• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS 'URF TERHADAP PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH : STUDI KASUS DESA AENG PANAS SUMENEP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS 'URF TERHADAP PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH : STUDI KASUS DESA AENG PANAS SUMENEP."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI Oleh : Khalidi Lutfi (C01212021)

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga ( Ahwal al- Syakhsiyah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i ABSTRAK

Skripsi ini hasil penelitian lapangan yang berjudul ‚Analisis ‘Urf

Terhadap Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah (Studi Kasus Desa Aeng Panas Sumenep)‛, bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana deskripsi pemberian rumah kepada anak

perempuan yang akan menikah? Dan bagaimana analisis ‘urf terhadap pemberian rumah dalam pernikahan di Desa Aeng Panas Kec. Pragaan Kab. Sumenep?

Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu suatu metode yang menggambarkan dan menafsirkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan pola pikir deduktif. Untuk menganalisis tradisi pemberian rumah kepada anak perempuan ini penulis menggunakan salah

satu metode ijtihad, yaitu ‘urf.

Hasil penelitian mengatakan pemberian rumah bagi orang tua adalah suatu tradisi bagi orang tua mempelai perempuan di desa Aeng Panas Kec. Pragaan Kab. Sumenep untuk melakukan pernikahan dengan satu kampung ataupun dengan orang jawa. Artinya orang tua membuatkan rumah untuk ditempati anaknya dengan suaminya. Jika pemberian rumah oleh orang tua tidak dilakukan diyakini oleh masyarakat desa Aeng Panas akan menimbulkan dampak negatif, seperti: keluarga tidak harmonis, aib yang di derita oleh semua orang tua. Akibat diatas menjadi faktor atau alasan yang melatarbelakangi masyarakat desa Aeng Panas tidak berani melanggar terhadap tradisi pemberian rumah dalam pernikahan tersebut. Dalam perspektif ‘Urf tradisi pemberian rumah terhadap anak perempuan ketika akan menikah termasuk dalam al-‘urf fasid karena pemberian rumah dalam pernikahan bukan hal yang murah tidak bisa di tempun

dalam satu bulan, sehingga bertentangan dengan dalil syara’ dan berpotensi tidak

mewujudkan maslahat sedangkan apabila tidak memberatkan dan terdapat kerelaan serta menimbulkan keridhaan serta kedamaian bagi semua pihak maka dapat dikategorikan sebagai ‘Urf sahih dan pantasnya kebiasaan tersebut tetap dilaksanakan dan dilestarikan.

(7)
(8)

xi

G.Kedudukan ‘Urf ... 36

H.Perbenturan ‘Urf ... 37

BAB III : DISKRIPSI TRADISI PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH DESA AENG PANAS KECAMMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP A. Gambaran Umum Desa Aeng Panas Pragaan Kabupaten Sumenep ... 41

1. Keadaan Sumber Desa Aeng Panas ... 42

2. Kondisi Geografis dan Perekonomian Desa... 45

3. Keadaan Penduduk Desa Aeng Panas ... 47

B. Diskripsi Tradisi Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah ... 53

1. Gambaran Pemberian Rumah Dalam Pernikahan ... 53

2. Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian Rumah Dalam Pernikahan ... 61

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PEMBERIAN RUMAH DI DESA AENG PANAS KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP A. Analisis Tradisi Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah di Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep ... 64

B. Analisis ‘Urf Terhadap Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah di Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep ... 71

(9)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1. Mata Pencaharian Penduduk Desa Aeng Panas...45

2. Penduduk Tamat Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin...47

3. Sarana Pendidikan Formal Desa Aeng Panas...48

4. Sarana Pendidikan Formal Keagamaan Desa Aeng Panas... 48

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah salah satu subsistem kehidupan beragama yang

merupakan sebuah proses berlangsungnya hidup manusia untuk meneruskan

keturunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Pernikhan bertujuan untuk

membentuk suatu keluarga yang harmonis, Pernikahan merupakan

sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan.1

Islam menganjurkan kepada setiap umatnya untuk memiliki pasangan

hidup dan membentuk sebuah keluarga yang tentram, damai, penuh kasih

sayang, dan berkualitas.2 Pada dasarnya, perkawinan merupakan fitrah atau

naluri kemanusiaan. Sebagai naluri, tidak boleh tidak ia mesti dipenuhi.

Pernikahan adalah cara Islam untuk memenuhi naluri tersebut.3

Hidup berpasang-pasangan merupakan Sunnatullah yang umum dan

berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun

tumbuhan-tumbuhan. Sementara itu, pernikahan adalah suatu cara yang

disiplin oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang

1Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta:

Pustaka Amani, 2002), 1

2 Kementerian Agama, Tuntunan Praktis Pelaksanaan Akad Nikah dan Rumah Tangga Bahagia

(Surabaya: Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, 2013),7.

(11)

biak, dan melestarikan hidupnya, oleh karena itu Allah SWT berfirman

dalam surat Az-Zariyat ayat 49 sebagaimana berikut:

َنْومراكَذَت ْ م الَ َل َِْْجْوَ اَ ْقَلَخ ٍاْ َش ِ لمك ْ ِ َو

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar

kamu mengingat (kebesaran Allah) (QS Az-Zariyat: 49).4

Sedangkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan

Imam Muslim (Muttafaq Alaih) Rasulullah SAW bersabda:

اَي َ الَسَو ِهْ َلَ مه الَ ِه ملْومسَر َلاَق مهْ َ ِه َ ِ َر ًدْوم ْسَ ِ ْب ِه ِ ْ َ ْ َ

ِااَ ا لاَرَ ْ َ

ِجْرَفْلِل م َ ْ َأَو ِرَ َ ْلِل ُضَغَأ مهانِ َف ْجاوَزَ تَ ْلَ ف َ َااَ ْلا م م ْ ِ َعاَطَتْسا ِ َ

ه ل فت ٌااَجِو مهَل مهانِ َف ِمْوا لاِب ِهْ َلَ َ ف ْعِطَتْسَي َْ ْ َ َو

Artinya: ‚Dari Abdullah Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu. (HR. Muttafaq Alaih)‛5

Islam memandang ikatan pernikahan sebagai ikatan yang kuat

(Mitshãqan Ghalizhan) dan suci (Fitri), dengan kata lain pernikahan adalah

suatu perjanjian yang bukan hanya menghendaki adanya hubungan atau

kontrak secara biasa, tetapi lebih kepada hubungan suci di mana suatu yang

haram pada dasarnya menjadi suatu hal yang halal dan dianjurkan oleh

agama. Oleh karena itu penikahan bukan hanya bersifat biologis dalam arti

4 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Al-

Hidayah,2009), 156.

5 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq Alaih ,(Jakarta:

(12)

kebutuhan seksual manusia yang harus dipenuhi dalam segala aspeknya, tapi

juga berdampak teologis sebagai dimensi yang sangat urgen dalam diri

manusia. Dimensi teologis inilah yang secara fitrah akan menciptakan

sebuah relasi kongrit antara manusia dengan tuhan yang pada akhirnya

menciptakan harmoni yang tentunya sangat diharapkan dalam rumah tangga.

Dalam hal ini, dimensi teologis berfungsi sebagai kekuatan (Power) yang

menciptakan harmoni atau kesesuaian antara manusia dengan hukum alam

(Sunnatullah) yang terkafer dalam bingkai penghambaan secara total pada

Tuhan dalam segala bentuk dan ini kehidupan manusia, sehingga segala

tindak-tanduknya bernilai ibadah di hadapan tuhan semisal pernikahan.

