1
dengan otomatis wilayah Jakarta menjadi magnet bagi banyak
orang untuk mencoba berbagai usaha agar lebih memajukan
perekonomian keluarganya. Mengapa Jakarta menjadi magnet
bagi orang-orang yang butuh pekerjaan? Karena infrastruktur di
Jakarta sangat mudah. Pusat pemerintahan dan berbagai pusat
suatu perusahaan kebanyakan berada di Jakarta. Inilah yang
menjadikan orang-orang tertarik untuk pergi ke Jakarta.
Kebanyakan orang dari berbagai daerah datang ke Jakarta hanya
mempunyai bekal pendidikan yang cukup, sehingga mereka lebih
memilih untuk mendirikan usaha informal.
Meningkatnya pertumbuhan sektor informal disebabkan
karena tidak membutuhkan pendidikan tinggi, modal besar atau
pengalaman kerja (SINDO, 12 Desember 2010). Dengan
pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penuh dengan daya saing
yang tinggi, membuat orang-orang yang tinggal di Jakarta,
terutama kalangan menengah kebawah memutar otak supaya
kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi. Mereka membuka usaha
kecil-kecilan yang mampu menopang perekonomian keluarganya,
karena terbentur dengan modal dan salah satu caranya adalah
dengan berjualan di pinggir jalan atau biasa disebut dengan
Pedagang Kaki Lima (PKL). Pengertian PKL secara harfiah
masih rancu, obyeknya tidak begitu jelas. Seorang pedagang
adalah spesialis dalam berniaga untuk barang dagangan tertentu.
Ada pedagang kain, pedagang sayur, pedagang mobil, pedagang
pedagang ikan dan masih banyak lagi. PKL banyak ditemukan di
trotoar, di tepi jalan umum atau ruang terbuka di lokasi ramai.
Dengan demikian, PKL sebenarnya mengandung arti kiasan bagi
pelaku usaha informil dan menempati lokasi-lokasi tertentu.
PKL muncul secara tiba-tiba di lokasi tertentu tanpa di
undang dan tanpa melalui persyaratan tertentu, kemudian PKL
lainnya menyusul. Berdasarkan wawancara awal dari beberapa
PKL, semakin banyaknya PKL maka lahan yang dibutuhkan
untuk menempatkan mereka juga semakin besar. Oleh karena itu,
mereka yang tidak mendapat bagian lahan memilih untuk
menempatkan usahanya di pinggir jalan. Ketika mereka
menggelar dagangannya di pinggir jalan atau ditrotoar, mereka
diharuskan untuk membayar uang retribusi kepada anggota
Pemerintah Kota (PEMKOT) dan masih juga dilakukan
penertiban. Banyaknya PKL yang berjualan di pinggir jalan
inilah yang dapat mengganggu sistem tata kota. Oleh karena itu,
pemerintah kota Jakarta, khususnya di daerah Jakarta Selatan,
tepatnya di pasar Kebayoran Lama, mengambil tindakan salah
satunya adalah dengan usaha menertibkan PKL untuk
memperbaiki sistem tata kota. Setiyaningsih (2008) mengatakan
bahwa PKL sebagai usaha informal tidak hanya berdampak
negatif, namun juga mempunyai nilai positif. PKL mampu
memberi manfaat yaitu dapat menyerap tenaga kerja yang
merupakan ujung tombak pemasaran hasil industri besar maupun
kecil. Selain itu, PKL juga memberikan kontribusi pendapatan
perlawanan PKL karena seolah-olah Satpol PP menghalangi
mereka untuk mencari uang (http://hmibecak.wordpress.com).
Di samping itu, keberadaan PKL juga membawa dampak
pada lingkungan perkotaan seperti kemacetan lalu lintas,
drainase kota, ketidak tertiban, ketidak nyamanan, ketidak
indahan, maupun bisa juga ketidak amanan. Oleh karena itu,
apabila PKL tidak dikelola secara baik dengan lingkungannya,
pasti akan menimbulkan kekumuhan kota Jakarta (Analisis
Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2000, tentang penataan PKL di
Kecamatan Tugu, Semarang) ; (Setiyaningsih, 2008). Dalam penertiban para PKL di Jakarta, pemerintah membentuk suatu
satuan atau lembaga yang mengurusi hal tersebut, seperti Satuan
Polisi Pamong Praja dan akrab disebut dengan Satpol PP. Satpol
PP mempunyai tugas untuk membantu kepala daerah dalam
menciptakan suatu kondisi daerah yang lebih tentram, tertib, dan
teratur. Sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat
berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melaksanakan
kegiatannya dengan aman. Di samping menegakkan Perda,
Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan
pemerintah daerah lainnya, yaitu peraturan kepala daerah.
