Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
RIDOK NIM: E01209035
PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ii
HATI SEBAGAI PUSAT SPIRITUALITAS DALAM
PEMIKIRAN “PSIKOLOGI MORAL” ROBERT FRAGER
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
RIDOK NIM: E01209035
PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi oleh RIDOK ini telah disetujui untuk diujikan.
Surabaya, 01 Februari 2016 Pembimbing,
iv Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dekan,
DR. Muhid, M.Ag. NIP: 196310021993031002
Tim Penguji: Ketua,
H. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D NIP: 197008132005011003
Sekretaris,
Nur Hidayat Wakhid Udin, MA NIP: 198011262011011004
Penguji I,
Drs. H. Muktafi, M.Ag NIP: 196008131994031003
Penguji II,
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama : RIDOK
NIM : E01209035
Prodi/Jurusan : Filsafat Agama/Pemikiran Islam
dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, (30-01-2016) Saya yang menyatakan,
RIDOK E01209035
ix
ABSTRAK
Sebagai manusia, ia sendiri masih menganggap bahwa dirinya adalah sebuah misteri. Ia benar-benar tidak memahami tentang dirinya yang memiliki hati. Mengenai hati (ruh, jiwa dan nafs), ia begitu serius mempermasalahkannya karena sudah cukup abstrak, dan banyak para sarjana yang memperdebatkannya. Salah satunya adalah Robert Frager, ia memahami bahwa hati manusia merupakan makhluk spiritual dan misteri. Hati inilah tidak dapat dipisahkan dengan lainnya bahkan, hati saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Hati manusia juga memiliki gradasi kondisi yang menandakan tingkat spiritualitasnya. Robert Frager membagi gradasi tersebut menjadi 4 (empat) bagian, yakni: Pertama, Dada (S}adr), dada secara langsung dipengaruhi oleh kata-kata dan perilakunya. Ia dipelihara dengan ibadah, doa, derma, pelayanan, serta pengamalan prinsip dasar dari semua agama. Dengan perilaku positif, dada menjadi berkembang dan cahaya amaliah menjadi tumbuh. Kedua, hati (Qolb) ketika dada telah dibersihkan dan hati telah terbuka, ia mulai mampu melampaui permukaan luar dan merasakan apa yang tersembunyi di dalam. Ketiga, hati-lebih-dalam (Fu’a>d) hati lebih dalam adalah tempat pengelihatan batiniah dan inti cahaya makrifat. Makrifat berarti “kearifan batiniah” atau “pengetahuan hakikat spiritual.” Keempat, lubuk-hati-terdalam (Lubb) luas dan cahaya lubuk hati terdalam, atau hatinya hati, tidak berpikiran terhadap sesuatu kecuali yang hadir adalah Allah. Ia bagaikan sumbu raksasa yang tak bergeming, sementara segala sesuatu berputar mengelilinginya.
Berdasarkan pemaparan di atas tersebut, terlihat bahwa penelitian kepustakaan (library research) ini bertujuan untuk menjelajahi bagaiman pemikiran Robert Frager tentang dunia tasawuf. Untuk menunjang penelitian tersebut, metode analisis yang penulis gunakan adalah deskriptif, kesinambungan historis, interpretatif dan komparatif. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang konkrit mengenai pemikiran Robert Frager yang dimaksud. Meski menjadi psikolog, Robert Frager bukan seorang yang menjadikan akan sebagai satu-satunya dimensi kebenaran karena ia pun percaya terhadap kebenaran wahyu. Lebih jelasnya, ia adalah seorang neo-sufisme yang meletakkan esoterisme tetap dalam koridor syari’at. Konsep tasawufnya tidak hanya dipersembahkan untuk tujuan ilahiahnya semata, namun juga untuk memperbaiki keimanan umat Islam yang sudah kacau. Hal inilah yang membuat kesulitan untuk membedakan antara ajarannya tentang teologi dan tasawufnya. Kata Kunci: Tasawuf, Robert Frager, Psikologi Moral
xii
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Metode Penelitian ... 11
E. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL A. Awal Kehidupan dan Pendidikan... 15
B. Dimensi Sosial dalam Tarekat Halveti-Jerrahi ... 17
BAB III ROBERT FRAGER DALAM TRADISI PEMIKIRAN TASAWUF MODERN A. Psikologi Moral ... 23
B. Tasawuf Perspektif Robert Frager ... 31
C. Paradigma Tasawuf Modern ... 35
BAB IV KONSEP HATI A. Definisi Hati dan Makna Hakekat Hati ... 44
B. Hati sebagai Pusat Spiritualitas ... 47
C. Empat Fakultas Hati ... 50
1. Dada (S}adr) ... 51
2. Hati (Qalb) ... 54
3. Hati Lebih Dalam (Fu’a>d) ... 59
4. Lubuk Hati Terdalam (Lubb) ... 61
D. Hubungan Hati dengan Jasmani... 64
E. Hati yang Sehat ... 66
F. Hati yang Mati ... 67
G. Hati yang Sakit ... 68
xiii BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani, di samping itu ia menjadi
makhluk paling unik dan unggul di antara makhluk-makhluk lain ciptaan Allah
Swt. Keunggulan tersebut terletak pada wujud kejadiannya yang sebaik-baiknya
ciptaan, baik jasmani maupun ruhani.1 Manusia juga diberi kelebihan intelektual
yang menjadikannya diberi tanggung jawab menjadi khalifah di muka bumi.2
Keistimewaan seperti itu jelas tidak diberikan kepada hewan ataupun tumbuhan,
apalagi benda mati seperti gunung, laut dan bebatuan dan Allah tidak
melimpahkan beban kepada siapa pun, kecuali kepada ahlinya.3
Diakui atau tidak, manusia memang tidak diciptakan begitu saja tanpa
melalui proses panjang dan berbelit-belit, dikarenakan Allah menghendaki sesuatu
yang perfect ada pada manusia. Sebelum melangkah kakinya di dunia seorang
anak manusia sudah dibekali dengan seperangkat akal (kecerdasan) untuk
berpikir, sebagai landasan hidupnya. Kemudian Allah menurunkan alquran
melalui Malaikat Jibril yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai
petunjuk untuk sekalian umat manusia. Sementara itu Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, yang
1 Muhammad Ali, Quran Suci: Terjemahan dan Tafsir terjemahan. M. Burhan
(Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1986), 1598.