Pada hakikatnya, perkawinan mempunyai tujuan yang sangat mulia,

yaitu membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia

serta terjalin rasa kasih sayang antara suami istri, yang pada akhirnya Artinya: ‚Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentran kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kesih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir’’ (Q.S ar

-Rum: 21).6

6 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Al- Hidayah

(13)

Pernikahan adalah karunia Allah dan sunnah Rasulullah. Bahkan, di

dalam Islam dilarang keras membujang, karena pilihan membujang adalah

pilihan yang tidak sejalan dengan kodrat dan naluri manusia yang normal.

Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, dan melanjutkan keturunan

merupakan kebutuhan esensial manusia. Oleh karena itu, Islam mengatur

dengan baik dan detail untuk membina rumah tangga.

Dengan perkawinan manusia bisa memperbanyak dan melestarikan

keturunan. Karena hanya perkawinanlah jalan yang dibenarkan oleh Islam

dalam rangka pemenuhan kebutuhan biologisnya.7 Dengan ini, Islam telah

menolak dengan jalan lain selain pernikahan guna mempermudah dalam

kebutuhan biologis. Dalam artian, haram bagi manusia menempuh jalan

selain pernikahan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.

Selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis, pernikahan mempunyai

beberapa tujuan, di antaranya:

1. Melanjutkan keturunan. Keturunan atau anak adalah penerus perjuangan

ummat manusia, dimana lewat keturunan ummat Islam masih bisa

menegakkan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sehingga Beliau

sangat bangga ketika ummat Islam banyak mempunyai keturunan.

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan–perbuatan yang dilarang oleh Allah

SWT. Manusia di ciptakan oleh Allah SWT. Mempunyai naluri

manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Di antara naluri yang harus

(14)

di penuhi adalah kebutuhan biologisnya. Oleh karena itu dalam islam

diatur mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah

ikatan pernikah. Islam mempunyai tujuan mengajari umatnya supaya

tidak melantur terhadap dorongan seksnya tetapi memenuhi dengan cara

dan jalan yang bertanggung jawab. Islam mengakui kebutuhan seks

manusia dan percaya bahwa naluri alamiah harus dipelihara. Islam

menjelaskan bahwa bagian-bagian organ dari manusia diciptakan dengan

mempunyai beberapa maksud dan tujuan.

3. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa

kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa

kasih sayang antara sesama keluarga.

4. Melaksanakan perintah Rasulullah SAW, karena beliau sangat menyukai

terhadap orang- orang yang melaksanakan sunnahnya ini, dan beliau

sangat tidak menyukai ummatnya yang tidak melaksanakan pernikahan.

5. Untuk menjaga kemurnian keturunan. Hanya dengan pernikahan

keturunan yang baik akan diperoleh.8

Demi mewujudkan semua itu, maka suami istri masing-masing harus

mempunyai peran yang saling melindungi, baik berupa moral, spiritual

maupun material agar tercipta keluarga yang Sakīnah, Mawadah dan

Rahmah. Hal ini demi terciptanya kehidupan rumah tangga yang ideal.

Islam juga tidak melarang pemberian lain yang manyertai mahar dan

pemberian tersebut bukan suatu paksaan akan tetapi sebuah kerelaan yang

8 Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 2000),

(15)

bertujuan untuk mensejah terakah anaknya yang akan di pinang oleh laki-laki

serta bertujuan untuk memperkokoh persaudarann. Walaupun agama Islam

telah memberikan aturan dengan tegas dan jelas tentang pernikahan. Akan

tetapi dalam realita kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis masih

banyak ditemukan pelaksanaan pernikahan yang berbeda-beda di kalangan

umat Islam. Karena akibat perbedaan pemahaman tentang agama, adat

istiadat dan budaya, sehingga sehingga dalam pernikahan banyak

mempunyai corak atau adat yang unik seiring ketentuan agama.

Di desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep ada

kebiasaan pemberikan rumah kepada anak perempuan yang akan menikah

dan ini sudah mengakar dan membudaya. Pemberian rumah oleh orang tua

terhadap anak perempuannya yang akan menikah menjadi suatu kewajiban

bagi setiap orang tua. Sampai saat ini belum ada alasan yang jelas atas

kebiasaan tersebut, akan tetapi hal ini berkaitan dengan kebiasaan bahwa

perempuan yang akan menikah harus mempunyai rumah, sedangkan laki-laki

yang akan menikahinya nanti yang akan melengkapi perlengkapan isi rumah

dengan barang-barang bawaan ketika pernikahan yang biasa di sebut ‚

ben-ghiben.‛ 9

Penulis merasa perlu untuk mendalami apa yang melatar belakangi

kebiasaan memberikan rumah kepada anak perempuan yang akan menikah

yang terjadi di desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep.

Berkait dengan hal tersebut pada pemaparan masalah di atas, maka penulis

9 Sahliyatun pembelai laki-laki Ahmad Rofiq menikah pada tanggal 8 September di kediaman

(16)

merasa perlu melanjutkan tindakan lebih lanjut, dengan melakukan beberapa

penelitian yang tentunya. Karena ini merupakan warisan turun temurun dan

masih dilakukan hingga saat ini. Untuk itu, penulis tertarik meneliti

permasalahan tersebut dengan judul ‚Analisis ‘Urf Terhadap Pemberian

Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah (Studi Kasus di Desa

Aeng Panas Sumenep)‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang terkait

dengan judul yang sedang dibahas. Berdasarkan latar belakang masalah di

atas, maka dari itu penulis memaparkan beberapa permasalahan yang

ditemukan sehingga penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pengertian penyerahan rumah.

2. Manfaat dan tujuan pemberian rumah kepada anak perempuan.

3. Status pemberian rumah kepada anak perempuan.

4. Faktor yang melatar belakangi pemberian rumah kepada anak perempuan

yang akan menikah, di desa Aeng Panas

5. Pemberian rumah kepada anak perempuan ketika akan menikah desa

Aeng Panas

Maka penulis ini agar tidak terjadi pembahasan yang terlalu meluas

sehingga Dalam pembahasan skripsi ini penulis Analisis ‘Urf terkait

pemberian rumah di Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten

(17)

1. Pemberian rumah kepada anak perempuan di Desa Aeng Panas

Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep.

2. Analisis ‘Urf Terhadap Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang

Akan Menikah Studi Kasus di Desa Aeng Panas Sumenep.

C. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan

masalahnya agar lebih spesifik dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai

oleh penulis, maka harus ada rumusan masalah yang benar–benar terfokus.

Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini tidak melebar

dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di

atas, ada beberapa rumusan masalah yang bisa diambil yaitu:

1. Bagaimana tradisi permberian rumah kepada anak perempuan yang akan

menikah di desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep?

2. Bagaimana pemberian rumah kepada anak perempuan yang akan

menikah dari sudut pandang ‘Urf di desa Aeng Panas Kecamatan

Pragaan Kabupaten Sumenep?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka digunakan untuk memperoleh informasi tentang

penelitian atau karya-karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian

yang akan diteliti. Penelitian penulis tentang ‚Analisis ‘Urf Terhadap

(18)

Kasus Di Desa Aeng Panas Sumenep)‛ belum pernah dilakuan, akan tetapi

dengan titik pembahasan yang berbeda dengan penelitian yang sekarang ini.

Di antara penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, adalah sebagaim

berikut:

1. Skripsi dengan judul Tinjaun Hukum Islam Terhadap Tradisi

Peminangan ‚lancengan‛ dan ‚parabenan‛ Di Desa Dumajah Kecamatan

Tanah Merah Kabupaten Bangkalan, yang disusun oleh, Saifie Asrori

mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surbaya. Skripsi

tersebut menjelaskan tentang prosesi tradisi lancengan dan parabenan

yang dilaksanakan sebelum akad pernikahan.10 Hasil penelitianya sudah

berjalan sehingga menjadi turun temurun dengan realita sekarang masih

berjalan di kalangan masyarakat.

