
ْ
َّْْْ ن
ْْنِمْْاوضَف
ْْوَح
َْكِل
َْْف
ْْعٱ
ُْف
ْ
ْْ َع
مُه
َْْو
ْْسٱ
ْْغَ ت
ْْرِف
ْ
ْْمُهَل
ْ
ْْرِواَشَو
ْْمُ
ْ
ْْيِف
ْ
َْْلٱ
ْْمِْر
ْ
ْْمَزَعْاَذِإَف
َْت
ْ
ْْلكَوَ تَ ف
ْ
ىَلَع
ْ
ِْللٱ
ْ
ْبِحُيَْللٱْنِإ
لٱ
ِْكَوَ تُم
ْْيِل
َْن
٩٥١
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159)54
Maka penting sekali, permasalahan yang terjadi dalam keluarga untuk
diselesaikan dengan segera. Salah satunya melakui konseling keluarga, yang
bertujuan membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi didalam
keluarga. Sehingga keluarga yang awalnya memiliki konflik, akhirnya bisa
menyelesaikannya dengan baik.
c. Peranan Konselor Dalam Konseling Keluarga
Konselor peranannya dalam membantu konseli dalam konseling
keluarga dan perkawinan, sebagaimana yang telah disebutkan Satir sebagai
berikut:
1) Konselor sebagai ”facilitative a comfortable”, membantu konseli melihat
dirinya secara jelas dan objektif serta perilaku–perilakunya sendiri
2) Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran
interaksi
54
31
3) Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga
4) Memberikan kesempatan bagi konseli untuk belajar berpikir dewasa,
bertanggung jawab dan melakukan self–control
5) Konselor menjadi penengah dari pertentangan, ketimpangan, kesenjangan
komunikasi dan menginterpretasikan pesan–pesan yang disampaikan
konseli maupun anggota keluarga
6) Konselor menolak membuat penilaian dan membantu menjadi congruence
dalam merespon anggota keluarga55
d. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada awalnya seorang konseli datang kepada seorang konselor untuk
mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya, datang pertama kali ini lebih bersifat
“identifikasi pasien”56. Namun untuk tahap treat atau penanganan diperlukan
kehadiran anggota keluarganya. Menurut Satir, tidak mungkin mendengarkan
peran, status, nilai, dan norma keluarga apabila tidak ada kehadiran anggota
keluarga. Jadi, pada tahap ini anggota keluarga yang lain harus ikut mendatangi
konselor untuk menyelesaikan masalah keluarganya.57 Selain itu, tahap yang
dilakukan dalam konseling keluarga sama dengan tahap yang dilakukan dalam
konseling pada umumya hanya saja ruang lingkup dan teknik yang dipakai
didalamnya ada kemungkinan berbeda.
2. Human Validation Process Model
a. Konsep Dasar
Salah satu pendekatan dalam konseling keluarga adalah human procees
validation model. Human validation process model yang dicetuskan oleh
Virginia Satir (1916–1988) yang merupakan seorang terapis yang berpengaruh
55
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press, 2015), hal. 155 56
Samuel T. Gladding, Counseling: A Comperhensive Profession, (Canada: Pearson, 2013), hal 347 57
32
hingga sekarang. Human validation process model atau Satir’s Theory berfokus
kepada perkembangan holistik yang sesuai dengan keperluan individu dan
keluarga. Berikut adalah tabel mengenai human validation process model:58
Tabel 2.1
Tabel Human Validation Process Model
Fokus Kebebasan memilih, perkembangan diri, membuat
keputusan pribadi dan pencapaian pribadi
Tokoh Virginia Satir
Konsep dan Teori Harga diri, komunikasi yang efektif
Intervensi
Membina komunikasi berkesan, mengatasi
permasalahan dan batasan perkembangan pribadi, perkembangan kesadaran diri, terbuka dan spontan
Human validation process model fokus terhadap proses peningkatan dan
validasi dari harga diri, aturan keluarga, dan keharmonisan pada pola
komunikasi, membantu, dan memelihara keluarga triadi dan pemetaan keluarga,
fakta kejadian kehidupan keluarga. Satir memandang akar permasalahan dari
tiga generasi kehidupan. Faktor yang ditekankan disini antara lain membuat
kontak, komunikasi yang jelas, membuat kemungkinan yang baru, dan sentuhan
personal dalam proses terapi.