2 Djohan Efendi, “Tasawuf al-Quran tentang Perkembangan Manusia”, Ulumul
Qur’an, No. 8 Vol. II. 1991/1411, hal. 4.
perannya terkait erat dengan pembentukan psikologi. Apabila daging tersebut
baik, maka pemiliknya akan baik serta terpuji akhlaknya, dan sebaliknya, apabila
daging tersebut buruk, maka perangai pemiliknya akan menjadi buruk (tercela).
Segumpal daging yang dimaksud tiada lain adalah hati.4
Jalan sufi diawali dengan panggilan hati. Hal ini kadang kala ketika gagal
di dalam pencarian duniawi. Atau, kematian orang yang di cintai hingga
mendorong untuk mengevaluasi kembali prioritas-prioritas diri. Bagi kebanyakan
orang, panggilan tersebut muncul kertika bertemu seorang syekh dan menemukan
dunia baru dari pengalaman spiritual. Semakin menyelam ke dalam tasawuf, hati
semakin menjadi terbuka, dan melalui menyentuh percikan ilahiah di lubuk hati
terdalam. Kenikmatan dan kesenangan yang mendalam, yang mengakar di lubuk
hati terdalam, mulai meresap ke dalam kehidupan. semakin menyelam lebih ke
dalam lagi, akhirnya mencapai keutuhan diri. Binatang-binatang liar di dalam diri
telah dijinakkan. Perjuangan batiniah telah usai. Pada akhirnya tabir terakhir,
yakni rasa keberadaan yang terpisah, menjadi tersingkap, dan tiada sesuatu pun
yang tertinggal kecuali sifat ketuhanan.5
Dengan segenap potensi yang tercipta, manusia menjadi mungkin
membuat pertimmbangan-pertimbangan yang tertentu bahkan mampu membuat
peraturan-peraturan bagi dirinya. Sehingga manusia, berdasarkan klaimnya,
mengakui sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang paling berbudaya dan
berperadaban. Namun kenyataan kerap kali sulit ditebak, apa yang nyata-nyata
4 Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awan: Menjawab Problema Kehidupan
3
terjadi seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Manusia yang
edialnya mampu memahami baik-buruk, ternyata karena kepentingan sepihak
manusia harus menjadi aktor dibalik kasus kerusakan alam di bumi. Atau mereka
yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi generasi sesudahnya, malah sibuk
memperbuatkan pengaruh kekuasaan sesaat. Barangkali benar, “Hidup adalah
medan laga tempat seluruh makhluk bersaing dan bertarung untuk bisa terus
melangsungkan hidupnya.”6
Tidak ada pendekatan sistematik dan tunggal dalam pengajaran para sufi,
dan tidak semua dari pengajarannya bisa disampaikan dengan kata-kata. Kearifan
atau hikmah sufisme dapat ditemukan dalam kisah-kisah, puisi, seni, kaligrafi,
ritual-ritual, latihan, gerakan-gerakan tarian dan shalat. Sufisme seringkali
dilukiskan sebagai sebuah jalan, yang mengingatkan asal mula dan tujuan.
Cita-cita atau tujuan sufisme adalah menyingkap tabir yang tentang diantara individu
dan Tuhan. Dengan menempuh jalan ini, seseorang dapat meraih pengetahuan
tentang realitas. Tuhanlah realitas inti, bukan fenomena duniawi yang penuh
keragaman. Kata mistisisme berakar dari bahasa Yunani myein, yang berarti
‘menutup mata,’ yang juga merupakan akar kata ‘misteri’; tujuan mistis tidak bisa
dicapai dengan intelektualitas atau lewat cara-cara yang sudah lazim. Dalam
maknanya yang mendasar, mistisisme adalah cinta kepada yang Absolut,
satu-satunya yang Realitas, yang juga kerap disebut dengan Kebenaran, Cinta atau
Tuhan. Menurut pengertian yang nyaris klasik yang diajukan Sarraj, “Sufi adalah
6 Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja
orang yang menomorsatukan Tuhan di atas segala sesuatu dan Tuhan melebihkan
mereka di atas sesuatu yang lain.”
Bagi para sufi, bukan hanya cinta tetapi juga pengetahuan rohani yang
mengatarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan. Filsuf sufi al-Ghazali berkata,
bahwa “Pengetahuan diri yang sejati terdiri dari pengetahuan tentang hal-hal
berikut: siapa kamu dalam dirimu sendiri dan dari mana kamu berasal? Hendak
pergi ke mana dan untuk tujuan apa kamu tinggal di sini untuk sementara waktu?