2. Skripsi dengan judul Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan

walimah bagi guru di kecamatan prabon sidoarjo. Yang disusun oleh.

Siti Aisah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surbaya.

Skripsi tersebut menjelaskan tentang prosesi tradisi akad dan pemberian

bingkisan yang dilaksanakan waktu akad pernikahan.11 Hasil

penelitianya akad pemberian bingkisan dengan relita sekarang sudah

berjalan di kalangan masyarakat.

10Saifie Asrori. ‚tinjauan hukum islam terhadap peminangan ‚lancengan‛ dan ‚parabenan‛ Di

Desa Dumajah Kecamatan Tanah Mera Kabupaten Bangkalan . (Skripsi –UIN Sunan Ampel, Surabya, 2012).

11 Siti Aisah. ‚Analisis ‘Urf terhadap akad pemberian bingkisan walimah bagi guru di kecamatan

(19)

Judul yang diangkat di dalam masalah ini berbeda dengan judul yang di

atas, adapun judul yang dibahas adalah ‚Analisis ‘Urf Terhadap Pemberian

Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah Studi Kasus Di Desa

Aeng Panas Sumenep.‛

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai

tujuan:

1. Untuk mengetahui lebih mendalam tradisi pemberian rumah kepada anak

perempuan Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep.

2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap pemberian rumah kepada anak

perempuan yang akan menikah Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan

Kabupaten Sumenep.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Setiap usaha seseorang pasti mempuyai kegunaan yang merupakan

harapan setiap penulis bisa berguna bagi penulis pribadi khususnya dan bagi

pembaca secara umum, baik dari segi teorotis maupun praktis, adapun

kegunaan penelitian yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti

(20)

tentang Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan

Menikah

b. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai landasan bagi penelitian

yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini disamping memberikan nilai guna secara teoritis

juga diharapkan memberikan kegunaan secara praktis, manfaat praktis

yang dimaksudkan sebagai berikut:

a. Diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan masyarakat

Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep dalam

pelaksanaan pernikahan.

b. Untuk memperkaya khazanah pemikiran keislaman, baik bagi civitas

akademika perguruan tinggi Islam, dalam hal ini Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Surabaya pada khususnya, dan

masyarakat luas pada umumnya.

c. Sebagai sarana informasi untuk membuka wawasan yang lebih jernih

tentang pernikahan.

d. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dengan caranya sendiri akan

mengasah kepekaan sosial, kecakapan dan keterampilan akademis.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara

(21)

-‘Urf

‘Urf merupakan kebiasaan yang telah dikenal dikalangan masyarakat,

baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama’ fiqh, ‘Urf

sering disebut juga dengan adat. Para ulama menyatakan bahwa ‘Urf

merupakan salah satu sumber dalam istinbat hukum, menetapkan bahwa ia

bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan naṣṣ dari Alquran dan Sunnah.

- Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah

Pemberian rumah dalam pernikahan adalah suatu tradisi bagi

masyarakat desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep

untuk menikahkan anak perempuannya dengan Laki-laki. Artinya

seorang perempuan ketika akan menikah di berikan rumah atau dibuatkan

rumah oleh orang tua perempuan. Pernikahan yang seperti itu diyakini

oleh masyarakat desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten

Sumenep, jika meninggalkan tradisi adat Madura akan mendatangkan

dampak negatif bagi pelaku.

Berdasarkan definisi operasional yang telah dipaparkan di atas,

maka penelitian dengan judul ‚Analisis ‘Urf Terhadap pemberian rumah

kepada anak perempuan di desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan

Kabupaten Sumenep, terbatas pada pembahasan mengenai deskripsi

pemberian rumah kepada anak perempuan ketika akan menikah, yang

kemudian akan dianalisis dengan menggunakan Uṣūl fiqh (‘Urf) dan

(22)

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Adapun yang

dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar

dan individu tersebut secara holistik (utuh).12

Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Aeng Panas Kecamatan

Pragaan Kabupaten Sumenep. Penulits tertarik dengan tempat yang akan

penulis teliti, karena masalah yang diteliti oleh penulis memiliki pengaruh

yang sangat besar di wilayah tersebut.

Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung

jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka

dibutuhkan data sebagai berikut:

a. Data tentang deskripsi dan faktor yang melatarbelakangi Pemberian

Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah di desa Aeng

Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep.

b. Data tentang praktek sebagai metode ijtihad untuk menganalisis

Pemberian Rumah Kepada Anak Perempuan Yang Akan Menikah di

desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep.

12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002),

(23)

2. Sumber data

Berdasarkan data yang akan dikumpulkan di atas, maka yang

menjadi sumber data dalam penelitian ini yakni objek pemberian rumah

kepada anak perempuan yang akan menikah adanya sumber data:

a. Sumber data primer

Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh

secara langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber

data primer adalah:

1. Pelaku orang tua yang melaksanakan pernikahan anaknya di desa

Aeng Panas Pragaan Kabupaten Sumenep.

2. Tokoh masyarakat dan tokoh di desa Aeng Panas Pragaan

Kabupaten Sumenep.

3. Kedua pembelai yang akan menikah di desa Aeng Panas Pragaan

Kabupaten Sumenep.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh

dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa

benda-benda tertulis seperti buku-buku, seperti literatur-literatur mengenai

pernikahan dan Ushul Fiqh.13 Dalam hal ini berupa bahan pustaka

yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:

1) Abdu al-Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh

2) Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh

13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta,

(24)

3) Nurol Aen,Djazuli, Ushul Fiqih

4) Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah.

5) Ahmad Beni Saebani, Fiqih Ushul Fiqih.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat

menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan

pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data

yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Wawancara (interview)

Menurut Ester Berg, wawancara merupakan pertemuan dua

orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya-jawab,

sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik. Ia juga

mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara

terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur.14

Dalam wawancara ini peneliti menggunakan wawancara semi

terstruktur. Tujuannya adalah untuk menemukan permasalahan secara

lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta

pendapat dan ide-idenya. Dalam wawancara ini peneliti langsung

melakukan tanya-jawab dangan nara sumber yaitu orang tua dari

pempelai perempuan.

14 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, kualitatif dan RND

(25)

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah catatan peristiwa baik berbentuk tulisan,

gambar, atau karya-karya monumental. Metode ini digunakan untuk

menguatkan data-data yang telah didapatkan.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang dikumpulkan dalam penelitian berhasil

dikumpulkan, peneliti melakukan pengolahan data (data processing),

yaitu:

a. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah

dikumpulkan. Teknik ini digunakan untuk memeriksa kelengkapan

yang sudah penulis dapatkan di Desa Aeng Panas Kecamatan

Pragaan Kabupaten Sumenep.

b. Organizing

Organizing adalah menyusun kembali data-data yang telah didapat

dalam penelitian yang diperlukan dalam karangka paparan yang

sudah direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis.

Penulis melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk di

analisis dan menyusun data-data tersebut dengan sistematis untuk

memudahkan penulis menganalisa data.