(http://tunas63.wordpress.com).
Dengan tindakan penertiban yang dilakukan oleh Satpol
PP, terkadang disertai tindakan paksa. Sehingga ketika para PKL
ditertibkan, mereka akan menjadikan kejadian tersebut sebagai
pengalaman yang negatif dan menimbulkan persepsi tertentu
terhadap Satpol PP (http://hmibecak.wordpress.com). Persepsi
indera dan bersifat aktif. Jika persepsi dinyatakan sebagai
penafsiran pengalaman, maka akan terjadi suatu penghargaan
terhadap pengalaman tersebut (Irwanto, 2002). Persepsi adalah
suatu penangkapan rangsang oleh suatu panca indera, yang di
tafsirkan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lama
maupun yang baru.
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “Persepsi Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Di Pasar
Kebayoran Lama Jakarta Selatan”.
Landasan Teori
Persepsi
Persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu perception (Echols dan Shadily, dalam Jurian, 2000), yang berarti bahwa
tanggapan dengan memahami sesuatu. Tingkah laku seorang
individu sebagian besar banyak ditentukan oleh persepsinya.
Persepsi adalah suatu penangkapan rangsang oleh suatu panca
indera, yang ditafsirkan berdasarkan pengalaman-pengalaman
yang lama maupun yang baru. Atkinson (1987) mengatakan
bahwa persepsi sebagai proses yang memungkinkan individu
untuk mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang datang
dari lingkungannya. Irwanto (2002), mengatakan bahwa persepsi
adalah suatu pengindraan (penangkapan rangsang oleh panca
indera) yang bersifat aktif, yaitu terjadinya suatu tanggapan
berupa interpretasi atau penafsiran pengalaman-pengalaman
penafsiran pengalaman, maka akan terjadi suatu penghargaan
terhadap pengalaman tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah proses yang didahului oleh penginderaan atau
bagaimana cara orang memandang terhadap stimulus yang di
terima, yang pada akhirnya individu tersebut akan memberikan
arti terhadap stimulus yang diterimanya tersebut.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Persepsi
Walgito (1980) menyebutkan bahwa persepsi adalah suatu
proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat indera. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi atau
berperan dalam persepsi, diantaranya:
a. Objek yang di persepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau
reseptor.
b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat yang digunakan
untuk menerima stimulus.
c. Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan
adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai
suatu perpisahan dalam rangka mengadakan persepsi.
Aspek-Aspek Persepsi
Walgito (2001), menyebutkan aspek-aspek persepsi terdiri
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap lingkungan
sosial-budaya yang berbeda, akan menghasilkan persepsi sosial yang
berbeda pula (Sarlito, 1999).
Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima merupakan kelompok tenaga kerja
yang banyak di sektor informal. Jenis pekerjaan tersebut penting
dan relatif luas dalam sektor informal (Bromley, 1991).
Pengertian umum PKL sesuai Pasal 1 Peraturan Daerah Nomor 8
Tahun 1995, tentang Penataan dan Pembinaan PKL,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah orang
yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, di tempat umum
baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam
melaksanakan kegiatan usaha dagang. Tempat usaha PKL adalah
tempat umum, yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar, dan lapangan
serta tempat lain di atas tanah negara yang ditetapkan oleh
Walikota (Bromley, 1991). PKL pada dasarnya dapat di
kelompokkan menjadi 3 (Amidi, dalam Mulyanto 2004), yaitu:
a. PKL yang mobile (tidak menetap),
b. PKL yang tidak mobile (menetap), dan
c. PKL static knock down (menggelar barang dagangannya pada waktu dan tempat tertentu).
Program pengembangan PKL (Ananta dan Supriyatno,
1985) membutuhkan 3 hal yang harus diperhatikan dalam
menertibkan sektor informal, yaitu:
a. Usaha di sektor ini harus dilindungi dari hambatan yang tidak
b. Pembinaan hendaknya jangan sampai mematikan kreativitas
yang merupakan ciri mereka.
c. Perlu diperhatikan penyediaan tempat-tempat tertentu dan
jam-jam tertentu bagi para PKL dengan penyediaan
penerangan dan sarana kebersihan yang memadai.
