• Tidak ada hasil yang ditemukan

HATI SEBAGAI PUSAT SPIRITUALITAS DALAM PEMIKIRAN “PSIKOLOGI MORAL” ROBERT FRAGER.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HATI SEBAGAI PUSAT SPIRITUALITAS DALAM PEMIKIRAN “PSIKOLOGI MORAL” ROBERT FRAGER."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

RIDOK NIM: E01209035

PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)

ii

HATI SEBAGAI PUSAT SPIRITUALITAS DALAM

PEMIKIRAN “PSIKOLOGI MORAL” ROBERT FRAGER

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

RIDOK NIM: E01209035

PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(3)
(4)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi oleh RIDOK ini telah disetujui untuk diujikan.

Surabaya, 01 Februari 2016 Pembimbing,

(5)

iv Mengesahkan

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Dekan,

DR. Muhid, M.Ag. NIP: 196310021993031002

Tim Penguji: Ketua,

H. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D NIP: 197008132005011003

Sekretaris,

Nur Hidayat Wakhid Udin, MA NIP: 198011262011011004

Penguji I,

Drs. H. Muktafi, M.Ag NIP: 196008131994031003

Penguji II,

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama : RIDOK

NIM : E01209035

Prodi/Jurusan : Filsafat Agama/Pemikiran Islam

dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Surabaya, (30-01-2016) Saya yang menyatakan,

RIDOK E01209035

(7)

ix

ABSTRAK

Sebagai manusia, ia sendiri masih menganggap bahwa dirinya adalah sebuah misteri. Ia benar-benar tidak memahami tentang dirinya yang memiliki hati. Mengenai hati (ruh, jiwa dan nafs), ia begitu serius mempermasalahkannya karena sudah cukup abstrak, dan banyak para sarjana yang memperdebatkannya. Salah satunya adalah Robert Frager, ia memahami bahwa hati manusia merupakan makhluk spiritual dan misteri. Hati inilah tidak dapat dipisahkan dengan lainnya bahkan, hati saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Hati manusia juga memiliki gradasi kondisi yang menandakan tingkat spiritualitasnya. Robert Frager membagi gradasi tersebut menjadi 4 (empat) bagian, yakni: Pertama, Dada (S}adr), dada secara langsung dipengaruhi oleh kata-kata dan perilakunya. Ia dipelihara dengan ibadah, doa, derma, pelayanan, serta pengamalan prinsip dasar dari semua agama. Dengan perilaku positif, dada menjadi berkembang dan cahaya amaliah menjadi tumbuh. Kedua, hati (Qolb) ketika dada telah dibersihkan dan hati telah terbuka, ia mulai mampu melampaui permukaan luar dan merasakan apa yang tersembunyi di dalam. Ketiga, hati-lebih-dalam (Fu’a>d) hati lebih dalam adalah tempat pengelihatan batiniah dan inti cahaya makrifat. Makrifat berarti “kearifan batiniah” atau “pengetahuan hakikat spiritual.” Keempat, lubuk-hati-terdalam (Lubb) luas dan cahaya lubuk hati terdalam, atau hatinya hati, tidak berpikiran terhadap sesuatu kecuali yang hadir adalah Allah. Ia bagaikan sumbu raksasa yang tak bergeming, sementara segala sesuatu berputar mengelilinginya.

Berdasarkan pemaparan di atas tersebut, terlihat bahwa penelitian kepustakaan (library research) ini bertujuan untuk menjelajahi bagaiman pemikiran Robert Frager tentang dunia tasawuf. Untuk menunjang penelitian tersebut, metode analisis yang penulis gunakan adalah deskriptif, kesinambungan historis, interpretatif dan komparatif. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang konkrit mengenai pemikiran Robert Frager yang dimaksud. Meski menjadi psikolog, Robert Frager bukan seorang yang menjadikan akan sebagai satu-satunya dimensi kebenaran karena ia pun percaya terhadap kebenaran wahyu. Lebih jelasnya, ia adalah seorang neo-sufisme yang meletakkan esoterisme tetap dalam koridor syari’at. Konsep tasawufnya tidak hanya dipersembahkan untuk tujuan ilahiahnya semata, namun juga untuk memperbaiki keimanan umat Islam yang sudah kacau. Hal inilah yang membuat kesulitan untuk membedakan antara ajarannya tentang teologi dan tasawufnya. Kata Kunci: Tasawuf, Robert Frager, Psikologi Moral

(8)

xii

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL A. Awal Kehidupan dan Pendidikan... 15

B. Dimensi Sosial dalam Tarekat Halveti-Jerrahi ... 17

BAB III ROBERT FRAGER DALAM TRADISI PEMIKIRAN TASAWUF MODERN A. Psikologi Moral ... 23

B. Tasawuf Perspektif Robert Frager ... 31

C. Paradigma Tasawuf Modern ... 35

BAB IV KONSEP HATI A. Definisi Hati dan Makna Hakekat Hati ... 44

B. Hati sebagai Pusat Spiritualitas ... 47

C. Empat Fakultas Hati ... 50

1. Dada (S}adr) ... 51

2. Hati (Qalb) ... 54

3. Hati Lebih Dalam (Fu’a>d) ... 59

4. Lubuk Hati Terdalam (Lubb) ... 61

D. Hubungan Hati dengan Jasmani... 64

E. Hati yang Sehat ... 66

F. Hati yang Mati ... 67

G. Hati yang Sakit ... 68

(9)

xiii BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 75

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani, di samping itu ia menjadi

makhluk paling unik dan unggul di antara makhluk-makhluk lain ciptaan Allah

Swt. Keunggulan tersebut terletak pada wujud kejadiannya yang sebaik-baiknya

ciptaan, baik jasmani maupun ruhani.1 Manusia juga diberi kelebihan intelektual

yang menjadikannya diberi tanggung jawab menjadi khalifah di muka bumi.2

Keistimewaan seperti itu jelas tidak diberikan kepada hewan ataupun tumbuhan,

apalagi benda mati seperti gunung, laut dan bebatuan dan Allah tidak

melimpahkan beban kepada siapa pun, kecuali kepada ahlinya.3

Diakui atau tidak, manusia memang tidak diciptakan begitu saja tanpa

melalui proses panjang dan berbelit-belit, dikarenakan Allah menghendaki sesuatu

yang perfect ada pada manusia. Sebelum melangkah kakinya di dunia seorang

anak manusia sudah dibekali dengan seperangkat akal (kecerdasan) untuk

berpikir, sebagai landasan hidupnya. Kemudian Allah menurunkan alquran

melalui Malaikat Jibril yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai

petunjuk untuk sekalian umat manusia. Sementara itu Nabi Muhammad SAW

pernah bersabda bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, yang

1 Muhammad Ali, Quran Suci: Terjemahan dan Tafsir terjemahan. M. Burhan

(Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1986), 1598.

2 Djohan Efendi, “Tasawuf al-Quran tentang Perkembangan Manusia”, Ulumul

Qur’an, No. 8 Vol. II. 1991/1411, hal. 4.

(11)

perannya terkait erat dengan pembentukan psikologi. Apabila daging tersebut

baik, maka pemiliknya akan baik serta terpuji akhlaknya, dan sebaliknya, apabila

daging tersebut buruk, maka perangai pemiliknya akan menjadi buruk (tercela).

Segumpal daging yang dimaksud tiada lain adalah hati.4

Jalan sufi diawali dengan panggilan hati. Hal ini kadang kala ketika gagal

di dalam pencarian duniawi. Atau, kematian orang yang di cintai hingga

mendorong untuk mengevaluasi kembali prioritas-prioritas diri. Bagi kebanyakan

orang, panggilan tersebut muncul kertika bertemu seorang syekh dan menemukan

dunia baru dari pengalaman spiritual. Semakin menyelam ke dalam tasawuf, hati

semakin menjadi terbuka, dan melalui menyentuh percikan ilahiah di lubuk hati

terdalam. Kenikmatan dan kesenangan yang mendalam, yang mengakar di lubuk

hati terdalam, mulai meresap ke dalam kehidupan. semakin menyelam lebih ke

dalam lagi, akhirnya mencapai keutuhan diri. Binatang-binatang liar di dalam diri

telah dijinakkan. Perjuangan batiniah telah usai. Pada akhirnya tabir terakhir,

yakni rasa keberadaan yang terpisah, menjadi tersingkap, dan tiada sesuatu pun

yang tertinggal kecuali sifat ketuhanan.5

Dengan segenap potensi yang tercipta, manusia menjadi mungkin

membuat pertimmbangan-pertimbangan yang tertentu bahkan mampu membuat

peraturan-peraturan bagi dirinya. Sehingga manusia, berdasarkan klaimnya,

mengakui sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang paling berbudaya dan

berperadaban. Namun kenyataan kerap kali sulit ditebak, apa yang nyata-nyata

4 Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awan: Menjawab Problema Kehidupan

(12)

3

terjadi seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Manusia yang

edialnya mampu memahami baik-buruk, ternyata karena kepentingan sepihak

manusia harus menjadi aktor dibalik kasus kerusakan alam di bumi. Atau mereka

yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi generasi sesudahnya, malah sibuk

memperbuatkan pengaruh kekuasaan sesaat. Barangkali benar, “Hidup adalah

medan laga tempat seluruh makhluk bersaing dan bertarung untuk bisa terus

melangsungkan hidupnya.”6

Tidak ada pendekatan sistematik dan tunggal dalam pengajaran para sufi,

dan tidak semua dari pengajarannya bisa disampaikan dengan kata-kata. Kearifan

atau hikmah sufisme dapat ditemukan dalam kisah-kisah, puisi, seni, kaligrafi,

ritual-ritual, latihan, gerakan-gerakan tarian dan shalat. Sufisme seringkali

dilukiskan sebagai sebuah jalan, yang mengingatkan asal mula dan tujuan.