Satir juga memusatkan perhatian pada pola kehidupan yang akan datang,
perkembangan pemetaan keluarga (genogram) dan fakta kejadian kehidupan
atau membuat sebuah grup proses dalam sebuah keluarga dengan pola keluarga
dan pengalaman yang bisa disimulasikan dalam sebuah rekonstruksi. Untuk
mengetahui keperluan itu, maka perlu ada komunikasi antar anggota keluarga
58 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”.
[image:43.595.137.523.206.550.2]
33
dan orientasi humanistik mengupayakan harga diri dan penilaian diri seluruh
anggota keluarga.59
Anak–anak selalu memasuki dunia sebagai bagian dari pra-sistem yang
ada dalam sebuah keluarga. Anak–anak masuk dalam sebuah keluarga yang
memiliki aturan–aturan yang menjadi tempat dimana tumbuh dan
berkembangnya anak-anak. Aturan–aturan yang ada, berkembang untuk
membantu berfungsinya sistem dan kesejahteraan keluarga. Ketika orangtua
mulai cemas dan putus asa, mereka akan cenderung untuk menciptakan aturan
untuk mengontrol situasi yang kosong. Aturan dalam keluarga dimulai dengan
membantu menahan amarah, keputus asaan dan ketakutan anak–anak. Hal
tersebut, bertujuan untuk memberikan sebuah wadah yang aman bagi keinginan
anak–anak di dunia.
Namun ada sisi kontra, dimana keluarga yang disfungsional yang diawali
dengan hubungan yang kaku dan komunikasi yang tertutup. Keluarga yang
disfungsional adalah salah satu penyebab dari harga diri yang rendah.
Penghargaan diri yang masih rendah diperkuat melalui dialog–dialog internal
individu. Dengan adanya penghargaan diri dari internal, muncul keinginan
untuk marah, putus asa dan lain sebagainya. Bagi orang tua yang kehilangan
kontrol keluarga akan menakut–nakuti, menghukum, melakukan kesalahan atau
bahkan mendominasi keinginan anak–anak mereka dalam keluarga. Hal ini yang
menyebakan perlunya aturan untuk menjaga keutuhan keluarga.
Ada yang bisa ikut serta dalam membantu menyelesaikan permasalahan
dan ada pula yang tidak. Saat stress meningkat dan permasalahan dalam sebuah
59
34
sistem keluarga meningkat, maka anggota keluarga berusaha mengambil jalan
keluar untuk menyelesaikan permasalahan. Berikut beberapa hal yang harus
diperhatikan:60
1. Anggota keluarga yang berusaha mengambil kata perdamaian dimaksudkan
sebagai sebuah kesepakatan terhadap tingkat stress dan ketakutan mereka
sendiri. Mereka lemah dan mencoba melakukan penilaian diri. Karena
mereka tidak merasakan sensasi/respon dari harapan dan merasa putus asa
dengan orang lain.
2. Orang yang menyalahkan sikap diri orang lain akan mengalami ketakutan
yang lain, mengenai diri mereka sendiri. Mereka berasusmi bahwa
mendominasi dan mencari kesalahan dari orang lain itu hebat. Tujuan
pokok mereka adalah menghina atau menyalahkan orang lain, mereka jauh
dari aksi yang membutuhkan tanggung jawab.
3. Orang yang menjadi paling pantas untuk menjaga banyak aturan seperti
terikat aturan. Mereka berusaha untuk menyempurnakan kontrol bagi diri
mereka, orang lain dan lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka berusaha
keras untuk menjaga standar emosi mereka.