Peran sektor informal PKL dalam perekonomian,
khususnya dalam penciptaan kesempatan kerja yang dihadapi
oleh pemerintah saat ini adalah sangat penting. Selain itu
pembinaan terhadap para PKL juga sangat diperlukan, sehingga
PKL lebih mengerti daerah mana saja yang seharusnya
digunakan untuk tempat mereka berjualan. Hal tersebut
dimaksudkan agar tata kota tetap terjaga keindahannya.
Pengertian Satpol PP
Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di
bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat. Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan
dan berkedudukan di bawah, bertanggung jawab kepada kepala
daerah melalui sekretaris daerah. Satpol PP mempunyai tugas
membantu kepala daerah untuk menciptakan kondisi daerah
yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan
roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena
itu, disamping menegakkan Perda, Satpol PP juga dituntut
untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu
peraturan kepala daerah (http://tunas63.wordpress.com).
Dasar hukum tentang tugas dan tanggung jawab Satpol PP
tetapkan pada tanggal 6 Januari 2010. Dengan berlakunya PP ini,
maka dinyatakan tidak berlaku PP Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pedoman satpol PP (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4428). Berikut kutipan isi PP Nomor
6 Tahun 2010 tentang Satpol PP.
1) Pengertian (Pasal 3)
a. Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di
bidang penegakkan Perda, ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.
b. Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan
berkedudukan dibawah, bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui sekretaris daerah. 2) Tugas (Pasal 4)
Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat. Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan perlindungan
terhadap masyarakat.
Tugas perlindungan masyarakat merupakan bagian dari
fungsi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat. Dengan demikian, maka fungsi perlindungan
Perangkat Daerah bidang kesatuan bangsa dan perlindungan
masyarakat menjadi fungsi dari Satpol PP.
Dalam proses penertiban PKL, Satpol PP memiliki standar
operasi penertiban diantaranya yaitu: penyebaran surat himbauan
atau pemberitahuan kepada para PKL, melakukan pendekatan
secara persuasif, memberikan surat teguran ke dua jika yang
pertama tidak digubris oleh para PKL, dilakukan sosialisasi satu
minggu sebelum dilakukan penertiban. Jika dalam waktu yang
sudah ditentukan tidak digunakan untuk membongkor lapaknya,
maka Satpol PP terpaksa turun tangan sendiri dengan cara
menghancurkan lapak PKL dan mengamankan barang dagangan
mereka tanpa ada barang yang tersisa (Liputan 6.com).
Prosesnya melibatkan aparatur Kecamatan dan Kelurahaan,
selain itu PKL yang melanggar ketentuan tersebut diancam
pidana paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- disamping sanksi administrasi yaitu: membongkar
tempat usaha, menyita barang dagangan atau peralatan,
mencabut ijin (Setiyaningsih, 2008 ).
Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
diskriptif kualitatif. Penelitian diskriptif kualitatif pada
hakekatnya yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogman & Taylor dalam
Moleong, 2002). Penelitian diskriptif kualitatif dipilih sebagai
menekankan pada apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang
pemikiran manusia. Bagaimana manusia meletakkan makna yang
mendalam atas peristiwa yang terjadi. Penelitian diskriptif
kualitatif juga memandang manusia sebagai makhluk yang
dinamis dan selalu berubah, sehingga penelitian diskriptif
kualitatif tidak mengikat diri dari metode-metode dan
prosedur-prosedur yang ketat. Metode diskriptif kualitatif bebas dengan
luwes mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan
digunakan metode penelitian diskriptif kualitatif, maka data yang
didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan
bermakna. Sehingga tujuan penelitian ini dapat dicapai. Teknik
penentuan subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sample atau teknik sampling bertujuan, dimana sampel tidak diambil secara acak, tetapi sampel dipilih mengikuti
kriteria tertentu dan kepada subjek juga dinyatakan mengenai
kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian (Poerwandari,
2005). Subjek yang dianggap memiliki kriteria yang telah
ditetapkan penulis ada tiga orang. Subjek penelitian yang akan
diambil dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria, yaitu
seseorang yang bekerja sebagai PKL di daerah pasar Kebayoran
Lama dan pernah ditertibkan dagangannya oleh Satpol PP.