Cita-cita atau tujuan sufisme adalah menyingkap tabir yang tentang diantara individu

dan Tuhan. Dengan menempuh jalan ini, seseorang dapat meraih pengetahuan

tentang realitas. Tuhanlah realitas inti, bukan fenomena duniawi yang penuh

keragaman. Kata mistisisme berakar dari bahasa Yunani myein, yang berarti

‘menutup mata,’ yang juga merupakan akar kata ‘misteri’; tujuan mistis tidak bisa

dicapai dengan intelektualitas atau lewat cara-cara yang sudah lazim. Dalam

maknanya yang mendasar, mistisisme adalah cinta kepada yang Absolut,

satu-satunya yang Realitas, yang juga kerap disebut dengan Kebenaran, Cinta atau

Tuhan. Menurut pengertian yang nyaris klasik yang diajukan Sarraj, “Sufi adalah

6 Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja

(13)

orang yang menomorsatukan Tuhan di atas segala sesuatu dan Tuhan melebihkan

mereka di atas sesuatu yang lain.”

Bagi para sufi, bukan hanya cinta tetapi juga pengetahuan rohani yang

mengatarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan. Filsuf sufi al-Ghazali berkata,

bahwa “Pengetahuan diri yang sejati terdiri dari pengetahuan tentang hal-hal

berikut: siapa kamu dalam dirimu sendiri dan dari mana kamu berasal? Hendak

pergi ke mana dan untuk tujuan apa kamu tinggal di sini untuk sementara waktu?

Terdiri apa saja kebahagiaan dan penderitaanmu?” Banyak perangkap, baik yang

nyata maupun yang dibayangkan, yang membuat sanggup atau bahkan enggan

untuk mencari pengetahuan sejati.7

Tasawuf tidaklah berbeda mistisisme dari semua agama. Laksana sungai

yang mengalir melewati banyak negara dan yang diakui sebagai milik

masing-masing negara tersebut, ia sebenarnya adalah bermuara satu. Seluruh mistisisme

memiliki tujuan yang sama, yakni pengalaman-pengalaman langsung. Seseorang

yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, darwis atau fakir. Dalam bahasa Arab, sufi memiliki beberapa makna, termasuk “suci” dan “wol” (para sufi terdahulu

mengenakan mantel wol sederhana dan mencari kesucian batiniah). Darwis adalah

istilah Persia yang diambil dari kata dar, atau door (pintu). Kata tersebut dilekatkan pada mereka yang mengemis dari pintu ke pintu atau mereka yang

berada diambang pintu (antara dunia ini dan kesadaran ilahiah). Fakir (fakir) dari bahasa Arab berarti “orang miskin”. Dalam tasawuf, kata ini tidak untuk mereka

yang miskin harta benda duniawi, melainkan mereka yang miskin rohaniah, yang

(14)

5

menyadari kebutuhan mereka terhadap Tuhan. Hati mereka hampa dari rasa cinta

terhadap segala sesuatu selain Allah. Pengadopsian ajaran moral etika Islam

melahirkan iklim yang menyuburkan perkembangan tasawuf. Walaupun tasawuf

dikenal di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, Asia Tengah, India,

Pakistan, Cina, dan Indonesia, namun pemikiran, praktik, dan guru-gurunya

tersebar di seluruh dunia. Sama halnya dengan tradisi mistis sejati, tasawuf telah

merubah coraknya agar dapat diterima oleh budaya dan masyarakat tempat ia

diamalkan.8

Jalan rohani ini sebagai energi yang sangat penting bagi setiap orang,

termasuk bagi seorang pemimpin dan cendikiawan dalam melakukan usaha-usaha

perubahan dan pembaruan, sebagaiman terlihat dalam jalan rohani yang ditempuh

Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, bermunajat, beribadah, dan mendekat

kepada Tuhan dalm menyiapkan diri untuk menerima amanah Tuhan. Kalaupun

jalan rohani ingin diterjemahkan dalam bahasa tasawuf, maka jalan rohani lebih

identik dengan sufisme baru (neo-sufisme), yang amat dengan serius

dikembangkan para pemikir muslim kontemporer seperti Sayyid Husain Nasr dan

Fazlur Rahman. Dalam neosufisme, seseorang tidak diminta untuk melakukan

zikir-zikir formal, suluk, dan tawajuh, melainkan menegakkan nilai-nilai kesufian,

semisal rendah hati, tawadhu‘, kepatutan, hidup sederhana, dan tanpa arogansi,

yang pada intinya membangun supremasi rohani dalam kehidupan. Seseorang

yang menempuh jalan rohani akan secara sungguh-sungguh mencari kesuksesan

di dunia; ia tidak terhalang untuk menjadi pejabat, asalkan ia tidak

8 Robert Frager, Psikologi Sufi, Untuk Transformasi Hati, Diri dan Ruh (Jakarta:

(15)

mintanya atau tidak berlaku zalim saat memangkunya, ia dapat jadi pengusaha,

akan tetapi ia jujur dalam usahanya, ia dapat menjadi aktivis asal untuk kebaikan

dan tidak melacurkan harga diri dan murwah bangsanya untuk itu. Pendeknya ia

selalu menyuarakan rohani dalam segala aktivitasnya.

Paling tidak ada empat langkah yang dilakukan seseorang untuk memasuki

jalan rohani tersebut. Pertama, ia selalu menghimpitkan hati nurani kepada Allah

ketika menjalankan jabatannya, menjalankan usaha, aktivitasnya, dan dalam

ibadah-ibadah yang ia lakukan. Kedua, melakukan “penekanan” terhadap keinginan-keinginan jasmaniah melalui puasa mengatur secara sistematis

penajaman pengaruh rohani melalui ibadah di dalamnya. Ketiga, mendalami makna batin dari semua aktivitas yang dilakukan, ia selalu bertanya untu apa ia

lakukan, dan kepada siapa ia persembahkan semua perbuatan dan aktivitasnya,

sehingga kristalisasi dari semua itu memunculkan gelombang kesalehan dalam

dirinya. Di samping itu perlu pula dipahami bahwa pelaksanaan tugas yang baik

dan bertanggung jawab, bukan saja kepada atasannya tetapi juga kepada Allah

merupakan usaha penting dalam menempuh jalan rohani itu. Keempat, ia harus

menyadari bahwa perjalan sejarah kemanusiaan seseorang mulai dari dunia

sampai di akhirat akan lebih panjang dalam bentuk rohani. Dengan demikian ia

akan selalu lebih memerankan rohaninya dalam kehidupan keseharian.9

Hati pula yang apabila manusia mengenalnya, ia akan mengenal pula diri

sendirinya. Dan apabila telah mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal pula

Tuhannya. Sebaliknya, apabila manusia tidak mengenal hatinya, ia takkan

9 Syahrin Harahap, Membalikkan Jarum Hati (Jakarta: Prenada Media, 2004),

(16)

7

mengenal dirinya sendiri. Dan apabila takkan mengenal dirinya sendiri, ia takkan

mengenal Tuhannya. Dan barang siapa tidak mengenal hatinya, ia akan lebih tidak

mengenal lagi apa saja selainnya. Memang, kebanyakan manusia tidak mengenal

hati maupun diri mereka sendiri, disebabkan adanya penghalang antara mereka

dan diri mereka sendiri. Sebab Allah SWT. Adakalanya ‘menghalangi antara

seseorang dan hatinya’. Yakni dengan mencegahnya dari menyaksikan hatinya itu,

atau mengamati gerak-geriknya atau mengenali sifat-sifatnya, atau bagaimana ia

‘berubah-ubah (atau berbolak-balik) diantara dua jari Al-Rahma>n, atau betapa ia kadang-kadang terhempas jauh ke bawah, turun ketingkatan yang

serendah-rendahnya: tingkatan para setan. Atau pada waktu yang lain membuang tinggi,

sehingga mencapai tingkatan setinggi-tingginya: tingkatan para malaikat

muqarrabi>n (yang didekatkan kepada Tuhan mereka).10

Pendekatan hati akan melahirkan sebuah kebijakan yang sangat arif.