4. Perilaku yang tidak relevan banyak terlihat saat posisi kebingungan
terhadap sebuah pola kesalahan/efek yang menyebabkan orang lain terluka,
tersakiti atau stress akan berkurang. Orang yang tidak tepat adalah orang
yang tidak bisa untuk berhubungan dengan apa yang sedang terjadi.
b. Tujuan Terapi
Tujuan kunci dari human validation process model adalah terciptanya
komunikasi yang jelas, meningkatkan potensi untuk tumbuh, terutama dalam
60
35
penghargaan diri dan proses untuk berubah. Model terapi keluarga ini lebih
berfokus kepada pertumbuhan individu dan keluarga dibanding sekedar
kestabilan keluarga.
Tujuan umum dan proses terapi adalah memfasilitasi keinginan
perubahan dari sistem keluarga. Dan tujuan yang spesifik, yang berhubungan
dengan proses perubahan:61
1) Meningkatkan harapan dan keberanian anggota keluarga untuk
memformulasikan ide-ide baru
2) Mengakses, memperkuat, meningkatkan atau membangkitkan kemampuan
menyontoh (coping) anggota keluarga
3) Semangat anggota keluarga untuk berlatih ide yang akan menghasilkan hal
positif untuk membersihkan simptom–simptom belaka.
Satir mengidentifikasikan tiga tujuan dari terapi keluarga yang
disebutkan di atas. Pertama, setiap individu dalam keluarga harus bisa
mengungkapkan kebenaran mengenai apa yang mereka lihat, mereka dengar,
mereka rasakan dan mereka pikirkan. Kedua, pengambilan keputusan dalam
keluarga adalah jalan untuk mengeksplorasi kebutuhan dan negosiasi individu
lebih dibandingkan kemampuan, dan terakhir perbedaan yang ada harus diakui
secara terang–terangan dan digunakan untuk perkembangan keluarga.
Didalam surah Al-Isra‟ ayat 23 dijelaskan bahwa terapi keluarga
dimulai dengan komunikasi yang dilakukan didalam keluarga, yakni sebagai
berikut:
61
36
۞
ْ ىَضَقَو
ْ
َْكبَر
ْ
َّْأ
ْ
ْْاوُدُبعَت
ْ
ِّْإ
ْ
ُْايِإ
ْ
ِْبَو
لٱ
ِْنيَدِل َو
ْ
حِإ
ا َس
ْ
امِإ
ْ
ْنَغُلبَي
ْ
َْكَد ِع
ْلٱ
َْرَ بِك
ْ
ْاَمُُدَحَأ
وَأ
ْ
اَمُ َلِك
ْ
َْلَف
ْ
لُقَ ت
ْ
اَمُهل
ْ
ّْفُأ
ْ
ََّْو
ْ
اَمُرَهَت
ْ
لُقَو
ْ
اَمُهل
ْ
ّوَق
ْ
اميِرَك
ْ
ٕٖ
ْْ
ْ
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra‟:23)62
c. Fungsi dan Peran Konselor
Fungsi dan peran terapi atau konselor adalah sebagai pembimbing
anggota keluarga melalui proses perubahan. Konselor adalah seseorang yang
jauh lebih penting dari teknik intervensi. Konselor adalah seseorang dengan
pemahaman yang baik sekaligus sebagai fasilitator dalam menuntun proses
terapi/konseling dan mereka tidak bertugas untuk membuat sebuah perubahan
terjadi. Kejujuran konselor mengenai kemampuan anggota keluarga untuk
berkembang pesat dan aktualisasi adalah pusat dari konseling ini.
Satir juga menjelaskan banyak peran dan teknik kerja konselor
keluarga dalam membantu sebuah keluarga mencapai tujuan mereka. Contoh
sebagai berikut:63
1) Menciptakan setting dimana orang akan melihat kemungkinan–
kemungkinan dengan jelas dan objektif mengenai diri mereka dan perilaku
mereka
2) Menolong anggota keluarga dalam membangun self-esteem
3) Membantu konseli mengidentifasikan aset mereka
4) Meminta cerita keluarga dan catatan pencapaian dimasa lalu
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jawa Barat: CV. Dipenogoro, 2006), hal. 63
37
5) Menggunakan teknik langsung untuk me-refresh perasaan konseli
mengenai permasalahan yang dimintai pertanggung jawaban
6) Mengidentifikasikan komunikasi nonverbal
7) dan lain sebagainya.
Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman menyebutkan dalam
jurnal “pendidikan kaunseling: pendekatan kaunseling keluarga Satir”,
perubahan dapat terjadi dalam keluarga melalui tiga hal. Pertama, konselor
boleh melaporkan masalah yang diamati secara kongruen, lengkap dan jujur
didepan anggota keluarga yang lain. Kedua, setiap anggota keluarga memiliki
keunikan, dan yang terakhir memahami perbedaan dan menggunakannya
untuk perkembangan hubungan keluarga yang lebih baik.64
Melalui gaya terapi Satir yang jauh berbeda dari pendekatan Carl
Whitaker, yang akan diamati kemudian menekankan pada aturan–aturan dari
konselor sebagai seorang personal. Dimana, Whitaker mengembangkan
metodenya mengenai akar eksistensial dan psikoanalisis. Satir terpengaruh
pada pemikiran Carl Rogers dan belajar kepadanya. Bersama dengan Rogers,
dia mendasari praktiknya mengenai dugaan bahwa manusia berusaha keras dan
kita berpikir jauh untuk meraih semua potensi. Mengingat prespektif person
centered therapy, kamu akan ingat hal tersebut sebagai sebuah hubungan
antara konselor dan konseli dengan menstimulasi perkembangan dan
perubahan dalam diri konseli.
d. Teknik–Teknik Konseling
Satir mengembangkan dan melakukan hal spesial dalam teknik
konseling keluarga yaitu pemetaan (mapping/genogram), pengalaman
64 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”.
38
kronologi kehidupan yang terjadi dalam tiga generasi kehidupan, keluarga
mematung, dan rekonstruksi keluarga. Teknik dari terapi Gestalt, psikodrama
dan person centered therapy yang sering digunakan dalam kegiatan kerjanya
dengan keluarga.
1) Keluarga mematung (family sclupting)
Keluarga mematung digunakan untuk menghilangkan kecemasan
konseli mengenai bagaimana mereka berfungsi dan bagaimana mereka
dalam pandangan orang lain dalam sebuah sistem. Satir sebenarnya
mempososikan secara lahiriah setiap anggota keluarga dalam hubungan
yang ada, dan sering menggunakan prespektif komunikasi, ketika dia
ingin mengetahui bagaimana anggota keluarga coping. Melalui
penggunaan teknik ini, proses keluarga dan interaksi akan jelas,
menghasilkan informasi yang signifikan mengenai anggota keluarga.
Keluarga mematung memberikan anggota keluarga kesempatan untuk
menujukkan bagaimana mereka memandang satu sama lain dalam struktur
dan juga mengekspresikan bagaimana mereka bisa berhubungan dengan
cara yang berbeda.
2) Rekonstruksi keluarga (family reconstruction)
Sebagai bentuk dari psikodrama yang dilakukan lagi dalam
rekonstruksi keluarga yang memungkinkan konseli untuk mengeksplor
kejadian secara signifikan dalam tiga generasi dalam kehidupan keluarga.
Rekonstruksi keluarga yang mereka ambil melalui tahap–tahap yang
berbeda dalam hidup mereka, memiliki tiga tujuan yaitu:
a) Memungkinkan anggota keluarga untuk mengidentifikasi akar dari
39
b) Membantu mereka memformulasikan mengenai sebuah gambar yang
lebih realita mengenai orang tua mereka
c) Menolong mereka dalam menemukan keunikan pribadi mereka65
Referensi lain juga menyebutkan garis besar dari pendekatan
human validation process model yakni sebagai berikut:
1. Anggota keluarga berperan fleksibel dalam konseling
2. Disfungsi dalam keluarga dapat diamati dari rendahnya self-esteem
dan komunikasi yang rendah