Terdiri apa saja kebahagiaan dan penderitaanmu?” Banyak perangkap, baik yang
nyata maupun yang dibayangkan, yang membuat sanggup atau bahkan enggan
untuk mencari pengetahuan sejati.7
Tasawuf tidaklah berbeda mistisisme dari semua agama. Laksana sungai
yang mengalir melewati banyak negara dan yang diakui sebagai milik
masing-masing negara tersebut, ia sebenarnya adalah bermuara satu. Seluruh mistisisme
memiliki tujuan yang sama, yakni pengalaman-pengalaman langsung. Seseorang
yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, darwis atau fakir. Dalam bahasa Arab, sufi memiliki beberapa makna, termasuk “suci” dan “wol” (para sufi terdahulu
mengenakan mantel wol sederhana dan mencari kesucian batiniah). Darwis adalah
istilah Persia yang diambil dari kata dar, atau door (pintu). Kata tersebut dilekatkan pada mereka yang mengemis dari pintu ke pintu atau mereka yang
berada diambang pintu (antara dunia ini dan kesadaran ilahiah). Fakir (fakir) dari bahasa Arab berarti “orang miskin”. Dalam tasawuf, kata ini tidak untuk mereka
yang miskin harta benda duniawi, melainkan mereka yang miskin rohaniah, yang
5
menyadari kebutuhan mereka terhadap Tuhan. Hati mereka hampa dari rasa cinta
terhadap segala sesuatu selain Allah. Pengadopsian ajaran moral etika Islam
melahirkan iklim yang menyuburkan perkembangan tasawuf. Walaupun tasawuf
dikenal di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, Asia Tengah, India,
Pakistan, Cina, dan Indonesia, namun pemikiran, praktik, dan guru-gurunya
tersebar di seluruh dunia. Sama halnya dengan tradisi mistis sejati, tasawuf telah
merubah coraknya agar dapat diterima oleh budaya dan masyarakat tempat ia
diamalkan.8
Jalan rohani ini sebagai energi yang sangat penting bagi setiap orang,
termasuk bagi seorang pemimpin dan cendikiawan dalam melakukan usaha-usaha
perubahan dan pembaruan, sebagaiman terlihat dalam jalan rohani yang ditempuh
Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, bermunajat, beribadah, dan mendekat
kepada Tuhan dalm menyiapkan diri untuk menerima amanah Tuhan. Kalaupun
jalan rohani ingin diterjemahkan dalam bahasa tasawuf, maka jalan rohani lebih
identik dengan sufisme baru (neo-sufisme), yang amat dengan serius
dikembangkan para pemikir muslim kontemporer seperti Sayyid Husain Nasr dan
Fazlur Rahman. Dalam neosufisme, seseorang tidak diminta untuk melakukan
zikir-zikir formal, suluk, dan tawajuh, melainkan menegakkan nilai-nilai kesufian,
semisal rendah hati, tawadhu‘, kepatutan, hidup sederhana, dan tanpa arogansi,
yang pada intinya membangun supremasi rohani dalam kehidupan. Seseorang
yang menempuh jalan rohani akan secara sungguh-sungguh mencari kesuksesan
di dunia; ia tidak terhalang untuk menjadi pejabat, asalkan ia tidak
8 Robert Frager, Psikologi Sufi, Untuk Transformasi Hati, Diri dan Ruh (Jakarta:
mintanya atau tidak berlaku zalim saat memangkunya, ia dapat jadi pengusaha,
akan tetapi ia jujur dalam usahanya, ia dapat menjadi aktivis asal untuk kebaikan
dan tidak melacurkan harga diri dan murwah bangsanya untuk itu. Pendeknya ia
selalu menyuarakan rohani dalam segala aktivitasnya.
Paling tidak ada empat langkah yang dilakukan seseorang untuk memasuki
jalan rohani tersebut. Pertama, ia selalu menghimpitkan hati nurani kepada Allah
ketika menjalankan jabatannya, menjalankan usaha, aktivitasnya, dan dalam
ibadah-ibadah yang ia lakukan. Kedua, melakukan “penekanan” terhadap keinginan-keinginan jasmaniah melalui puasa mengatur secara sistematis
penajaman pengaruh rohani melalui ibadah di dalamnya. Ketiga, mendalami makna batin dari semua aktivitas yang dilakukan, ia selalu bertanya untu apa ia
lakukan, dan kepada siapa ia persembahkan semua perbuatan dan aktivitasnya,
sehingga kristalisasi dari semua itu memunculkan gelombang kesalehan dalam
dirinya. Di samping itu perlu pula dipahami bahwa pelaksanaan tugas yang baik
dan bertanggung jawab, bukan saja kepada atasannya tetapi juga kepada Allah
merupakan usaha penting dalam menempuh jalan rohani itu. Keempat, ia harus
menyadari bahwa perjalan sejarah kemanusiaan seseorang mulai dari dunia
sampai di akhirat akan lebih panjang dalam bentuk rohani. Dengan demikian ia
akan selalu lebih memerankan rohaninya dalam kehidupan keseharian.9
Hati pula yang apabila manusia mengenalnya, ia akan mengenal pula diri
sendirinya. Dan apabila telah mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal pula
Tuhannya. Sebaliknya, apabila manusia tidak mengenal hatinya, ia takkan
9 Syahrin Harahap, Membalikkan Jarum Hati (Jakarta: Prenada Media, 2004),
7
mengenal dirinya sendiri. Dan apabila takkan mengenal dirinya sendiri, ia takkan
mengenal Tuhannya. Dan barang siapa tidak mengenal hatinya, ia akan lebih tidak
mengenal lagi apa saja selainnya. Memang, kebanyakan manusia tidak mengenal
hati maupun diri mereka sendiri, disebabkan adanya penghalang antara mereka
dan diri mereka sendiri. Sebab Allah SWT. Adakalanya ‘menghalangi antara
seseorang dan hatinya’. Yakni dengan mencegahnya dari menyaksikan hatinya itu,
atau mengamati gerak-geriknya atau mengenali sifat-sifatnya, atau bagaimana ia
‘berubah-ubah (atau berbolak-balik) diantara dua jari Al-Rahma>n, atau betapa ia kadang-kadang terhempas jauh ke bawah, turun ketingkatan yang
serendah-rendahnya: tingkatan para setan. Atau pada waktu yang lain membuang tinggi,
sehingga mencapai tingkatan setinggi-tingginya: tingkatan para malaikat
muqarrabi>n (yang didekatkan kepada Tuhan mereka).10
Pendekatan hati akan melahirkan sebuah kebijakan yang sangat arif.
Seseorang yang berbuat untuk sesuatu dengan mengikuti kata hati, maka ia akan
mendapatkan pengetahuan yang mampu mengantarkannya kepada kebenaran. Dan
memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibangdingkan kekuatan indrawi dan
akal, sebab hati mampu menembus dinding kebohongan, sementara akal tidak
mampu melakukannya, bahkan akal selalu menjadi korban kebohongan sendiri.