Seseorang yang berbuat untuk sesuatu dengan mengikuti kata hati, maka ia akan

mendapatkan pengetahuan yang mampu mengantarkannya kepada kebenaran. Dan

memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibangdingkan kekuatan indrawi dan

akal, sebab hati mampu menembus dinding kebohongan, sementara akal tidak

mampu melakukannya, bahkan akal selalu menjadi korban kebohongan sendiri.

Seorang sufi pasti lebih mengutamakan mengejar kemulian disisi Allah SWT, dari

pada mengejar kemuliaan disisi manusia. Dan mengutamakan kebahagiaan akhirat

daripada kebahagiaan dunia. Kebahagiaan dunia adalah fana>’ dan selalu

(17)

melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah swt, kebahagiaan akhirat abadi

untuk selamanya.11

Demikian pula dengan orang yang ragu dan bingung, hatinya akan sakit

sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan. Dan karena keraguan membuat hati

menjadi panas maka kepada orang yang mendapat keyakinan dikatakan, hatinya

sejuk, keyakinan membuatnya sejuk. Juga seseorang akan merasa sempit dengan

kebodohan dan ketersesatannya dari jalan kebenaran. Sebaliknya, akan merasa

lapang dengan petunjuk dan ilmu. Maksudnya, diantara penyakit hati ada yang

hilang dengan obat-obatan alamiah, tapi ada pula diantaranya yang tidak dapat

hilang kecuali dengan obat-obatan shariat dan iman. Dan hati memiliki kehidupan

dan kematian, sakit dan sehat, dan itulah sesuatu yang paling agung dimiliki oleh

badan.12 Dan jantung inilah yang memelihara tubuh dengan mengirimkan darah segar dan beroksigen kepada tiap sel dan organ di dalam tubuh. Ia juga menerima

darah kotor melalui pembuluh darah. Demikian pula, hati memelihara ruh dengan

memancarkan kearifan dan cahaya, dan juga menyucikan kepribadian dari

sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah yang mengahadap ke dunia spiritual, dan

satu wajah lagi menghadap ke dunia diri rendah dan sifat-sifat buruknya.13

Di Barat, mereka terlalu menekankan pada “pengetahuan lidah,” atau

mempelajari buku, ini merupakan salah satu tingkat kecerdasan buatan. Inilah

batasan psikilogi Barat tradisional, yang belum mengenal pengetahuan yang lebih

11 Aprijon Efendi, Biografi syekh Abdul Ghani al-Kholidi (Yogyakarta: Zanafa

Publishing, 2013), 44.

12 Ainul Harits Umar Arifin Thayyib, Lc. Menejemen Qalbu. (PT. Darul Falah,

Jakarta, 1999). Hal. 18.

13 Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, Untuk transformasi Hati, Diri dan Ruh

(18)

9

dalam dari hati yang bersifat kecerdasan utuh. Otak bagaikan sebuah komputer

yang mampu menampung data dan mengatur kembali informasi yang telah

tersimpan, tetapi kreativitas datang dari hati. Sayangnya, kreativitas hati dapat

dimanfaatkan oleh nafs, sebagaimana dapat dilihat di dalam diri orang-orang

kreatif yang masih saja angkuh, duniawi, dan mementingkan diri sendiri.

Pegetahuan hati diperdalam oleh pengalaman. Pimpinan terakhir kelompok tarekat

Halvetti-Jerrahi, yakni Syekh Safer, dengan rendah hati berkata, “Saya tidak

mengetahui banyak tetntang tasawuf, tapi saya mencintai apa pun yang telah saya

pelajari, dan saya telah mengamalkannya selama lebih dari empat puluh tahun.”

Ini adalah kata-kata dari seorang sufi dan shekh sejati.14

Hingga kini, wilayah rohani manusia masih merupakan wilayah yang

penuh dengan teka teki kalau pun itu bukannya misteri. Selama ini memang sudah

mengenal banyak istilah yang mengacu kepada wilayah hati tersebut, baik yang

berasal dari agama maupun psikologi. Dari agama misalnya, ruhani sudah tidak

asing lagi dengan istilah-istilah seperti hati (qalb). Dan sementara dari psikologi sudah mengenal temuan-temuan istilah baru yang belakangan cukup

menggemparkan, seperti emotional intelligence (EQ), spiritual intelligence (SQ), moral intellingence, dan sebagainya. Namun demikian, terlepas dari kebanyakan termenologi agama dan temuan-temua modern itu, kenyataannya masih banyak

pandangan tentang masalah ini yang simpang siur. Misalnya, ada yang

(19)

menyamakan hati sama denga ruh, ruh dengan jiwa, jiwa dengan nafsu dan

sebagainya.15

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Robert Frager tentang konsep hati sebagai pusat

spiritualitas?

2. Apa hubungan hati dengan jasmani?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis makna “hati sebagai pusat

spiritualitas” dengan sebaik-baiknya.

b. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis hubungan hati dengan jasmani

sehingga dalam hal tersebut akan menjadi lebih dekat untuk mengetahui

alur pembahasannya.

2. Manfaat Penelitian

a. Aspek keilmuan (teoritis): penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

wacana keilmuan dan diharapkan memberikan sebuah penjelasan yang

komprehensif dalam memahai sebuah judul di atas tersebut.

b. Aspek terapan: Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam bertindak

dalam menjalankan sebuah tradisi tasawuf yang sekiranya tradisi tersebut

memberatkan bagi masyarakat setempat namun tidak bisa keluar dari

15 Mulyadi Kertanegara, Menyinari Relung-relung Ruhani (Jakarta: Hikmah,

(20)

11

belenggu tradisi tersebut. Setidaknya juga minimal menjadi acuan dalam

mengoreksi tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat terlebih yang

ada kaitannya dengan judul di atas.

Dalam penelitian ini banyak sekali nilai atau manfaat yang dapat diambil,

diantaranya dalam segi akademis, Penelitian ini sebagai bahan utama untuk

melakukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan judul dan pembahasan

yang sama, juga bisa sebagai bahan informasi tentang alternatif yang baik, dan

tidak menghilangkan etika dalam bertasawuf, bahwasanya tasawuf bukan hanya

memikirkan akhirat belaka kemudian sepanjang waktu hanya untuk berdzikir,

berkhalwat dan bermunajat disuatu tempat sedangkan kepentingan yang bersifat

duniawi tidak dipikirkan, hingga pada akhirnya malas untuk bekerja. Akan tetapi

dalam bertasawuf ada hak dan kewajiban yang harus terpenuhi oleh pemeluknya.

Dalam bidang apapun terutama bidang etika menjadi komponen yang sangat

penting dalam dunia tasawuf. Mungkin ini yang dapat kita jadikan contoh untuk

bertawasuf harus imbang antara dunia dan akhiratnya.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitia kepustakaan (library reserch), yaitu penelitian yang dilakukan referensi-referensi yang berkaitan dengan tema yang

(21)

dengan pemikiran-pemikran lain untuk memperkuat argumentasi.16 Adapun

metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu berupa

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang

dimaksud dalam hal ini adalah karya-karya yang dikarang sendiri oleh Robert

Frager. Sementara yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah

data-data yang diperoleh dari karya-karya lain yang berkaitan dengan tema baik

berupa buku, artikel, majalah, kamus, insiklopedi maupun karya-karya ilmiah

lainnya.

2. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini fokus pada pemikiran Robert Frager

mengenai “hati sebagai pusat spiritualitas.” Sementara metode penulis yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi: metode deskriptif, kesinambungan historis, interpretative dan komparatif. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Metode deskriptif. Metode ini upaya penulis untuk membahas penelitian

ini secara sistematis dan terhadap tema dari aspek-aspek yang dimaksud.

Dalam hal ini, metode tersebut penulis gunakan dalam rangka

mendiskripsikan biografi intelektual Robert Frager dan deskripsi tentang

pemikiran-pemikirannya.

b. Metode kesinambungan historis. Seseorang hidup dan berkembang dalam

pengalaman dan pemikirannya, bersama dengan lingkungan dan

16 Arif Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode penelitian Mengenai

(22)

13

zamannya. Oleh karena itu, untuk memahami seseorang harus dilihat

pula menurut perkembangannya.17 Sedang dalam konteks ini, penulis maksudkan dengan metode kesinambungan historis yakni menurut aspek

(genealogi) yang melatar belakangi kehidupan Robert Frager beserta

gagasan-gagasannya.

c. Metode ineterpretatif. Metode ini penulis aplikasikan dalam pembahasan

di bab II, bab III dan bab IV. Artinya bahwa dari data-data yang ada,

penulis akan menginterpretasikan pandangan-pandangan Robert Frager,

terutama terkait dengan tema yang sedang digarap.

d. Metode komparatif. Metode (perbandingan) ini penulis aplikasikan untuk memperbandingkan beberapa hal yang mungkin dari konsep Robert

Frager dengan tokoh-tokoh lain yang pernah membahas tema yang

berkaitan.