5. Teknis Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak

(26)

berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Menurut Bogdan

dalam Sugiyono, ‚analisis data adalah proses mencari dan menyusun

secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat dengan mudah

dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan pada orang lain‛.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknis analisis data

deskriptif, yaitu suatu analisis yang bersifat mendeskripsikan makna

data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti, dengan

menunjukkan bukti-buktinya.15

Metode deskriptif-analisis ini digunakan dengan pola pikir

deduktif, yaitu untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara jelas

tentang Analisis ‘Urf Terhadap Pemberian Rumah Kepada Anak

Perempuan Yang Akan Menikah di Desa Aeng Panas Kecamatan

Pragaan Kabupaten Sumenep

I. Sistematika Pembahasan

Untuk menghasilkan suatu karya yang teratur dan terarah, peneliti

menguraikan penelitian ini dalam lima bab sebagai berikut:

Bab pertama berupa pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

(27)

Bab kedua berisi teori ‘Urf yang meliputi pegertian ‘Urf, dalil ‘Urf,

sejarah ‘Urf, macam-macam ‘Urf, kedudukan ‘Urf, Serta kaidah-kaidah fiqh

tentang ‘Urf. dll.

Bab ketiga memuat diskripsi data penelitian yang berkenaan dengan

tradisi pemberian rumah kepada anak perempuan yang akan menikah di desa

Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep terdiri dari, gambaran

umum Desa Aeng Panas, pandangan tokoh masyarakat terhadap pemberian

rumah kepada anak perempuan yang akan menikah.

Bab keempat berisi analisis hasil penelitian yang dilakukan oleh

peneliti, yang mengacu pada rumusan masalah, yakni pemberian rumah

kepada anak perempuan yang akan menikah di desa Aeng Panas Kecamatan

Pragaan Kabupaten Sumenep.

Bab Kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari hasil

penelitian serta saran-saran yang dapat bermanfaat bagi banyak pihak,

khususnya dalam mengetahui analisis ‘Urf terhadap pemberian rumah

kepada anak perempuan yang akan menikah di desa Aeng Panas Kecamatan

(28)

19 BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG ‘URF

A. Pengertian ‘Urf

Secara etimologi kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu (

فر

-

فر ي

)

sering diartikan dengan al-ma’ruf (

فور ما

) dengan arti ‚sesuatu yang

dikenal‛, atau berarti yang baik. Kalau dikatakan

افر ىوا نَف

(si Fulan

lebih dikenal dari yang lain dari segi ‘Urf-nya), maksudnya bahwa si Fulan

lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian ‚dikenal‛ ini lebih

dekat kepada pengertian ‚diakui‛ oleh orang lain.1

Sedangkan secara terminologi kata ‘Urf, mengandung makna sesuatu

yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau sebagaian mereka dalam hal

muamalat (hubungan kepentingan) dan telah melihat atau tetap dalam

diri-diri mereka dalam beberapa hal secara terus-menerus yang diterima oleh akal

yang sehat. ‘Urf lahir dari hasil pemikiran dan pengalaman manusia.2

Kata ‘Urf dalam pengertian terminilogi sama dengan istilah al-‘adah

(kebiasaan), yaitu:

ِلْوم َقلاِب مةَمْ ِلاسلا معاَ اطلا مهْتاقَلَ تَو ِلْومقم لا ِةاهِج ْ ِ ِسْومفُ لا ِِْ ارَقَ تْسا اَ

(29)

Artinya: ‚sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar‛3

Kata al-‘Adah disebut demikian karena ia dilakukan secara

berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Ulama’ Wahbah

al-Zuhayli berpendapat bahwa ‘Urf mengandung makna: apa yang menjadi

kebiasaan manusia dan mereka ikuti dari setiap perbuatan yang umum

diantara mereka, atau lafaz yang mereka kenal secara umum atas makna

khusus bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu,

mereka tidak memahaminya dengan pengertian lain.4

Sedangkan Abdul Karim Zaidah mendifinisikan ‘Urf seebagai sesuatu

yang tidak asing lagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan

menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.5

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ‘Urf adalah segala apa yang dikenal oleh

manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan ataupun

meninggalkan sesuatu.6

Para ulama’ ushul fiqh mendifinisikan ‘Urf sebagai, suatu yang telah

saling kenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi,baik

berupa perkataan, perbuatan atau sikap meninggalkan sesuatu, dimana ‘Urf

juga disebut sebagai adat istiadat.7

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ‘Urf terdiri dari dua

bentuk yaitu, ‘Urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan), misalnya

3 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), 209.

4 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), 829. 5 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul fiqih, (Jakarta: kencana, 2005). Hal.117.

(30)

kalimat ‚engkau saya kembalikan kepada orang tuamu‛ dalam masyarakat

Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘Urf al-fi’li (kebiasaan

dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan

sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul yang disebut jual-beli

muathah (

اطاما ع ب

).8 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan

pengertian ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh masyarakat naik berupa

perkataan, perbuatan atau aturan-aturan yang telah menjadi kebiasaan bagi

masyarakat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain yang

berbeda kalangan masyarakat mengenai tradisi tersebut.

Para ulama’ ushul fiqh membedakan adat dan ‘Urf sebagai salah satu

dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut mereka ‘Urf adalah

kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang dilakukan berulang kali

tanpa adanya hubungan rasional.9

Mustafa Ahmad al-Zarqa’ sebagaimana yang dikutip oleh Nasrun

Haroen, mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat

lebih umum dari pada ‘Urf. Suatu ‘Urf harus berlaku pada kebanyakan orang

di daerah tertetu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Urf

bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan

adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.10

8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2..., 391 9 Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh…., 151.

(31)

Sementara itu, diantara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata

adat dan ‘Urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Seandainya

kedua kata itu dirangkai dalam suatu kalimat, seperti: ‚hukum itu didasarkan

kepada adat dan ‘Urf‛, tidaklah berarti kata adat dan ‘Urf itu berbeda

maksudnya meskipun digunakan kata sambung ‚dan‛ yang biasa dipakai

sebagai kata sambung yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata

itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata ‘Urf adalah

sebagai penguat terhadap kata adat.11

B. Dasar Hukum ‘Urf

Pada dasarnya tidak ada dalil yang secara jelas dan pasti tentang

kebolehan ‘Urf. Namun, ada beberapa naṣṣ yang mengarahkan kepadanya,

diantaranya yaitu:

1. Al-Qur’an

Ada beberapa ayat al-Quran yang menguatkan keberadaan ‘Urf

sebagai salah satu metode istimbat hukum, di antaranya adalah:

a. Dalam surat al-A’raf (7) ayat 199 sebagai berikut:

َِْْلِاَْْا ِ َ ْضِرْ َاَو ِفْرم ْلاِبْرم ْأَو َوْفَ ْلاِذمخ

Artinya: ‚Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh‛(Q.S al-A’raf: 199).12

11 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2..., 387

12 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Al-

(32)

Wa’mur bi al-‘Urf pada ayat di atas adalah memerintahkan kaum

muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut

ma’ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati dan pikiran. Tidak

diragukan lagi bahwa ungkapan ini didasarkan pada pertimbangan

kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan

mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma’ruf adalah

kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui.13

Menurut Imam al-Bukhari, yang dimaksud dengan istilah

al-‘Urfu dalam ayat ini ialah perkara yang ma’ruf (bijak). Pendapat

tersebut dinukil dari nas yang dikatakan oleh ‘Urwah Ibn al-Zubair,

al-Saddi, Qatadah dan Ibnu Jarir. Ibn Jarir mengatakan, Allah telah

memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan semua

hamba-Nya untuk berbuat kebijakan. Sekalipun hal ini merupakan perintah

kepada Nabi, sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi

semua Makhluk.14

b. Firman Allah SWT dalam surat Al-maidah (5) ayat 6 sebagai berikut:

ْ م الَ َل ْ م ْ َلَ مهَتَمْ ِن ا ِتم ِلَو ْ مكَرِ هَطم ِل م ْيِرمي ْ ِ َلَو ٍجَرَ ْ ِ ْ م ْ َلَ َلَ ْجَ ِل مه م ْيِرمي اَ

نْومرم ْ َت

Artinya:‚Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur‛(Q.S al-Ma’idah: 6).15

13 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,(mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1946), 241. 14 Imam Abu al-Fida Isma’il Ibn Kathir al-Dimashqi, Tafsir Ibnu Kathir, juz 9 diterjemahkan oleh

Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2002),278

(33)

Mayurīdu Allahu liyaj’ala ‘alaykum min haraj pada ayat di atas

menegaskan bahwa Allah tidak ingin menyulitkan hambanya baik di

dalam syarak maupun yang lainnya. Allah akan melapangkan

kesempitan dan mengurangi kesusahan kerena Allah swt maha kaya

dan maha penyayang. Allah tidak memerintahkan hambanya untuk

mengerjakan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dan di

dalamnya terdapat unsur kemanfaatan bagi hambanya.16 Seperti

membolehkan berbuka puasa bagi orang yang sakit, orang musāfīr

(orang yang sedang dalam perjalanan jauh), orang yang sedang

mengandung dan orang yang sedang menyusui.

c. Dalam Surah Al-Hajj (22) ayat 78 sebagai berikut:

ٍجَرَ ْ ِ ِ ْيِ لا ِْ ْ م ْ َلَ َلَ َج اَ َو

Artinya: : ‚Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.‛(Q.S al-Hajj: 78).17

Al-Haraj pada ayat diatas berarti kesempitan. Dalam hadits Nabi

dikatakan bahwa Allah akan menghapuskan kesulitan yang dihadapi

oleh hamba-Nya dengan kebesaran-Nya. Hal ini menunjukan bahwa

Allah tidak akan menyulitkan hamba-Nya dan Allah senantiasa

16 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 6(mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1946),

64-65.

17 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:Al-

(34)

memberikan kemudahan kepada hamba-Nya baik di dalam hal ibadah

maupun bermuamalah.18

2. Hadist

Adapun dalil Sunnah sebagai landasan hukum ‘Urf yakni hadits

dari Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dari Abd Allah Ibnu pula disisi Allah, dan apa yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek pulalah di sisi Allah‛. (HR. Ahmad).19

Hadits di atas menunjukkan bahwa perkara yang baik berlaku

dalam masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan dan mereka anggap

baik, maka perkara tersebut baik disisi Allah. Sehingga perkara tersebut

dapat diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya perkara

yang sudah biasa di masyarakat namun mereka anggap buruk, maka

perkataan tersebut buruk di sisi Allah. Sehingga perkara tersebut tidak

dapat diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut al-Ala’i, hadits tersebut tidak menemui jalan yang

sampai kepada Rasulullah. Hadits tersebut tidak ditemukan baik dalam

hadits yang sahih maupun hadits yang dhaif setelah dilakukan penelitian

18Muhammad Abd Allah Ibn ‘Arabī al- malikī, Ahkam al-Qur’an al-Sughr,(Libanon: Dār Kutub

al-‘Ilmīyah,1999),402

19 Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris, Musnad Ahmad Bin Hambal,

(35)

yang cukup panjang dengan mencari dan bertanya, ditemukan bahwa

hadits tersebut hanya merupakan ucapan Abd Allah Ibn Mas’ud yang

diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab yang bernama al-Masnad.20

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi

ataupun maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang

berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan

umum syariat Islam adalah merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.

Sebaliknya hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai

baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam

kehidupan sehari-hari.21

C. Kaidah-kaidah ‘Urf

Berdasarkan dalil-dalil yang menerangkan kehujjahan ‘Urf, ulama

terutama Malikīyah dan Hanafīyah merumuskan kaidah hukum yang

bertentangan dengan ‘Urf tersebut. Banyak kaidah ushul fiqh yang

membicarakan tentang ‘Urf (adat istiadat) umat Islam. Hal itu dapat

dijadikan pijakan dalam merumuskan hukum positif di Indonesia.

Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

ٌةَما َم م َداَ ْلَا

Artinya:‚Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum‛.22

20 Jalal al-din Abd al-Rahman,lima kaidah Pokok Dalam Fikih Mazhab Syafi’i,diterjemahkan oleh

Asywadie Syukur,(Surabaya:PT. Bina Ilmu,1999),163

(36)

مةَ اَبَْا مفِراَ َاْ َِ ا َ مةَ اَبَْا اَ ِتاَداَ ِ ملْ َََْو

Artinya:‚Dan, hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh

saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal‛.

م ْرَش ِ ْومرْ َمْلَك اًفْرم مفْومرْ َمْلَا

Artinya: ‚yang baik itu menjadi ‘Urf sebagaimana yang disyariatkan itu menjadi syarat.‛23

ْ ِ ْرَش ملْ ِلَ ِب ٌ ِباَ ِفْرم ْلاِب م ِب االلَا

Artinya: yang berlaku berdasarkan ‘Urf, (seperti) berlaku berdasarkan

dalil syara’.24

Ketetapan-ketetapan yang didasarkan pada kebiasaan diberlakukan

seperti ditetapkan oleh naṣṣ. Misalnya kebiasaan dalam perceraian sepasang

suami, istri anak diasuh oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan anak

tersebut dibebankan kepada ayahnya.

ِفْرم ْلا َىِإ ِهْ ِف معِجْرَ ي ِهَ ُللا ِِ َََو ِهْ ِف مهَل َ ِباَ َََو اَقَلْطم ِعْرا لا ِهِب َدَرَو اَ المك

Artinya: Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak, dan tidak ada pembatasan di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi

kebahasaan, maka pemberlakukannya dirujukkan kepada ‘Urf.25

Aplikasi dari kaidah ini misalnya pada kasus hukuman potong tangan

bagi orang yang mencuri. Syara’ tidak memberikan batasan berkaitan dengan

situasi barang yang dicuri sehingga orang yang mencuri tersebut dapat

dikenakan hukuman potong tangan. Oleh karena itu batasan pengertian

23 Firdaus, Ushul Fiqh. Metode mengkaji dan memahami Hukum Islam Secara Komprehensip

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.), 104

(37)

mengenai situasi barang yang dicuri didasarkan pada adat yang berlaku pada

masyarakat tersebut.

ِااَئِ َ ْلاَو ِااَ ْش ْااَو ِلاَوْخَْااَو ِةَ ِ ْ َْااَو ِ َ ِ ْ َااَُِْ َ تِب مرا َ َ تَ ي م ْ مْ َا

Artinya: ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan

waktu, tempat, keadaan, individu, dan peubahan lingkungan.26

Ulama’ salaf berpendapat bahwa seorang guru al-Qur’an tidak boleh

menerima upah dari pekerjaan itu. Namun, muta’ahkhirīn membolehkan

mengambil upah dari pekerjaan mengerjakan al-Qur’an. Hal tersebut

disebabkan karena perubahan waktu dan keadaan, pada zaman dahulu

kesejahteraan guru al-Qur’an ditanggung oleh Baitul mal. Sedangkan pada

masa sekarang kesejahteraan guru al-Qur’an tidak lagi ditanggung oleh

Baitul mal sehingga mereka memperbolehkan seorang guru ngaji untuk

mengambil upah pekerjaannya tersebut.