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2002), sumber
data utama dalam penelitian diskriptif kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data
Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, serta bahan-bahan lain, sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan
peneliti dalam penelitian ini adalah:
1. Analisis pada pernyataan (statement) yang didapat dari wawancara, dimana analisis ini diperoleh berdasarkan dari
pernyataan-pernyataan subjek dari wawancara yang telah
dilakukan.
2. Analisis pada pernyataan yang sesuai atau pemberian makna
khusus (significant statement or meaning), dimana analisis ini diperoleh berdasarkan analisis pada pernyataan-pernyataan
subjek yang ada agar pernyataan yang ada menjadi lebih
mudah dipahami.
3. Pengelompokkan pernyataan-pernyataan atau makna khusus
yang sama dalam suatu tema tertentu (meaning full or meaning themes), dimana analisis ini diperoleh berdasarkan
hasil penggambaran umum dari analisis pada pernyataan yang
telah sesuai dengan guide line atau pernyataan yang memiliki makna khusus.
Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, Moleong (2002)
mengemukakan bahwa konsep validitas dan reliabilitas data
diperbaharui menjadi keabsahan data. Salah satu kriteria
keabsahan data adalah derajad kepercayaan (credibility). Teknik pemeriksaan untuk kriteria tersebut antara lain dengan
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah
pemeriksaan melalui sumber lain.
Selain itu, akan digunakan member check atau diskusi dengan sumber tentang hasil penelitian yang bertujuan, untuk
mengklarifikasikan atau menyelaraskan maksud penelititan
dengan maksud subjek terhadap suatu pernyataan, dan hasil yang
diperoleh. Selain itu, juga digunakan untuk memastikan apakah
data yang diperoleh perlu untuk ditambah atau dikurangi subjek.
Pembahasan
Walgito (2001), mengungkapkan aspek-aspek persepsi
terdiri dari tiga aspek, yaitu: aspek kognitif, aspek ini lebih
berkaitan dengan pengetahuan, keyakinan, dan bagaimana
individu menginterpretasikan stimulus yang sesuai dengan
pengalaman masa lalunya. Dari pengalaman ketiga subjek,
semua subjek mengatakan bahwa mereka tidak setuju dengan
cara Satpol PP ketika sedang menertibkan. Para PKL merasa
menggunakan kekerasan. Hal tersebut dilakukan oleh Satpol PP
kemungkinan karena para PKL tidak menaati peraturan yang
ada. Ketika para PKL menolak diminta untuk berpindah tempat
berjualannya, Satpol PP ini jengkel sehingga tidak segan-segan
memarahi sambil mengumpat.
Selain itu, Satpol PP juga merusak lapak yang dibangun
oleh PKL sehingga memaksa PKL untuk mencoba melawan
Satpol PP. Sehingga Satpol PP berusaha mempertahankan
dirinya dengan cara memukul dan mengamankan PKL yang
melawan. Walaupun para PKL menolak cara-cara penertiban
yang telah dilakukan oleh Satpol PP, ketiga subjek mengetahui
tugas Satpol PP adalah menertibkan hal-hal yang melanggar
larangan-larangan yang ada diperaturan daerah dan membuat
daerah tersebut aman dan nyaman. Selain itu, para PKL juga
mengetahui bahwa Satpol PP semata-mata diberikan tugas oleh
kepala daerah, sehingga mereka melakukan penertiban. Karena
cara penertiban yang dilakukan Satpol PP dinilai kasar, sehingga
menyebabkan prasangka yang buruk bagi Satpol PP. Baron
(2003) mengemukakan bahwa pengertian prasangka adalah
sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok
tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam
kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki
prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung
mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama semata karena
mereka anggota kelompok tersebut. Tidak semua Satpol PP
melakukan kekerasan, namun prasangka yang dibentuk oleh para
ketika melakukan penertiban. Sampai saat ini, subjek tetap
memiliki prasangka yang buruk terhadap satpol PP, hal ini terjadi
karena pengalaman yang terbentuk dari kejadian yang pernah
dialami subjek di masa lalu ketika ditertibkan satpol PP.
Hal ini senada dengan Steele, Spencer, dan Lynch (dalam
Baron, 2003) yang mengungkapkan bahwa prasangka ada karena
dengan melakukannya mereka meningkatkan citra diri mereka.
Ketika individu dengan pandangan prasangka memandang
rendah kelompok yang dipandangnya negative, hal ini membuat
mereka yakin akan harga diri mereka sendiri untuk merasa
superior dengan berbagai cara. Dengan kata lain, pada beberapa
orang prasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk
melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka.