Dengan menggunakan metode-metode di atas tersebut, diharapkan

penelitian ilmiah ini dapat menghasilkan pemahaman yang logis, sistematis dan

komprehensif. Dan dengan ini akan mempermudah dalam membahas tentang

tema di atas tersebut.

E. Sistematika Pembahasan

Pada kajian kepustakaan ini, penulis berpedoman pada suatu sistematika

yang sudah baku. Sistematika skripsi memberikan gambaran dan mengemukakan

17 Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodelogi Penelitian Filsafat

(23)

garis besar skripsi agar memudahkan di dalam mempelajari seluruh isinya. Adapun

sistematika pembahasan yang akan penulis susun adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan yang terakhir adalah sistematika pembahasan.

BAB II : Pada bab ini berisi penjelasan tentang biografi intelektual Robert

Frager.

BAB III : Pada bab ini berisi penjelasan tentang Robert Frager dalam tradisi

pemikiran tasawuf modern. Dan juga dikomparasikan dengan

data-data lainnya, baik atikel, buku dan karya ilmiah.

BAB IV : Pada bab ini berisi penjelasan tentang konsep hati sebagai pusat

spiritualitas. Dan ini merupakan ruang analisis dan interpretasi

terhadap konsep hati sebagai pusat spiritualitas, juga

dikomparasikan dengan data-data lainnya, baik atikel, buku dan

karya ilmiah.

BAB V : Pada bab yang terakhir adalah penutup, ini akan dikemukakan

sebuah kesimpulan atau temuan serta saran dan rekomendasi

terhadap kajian lebih lanjut tentang masalah konsep hati sebagai

(24)

15

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL

A. Awal Kehidupan Dan Pendidikan

Robert Frager lahir dari keluarga Yahudi, di California Amerika Serikat.

Frager, pada 1980, untuk pertama kalinya bertemu dengan syekh Muzaffer Ozak,

pemimpin Tarekat Halveti-Jerrahi dari Turki. ketika itu mengundang beliau

sebagai pembicara di universitasnya. Frager dan seluruh mahasiswanya, serta

seluruh hadirin, dibuat takjub dan terpaku dengan narasi sang Syekh yang terasa

begitu intens dan dalam saat menyampaikan pidatonya. Bukan pembahasan

akademis-teoritik tentang Islam dan tasawuf yang membuat mereka diam terpaku,

melainkan tuangan kisah hikmah yang digunakan Syekh untuk menjelaskan

hakikat-hakikat agama dan kehidupan kepada audiens. Kata Frager, hidupnya

pasti akan berubah seandainya saja ia dapat mengingat semua kisah itu. Sebagai

jawaban, Syekh menatapnya begitu dalam dan berkata padanya dengan penuh

kesungguhan: “Anda tidak akan pernah bisa melupakan.” Kisah-kisah syekh Muzaffer yang begitu mempesona para pendengarnya, selama kunjungan rutinnya

ke Amerika. Frager-lah, ia memang tidak bisa lupa pada kisah-kisah itu. Meski

kisahnya mengandung elemen-elemen sufisme, namun hikmah yang

dikandungnya sungguh-sungguh indah dan dalam, sehingga menyentuh jati diri

kemanusiaan.1

(25)

Dan pada 1981, akhirnya ia memeluk Islam. Ia juga seorang guru sufi, atau

syekh, di Halveti Jerrahi di mana ia diinisiasi oleh Muzaffer Ozak dan kemudian

ia dipanggil dengan nama syekh Ragip al-Jerrahi untuk memimpin Dergah (Sufi masyarakat) di Redwood City, California. Frager juga gemar berlatih di Aikido,

dalam kegiatan seni bela diri Jepang Spiritual. Robert Frager meraih doktor

psikologi sosial dari Harvard University pada 1967. Tahun 1975, ia mendirikan

the Institute of Transpersonal Psychology di Palo Alto di Calofornia Utara, tempat

kini dia menjadi guru besar psikologi. Sebelumnya, ia mengajar psikologi dan

studi agama selama 7 (tujuh) tahun di Universitas of California, Santa Cruz. Pada

1985, ia dikukuhkan sebgai syekh atau mursyid. Selain menjadi psikolog

transpersonal, konsultan, dan guru spiritual, kini sehari-harinya mengabdi sebagai

Presiden Tarekat Jerrahi Order California dan sudah lebih 25 tahun menjadi

pembimbing spiritual. Salah satu karyanya terbaik: “Psikologi Sufi Untuk

Transpersonal Diri dan Obrolan Sufi”.

Frager menekuni Reed College di Portland, Oregon dari tahun 1957-1961.

Ia lulus dengan gelar BA dalam bidang psikologi. Ia meraih gelar Ph.D dalam

bidang psikologi sosial dari Universitas Harvard di Cambridge, Massachusetts,

yang ia tekuni dari tahun 1961-1967. Dari tahun 1963-1965, ia adalah seorang

fellow di East-West Center di Hunolulu, Hawaii. Dari tahun 1967 sampai tahun

1968, ia adalah seorang peneliti di Universitas Keio di Tokyo, Jepang.

Robert Frager adalah seorang psikolog sosial di Amerika. Dia adalah

pendiri Institut Psikologi Transpersonal, sekarang disebut Sofia Universitas, di

(26)

17

dalam program bimbingan rohani dan profesor psikologi. Ia adalah presiden

terakhir dari asosiasi psikologi transpersonal. Ia dikenal dalam bidang psikologi

transpersonal dan untuk perannya dalam membangun lembaga pendidikan

pertama di negara itu yang didedikasikan untuk bidang ini muncul dari penelitian

dan praktek. Ia juga mengajar kursus dalam psikologi spiritual dan The Wisdom of Islam di Universitas online Philosophical. Penelitian dan juga dalam program

online dari Holmes Institut Sekolah Pascasarjana Studi Kesadaran.2

B. Dimensi Sosial dalam Tarekat Halveti-Jerrahi

Tarekat Halveti-Jerrahi (Tarekat Khalwatiyyah Jerrahiyyah) sendiri

didirikan pada abad 17 di Khurusan (bagian barat Afghanistan). Pendirinya adalah

Syekh MuhammadPir Nuruddin al-Jerrahi yang lahir pada 1678, di distrik Jerrahi

Pasha di Istanbul dan mendirikan Tarekat Halveti-Jerrahi di kota itu pada 1703,

mungkin beliuanya sudah disucikan oleh Tuhan. Tarekat Jerrahi memiliki cabang

diseluruh Amerika Serikat, Eropa, Asia dan Amerika Selatan. Jerrahi cabang

darwis Halveti yang dikhususkan dalam wakil-wakil dari semua tarekat sufi

utama, Meflevis, yang Qadiris, yang Rafais, yang Naqsabandis dan persaudaraan

darwis lainnya, memberikan berkat dalam bentuk hadiah simbolis. Beberapa

didekasikan Ilahis, himne suci, yang terdiri dari puisi oleh guru sufi kuno yang

mampu mengatur musik, dan lainnya memberikan elemen tertentu dari pakaian

mereka; seperti selempang dan cara khususnya hidaria (baju rompi) yang

dipangkas dengan dua balas jahitan, sementara yang lain masih memberi

(27)

“posting”, kulit domba, yang mewakili penyerahan, serta transisi masuknya Ilahi

sejak dahulu kala, sehingga Tarekat Halveti-Jerrahi termasuk serta pembawa

standar semangat semua tarekat sufi utama dalam Islam.

Sufisme selalu menjadi jantung Islam. Sufisme adalah apa yang dibawa

salah satu peradaban paling maju, unggul dalam arsitektur, seni, matematika, ilmu

pengetahuan, puisi dan filsafat. Sufisme, bersama dengan tradisi mistis besar

lainnya selalu memainkan peran penting dalam evolusi pengetahuan seperti yang

dipahami oleh umat manusia. Tarekat Halveti-Jerrahi mencakup semua prinsip

dan demikian universal dalam tujuan dan ruang lingkup. Tarekat Halveti-Jerrahi

merupakan organisasi bantuan budaya, pendidikan dan sosial, yang tujuan

utamanya adalah untuk membantu orang menjadi manusia yang lebih baik,

melalui cinta, pengetahuan dan layanan. Di dalam tarekat ini dipercaya bahwa

hubungan manusia yang paling penting adalah dengan-Nya Pencipta, yang telah

menciptakan semua hal, dan segala sesuatu yang ada. Dan di dalam tarekat ini

juga menyambut siapa saja yang ingin mempelajari lebih lanjut tetntang tarekat

Halveti-Jerrahi.3

Kelompok sufi California mulai muncul sejak 1981, ketika Frager dan

teman-temannya, dibaiat oleh Muzaffer Efendi, syekh kepala Tarekat

Halveti-Jerrahi. Saat itu Muzaffer Efendi sedang mengunjungi Institute of Transpersonal Psychology (ITP), sebuah jurusan tingkat sarjana yang ia dirikan pada 1975.