Seorang sufi pasti lebih mengutamakan mengejar kemulian disisi Allah SWT, dari
pada mengejar kemuliaan disisi manusia. Dan mengutamakan kebahagiaan akhirat
daripada kebahagiaan dunia. Kebahagiaan dunia adalah fana>’ dan selalu
melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah swt, kebahagiaan akhirat abadi
untuk selamanya.11
Demikian pula dengan orang yang ragu dan bingung, hatinya akan sakit
sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan. Dan karena keraguan membuat hati
menjadi panas maka kepada orang yang mendapat keyakinan dikatakan, hatinya
sejuk, keyakinan membuatnya sejuk. Juga seseorang akan merasa sempit dengan
kebodohan dan ketersesatannya dari jalan kebenaran. Sebaliknya, akan merasa
lapang dengan petunjuk dan ilmu. Maksudnya, diantara penyakit hati ada yang
hilang dengan obat-obatan alamiah, tapi ada pula diantaranya yang tidak dapat
hilang kecuali dengan obat-obatan shariat dan iman. Dan hati memiliki kehidupan
dan kematian, sakit dan sehat, dan itulah sesuatu yang paling agung dimiliki oleh
badan.12 Dan jantung inilah yang memelihara tubuh dengan mengirimkan darah segar dan beroksigen kepada tiap sel dan organ di dalam tubuh. Ia juga menerima
darah kotor melalui pembuluh darah. Demikian pula, hati memelihara ruh dengan
memancarkan kearifan dan cahaya, dan juga menyucikan kepribadian dari
sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah yang mengahadap ke dunia spiritual, dan
satu wajah lagi menghadap ke dunia diri rendah dan sifat-sifat buruknya.13
Di Barat, mereka terlalu menekankan pada “pengetahuan lidah,” atau
mempelajari buku, ini merupakan salah satu tingkat kecerdasan buatan. Inilah
batasan psikilogi Barat tradisional, yang belum mengenal pengetahuan yang lebih
11 Aprijon Efendi, Biografi syekh Abdul Ghani al-Kholidi (Yogyakarta: Zanafa
Publishing, 2013), 44.
12 Ainul Harits Umar Arifin Thayyib, Lc. Menejemen Qalbu. (PT. Darul Falah,
Jakarta, 1999). Hal. 18.
13 Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, Untuk transformasi Hati, Diri dan Ruh
9
dalam dari hati yang bersifat kecerdasan utuh. Otak bagaikan sebuah komputer
yang mampu menampung data dan mengatur kembali informasi yang telah
tersimpan, tetapi kreativitas datang dari hati. Sayangnya, kreativitas hati dapat
dimanfaatkan oleh nafs, sebagaimana dapat dilihat di dalam diri orang-orang
kreatif yang masih saja angkuh, duniawi, dan mementingkan diri sendiri.
Pegetahuan hati diperdalam oleh pengalaman. Pimpinan terakhir kelompok tarekat
Halvetti-Jerrahi, yakni Syekh Safer, dengan rendah hati berkata, “Saya tidak
mengetahui banyak tetntang tasawuf, tapi saya mencintai apa pun yang telah saya
pelajari, dan saya telah mengamalkannya selama lebih dari empat puluh tahun.”
Ini adalah kata-kata dari seorang sufi dan shekh sejati.14
Hingga kini, wilayah rohani manusia masih merupakan wilayah yang
penuh dengan teka teki kalau pun itu bukannya misteri. Selama ini memang sudah
mengenal banyak istilah yang mengacu kepada wilayah hati tersebut, baik yang
berasal dari agama maupun psikologi. Dari agama misalnya, ruhani sudah tidak
asing lagi dengan istilah-istilah seperti hati (qalb). Dan sementara dari psikologi sudah mengenal temuan-temuan istilah baru yang belakangan cukup
menggemparkan, seperti emotional intelligence (EQ), spiritual intelligence (SQ), moral intellingence, dan sebagainya. Namun demikian, terlepas dari kebanyakan termenologi agama dan temuan-temua modern itu, kenyataannya masih banyak
pandangan tentang masalah ini yang simpang siur. Misalnya, ada yang
menyamakan hati sama denga ruh, ruh dengan jiwa, jiwa dengan nafsu dan
sebagainya.15
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Robert Frager tentang konsep hati sebagai pusat
spiritualitas?
2. Apa hubungan hati dengan jasmani?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis makna “hati sebagai pusat
spiritualitas” dengan sebaik-baiknya.
b. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis hubungan hati dengan jasmani
sehingga dalam hal tersebut akan menjadi lebih dekat untuk mengetahui
alur pembahasannya.
2. Manfaat Penelitian
a. Aspek keilmuan (teoritis): penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
wacana keilmuan dan diharapkan memberikan sebuah penjelasan yang
komprehensif dalam memahai sebuah judul di atas tersebut.
b. Aspek terapan: Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam bertindak
dalam menjalankan sebuah tradisi tasawuf yang sekiranya tradisi tersebut
memberatkan bagi masyarakat setempat namun tidak bisa keluar dari
15 Mulyadi Kertanegara, Menyinari Relung-relung Ruhani (Jakarta: Hikmah,
11
belenggu tradisi tersebut. Setidaknya juga minimal menjadi acuan dalam
mengoreksi tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat terlebih yang
ada kaitannya dengan judul di atas.
Dalam penelitian ini banyak sekali nilai atau manfaat yang dapat diambil,
diantaranya dalam segi akademis, Penelitian ini sebagai bahan utama untuk
melakukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan judul dan pembahasan
yang sama, juga bisa sebagai bahan informasi tentang alternatif yang baik, dan
tidak menghilangkan etika dalam bertasawuf, bahwasanya tasawuf bukan hanya
memikirkan akhirat belaka kemudian sepanjang waktu hanya untuk berdzikir,
berkhalwat dan bermunajat disuatu tempat sedangkan kepentingan yang bersifat
duniawi tidak dipikirkan, hingga pada akhirnya malas untuk bekerja. Akan tetapi
dalam bertasawuf ada hak dan kewajiban yang harus terpenuhi oleh pemeluknya.