D. Macam-macam ‘Urf

Dalam prakteknya di masyarakat terdapat berbagai macam ‘Urf yang

terbetuk. Oleh karena itu ‘Urf perlu di kelompokkan agar lebih mudah

dipahami. Dalam hal ini, para ulama’ mengklasifikasikan ‘Urf kedalam

beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut:

1. Ditinjau dari segi objeknya

Dari segi ini ‘Urf dapat diklasifikasikan menjadi dua macam,

yaitu:

(38)

a. al-‘Urf al-lafzi (

ظفللا فر لا

) adalah kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan katakata atau ungkapan tertentu dalam

menggunkapkan sesuatu,27 sehingga makna ungkapan itulah yang

dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Contohnya

ungkapan ‚daging‛ mencakup seluruh daging yang ada. Apabila

seseorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki

bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan ‚saya beli

daging satu kilogram‛ pedagang itu langsung mengambil daging

sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan

penggunaan daging pada daging sapi.

b. al-‘Urf al- ‘amalī (

لم لا فر لا

) adalah kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan atau muamalah keperdataan. Perbuatan

biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka

yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti: kebiasaan

masyarakat memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.

Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan

masyarakat dalam melakukan akad transaksi dengan cara tertentu,

seperti:28

1) Jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu

benilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya

(39)

menunjukkan barang serta terima barang dan uang tampa ucapan

transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad

dalam jual beli

2) Kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama temen tanpa

adanya ucapan meminta dan member, tidak di anggap mencuri.

2. Dari segi cakupannya

Jika ditinjau dari segi cakupannya, ‘Urf dapat pula dibagi

menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:

a. al-‘Urf al- 'am (

ما لا فر لا

) adalah sesuatu kebiasaan yang telah

bersifat umum dan berlaku hampir bagi sebagian besar masyarakat

dalam berbagai wilayah yang luas tampa memandang Negara, bangsa,

dan agama. Misalnya membayar ongkos kendaraan umum dengan

harga tertentu, tanpa perincian jauh dekatnya jarak yang ditempuh,

dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. contoh lain adalah

sewa-menyewa pemandian umum yang memungut bayaran, orang

hanya membayar seharga tarif masuk yang di tentukan tampa

memperhitungkan beberapa banyak air yang dipakainya dan beberapa

lama ia menggunakan pemandian tersebut.29

b. al-‘Urf al-khãs (

ااخا فر لا

) adalah sesuatu kebiasaan yang berlaku

secara khusus pada suatu masyarakat tertentu atau wilayah tertentu

(40)

saja.30 Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang,

apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli, pembeli

dapat mengembalikan barang tersebut kepada penjual. Sedangkan

untuk cacat lainnya pembeli tidak dapat mengembalikan barang yang

sudah dibeli tersebut.

3. Dari segi keabsahannya

Apabila ditinjau dari segi pandangan syara’‘Urf dibagi menjadi

dua macam yaitu:

a. al-‘Urf al- sahīh )

ح ح لا فر لا

) adalah sesuatu kebiasaan yang

dilakukan oleh banyak orang, yang bisa dijalani oleh mereka dalam

kehidupan bermasyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil

syara’dan berpotensi mewujudkan maslahat.31 Tidak menghalalkan

sesuatu yang telah dianggap haram oleh syara’ dan tidak

membatalkan yang wajib. Misalnya mengadakan pertunangan

sebelum melangsungkan pernikahan, dipandang baik, telah menjadi

kebiasaan dalam masyarakat, dan tidak betentangan dengan syara'.

b. al-‘Urf al-fa>sid (

سافلا فر لا

) adalah sesuatu yang sudah menjadi

tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara’;

menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.32 Misalnya

30 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 210.

31Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di

Indonesia, (Badan litbang dan diklat kementrian Agama RI,2010), 78

(41)

perjanjian yang bersifat riba, menarik hasil pajak perjudian dan lain

sebagainya.

E. Syarat ‘Urf

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ‘Urf dapat dijadikan sebagai

salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara'; jika memenuhi syarat

tersubut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini

merupakan kelaziman bagi adat atau ‘Urf yang shahih sebagai

persyaratan untuk diterima secara umum. Misalnya tentang kebiasaan

istri yang di tinggal mati suaminya, dibakar hidup-hidup bersama

pembakaran jenazah suaminya. Maka kebiasaan itu dinilai baik dari segi

rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal

sehat.33

2. ‘Urf itu yang berlaku umum dan merata artinya ‘Urf itu berlaku dalam

kalangan orang-orang mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.

Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:34

َََف ْدِراطَي َْ ْنِ َف ْاَدَراطا اَ ِا م َداَ لا مرَ َتْ م ت اَا ِا

Artinya: ‚Sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan di perhitungkan‛.

(42)

3. ‘Urf telah ada sebelum munculnya kasus. ‘Urf yang dijadikan sandaran

dalam penetapan hukum itu telah ada sebelumnya (berlaku) pada saat

itu, bukan ‘Urf yang akan dijadikan sandaran hukum tersebut telah

berlaku dan memasyarakat sebelum kasus yang akan ditetapkan

hukunnya itu muncul. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil

kebunnya kepada ulama’. Yang disebut ulama’ pada waktu itu hanyal

orang yang mempunyi pengetahuan agama tanpa dalam persyaratan

wakaf itu harus diartikan dengan pengertian yang sudah dikenal, bukan

dengan pengertian ulama’ yang menjadi popular kemudian setelah ikrar

wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah. 35

Jika ‘Urf yang akan dijadikan sandaran hukum tersebut datang

setelah kasus yang akan ditetapkan hukumnya, maka ‘Urf tersebut tidak

diperhitungkan sebagai dalil penetapan hukum. Dalam hal ini ada kaidah

yang mengatakan:36

atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.

5. Ulama’ Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah hukum yang

berkaitan dengan ‘Urf diantaranya adalah:

35 Satria Effendi Ushul Fiqh , 157.

(43)

ِفْرم ْلا َ ِا ِهْ ِف معَجْرم ي ِةَ ُللا ِِْ َََف َََو ِهْ ِف مهَل َ ِباَ َََو اًقَلْطم معْرا لا ِهِبَدَرَواَ اَمالمك

Artinya: ‚Semua yang diatur oleh syara’ secara mutlak, namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa, maka semua

itu dikembalikan kepada ‘Urf‛.37

‘Urf berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘Urf itu

dibentuk oleh kebisaan-kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan

mereka, sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari

para mujtahidin. Wahbah az-Zuhaily berpendapat mengenai hal ini

beliau mengatakan ijma’ dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid

dari umat Rasulullah saw. setelah wafatnya terhadap suatu masalah.

Ijma’ tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum kecuali melalui

hukum syara’ yang kadang sampai kepada kita atau kadang pula tidak

sampai. Oleh karena itu ijma’dianggap sebagai hujjah yang mengikat.38

Sedangkan ‘Urf menurut beliau tidak disyaratkan adanya

kesepakatan, tidak dituntut pula bersumber dari dalil syara’ dan

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena

‘Urf ada yang shahih dan ada pula yang fasid.39

F. Kehujjahan ‘Urf

Pada dasarnya, semua ulama’ menyepakati kedudukan al-‘Urf al

-sahihah sebagai salah satu dalil syara’. Baik yang menyangkut al-‘Urf al-‘am

dan al-‘Urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan al-‘Urf al-lafzi dan

37 Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh…154-159.

(44)

‘Urf al-‘amali, dapat di jadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.

Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan dari segi intensitas

penggunaannya sebagai dalil.