Jurusan itu dimaksudkan untuk menghubungkan psikologi dengan spiritualitas.

Frager sering mengundang guru-guru tamu dari berbagai tradisi spiritual yang

(28)

19

berbeda-beda untuk memberikan kuliah di sana. ITP didirikan atas premis bahwa

kajian psikologi semestinya mencakup pengembangan personal dan intelektual

dan bahwa kajian ini harus meliputi seluruh aspek manusia, fisikal, emosional,

intelektual, kreativitas, sosial, dan spiritual. Frager mengembangkan kurikulum

ITP untuk membantu para mahasiswa agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang

bisa mengerjakan apa pun yang mereka pilih secara lebih baik dan lebih efektif.

Frager, Jim Fadiman, rekan sesama pendiri ITP, mengundang Muzaffer Efendi

untuk mengunjungi jurusannya. Pada musim semi 1980, ia dan sekelompok

darwis Turkinya datang berkunjung ke ITP selama beberapa hari sebagai bagian

TUR ke Amerika Serikat. Muzaffer Efendi memberikan serangkaian ceramah di

ITP dan ia beserta para darwisnya juga menggelar satu sesi zikir publik di

Stanford University.

Setahun kemudian Muzaffer Efendi kembali mengunjungi ITP. Frager

dengan serius mendengarkan ceramahnya yang mendalam dan zikirnya yang

sangat menggugah. Tiap hari banyak orang yang datang untuk mendengarkan

ceramahnya. Seorang tamu perempuan bertanya apakah seseorang yang tinggal di

Amerika dapat menjadi darwisnya? Ia meyakini, bahwa perempuan itu pernah

membaca buku-buku tentang tasawuf dan tradisi-tradisi mistik lain yang

mengisahkan bahwa calon murid harus menghabiskan berminggu-minggu atau

bertahun-tahun masa percobaan dan latihan di bawah bimbingan langsung

gurunya. Muzaffer Efendi menjawab bahwa ia mau menerima orang Amerika

sebagai darwisnya dan Frager setelah mendengar jawaban dari Muzaffer Efendi,

(29)

menemukan seorang guru dengan kebijaksanaan dan integritas yang luar biasa.

Seorang guru yang ia yakini dapat membimbing kehidupan ruhaninya.

Ia pernah menjumpai banyak guru ruhani dari banyak tradisi yang berbeda

dan ia sudah banyak belajar dari mereka. Namun, ia belum pernh bagitu tergerak

untuk membuat komitmen semacam ini. Frager orang pertama kali yang meminta

untuk diangkat sebagai darwis dan kemudian ia menjadi darwis Halveti-Jerrahi

pertama di California. Tarekat Halveti-Jerrahi juga dikenal sebagai Tarekat

Jerrahi, merupakan cabang Tarekat Halveti-Jerrahi di Turki. Oleh karena itu, para

tuan guru sufi yang besar menjadi pendiri tarekat masing-masing atau membuka

cabang dari tarekat guru-gurunya. Tak seorang pun dari kelompok kecilnya yang

jumlahnya dua belas orang itu ngerti banyak tentang tasawuf. Maka dari situlah

Frager sudah jatuh cinta pada Muzaffer Efendi dan ajaran-ajarannya sehingga ia

memulai jalan sufi ini dengan antusias sekaligus ketidaktahuan.

Setelah dibaiat, Frager mulai bertemu setiap minggu. Ia tidak menetapkan

agenda yang jelas, tetapi ia tertarik dan menjelajahi jalan yang baru yang

ditemukannya. Banyak pertemuan-pertemuan awal hanya diisi diskusi tentang apa

yang telah membuat ia tergabung di dalamnya. Apakah artinya menjadi seorang

darwis, bahkan apa artinya menjadi seorang muslim? Apakah ia benar-benar

menjadi muslim sebagai bagian baiatnya? Seberapa besar ia harus mematuhi sang

mursyid? Seberapa besar yang ia butuhkan untuk merubah hidupnya? Tak seorang

pun yakin akan jawabannya dan semua merasakan berbagai tingkat perlawanan

terhadap jalan yang entah bagaimana telah dirasakannya (atau sebaliknya, jalan

(30)

21

puluh tahun lamanya hingga kini. Awalnya ia bersua seminggu sekali dan dalam

beberapa bulan ia mulai bertemu setiap jumat untuk melaksanakan shalat jumat.

Kemudian setiap minggu ditambahkan praktik musik sufi Turki, bagian integral

zikir Jerrahi.

Pada 1985, ia dibaiat sebagai syekh tarekat di Istanbul oleh kepala syekh,

yakni syekh Safer Efendi (Muzafer Efendi sudah wafat tahun itu dan

penggantinya adalah Safer Efendi). Empat tahun merupakan masa yang terlalu

singkat untuk menjadi seorang syekh. Namun, selama itu ia sudah dan masih

memimpin kelompok dan dalam banyak hal sudah menjalankan fungsi layaknya

seorang syekh. Dan status barunya sangat banyak membantu. Sebelum menjadi

syekh, sohbet-sohbet yang disampaikan diambil nyaris kata perkata dari

tulisan-tulisan Muzaffer Efendi. Setelah menjadi syekh, ia terdorong memberikan sohbet yang diambil dari apa yang telah diajarkan gurunya selama bertahun-tahun. Ia

juga merasakan manfaat esoterik.

Ketika ia dibaiat, Safer Efendi mengajarkan bagaimana caranya

menakwilkan mimpi sesuai dengan tradisi tarekatnya. Kemudian ia mempelajari

sebuah doa dan mengembuskan ke mulutnya. Ketika kembali ke California, ia

mendapati kemampuan menakwil mimpi para darwis dengan cara yang tidak

pernah dibayangkan sebelumnya dalam pelatihan psikologis yang pernah diikuti.

Para darwis California menyakini bahwa dengan cara yang misterius telah

berubah menjadi syekh. Beberapa kisah dan kutipan diulang pada sejumlah

sohbet. Ini terjadi bukan karena kekeliruan atau kekhilafan. Bertahun-tahun yang

(31)

berulang-ulang. Kau dapat menceritakannya sebanyak 10 ribu kali dan

orang-orang masih banyak akan memetik manfaatnya.” Frager sudah belajar banyak

dalam mempersiapkan sohbet-sohbet ini. Para darwis juga sudah belajar menyimaknya, dan jika Tuhan berkehendak, ia akan belajar lebih serius tentang

prinsip-prinsip dan praktik tasawuf sebagaimana yang dipahami dalam

tarekatnya.4

(32)

23

BAB III

ROBERT FRAGER DALAM TRADISI PEMIKIRAN

TASAWUF MODERN

A. Psikologi Moral

Disisi lain ada persamaan antara tasawuf dengan psikologi. Tasawuf

merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan dalam

bentuk tingkah laku manusia. Sedangkan psikologi adalah ilmu sosial yang

membahas kejala kejiwaan, tetapi tidak membahas jiwa itu sendiri. Dengan

demikian, ruang lingkup kajian tasawuf lebih luas dari pada psikologi.1 Dalam

konsepsi Alquran, manusia memiliki dua dimensi hidup yakni dimensi kehidupan

ketuhanan dan dimensi kehidupan kemanusiaan. Dua hal ini pulalah yang menjadi

bahan cukup menarik bagi kajian-kajian ilmu-ilmu sosial. Dua dimensi hidup ini,

oleh Alquran disebut sebagai syarat-syarat psikologis dari suatu sistem

masyarakat yang ideal. Hanya saja masyarakat ideal baru akan terbentuk setelah

sikap psikologis tersebut mengalami transformasi sosial menjadi sikap secara

kolektif. Pertama, dimensi hidup ketuhanan adalah dalam diri seseorang oleh

Alquran disebut jiwa rabbaniyyah atau jiwa ribbiyyah. Adapun wujud nyata atau

substansi jiwa (psikologi) ketuhanan ini berbentuk dalam kristalisasi nilai-nilai

keagamaan pribadi yang sangat penting untuk diwariskan pada generasi

(33)

berikutnya. Kedua, dimensi hidup kemanusiaan adalah nilai-nilai dari dimesi

kemanusiaan yang harus diaplikasikan dalam hidup seseorang dan masyarakat.2

Salah satu ajaran fundamental dalam tasawuf adalah moral. Istilah moral

dapat diterjemahkan menjadi adab, artinya tata krama, perilaku, rasa hormat,

etika, tindakan yang baik atau nilai-nilai yang dianggap baik oleh kelompok

masyarakat. Keberhasilan sufi dalam segala hal hampir ditentukan oleh sejauh

mana sufi itu menjaga adabnya. Adab atau moral ini merupakan semua kandungan

agama Islam. Bertutur kata baik, menutup aurat termasuk moral, bersuci dari

kotoran termasuk moral, termasuk berdiri dihadapan Allah SWT dalam keadaan

suci. Rasa hormat adalah jantung atau inti moral miskipun tidak ada satu kata pun

dalam bahasa lain yang dapat mewakili istilah moral secara penuh. Setiap

kelompok, komunitas, dan berbagai profesi memiliki moralnya masing-masing,

termasuk juga komunitas tasawuf. Bahkan, sebagian mursyid mengatakan bahwa

moral atau adab adalah inti tasawuf.