Dalam bidang apapun terutama bidang etika menjadi komponen yang sangat
penting dalam dunia tasawuf. Mungkin ini yang dapat kita jadikan contoh untuk
bertawasuf harus imbang antara dunia dan akhiratnya.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitia kepustakaan (library reserch), yaitu penelitian yang dilakukan referensi-referensi yang berkaitan dengan tema yang
dengan pemikiran-pemikran lain untuk memperkuat argumentasi.16 Adapun
metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu berupa
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang
dimaksud dalam hal ini adalah karya-karya yang dikarang sendiri oleh Robert
Frager. Sementara yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah
data-data yang diperoleh dari karya-karya lain yang berkaitan dengan tema baik
berupa buku, artikel, majalah, kamus, insiklopedi maupun karya-karya ilmiah
lainnya.
2. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini fokus pada pemikiran Robert Frager
mengenai “hati sebagai pusat spiritualitas.” Sementara metode penulis yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi: metode deskriptif, kesinambungan historis, interpretative dan komparatif. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Metode deskriptif. Metode ini upaya penulis untuk membahas penelitian
ini secara sistematis dan terhadap tema dari aspek-aspek yang dimaksud.
Dalam hal ini, metode tersebut penulis gunakan dalam rangka
mendiskripsikan biografi intelektual Robert Frager dan deskripsi tentang
pemikiran-pemikirannya.
b. Metode kesinambungan historis. Seseorang hidup dan berkembang dalam
pengalaman dan pemikirannya, bersama dengan lingkungan dan
16 Arif Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode penelitian Mengenai
13
zamannya. Oleh karena itu, untuk memahami seseorang harus dilihat
pula menurut perkembangannya.17 Sedang dalam konteks ini, penulis maksudkan dengan metode kesinambungan historis yakni menurut aspek
(genealogi) yang melatar belakangi kehidupan Robert Frager beserta
gagasan-gagasannya.
c. Metode ineterpretatif. Metode ini penulis aplikasikan dalam pembahasan
di bab II, bab III dan bab IV. Artinya bahwa dari data-data yang ada,
penulis akan menginterpretasikan pandangan-pandangan Robert Frager,
terutama terkait dengan tema yang sedang digarap.
d. Metode komparatif. Metode (perbandingan) ini penulis aplikasikan untuk memperbandingkan beberapa hal yang mungkin dari konsep Robert
Frager dengan tokoh-tokoh lain yang pernah membahas tema yang
berkaitan.
Dengan menggunakan metode-metode di atas tersebut, diharapkan
penelitian ilmiah ini dapat menghasilkan pemahaman yang logis, sistematis dan
komprehensif. Dan dengan ini akan mempermudah dalam membahas tentang
tema di atas tersebut.
E. Sistematika Pembahasan
Pada kajian kepustakaan ini, penulis berpedoman pada suatu sistematika
yang sudah baku. Sistematika skripsi memberikan gambaran dan mengemukakan
17 Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodelogi Penelitian Filsafat
garis besar skripsi agar memudahkan di dalam mempelajari seluruh isinya. Adapun
sistematika pembahasan yang akan penulis susun adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan yang terakhir adalah sistematika pembahasan.
BAB II : Pada bab ini berisi penjelasan tentang biografi intelektual Robert
Frager.
BAB III : Pada bab ini berisi penjelasan tentang Robert Frager dalam tradisi
pemikiran tasawuf modern. Dan juga dikomparasikan dengan
data-data lainnya, baik atikel, buku dan karya ilmiah.
BAB IV : Pada bab ini berisi penjelasan tentang konsep hati sebagai pusat
spiritualitas. Dan ini merupakan ruang analisis dan interpretasi
terhadap konsep hati sebagai pusat spiritualitas, juga
dikomparasikan dengan data-data lainnya, baik atikel, buku dan
karya ilmiah.
BAB V : Pada bab yang terakhir adalah penutup, ini akan dikemukakan
sebuah kesimpulan atau temuan serta saran dan rekomendasi
terhadap kajian lebih lanjut tentang masalah konsep hati sebagai
15
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL
A. Awal Kehidupan Dan Pendidikan
Robert Frager lahir dari keluarga Yahudi, di California Amerika Serikat.
Frager, pada 1980, untuk pertama kalinya bertemu dengan syekh Muzaffer Ozak,
pemimpin Tarekat Halveti-Jerrahi dari Turki. ketika itu mengundang beliau
sebagai pembicara di universitasnya. Frager dan seluruh mahasiswanya, serta
seluruh hadirin, dibuat takjub dan terpaku dengan narasi sang Syekh yang terasa
begitu intens dan dalam saat menyampaikan pidatonya. Bukan pembahasan
akademis-teoritik tentang Islam dan tasawuf yang membuat mereka diam terpaku,
melainkan tuangan kisah hikmah yang digunakan Syekh untuk menjelaskan
hakikat-hakikat agama dan kehidupan kepada audiens. Kata Frager, hidupnya
pasti akan berubah seandainya saja ia dapat mengingat semua kisah itu. Sebagai
jawaban, Syekh menatapnya begitu dalam dan berkata padanya dengan penuh
kesungguhan: “Anda tidak akan pernah bisa melupakan.” Kisah-kisah syekh Muzaffer yang begitu mempesona para pendengarnya, selama kunjungan rutinnya
ke Amerika. Frager-lah, ia memang tidak bisa lupa pada kisah-kisah itu. Meski
kisahnya mengandung elemen-elemen sufisme, namun hikmah yang
dikandungnya sungguh-sungguh indah dan dalam, sehingga menyentuh jati diri
kemanusiaan.1
Dan pada 1981, akhirnya ia memeluk Islam. Ia juga seorang guru sufi, atau
syekh, di Halveti Jerrahi di mana ia diinisiasi oleh Muzaffer Ozak dan kemudian
ia dipanggil dengan nama syekh Ragip al-Jerrahi untuk memimpin Dergah (Sufi masyarakat) di Redwood City, California. Frager juga gemar berlatih di Aikido,
dalam kegiatan seni bela diri Jepang Spiritual. Robert Frager meraih doktor
psikologi sosial dari Harvard University pada 1967. Tahun 1975, ia mendirikan
the Institute of Transpersonal Psychology di Palo Alto di Calofornia Utara, tempat
kini dia menjadi guru besar psikologi. Sebelumnya, ia mengajar psikologi dan
studi agama selama 7 (tujuh) tahun di Universitas of California, Santa Cruz. Pada
1985, ia dikukuhkan sebgai syekh atau mursyid. Selain menjadi psikolog
transpersonal, konsultan, dan guru spiritual, kini sehari-harinya mengabdi sebagai
Presiden Tarekat Jerrahi Order California dan sudah lebih 25 tahun menjadi
pembimbing spiritual. Salah satu karyanya terbaik: “Psikologi Sufi Untuk
Transpersonal Diri dan Obrolan Sufi”.