Aspek yang kedua adalah aspek afektif, yaitu aspek yang
lebih mengarahkan individu terhadap keadaan suasana hati,
motivasi, dan keinginan terhadap objek atau kejadian tertentu.
Ketiga subjek merasa kecewa dan juga merasa sedih dengan
Satpol PP. Selain itu, PKL beranggapan bahwa para Satpol PP
tidak memiliki perasaan ketika menertibkan mereka karena
dirasa menertibkan dengan seenaknya sendiri, bahkan tidak
segan-segan memaki-maki dan mengumpat. Salah satu dari
ketiga subjek mengatakan bahwa ia merasa dendam dengan
Satpol PP. Sears (1999) mengatakan bahwa orang cenderung
membentuk kesan sangat konsisten tentang orang lain, meskipun
hanya sedikit info. Osgood, Suci, dan Tannenbaum (dalam Sears,
1999) menyimpulkan bahwa evaluasi merupakan dimensi utama
aktivitas yang juga memainkan peranan lebih kecil. Jika kita
menempatkan dalam seseorang didalam dimensi ini, sebagian
besar persepsi kita tentangnya akan cocok. Kesan
menguntungkan atau merugikan dalam satu konteks, disuatu
pertemuan, melebar ke situasi lain dan karakteristik lain yang
tidak berhubungan. Kebanyakan riset lain menunjukkan hipotesis
bahwa evaluasi merupakan dimensi dasar paling penting dari
persepsi seseorang. Para PKL merasa jengkel ketika melihat cara
penertiban Satpol PP yang seenaknya sendiri, tanpa
menghiraukan hal yang lainnya seperti kondisi fisik penjual dan
usia penjual. Sampai saat ini, ada dari antara PKL yang masih
memiliki rasa kecewa, dendam dan keras kepala meskipun
mereka tahu bahwa mereka yang salah. Rosenberg, Nelson, dan
Vivekananthan (dalam Sears, 1999), menemukan bahwa orang
mengevaluasi orang lain sesuai dengan kualitas intelektual atau
yang berhubungan dengan tugas terpisah mereka, dan kualitas
sosial atau interpersonal mereka paling tidak untuk beberapa
waktu. Walau demikian, perbedaan ini merubah ciri dasarnya,
yakni manusia pertama-tama berpikir sesuai dengan rasa suka
dan tidak suka jika melihat orang lain.
Yang terakhir adalah aspek konatif. Aspek ini berkaitan
dengan seberapa jauh perilaku yang dilakukan atau yang
ditimbulkan individu terhadap orang lain. Dalam penelitian ini,
penulis menemukan bahwa subjek 1 melakukan perlawanan
terhadap penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Sama
dengan subjek 3, yang juga melawan Satpol PP ketika barang
lakukan oleh para subjek ini semata-mata hanya untuk
menentang tindakan penertiban dan hak para PKL. Baron (2003)
mengatakan bahwa keputusan untuk melakukan tingkah laku
tertentu adalah hasil dari se
buah proses rasional, dimana pilihan tingkah laku
dipertimbangkan, konsekuensi dan hasil dari setiap tingkah laku
dievaluasi, dan sebuah keputusan sudah dibuat, apakah akan
bertingkah laku terten
tu atau tidak. Kemudian keputusan ini direfleksikan dalam
tujuan tingkah laku, yang sangat berpengaruh terhadap tingkah
laku yang tampil. Hal tersebut yang menyebabkan suatu tingkah
laku seseorang muncul. Dalam penelitian ini, subjek
memunculkan tingkah laku yang berkelahi, ngeyel, adu mulut, dan memberontak.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga
aspek (aspek kognitif, afektif, dan konatif) sesuai dengan
Walgito (2001), yang mengatakan bahwa persepsi adalah suatu
proses yang didahului oleh proses pengindraan yaitu merupakan
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra.
Lingkungan sosial dan budaya yang berbeda akan menghasilkan
persepsi sosial yang berbeda pula (Sarlito, 1999). Ketiga subjek
memiliki latar belakang yang berbeda-beda serta lingkungan
sosial yang berbeda pula. Subjek 1, dia merupakan seseorang
yang gagal menjaga pernikahan dan mempertahankan keutuhan
rumah tangganya. Selain itu, subjek 1 dari lingkungan pedesaan
dan pendidikan terakhir SMP. Subjek ke-2 berasal dari keluarga
lingkungan daerah rumahnya juga bisa dikatakan nyaman.