Standar moral ini kemudian membumi dalam orientasi “pemakmuran alam

semista”, sebab jagat raya merupakan anugrah Tuhan kepada manusia. Dengan

demikian, manusialah makhluk satu-satunya yang diberkati Tuhan dengan

potensi dan kemampuan untuk mengelolah dan menata alam ini, tentu dengan cara

yang kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam proses pengelolaan alam,

diperlukan suatu tindakan moral yang mutlak baik, agar tidak terjadi pembelokan

dan justru perusakan yang menyengsarakan. Oleh karena itu, sebagai makhluk

yang tidak tinggal sendirian di dunia, manusia sudah semestinya bertindak secara

(34)

25

moral. Dalam segenap hubungan sosial, ekologis, kultural, maupun politik,

moralitas adalah suatu yang niscahaya. Tanpa tatanan moral, dapat dibayangkan

hubungan-hubungan tersebut akan porak-poranda. Kehidupan manusia pun

menjadi tidak nyaman. Dalam bahasa Alquran, manusia yang mengabaikan

standar moral ini akan mudah terjerumus ke dalam tindakan yang destruktif

(yufsidu fiha> wa yasfiku al-dima>’).

Dalam konteks moral, kehadiran agama telah memberikan petunjuk praktis

dalam kerangka penyempurnaan moralitas manusia. Dalam diri manusia

terkadang potensi berbuat baik dan buruk (al-ba>>i``~~~~~~````‘th al-di>ni wa al-ba>‘ith

ash-shait}a>ni). Agama tidak menyangkal bahwa manusia dengan akalnya sudah

mampu membedakan antara yang baik (al-haq) dan yang buruk (al-ba>t}il). Namun,

agama juga melegitimasi bahwa kekuatan akal manusia tidak akan mampu

menangkap hakekat moralitas. Akal mudah berpaling dan diombang-ambingkan

oleh unsur-unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu dan

syahwat. Persoalan moral boleh dikatakan sangat lembut, yang acap kali bisa

mengaburkan pandangan manusia. Dari sinilah manusia bisa memaknai sabda

Rasulullah Saw., “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Agama

mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap sesama, saling berderma,

saling membantu (ta‘a>wun) sehingga terbentuk ikatan persaudaraan dan

solidaritas sosial, (dalam bahasa al-Quran: hablun min al-na>s). Ini adalah ajaran

moral standar yang baik secara aqliyah maupun naqliyah, bisa diterima tanpa soal.

Tidak ada kontradiksi antara pencernaan rasional dan pewahyuaan agama dalam

(35)

bentuk-bentuk perenungan rasional (ta‘aqqul, tadabbur dan i‘tiba>r). Dengan cara itu

manusia akan bisa merengkuh pemahaman semesta alam ini secara mendalam.

Tasawuf lebih dari sekadar perbincangan soal moralitas. Jika moralitas

terpotret dari wujud perilaku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat

moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf, sebuah moralitas masih dipersoalkan:

apakah mendasarkan diri pada ketulusan, keikhlasan, semata mengharap kerelaan

Tuhan (mard}a>tilla>h), atau justru sebaliknya? Dunia lahiriah mungkin cukup

dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal yang kemudian

yang secara yuridis dianggap sah. Namun, dunia batin adalah sebuah penjelajahan

dan pelatihan yang harus terus-menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan

terputus (dengan kata lain: istiqamah).

Pembedaan antara perbuatan lahiriah dan semesta batin memang sangat

lembut dan halus. Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap karena memang

tanpak di mata. Akan tetapi, siapa sangka bahwa dunia batin begitu menyemesta,

mendalam, berliku dan penuh tebing rahasia. Meski demikian, bukan berarti

agama terlalu rumit untuk dipahami. “Agama itu kemudahan (al-di>n yusrun)”,

demikian kata Rasulullah Saw. Agama melihat manusia pada deminsi tubuh dan

jiwanya. Oleh karena itu agama merumuskan tatanan, aturan, serta petunjuk yang

bersifat komprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa itu. Penataan agama secara

lahiriah dan batiniah menujukkan agama sebagai perangkat hakiki bagi manusia

untuk memahami kediriannya. Artinya, manusia punya keharusan-keharusan

untuk berdisiplin sekaligus menyadari bahwa jiwanya secara mutlak

(36)

27

dengannya. Dalam dunia sufi, terpapar doktrin yang popular: “Man a‘rafa nafsahu

faqad a‘rafa rabbahu”. Artinya, barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia

akan mengetahui Tuhannya.3

Di dalam tasawuf juga ditekankan hubungan antara sufi dengan Tuhan

harus dihiasi dengan moral ruhani yang sempurna. Moral ruhani merupakan buah

ihsan, upaya untuk mengembangkan rasa butuh akan kehadiran Tuhan. Jika ia

memiliki ihsan dan iman, maka ia akan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir.

Kemudian, tentu saja, ia akan secara otomatis berperilaku dengan moral. Muzaffer

Efendi pernah mengatakan bahwa setiap hati manusia merupakan tempat ibadah

ilahiah yang diciptakan Tuhan sebagai tempat jiwa masing-masing. Jika ia

mengingat hal itu, ia akan menghormati semua orang, menghormati percik ilahi

dalam dirinya. Ibadah dan terus ingat Tuhan akan membuat selalu ingat bahwa

setiap orang menyimpan atau memiliki percik ilahiah dalam dirinya. Jika ia tidak

bisa saling menghormati, berarti hakikatnya ia menghina Tuhan yang ada dalam

dirinya masing-masing.

Moral harus berasal dari dalam dirinya sendiri. Perilaku lahiriah tanpa rasa

hormat batiniah bagaikan mayat seorang artis. Tampak indah, tetapi tidak

memiliki kehidupan. Selain mengetahui bahwa Tuhan itu hadir dalam diri setiap

orang, ia harus belajar bagaimana mengungkapkan pemahamannya. Pertama-tama

ia harus mengetahui bagaimana bersikap, lalu menerapkan pengetahuan itu, dan

berusaha mencipta perubahan. Moral adalah tindakan. Semakin banyak bertindak

dengan moral, maka perilaku akan semakin mencerminkan keberadaannya.

(37)

Semakin mengikuti moral, semakin dekat pada perubahan. Tindakan yang tulus

akan mengubah dirinya. Apa lagi yang diharapkan untuk berubah. Ia dapat

menunggu Tuhan untuk mengubah, tetapi Tuhan pun mengubah untuk berjuang

dan berupaya sungguh-sungguh.

Sebagai manusia biasa, tidak dapat mengubah atau meningkatkan

kemampuan berdoa dan berzikir. Ia hanya bisa meningkatkan upaya dan berjuang

lahiriah yang dilakukan serta meningkatkan kesungguhan dan ketulusan di dalam

berdoa dan beribadah. Namun, tasawuf bukanlah suatu yang harus diperaktikkan

satu jam sehari atau satu hari dalam seminggu di waktu senja. Tasawuf sesuatu

yang harus dipraktikkan sepanjang waktu. Bagaimana ia bisa menjalani laku

tasawuf sepanjang hidup? Jawabannya adalah dengan bermoral. Ada banyak kisah

mengenai keindahan moral yang diceritakan para sufi sepuh. Perilakunya

mencerminkan pemahaman batiniah dan keadaan batinnya. Sebagai contoh, wali

besar Ibrahim bin Adham tidak pernah bersandar ketika duduk. Ia mengatakan,

“Aku tidak pernah bersandar pada apa pun di dunia. Satu-satunya yang kujadikan

sandaran hanyalah Tuhan.” Muzaffer Efendi memberikan contoh bagus tentang

moral yang baik. Ia sering berkata, “Hormati orang yang lebih tua dari kalian.

Mereka punya lebih banyak waktu untuk berdoa. Hormati orang yang lebih muda

dari kalian. Mereka tidak punya banyak waktu untuk berbuat dosa.”