Frager menekuni Reed College di Portland, Oregon dari tahun 1957-1961.
Ia lulus dengan gelar BA dalam bidang psikologi. Ia meraih gelar Ph.D dalam
bidang psikologi sosial dari Universitas Harvard di Cambridge, Massachusetts,
yang ia tekuni dari tahun 1961-1967. Dari tahun 1963-1965, ia adalah seorang
fellow di East-West Center di Hunolulu, Hawaii. Dari tahun 1967 sampai tahun
1968, ia adalah seorang peneliti di Universitas Keio di Tokyo, Jepang.
Robert Frager adalah seorang psikolog sosial di Amerika. Dia adalah
pendiri Institut Psikologi Transpersonal, sekarang disebut Sofia Universitas, di
17
dalam program bimbingan rohani dan profesor psikologi. Ia adalah presiden
terakhir dari asosiasi psikologi transpersonal. Ia dikenal dalam bidang psikologi
transpersonal dan untuk perannya dalam membangun lembaga pendidikan
pertama di negara itu yang didedikasikan untuk bidang ini muncul dari penelitian
dan praktek. Ia juga mengajar kursus dalam psikologi spiritual dan The Wisdom of Islam di Universitas online Philosophical. Penelitian dan juga dalam program
online dari Holmes Institut Sekolah Pascasarjana Studi Kesadaran.2
B. Dimensi Sosial dalam Tarekat Halveti-Jerrahi
Tarekat Halveti-Jerrahi (Tarekat Khalwatiyyah Jerrahiyyah) sendiri
didirikan pada abad 17 di Khurusan (bagian barat Afghanistan). Pendirinya adalah
Syekh MuhammadPir Nuruddin al-Jerrahi yang lahir pada 1678, di distrik Jerrahi
Pasha di Istanbul dan mendirikan Tarekat Halveti-Jerrahi di kota itu pada 1703,
mungkin beliuanya sudah disucikan oleh Tuhan. Tarekat Jerrahi memiliki cabang
diseluruh Amerika Serikat, Eropa, Asia dan Amerika Selatan. Jerrahi cabang
darwis Halveti yang dikhususkan dalam wakil-wakil dari semua tarekat sufi
utama, Meflevis, yang Qadiris, yang Rafais, yang Naqsabandis dan persaudaraan
darwis lainnya, memberikan berkat dalam bentuk hadiah simbolis. Beberapa
didekasikan Ilahis, himne suci, yang terdiri dari puisi oleh guru sufi kuno yang
mampu mengatur musik, dan lainnya memberikan elemen tertentu dari pakaian
mereka; seperti selempang dan cara khususnya hidaria (baju rompi) yang
dipangkas dengan dua balas jahitan, sementara yang lain masih memberi
“posting”, kulit domba, yang mewakili penyerahan, serta transisi masuknya Ilahi
sejak dahulu kala, sehingga Tarekat Halveti-Jerrahi termasuk serta pembawa
standar semangat semua tarekat sufi utama dalam Islam.
Sufisme selalu menjadi jantung Islam. Sufisme adalah apa yang dibawa
salah satu peradaban paling maju, unggul dalam arsitektur, seni, matematika, ilmu
pengetahuan, puisi dan filsafat. Sufisme, bersama dengan tradisi mistis besar
lainnya selalu memainkan peran penting dalam evolusi pengetahuan seperti yang
dipahami oleh umat manusia. Tarekat Halveti-Jerrahi mencakup semua prinsip
dan demikian universal dalam tujuan dan ruang lingkup. Tarekat Halveti-Jerrahi
merupakan organisasi bantuan budaya, pendidikan dan sosial, yang tujuan
utamanya adalah untuk membantu orang menjadi manusia yang lebih baik,
melalui cinta, pengetahuan dan layanan. Di dalam tarekat ini dipercaya bahwa
hubungan manusia yang paling penting adalah dengan-Nya Pencipta, yang telah
menciptakan semua hal, dan segala sesuatu yang ada. Dan di dalam tarekat ini
juga menyambut siapa saja yang ingin mempelajari lebih lanjut tetntang tarekat
Halveti-Jerrahi.3
Kelompok sufi California mulai muncul sejak 1981, ketika Frager dan
teman-temannya, dibaiat oleh Muzaffer Efendi, syekh kepala Tarekat
Halveti-Jerrahi. Saat itu Muzaffer Efendi sedang mengunjungi Institute of Transpersonal Psychology (ITP), sebuah jurusan tingkat sarjana yang ia dirikan pada 1975.
Jurusan itu dimaksudkan untuk menghubungkan psikologi dengan spiritualitas.
Frager sering mengundang guru-guru tamu dari berbagai tradisi spiritual yang
19
berbeda-beda untuk memberikan kuliah di sana. ITP didirikan atas premis bahwa
kajian psikologi semestinya mencakup pengembangan personal dan intelektual
dan bahwa kajian ini harus meliputi seluruh aspek manusia, fisikal, emosional,
intelektual, kreativitas, sosial, dan spiritual. Frager mengembangkan kurikulum
ITP untuk membantu para mahasiswa agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang
bisa mengerjakan apa pun yang mereka pilih secara lebih baik dan lebih efektif.