Menurut ulama’ Hanafiyah, al-‘Urf al-shahih yang bersifat umum dan

bersifat konstan (al- ‘Urf al- shahih al- ‘am al-muntharid) bukan saja dapat

menjadi dalil syara’, tetapi juga dapat mengesampingkan hukum yang

didasarkan atas kias dan dapat pula melakukan takhsis dalil syara’ lainnya.40

Adapun ‘Urf yang bersifat khusus hanya dapat mengesampingkan

pendapat-pendapat mazhab yang didasarkan atas hasil ijtihat terhadap nas

yang zanni saja. Ia tidak dapat mengesampingkan naṣṣ syara’ dan ketentuan

kias, serta tidak dapat melakukan takhsis athar (yang berlaku di kalangan

sahabat).41

Sementara itu, al-‘Urf al-fasid (‘Urf yang salah) sama sekali tidak

diakui kebeadaannya dalam hukum dan ditolak. Apabila manusia telah saling

mengertimengenai akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar,

maka dalam hal ini ‘Urf tidak berpengaruh untuk membolehkan akad ini.

‘Urf al-fasid dapat diakui jika itu termasuk darurat atau kebutuhan

mereka, maka hal itu diperbolehkan. Karena darurat memperbolehkan hal-hal

yang telah di haramkan dan jika bukan termasuk darurat dan bukan termasuk

kebutuhan mareka, maka duhukumi dengan batalnya akad tersebut, dan

berdasarkan ini ‘Urf tidak diakui.

(45)

G. Kedudukan ‘Urf

Pada dasarnya seluruh semua ulama mazhab, menurut Imam

al-Shãtibī (ahli ushul fiqh Malikī) dan Imam Ibn Qãyim al-Jauziyah (ahli ushul

fiqh Hanbali), menerima dan menjadikan ‘Urf sebagai salah satu dalil syara’

dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada naṣṣ yang menjelaskan hukum

suatu masalah.42

Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan al-‘Urf (istihsan yang

menyandar pada ‘Urf).’Urf mereka dahulukan atas qiyas kha>fi> dan juga

mendahulukan atas nas yang umum. Begitu juga dengan ulama’ Malikiyah

yang menjadikan ‘Urf di kalangan madinah sebagai dasar dalam menetapkan

hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad.43

Sedangkan Imam al-Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah

sebagai pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau

berada di Baghdad. Perubahan tersebut disebabkan karena perbedaan ‘Urf.

Oleh karena itu beliau mempunyai dua mazhab yaitu kaul qadim dan kaul

jadid. Kaul qadim adalah pendapat imam al-Syafi’i yang lama yaitu ketika

beliau berada di Baghdad. Sedangkan kaul jadid adalah pendapat beliau

ketika berada di Mesir.

42 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 142

(46)

Ulama’ Syafi’i banyak menggunakan ‘Urf ketika tidak menemukan

ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.

Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut.44

ِفرم لا َىِا ه ف معجرمي ِةَ ُللا ِِْ َََو ِهْ ِف مهَل َ ِباَ َََو اًقَلْطم معْرا لا ِهِبَدَرَو اَ ُلمك

Artinya: setiap yang datang dengan syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka semua itu

dikembalikanlah kepada ‘Urf.

Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘Urf dapat digunakan

sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama’ atas

‘Urf itu bukanlah karena ia bernama ‘Urf. Manurut penyelidikan ‘urf bukan

merupakan dalil yang berdiri sendiri. Pada umumnya, adat atau ‘Urf itu

menjadi dalil karena ada sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ maupun

dalam bentuk maslahat.

Dasar dari ungkapan ini adalah ‘Urf yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji dan Mustafa

Ahmad al-Zarqa’, seluruh uluma’ mazhab menjadikan ‘Urf sebagai dalil

dalam menetapkan hukum, ketika naṣṣ yang menentukan hukum tersebut

tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘Urf dengan metode ijtihad lainnya,

para ulama’ mazhab juga menerima ‘Urf, sekalipun kuantitas penerimaan

tersebut berdeba. 45

H. Perbenturan ‘Urf

‘Urf yang berlaku di tengah-tengan masyarakat tidak semuanya

sejalan dengan nas dan dalil-dalil syara’ lainnya. ‘Urf yang berlaku di

(47)

tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nas dan

adakalanya bertentang dengan dalil syara’ lainnya. Terkait dengan

permasalahan tersebut, ulama’ memberikan rincian sebagai berikut:

1. Perbenturan ‘Urf dengan dalil syara’

Apabila perbentukan ‘Urfdengan dalil syara’ itu tidak berkaitan

dengan materi hukum, maka didahulukan ‘Urf.46 Misalnya, jika seseorang

bersumpah tidak memakan daging, tetapi kemudian ia memakan daging

ikan, maka ditetapkanlah bahwa ia tidak melanggar sumpah. Menurut

‘Urf ikan itu tidak termasuk daging, sedangkan menurut syara’ ikan itu

termasuk daging.

Sedangkan apabila terjadi perbenturan ‘Urf dengan dalil syara’

dalam hal yang berkaitan dengan materi hukum, maka didahulukan

syara’ atas ‘Urf.47 Misalnya, ‘Urf dalam mengadopsi anak. Anak yang

diadopsi tersebut statusnya disamakan dengan anak kandung, sehingga

apabila ayahnya meninggal dunia anak tersebut mendapatkan warisan

seperti anak kandung. Dalam pandangan syara’, anak angkat tidak

termasuk ahli waris, ia hanya berhak memperoleh warisyat al-wajibah

(tidak boleh lebih dari sepertiga harga waris). Dengan demikian,

ketentuan syara’ yang didahulukan.

2. Perbenturan ‘Urf dengan penggunaan kata dalam pengertian bahasa

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Menurut qadi

Husein, hakikat beramal dengan bahasa terletak pada penggunaan

(48)

bahasa.48 Demikian apabila terjadi perbenturan antara ‘Urf dengan

pengertian bahasa, maka didahulukan pengertian bahasa daripada ‘Urf.

Sementara itu, al-Baghawi berpendpat bahwa apabila terjadi

perbenturan ‘Urf dengan pengertian bahasa, maka didahulukan ‘Urf.

Karena ‘Urf dijadikan hukum dalam segala tindakan apabilagi dalam

sumpah.49 Sedangkan al-Rafi’i berpendapat dalam masalah talak, jika arti

adat dan bahasa terdapat kesamaan, maka keduanya dilaksanakan, dan

jika berbeda maka ia cenderung kepada pengertian bahasa.50

3. Perbenturan ‘Urf dengan hasil ijtihad

Ulama’ hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa apabila

terjadi syara’ perbenturan antara ‘Urf dengan kias maka yang di ambil

adalah ‘Urf, karena menganggap ‘Urfmenempati posisi ijma’ ketika nas

tidak ada. Misalnya, jual beli lebah dan ular sutra. Imam Abu Hanifah

pada awalnya mengharamkan jual beli ini dengan menggunakan dalil

kias. Namun, kedua serangga tersebut bermamfaat dan orang-orang telah

terbiasa untuk memeliharanya. Atas dasar itu Muhammad Idnu Hasan

al-Shaybani membolehkan jual beli lebah dan ulat sutra tersebut.

Apabila terjadi pebenturan antara ‘Urf dengan maslahat

al-mursalah, ulama malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah lebih

mendahulukan ‘Urf, karena maslahat al-mursalah bukanlah nas. Akan

48 Abd ar-Rahman al-Suyuthi, al-Ashbah wa al-Nazair,(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 124 49 Ibd.

(49)

tetapi, dalam penerapannya terdapat perbedaan antara ulama Syafi’iyah

dan Hanabilah dengan Hanafiyah dan Malikiyah.51

Sedangkan apabila terjadi perbenturan antara ‘Urf dengan

istihsan, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah maka dengan sendirinya

mereka mendahulukan ‘Urf daripada istih}sa>n, karena mereka tidak

menerima kehujjahan istih}sa>n.52 Misalnya pada masalah jual beli ijon,

yaitu jual beli buah-buahan di pohon yang belum seluruhnya matang.