Moral juga merupakan perjuangan untuk melawan ego. Sebab,

membangun moral yang baik butuh kesungguhan untuk mengenali egonya.

Sebagai contoh, ego tidak mau jika menghormati orang lain. Satu-satunya yang

(38)

29

sebaliknya. Ego ingin semua orang melayaninya, tetapi ia tidak ingin melayani

orang lain. Itulah keadaan dan karakter ego. Semua sesungguhnya condong,

bahkan tergila-gila untuk menjadi orang yang sombong. Sungguh sangat baik

untuk mempelajari moral dari para sufi semacam itu. Moral bukanlah sesuatu

yang dapat dipelajari hanya dengan buku-buku. Ia dapat membangun moral,

diantaranya dengan mengembangkan sikap saling menghormati dan menunjukkan

rasa hormat kepada para tamu. Dalam Islam, tamu mesti dihormati karena

dianggap sebagai kiriman dari Tuhan.

Moral dan penghormatan kepada mursyid adalah masalah yang sangat

krusial dalam tradisi tasawuf. Hormatilah mursyid bukan karena individu,

melainkan sebagai mursyid, sebagai matarantai yang menghubungkan dengan

sejarah, kebijaksanaan, dan berkah yang bertahan ratusan tahun dalam tarekat.

Jagalah dan hargailah hubungan dengan mursyidnya. Idealnya, setiap saat harus

mempraktikkan moral yang baik di tengah komunitas tarekatnya, baik sesama sufi

maupun dengan para tamu, dan juga dengan pihak-pihak di luar tarekat. Seorang

sufi mesti menjadi teladan dalam urusan menjaga moral. Kebersamaan dengan

saudara sesama sufi mungkin hanya enam atau tujuh jam dalam seminggu. Di luar

waktu yang sebentar itu, dapat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat yang

lebih luas. Kendati demikian, waktu yang sebentar di tengah komunitas tarekat itu

menjadi waktu yang sangat penting untuk melatih dirinya dan membangun moral

yang baik sehingga lebih siap bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat yang

lebih luas.4

(39)

Kualitas moral kerap menjadi sangat luar biasa ketika melihat orang-orang

saling melayani. Seorang guru sufi mengucur air mata ketika melihat hubungan

penuh kasih sayang dan kepekaan di antara para sufi tua Turki. Ketika Syekh

Muazffer masih merokok (ia kemudian berhenti atas anjuran dokter), para sufi

bersegera menyalakan api untuknya. Umumnya, para sufi saling menyalakan api,

saling menuangkan teh, dan saling melayani dengan berbagai cara yang sesuai

dengan kemampuan mereka. Namun, tentunya merupakan suatu keistimewaan

untuk menyalakan api bagi sang syekh. Sebagian sufi Amerika yang hanya

memahami bentuk luar dari moral, akan bersegera untuk menyalakan api bagi

sang Syekh Muzaffer dan dengan nyata saling menghalangi agar mereka dapat

menjadi pihak yang melayaninya. Kadang hal tersebut tampak bagaikan latihan

sepak bola ataupun para pemain bola basket yang saling berebut untuk

memasukkan bola. Ketia ia duduk dekat dengan Syekh Muzaffer bersama para

sufi tua lainnya, bahkan walaupun ia sedikit terlambat untuk mengeluarkan

pemantik api, mereka akan membiarkan untuk menyalakan api untuknya. Para

sufi tua tersebut hampir selalu lebih dahulu mengetahui kebutuhannya, karena

mereka perhatian dan peka. Hal terpenting adalah bahwa syekh tersebut dilayani.

Selain itu, jika orang lain siap melayani dirinya dengan moral, mereka dengan

anggun memberikan hak istimewa untuk memberikan pelayanan tersebut pada

orang lain.5

(40)

31

B. Tasawuf Perspektif Robert Frager

Tasawuf adalah jalan spiritual yang dapat mengantar menuju persatuan

dengan Yang Tak Terbatas, di mana pun kini berada. Dikatakan, sesungguhnya

ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak jumlah manusia. Di dalam tradisi sufi,

membedakan sedikitnya lima jalan; tiap jalan menarik bagi sejumlah besar

manusia. Lima jalan tersebut adalah jalan hati, akal, kelompok, pelayanan, dan

zikir. Tiap-tiap jalan menghasilkan praktik yang canggih dan literatur yang kaya.

Jalan hati. Mengabdi kepada Tuhan adalah salah satu praktik sufi yang

paling mendasar. Pengabdian ini tercermin dalam sebait puisi yang menyejukkan

hati, baik dari Rumi maupun penyair sufi lainnya. Di dalam tasawuf ada konsep

cinta, dikatakan, cinta mengangkat derajat di atas binatang, bahkan di atas

malaikat. Pada saat pembukaan sebuah masjid besar di Istanbul, sang sultan

mengundang seorang syekh sufi untuk berceramah. Setiap orang di wilayah

tersebut berkumpul di dalam masjid. Ketika sang syekh akan berdiri untuk

menyampaikan ceramahnya, seorang pembawa air memegang lengan bajunya.

“Aku kehilangan keledaiku,” katanya dalam nada putus asa, “dan aku amat

membutuhkannya agar aku dapat mengantarkan air. Karena hari ini setiap orang

hadir di sini, maukah Anda menolong saya untuk menemukannya.” Dan ketika

sang syekh memulai ceramahnya, ia bertanya, apakah diantara yang hadir ada

yang tidak pernah mencintai orang lain, binatang pelihara sekalipun. Seorang pria

perlahan berdiri. Terdorong oleh tindakannya, dua orang lainnya ikut berdiri. Sang

syekh menoleh pada pengantar air dan berkata, “Kau telah kehilangan satu ekor

(41)

gurunya dan mencintai serta melayani saudara-saudara sesama sufinya. Sufi

mencintai Nabi Muhammad dan seluruh guru spiritualnya.

Jalan akal. Selain inspirasi penyair dan pecinta, tradisi sufi juga dipercaya

oleh kearifan para sarjana dan guru bijak. Namun, guru-guru tasawuf

memancarkan kearifan yang lebih dalam dan kecerdasan yang lebih utuh daripada

sarjana umumnya yang terikat pada buku. Kaum sufi menyukai kalimat berikut,

“Seorang sarjana yang tidak mempraktikkan apa yang telah ia pelajari bagaikan

seekor keledai yang mengangkut banyak buku.” Buku-buku yang dibawa di dalam

gerobak keledai itu tidak dapat mengubah keledai tersebut, begitu pula halnya

dengan buku-buku yang hanya tersimpan di dalam kepala para sarjana. Kearifan

sejati adalah mempelajari sesuatu dengan baik, kemudian menerapkannya.

Jalan kelompok. Di dalam masyarakt modern yang terisolir ini, setiap

orang sangat membutuhkan kelompok. Tasawuf adalah jalan kelompok. Salah

satu praktik sentralnya adalah wirid mingguan, atau upacara zikir. Pada sufi

bersenandung, menyanyi, dan saling memberikan semangat. Mereka juga saling

mengajarkan satu lainnya, seringkali sesering syekh mereka mengajarkan mereka.

Seorang beriman adalah cermin bagi orang beriman lainnya. Sufi yang baru dapat

melihat di dalam diri sufi senior keimanan yang lebih terbangun, kemampuan

melayani yang lebih besar, dan zikir kepada Tuhan yang lebih mendalam. Nabi

Muhammad juga berkata bahwa kalian bukanlah orang beriman jika kalian

bersenangg-senang di saat tetangga kalian kelaparan. Bahkan, hingga kini di Turki

adalah hal yang lazim untuk menutup jendela ketika sedang memasak, karena

(42)

33

orang Turki memanggang daging di luar rumah, mereka kerap mengirimkan

sepiring makanan pada tetangganya.

Jalan pelayanan. Jalan ini sangatlah berkaitan dengan jalan kelompok.

jika ia sesungguhnya peduli terhadap satu sama yang lain, dan dengan melakukan

hal tersebut, ia juga bisa melayani unsur ilahiah di dalam dirinya. Pelayanan

adalah sebuah hak istimewa sekaligus sebuah hadiah. Lagi pula, bukanlah jumlah

pelayanan yang diberikan, namun niatlah yang diperhitungkan. Seperti yang

dikatakan oleh bunda Teresa, “Bukanlah apa yang kau lakukan, namun besarnya

cinta yang menyertainya yang begitu bernilai.” Bunda Teresa adalah contoh luar

biasa dari perwujudan kekuatan pelayanan. Sebagai seorang biarawati muda, ia

tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjadi pemimpin spiritual. Bagaimanapun

juga, ia seorang biarawati pada umumnya, dan seorang guru biasa di sebuah

sekolah Katolik dan Kalkuta. Ia berubah menjadi seorang suci setelah ia

membaktikan dirinya untuk melayani para penderita lepra dan para fakir miskin.