Frager, Jim Fadiman, rekan sesama pendiri ITP, mengundang Muzaffer Efendi
untuk mengunjungi jurusannya. Pada musim semi 1980, ia dan sekelompok
darwis Turkinya datang berkunjung ke ITP selama beberapa hari sebagai bagian
TUR ke Amerika Serikat. Muzaffer Efendi memberikan serangkaian ceramah di
ITP dan ia beserta para darwisnya juga menggelar satu sesi zikir publik di
Stanford University.
Setahun kemudian Muzaffer Efendi kembali mengunjungi ITP. Frager
dengan serius mendengarkan ceramahnya yang mendalam dan zikirnya yang
sangat menggugah. Tiap hari banyak orang yang datang untuk mendengarkan
ceramahnya. Seorang tamu perempuan bertanya apakah seseorang yang tinggal di
Amerika dapat menjadi darwisnya? Ia meyakini, bahwa perempuan itu pernah
membaca buku-buku tentang tasawuf dan tradisi-tradisi mistik lain yang
mengisahkan bahwa calon murid harus menghabiskan berminggu-minggu atau
bertahun-tahun masa percobaan dan latihan di bawah bimbingan langsung
gurunya. Muzaffer Efendi menjawab bahwa ia mau menerima orang Amerika
sebagai darwisnya dan Frager setelah mendengar jawaban dari Muzaffer Efendi,
menemukan seorang guru dengan kebijaksanaan dan integritas yang luar biasa.
Seorang guru yang ia yakini dapat membimbing kehidupan ruhaninya.
Ia pernah menjumpai banyak guru ruhani dari banyak tradisi yang berbeda
dan ia sudah banyak belajar dari mereka. Namun, ia belum pernh bagitu tergerak
untuk membuat komitmen semacam ini. Frager orang pertama kali yang meminta
untuk diangkat sebagai darwis dan kemudian ia menjadi darwis Halveti-Jerrahi
pertama di California. Tarekat Halveti-Jerrahi juga dikenal sebagai Tarekat
Jerrahi, merupakan cabang Tarekat Halveti-Jerrahi di Turki. Oleh karena itu, para
tuan guru sufi yang besar menjadi pendiri tarekat masing-masing atau membuka
cabang dari tarekat guru-gurunya. Tak seorang pun dari kelompok kecilnya yang
jumlahnya dua belas orang itu ngerti banyak tentang tasawuf. Maka dari situlah
Frager sudah jatuh cinta pada Muzaffer Efendi dan ajaran-ajarannya sehingga ia
memulai jalan sufi ini dengan antusias sekaligus ketidaktahuan.
Setelah dibaiat, Frager mulai bertemu setiap minggu. Ia tidak menetapkan
agenda yang jelas, tetapi ia tertarik dan menjelajahi jalan yang baru yang
ditemukannya. Banyak pertemuan-pertemuan awal hanya diisi diskusi tentang apa
yang telah membuat ia tergabung di dalamnya. Apakah artinya menjadi seorang
darwis, bahkan apa artinya menjadi seorang muslim? Apakah ia benar-benar
menjadi muslim sebagai bagian baiatnya? Seberapa besar ia harus mematuhi sang
mursyid? Seberapa besar yang ia butuhkan untuk merubah hidupnya? Tak seorang
pun yakin akan jawabannya dan semua merasakan berbagai tingkat perlawanan
terhadap jalan yang entah bagaimana telah dirasakannya (atau sebaliknya, jalan
21
puluh tahun lamanya hingga kini. Awalnya ia bersua seminggu sekali dan dalam
beberapa bulan ia mulai bertemu setiap jumat untuk melaksanakan shalat jumat.
Kemudian setiap minggu ditambahkan praktik musik sufi Turki, bagian integral
zikir Jerrahi.
Pada 1985, ia dibaiat sebagai syekh tarekat di Istanbul oleh kepala syekh,
yakni syekh Safer Efendi (Muzafer Efendi sudah wafat tahun itu dan
penggantinya adalah Safer Efendi). Empat tahun merupakan masa yang terlalu
singkat untuk menjadi seorang syekh. Namun, selama itu ia sudah dan masih
memimpin kelompok dan dalam banyak hal sudah menjalankan fungsi layaknya
seorang syekh. Dan status barunya sangat banyak membantu. Sebelum menjadi
syekh, sohbet-sohbet yang disampaikan diambil nyaris kata perkata dari
tulisan-tulisan Muzaffer Efendi. Setelah menjadi syekh, ia terdorong memberikan sohbet yang diambil dari apa yang telah diajarkan gurunya selama bertahun-tahun. Ia
juga merasakan manfaat esoterik.
Ketika ia dibaiat, Safer Efendi mengajarkan bagaimana caranya
menakwilkan mimpi sesuai dengan tradisi tarekatnya. Kemudian ia mempelajari
sebuah doa dan mengembuskan ke mulutnya. Ketika kembali ke California, ia
mendapati kemampuan menakwil mimpi para darwis dengan cara yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya dalam pelatihan psikologis yang pernah diikuti.