Subjek ke-2 orang yang ramah dan gotong-royongnya tinggi.
Sedangkan subjek ketiga berasal dari keluarga dan lingkungan
yang kurang aman, nyaman, dan kurang bersahabat. Selain itu,
tempat tinggal subjek terkenal dengan daerah yang dianggap oleh
desa atau wilayah lain itu seperti sarang preman, sehingga orang
tuanya mendidik dengan cara kekerasan juga. Perbedaan dari
masing-masing subjek menyebabkan setiap subjek memiliki
jawaban yang berbeda. Misalnya pada subjek 1, ia merasa
kecewa terhadap Satpol PP tetapi tidak dimunculkan dalam
bentuk tingkah laku yang berlebihan. Subjek ketiga juga merasa
kecewa, akan tetapi ia lebih memunculkan tindakan yang
berlebihan seperti melawan Satpol PP ketika ditertibkan.
Berbeda dengan subjek kedua yang cenderung lebih mengalah
dan tidak terlalu menunjukkan kekesalannya terhadap Satpol PP,
melainkan lebih menuruti apa yang diminta oleh Satpol PP. Hal
tersebut disebabkan karena adanya perasaan frustasi. Frustasi
adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan,
pengaruh frustasi juga dapat dilihat dari sudut pandang yang
lebih luas dalam masyarakat, depresi ekonomi menyebabkan
frustasi yang memengaruhi hampir semua orang (Hvland, Sears, dan Mintz dalam Sears, 1999).
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian
persepsi yang berbeda-beda dan pendapat yang berbeda-beda
pula antara satu subjek dengan subjek yang lainnya. PKL
memandang bahwa para satpol PP memberikan persepsi yang
tidak baik akibat dari proses penertiban yang dilakukannya,
bahkan sampai saat ini masih merasakan
kejengkelan-kejengkelan yang terbentuk karena dari aspek kognitif, konatif,
dan afektifnya di pengaruhi oleh pengalaman yang buruk
akibat penertiban yang memiliki kesan kurang menyenangkan
dan selalu menggunakan kekerasan.
Kekerasan semacam ini yang menjadikan para PKL
memiliki persepsi yang buruk terhadap satpol PP. Dan hal
semacam ini akan terus diingat oleh para subjek meskipun
sistematika dalam penertiban telah dirubah dari sistem yang
menggunakan kekerasan diubah ke sistem yang lebih baik
yaitu tanpa menggunakan kekerasan.PKL akan merasa senang
jika mereka tidak diperlakukan semena-mena oleh satpol PP
ketika penertiban berlangsung. Hal ini bisa terwujud jika antara
pemerintah dan pedagang ada komunikasi yang baik, jelas dan
ada ketegasan.
Saran
1. Bagi PKL (Pedagang Kaki Lima)
Para PKL seharusnya mengikuti peraturan yang ada, agar tidak
terjadi penertiban yang dirasanya tidak nyaman dan tidak
mengenakkan. PKL seharusnya menempati lahan yang sudah
disediakan. Karena dari segi kognitif, para PKL mengetahui
tugas dari Satpol PP, maka seharusnya PKL tidak perlu secar
satpol PP. Selain itu dari konatif PKL juga tidak perlu sampai
melawan, adu mulut, berontak bahkan sampai berkelahi.
2. Bagi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Dari segi kognitif PKL, penulis mendapatkan hasil bahwa
mereka tidak setuju dengan Satpol PP dikarenakan cara Satpol
PP ketika menertibkan para PKL. Banyak dari PKL yang
mengatakan bahwa cara menertibkan yang sering dilakukan
oleh Satpol PP yaitu dengan mengambil gerobak dan barang
dagangan PKL langsung diangkut ke atas mobil Satpol PP.
Karena cara penertiban yang seperti itu, maka dari sudut afektif
PKL mengatakan bahwa mereka tidak merasa bersalah ketika
berjualan ditempat yang dilarang. Kata-kata yang dilontarkan
oleh Satpol PP terkadang tidak enak untuk didengarkan. Hal ini
membuat PKL merasa kecewa dan sedih. Karena tindakan
Satpol PP yang seperti itu, maka konatif PKL bertindak seperti
melawan, adu mulut, memberontak bahkan sampai berkelahi.