Jalan zikir. Tasawuf adalah disiplin mengingat dimensi ilahiah dalam

dirinya. Para sufi meyakini bahwa Tuhan menempatkan percikan ilahiah di dalam

diri tiap manusia. Ia tersembunyi di dalam lubuk hati manusia, namun ditabiri

oleh cinta terhadap segala sesuatu selain Tuhan, keterikatan terhadap

tipuan-tipuan dunia ini, dan juga oleh kelalaian dan kealpaan. Namun, tabir-tabir ini

tidaklah nyata. Melalui Nabi, Tuhan berfirman, “Terdapat tujuh puluh ribu tabir

antara kau dan Aku, tapi tak ada tabir antara Aku dan kau.” Kebanyakan para sufi

melakukan praktik zikir harian, biasanya mengulang-ulang nama-nama Tuhan

(43)

tarekat, ada juga ritual zikir jama’ah mingguan. Para sufi membaca doa, dan

melantunkan nama-nama Tuhan tertentu. Upacara seperti ini yang paling terkenal

adalah praktik kelompok mawlawi. Ritual ini terdiri dari musik, senandung, dan

gerakan-gerakan kepala sufi. Tarekat lainnya lebih menekankan zikir dan doa-doa

tertentu. Ada tarekat yang berzikir dengan duduk, dan ada pula dengan berdiri.

Sebagian yang lain menggabungkan kedua cara tersebut.6

Sebagai sebuah jalan, tasawuf mencakup permulaan, pertengahan, dan

akhir. Mulanya, biasanya tertarik terhadap untaian kata seorang penyair, atau

penulis sufi besar. Langkah selanjutnya berhubungan dengan para darwis dan

menjadi akrab dengan adat istiadat dan praktik-praktik mereka. Pertengahan dari

jalan tersebut adalah kehidupan sehari-hari para sufi pemula. Zikir dan praktik

sufi lainnya, serta berhubugan dengan komunitas sufi, bertujuan untuk

mentransformasi para sufi. Ketulusan usaha dan ketabahan adalah esensi dalam

proses psikospiritual, yang juga esensi adalah bimbingan dari seorang syekh yang

arif.

Pada akhirnya, seorang sufi terkemuka mencapai tingkat pencapaian yang

lebih tinggi dalam tasawuf. Keutamaan syekh eksternal menjadi lebih berkurang

seiring dengan semakin besarnya kekuatan syekh internal. Keutamaan aturan jalan

sufi menjadi berkurang seiring dengan kearifan hati yang mulai memberikan

bimbingan yang lebih tepat. Akhirnya, sering dengan tumbuhnya kesatuan internal

di dalm kepribadian, perjuangan batiniah pun berakhir. Dalam kesadaran bahwa ia

berada dalam kehadirian Ilahi, sang sufi hanya dapat melakukan apa yang diridhai

(44)

35

Tuhannya. Langkah terakhir adalah penyingkapan tabir antara seorang individu

dan Tuhannya. Tabir terkahir adalah rasa keakuan “Aku” yang terpisah.

Tujuan sufi adalah menjadi semakin tiada, sampai akhirnya fana. Namun,

inilah kefanaan yang sangat istimewa adalah suatu kondisi yang mengarahkan

pada kesatuan dengan Tuhan. Sepanjang sejarahnya, tasawuf telah berubah secara

konstan. Bentuk luar praktiknya mencerminkan kebudayaan dan periode sejarah

yang berbeda. Sebagian kelompok sufi berfungsi sebagai keluarga. Para sufi

tinggal bersama dengan sang syekh, dan setiap hari mereka bekerja bersama-sama

dan saling berbagi makanan. Sebagian pondokan tumbuh hingga ia dihuni oleh

ratusan sufi. Ada juga syekh yang para sufinya berjumlah ribuan atau lebih,

tersebar diseluruh daerah dan kota. Pada kasus semacam itu, para sufi jarang

bertemu dengan syekh mereka secara pribadi. Kemajuan spiritual mereka hanya

dipantau salah seorang wakil syekh.7

C. Paradigma Tasawuf Modern

Kebanyakan kaum sufi memahami tasawuf hanya sebagai sarana

pendekatan diri kepada Tuhan melalui taubat, zikir, ikhlas, zuhud. Tasawuf lebih

dicari orang dan ditujukan untuk sekadar mencari ketenangan, ketentraman dan

kebahagiaan sejati manusia, ditengah pergulatan kehidupan duniawi yang tentu

arahnya. Tasawuf menjadi sangat penting, karena bisa menjadi fondasi dasar bagi

setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat bagi setiap

mencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya. Tasawuf sebagai

(45)

salah satu pilar utama dalam Islam, harus dapat menyesuaikan di dunia modern

ini, karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu

pengetahuan positivistik-emperisme dan budaya Barat yang

meterialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat

materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif ketimbang

konstruktif bagi kemanusiaan, sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh

beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens dan

Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi

paradigma Barat.

Bila hal tersebut dibenturkan dengan agama, akan ditemukan masalah

yang akut. Filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap valid ilmu pengetahuan

yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rasional-deduktif dan pragmatis, serta

menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-emperisme dan positivisme, yaitu

ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan atau Kitab Suci Allah.

Disinilah pentingnya tasawuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu

pengetahuan tidak hanya berdasarkan tiga prinsip: korespondensi, koherensi dan

pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual ilahiah. Artinya sumber ilmu

pengetahuan, selain itu munkin juga didapat melalui akal rasional, dan emperis

inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk

wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan

penyingkapan ruhaniah. Seperti kata Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung, kaki

(46)

37

dan kebenaran.8 Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan

sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekuler sampai kelubuk jantung

dan hati manusia modern.

Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi,

telah signifikan menyingkirkan manusia modern dari segala aspek spiritualitas.

Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat

nonfisik, yang diyakini adanya oleh para sufi. Mereka menolak segala dunia

nonfisik; seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan

segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekadar entitas-entitas fisik.

Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa

tahu dari mana ia berasal dan hendak ke mana setelah ini ia pergi. Heidegger

pernah mengatakan bahwa manusia di dunia ini terdampar tanpa tahu dari mana.

Demikian juga mereka percaya bahwa hidup akan berakhir juga di sini, dalam

peristiwa kematian, dan tidak ada lagi kehidupan setelah itu. Padahal dalam

kepercayaan para sufi, alam dunia ini hanya satu dari sekian banyak dunia yang

telah dan akan dilaluinya. Akibatnya, manusia modern hanya berbuat di satu dunia

ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali. Bagi mereka

mikraj spiritual ke langit-langit, hanyalah sebuah lelucon yang menggelikan,

karena dunia-dunia spiritual bagi mereka sama sekali tiada. Maka, bisa di

katakana, mereka sendiri telah mengunci pintu-pintu langit dari dalam, sehingga

jiwa-jiawa mereka terisolasi dari dalam ruang yang bagitu sempit di dunia ini.

(47)

Akibat serius dari kondisi seperti ini yakni kehilangan arah hidup adalah

adanya perasaan terasing atau istilahnya “teralienasi” baik dari diri sendiri, alam

sekitar dan Tuhan, pencipta alam semesta ini. Sulit nampaknya bagi manusia

modern untuk mengenal siapa diri mereka yang sejati. Ketika manusia hanya

mementingkan aspek dari dirinya, padahal, setidaknya menurut para sufi, ia juga

memiliki aspek atau dimensi spiritual, maka kegoncangan dan ketidaksetabilan

jiwanya tidak sulit untuk dibayangkan. Ketika manusia modern hanya

membersihkan tubuh mereka semata, dan lupa untuk membersihkan

kotoran-kotoran jiwa mereka, maka tak sulit untuk menjawab mengapa orang-orang

modern banyak mengalami kegoncangan dan penyakit jiwa. Maka stres dan

hipertensi pun telah menjadi penyakit yang sangat umum diderita menusia

modern.

Ketika, dalam berhubungan dengan alam sekitar, manusia hanya

memerhatikan aspek biofisik dan ekonomisnya saja, dan sama sekali tidak

memperhatikan aspek-aspek nonfisik (spiritual), maka manusia modern telah

menimbulkan apa yang dikenal sebagai krisis ekologis. Krisis ekologis pada saat

ini telah mengganggu ekosistem alam sampai pada taraf yang mengkhawatirkan,

problem yang krisis yang tidak pernah terjadi kecuali setelah masa modern. Alam,

yang telah begitu bermurah hati melayani manusia selama ratusan bahkan ribuan

tahun dari kehidupan manusia, ternyata hanya dalam rentang masa kurang lebih

tiga abad setelah revolusi industri sudah kehilangan daya dukungnya dan tidak

Referensi

Dokumen terkait