Menurut qiyas, jual beli semacam ini tidak sah, karena objek akad tidak

jelas. Buah-buahan yang dijual belum jelas jumlahnya karena belum

seluruhnya mateng dan belum dipetik. Akan tetapi, jual beli ini sudah

menjadi ‘Urf di tengah-tengah masyarakat maka ulama sepakat untuk

memperbolehkan jual beli semacam ini.

(50)

41

BAB III

DESKRIPSI TRADISI PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK

PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH DI DESA AENG PANAS

KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP

A. Gambaran Umum Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan Kabupaten

Sumenep

Keadaan wilayah di suatu daerah sangat berpengaruh terhadap watak

dan sifat dari masyarakat yang menempatinya. Watak dan sifat serta

kebiasaan yang dilakukan suatu masyarakat ini kemudian menjadi ciri khas

tersendiri yang membedakan masyarakat di suatu wilayah dengan wilayah

lainnya. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan ciri khas suatu

masyarakat tersebut diantaranya adalah faktor geografis, sosial budaya,

pendidikan,agama dan sebagainya.

Gambaran Umum Desa Aeng Panas adalah merupakan gambaran

secara utuh tentang kondisi desa. Data-data yang disusun mengambil dari

semua data yang tersedia dan bisa didapatkan.

Data yang dipakai untuk menggambarkan situasi atau keadaan dalam

gambaran umum memakai data hasil survey sekunder yang disebarkan

kepada Kepala Dusun, Kepala Rukun Tetangga. Data hasil survey akan

memunculkan perbedaan dengan data yang ada di Pemerintahan Desa. Data

(51)

merupakan data aktual dan kemudian analisa guna mendapatkan data yang

lebih akurat.1

Gambaran Umum Desa berisikan antara lain kondisi geografis,

perekonomian desa, keadaan statistik sosial budaya desa, deskripsi dan

statistik sarana prasarana desa dan deskripsi statistik pemerintahan secara

umum.

1. Keadaan Geografis Desa Aeng Panas

a. Luas dan Batas Wilayah

Desa Aeng Panas terdiri dari empat dusun yang masing-masing

dusun dikepalai oleh perorangan yaitu kepala dusun (kasun) yaitu:

dusun Pesisir, dusun Nong Malang, dusun Galis dan dusun Cecek.2

Desa Aeng Panas berada pada ketinggian 50 m di atas

batas-batas Wilayah Pemerintahan terdiri atas 4 Dusun dengan 17

Rukun Tetangga (RT) yang meliputi:4

1) Sebelah Timur Dusun Pesisir terdiri atas 5 Rukun Tetangga;

1 Format Isian Data Potensi Desa dan Kelurahan Aeng Panas Tahun 2016 2 Ibid.

(52)

2) Sebelah Selatan Dusun Nong Malang terdiri atas 4 Rukun

Tetangga;

3) Sebelah Utara Dusun Galis terdiri atas 4 Rukun Tetangga;

4) Sebelah Barat Dusun Cecek terdiri atas 4 Rukun Tetangga.

b. Asal Usul Nama Desa Aeng Panas

Nama ‚Aeng Panas‛ dalam sejarahnya tidak lahir begitu saja.

‚Aeng Panas‚ diambil dari nama sumber mata air di Taman Pesisir

Aeng Panas yang selalau hangat walaupun di malam hari. Bukti

sejarah itu sampai sekarang masih ada dan tetap terawat dengan

baik. Dari dulu hingga kini Taman Pesisir Aeng Panas telah menjadi

persinggahan warga dari berbagai daerah, selain karena tempatnya

yang nyaman, sejuk, udara yang masih bening karena berdampingan

langsung dengan selat madura yang senantiasa menggotong ombak

menciumi pantai.5

Dalam sejarahnya Aeng Panas memiliki pelabuhan. Dari

pelabuhan itulah para Saudagar hilir mudik datang membawa

dagangan dan budaya dari tanah asalnya, utamanya Saudagar dari

China. Dari Saudagar itulah akulturasi budaya masuk dan mewarnai

prilaku hidup masyarakat desa Aeng Panas bahkan mewarnai

masyarakat Kabupaten Sumenep. Para Saudagar itu bukan hanya

datang dari bangsa China melainkan juga dari berbagai

negara/daerah penyebar agama Islam, corak Islam mendominasi

(53)

kehidupana masyarakat. Maka lengkaplah desa Aeng Panas bukan

hanya menjadi pusat perkembangan budaya melainkan juga menjadi

tempat para wali penyebar agama Islam.

Silsilah para masyayikh yang ada di Kabupaten Sumenep

khusunya dan Kabupaten pamekasan adalah keturunan para wali

yang ada di Desa Aeng Panas. Para wali yang terkenal hingga saat

ini yang maqbarohnya ada di Dusun Pesisir adalah Syekh Agung

Ahmad. Beliau masih keturunan Rato Bagandan Pamekasan yang

kawin dengan Puteri Bujuk Damar / Syekh Fathul Qarib yang

merupakan keturunan Sunan Ampel Surabaya. Adapun maqbarah

lain yang juga terkenal di desa Aeng Panas adalah Syekh Agung

Mahmud adalah putera angkat dari Bindara Saod yang merupakan

menantu dari Syekh Agung Ahmad.6

Terbentuknya Desa Aeng Panas Kecamatan Pragaan terbukti

dalam Legenda Kerajaan Sumenep pada masa kepemimpinan Raja

Arya Wiraraja. Desa ini saat itu masih merupakan hutan belantara,

hanya ditempati beberapa penduduk saja. Dalam perjalanan pulang

memenuhi panggilan Raja Majapahit, Jokotole mengendarai kuda

selama dalam perjalanan beliau menghadapi banyak kejadian-

dimana setiap kejadian yang terjadi pada jalur perjalanan yang beliau

lalui akhirnya oleh sejarah dicatat sebagai cikal bakal nama sebuah

desa tersebut.

Gambar

Tabel
  Tabel 1. Mata pencaharian Penduduk Desa Aeng Panas.
  Tabel 2
  Tabel 3
+2

Referensi

Dokumen terkait

adalah sebuah ruang terbuka yang bersifat egalitarian—seperti sebuah agora atau ruang publik (public space) di dalam budaya politik Yunani, yang di dalamnya setiap

30 September 2020 dan 31 Desember 2019, Serta Untuk Periode Sembilan Bulan yang Berakhir pada Tanggal-tanggal 30 September 2020 dan 2019 (Disajikan dalam Rupiah, kecuali

Peneliti memilih lokasi ini karena pengembangan perumahan dan perubahan sosial ekonomi pada warga pinggiran Kota Bandung, Kecamatan Gedebage sedang dalam proses masa

Mekanisme mana yang terjadi pada proses akumulasi logam berat Cu oleh sel bakteri Bacillus sp belum dapat ditentukan dalam penelitian ini, sehingga masih dibutuhkan penelitian

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah melakukan kegiatan penelitian produksi kopi rendah kafein dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk

Berdasarkan hasil pewarnaan gram terlihat adanya koloni berbentuk batang pendek/kokobasil dan berwarna merah muda karena dinding sel bakteri Gram negatif menyerap

Faktor A (proporsi bubuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mortalitas rayap tanah ( Coptotermes sp .) dan kehilangan umpan, sedangkan faktor B (jenis

Hasil Penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin baik persepsi calon konsumen tentang kualitas produk susu SGM maka akan semakin meningkatkan persepsi terhadap