Satpol PP seharusnya melakukan penertiban secara aman dan
nyaman, tanpa harus mengunakan kekuatan dan perilaku yang
berlebihan yang dapat merugikan orang lain. Cara
penertibannya juga harus dirubah, supaya tidak ada pihak yang
merasa dilecehkan ataupun tersinggung. Penertiban bisa
dilakukan dengan menggunakan metode dialog dengan para
PKL, memberikan sosialisasi berjualan yang benar, aman dan
nyaman.
3. Bagi Pemerintah
Hasil dari kognisi para PKL selama ditertibkan oleh Satpol PP
ini dikarenakan para Satpol PP sering melakukan kekerasan
dalam penertibannya dan tidak pandang bulu, baik itu muda
atau tua, pria atau wanita. Satpol PP tidak memperdulikan,
bahkan sering mengambil barang dagangan PKL dengan
seenaknya untuk di angkut ke mobil Satpol PP. Meskipun dari
segi kognisi para PKL ini mengetahui tugas dari Satpol PP,
namun tetap membuat afektif PKL tidak ada perasaan bersalah,
keras kepala atau tetap berjualan ditempat yang dilarang oleh
pemerintah yang dianggap sebagai biangnya kemacetan. Dalam
penertiban, konatif dari PKL dimunculkan dalam bentuk ada
keinginan untuk membantu sesama PKL yang kualahan ketika
ditertibkan dan diperlakukan kasar oleh Satpol PP. Terkadang
PKL menurut apa yang diminta oleh Satpol PP, akan tetapi
setelah dirasa kondisi sudah aman maka PKL akan berjualan
kembali ditempat sebelumnya. PKL berani untuk berkelahi
demi mempertahannkan daganganya. Pemerintah seharusnya
turun tangan langsung untuk menyelesaikan konflik tersebut
dan tidak perlu dengan kekerasan. Selain itu, perlu diberikan
pelatihan untuk para Satpol PP tentang bagaimana cara
menertibkan PKL, tanpa harus menggunakan kekerasan. Jika
hal ini dilakukan, maka dari ketiga aspek (kognitif, afektif dan
konatif) lama-kelamaan akan berubah dengan sendirinya.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti yang tertarik untuk mengembangkan penelitian
ini, penulis menyarankan agar peneliti-peneliti selanjutnya
dapat menggali lebih banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat
terhadap PKL ketika proses penertiban sedang berlangsung.
Yang menjadikan kelemahan dari penelitian ini adalah waktu
yang di butuhkan untuk peneliti sangat menyita banyak waktu,
dikarernakan lokasi penelitian dengan tempat tinggal subjek
21
Jurnal Ekonomi UGM. Yogyakarta: Liberty.
Attkinson, R. L. A. (1987). Pengantar psikologi. Jilid 1 (Terjemahan).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Baron. R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi sosial (jilid 1,edisi ke 10).
Jakarta: Erlangga.
Irwanto. (2002). Psikologi umum: buku panduan mahasiswa. Jakarta:
Prehallindo
Jurian. (2000). Kesesuaian antara konsep diri nyata dan ideal dengan
kemampuan manajemen diri pada mahasiswa pelaku organisasi.
Psikologika, 9, 65-75.
Moleong, L. J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung. PT:
Remaja Rosdakarya.
Mulyanto, (2004). Pengaruh motivasi dan kemampuan manajerial
terhadap kinerja usaha pedagang kaki lima menetap. BENEFIT
Jurnal manajemen dan bisnis, 74-76.
Poerwandari. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran
dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.
Sarwono. S. W. (1999). Psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sears. D. O. (1999). Psikologi sosial (edisi kelima, jilid 1). Jakarta:
Erlangga.
Setiyaningsih. (2008). Analisis Kebijakan Perda no 11 tahun 2000
Semarang. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Walgito, B. (1980). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta.
Walgito, B. (2001). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
http://tunas63.wordpress.com/2010/04/16/tugas-fungsi
kewajiban-satpol-pp/ (Dikutip pada 28/9/2010).
http://hmibecak.wordpress.com/2007/08/01/melihat-fenomena-pedagang-kaki-lima-melalui-aspek-hukum/ (di kutip pada
29/9/2010)
http://hmibecak.wordpress.com/2007/08/01/melihat-fenomena-pedagang-kaki-lima-melalui-aspek-hukum/ (di kutip pada
29/9/2010)
Berita Liputan 6 sore 17/6/2011.
Koran sindo edisi tanggal 12 Desember 2010. Jakarta magnetnya