Para darwis California menyakini bahwa dengan cara yang misterius telah
berubah menjadi syekh. Beberapa kisah dan kutipan diulang pada sejumlah
sohbet. Ini terjadi bukan karena kekeliruan atau kekhilafan. Bertahun-tahun yang
berulang-ulang. Kau dapat menceritakannya sebanyak 10 ribu kali dan
orang-orang masih banyak akan memetik manfaatnya.” Frager sudah belajar banyak
dalam mempersiapkan sohbet-sohbet ini. Para darwis juga sudah belajar menyimaknya, dan jika Tuhan berkehendak, ia akan belajar lebih serius tentang
prinsip-prinsip dan praktik tasawuf sebagaimana yang dipahami dalam
tarekatnya.4
23
BAB III
ROBERT FRAGER DALAM TRADISI PEMIKIRAN
TASAWUF MODERN
A. Psikologi Moral
Disisi lain ada persamaan antara tasawuf dengan psikologi. Tasawuf
merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan dalam
bentuk tingkah laku manusia. Sedangkan psikologi adalah ilmu sosial yang
membahas kejala kejiwaan, tetapi tidak membahas jiwa itu sendiri. Dengan
demikian, ruang lingkup kajian tasawuf lebih luas dari pada psikologi.1 Dalam
konsepsi Alquran, manusia memiliki dua dimensi hidup yakni dimensi kehidupan
ketuhanan dan dimensi kehidupan kemanusiaan. Dua hal ini pulalah yang menjadi
bahan cukup menarik bagi kajian-kajian ilmu-ilmu sosial. Dua dimensi hidup ini,
oleh Alquran disebut sebagai syarat-syarat psikologis dari suatu sistem
masyarakat yang ideal. Hanya saja masyarakat ideal baru akan terbentuk setelah
sikap psikologis tersebut mengalami transformasi sosial menjadi sikap secara
kolektif. Pertama, dimensi hidup ketuhanan adalah dalam diri seseorang oleh
Alquran disebut jiwa rabbaniyyah atau jiwa ribbiyyah. Adapun wujud nyata atau
substansi jiwa (psikologi) ketuhanan ini berbentuk dalam kristalisasi nilai-nilai
keagamaan pribadi yang sangat penting untuk diwariskan pada generasi
berikutnya. Kedua, dimensi hidup kemanusiaan adalah nilai-nilai dari dimesi
kemanusiaan yang harus diaplikasikan dalam hidup seseorang dan masyarakat.2
Salah satu ajaran fundamental dalam tasawuf adalah moral. Istilah moral
dapat diterjemahkan menjadi adab, artinya tata krama, perilaku, rasa hormat,
etika, tindakan yang baik atau nilai-nilai yang dianggap baik oleh kelompok
masyarakat. Keberhasilan sufi dalam segala hal hampir ditentukan oleh sejauh
mana sufi itu menjaga adabnya. Adab atau moral ini merupakan semua kandungan
agama Islam. Bertutur kata baik, menutup aurat termasuk moral, bersuci dari
kotoran termasuk moral, termasuk berdiri dihadapan Allah SWT dalam keadaan
suci. Rasa hormat adalah jantung atau inti moral miskipun tidak ada satu kata pun
dalam bahasa lain yang dapat mewakili istilah moral secara penuh. Setiap
kelompok, komunitas, dan berbagai profesi memiliki moralnya masing-masing,
termasuk juga komunitas tasawuf. Bahkan, sebagian mursyid mengatakan bahwa
moral atau adab adalah inti tasawuf.
Standar moral ini kemudian membumi dalam orientasi “pemakmuran alam
semista”, sebab jagat raya merupakan anugrah Tuhan kepada manusia. Dengan
demikian, manusialah makhluk satu-satunya yang diberkati Tuhan dengan
potensi dan kemampuan untuk mengelolah dan menata alam ini, tentu dengan cara
yang kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam proses pengelolaan alam,
diperlukan suatu tindakan moral yang mutlak baik, agar tidak terjadi pembelokan
dan justru perusakan yang menyengsarakan. Oleh karena itu, sebagai makhluk
yang tidak tinggal sendirian di dunia, manusia sudah semestinya bertindak secara
25
moral. Dalam segenap hubungan sosial, ekologis, kultural, maupun politik,
moralitas adalah suatu yang niscahaya. Tanpa tatanan moral, dapat dibayangkan
hubungan-hubungan tersebut akan porak-poranda. Kehidupan manusia pun
menjadi tidak nyaman. Dalam bahasa Alquran, manusia yang mengabaikan
standar moral ini akan mudah terjerumus ke dalam tindakan yang destruktif
(yufsidu fiha> wa yasfiku al-dima>’).
Dalam konteks moral, kehadiran agama telah memberikan petunjuk praktis
dalam kerangka penyempurnaan moralitas manusia. Dalam diri manusia
terkadang potensi berbuat baik dan buruk (al-ba>>i``~~~~~~````‘th al-di>ni wa al-ba>‘ith
ash-shait}a>ni). Agama tidak menyangkal bahwa manusia dengan akalnya sudah
mampu membedakan antara yang baik (al-haq) dan yang buruk (al-ba>t}il). Namun,
agama juga melegitimasi bahwa kekuatan akal manusia tidak akan mampu
menangkap hakekat moralitas. Akal mudah berpaling dan diombang-ambingkan
oleh unsur-unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu dan
syahwat. Persoalan moral boleh dikatakan sangat lembut, yang acap kali bisa
mengaburkan pandangan manusia. Dari sinilah manusia bisa memaknai sabda
Rasulullah Saw., “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Agama
mengajarkan untuk selalu bersikap ramah terhadap sesama, saling berderma,
saling membantu (ta‘a>wun) sehingga terbentuk ikatan persaudaraan dan
solidaritas sosial, (dalam bahasa al-Quran: hablun min al-na>s). Ini adalah ajaran
moral standar yang baik secara aqliyah maupun naqliyah, bisa diterima tanpa soal.
Tidak ada kontradiksi antara pencernaan rasional dan pewahyuaan agama dalam
bentuk-bentuk perenungan rasional (ta‘aqqul, tadabbur dan i‘tiba>r). Dengan cara itu
manusia akan bisa merengkuh pemahaman semesta alam ini secara mendalam.
Tasawuf lebih dari sekadar perbincangan soal moralitas. Jika moralitas
terpotret dari wujud perilaku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat
moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf, sebuah moralitas masih dipersoalkan:
apakah mendasarkan diri pada ketulusan, keikhlasan, semata mengharap kerelaan
Tuhan (mard}a>tilla>h), atau justru sebaliknya? Dunia lahiriah mungkin cukup
dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal yang kemudian
yang secara yuridis dianggap sah. Namun, dunia batin adalah sebuah penjelajahan
dan pelatihan yang harus terus-menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan
terputus (dengan kata lain: istiqamah).
Pembedaan antara perbuatan lahiriah dan semesta batin memang sangat
lembut dan halus. Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap karena memang
tanpak di mata. Akan tetapi, siapa sangka bahwa dunia batin begitu menyemesta,
mendalam, berliku dan penuh tebing rahasia. Meski demikian, bukan berarti
agama terlalu rumit untuk dipahami. “Agama itu kemudahan (al-di>n yusrun)”,
demikian kata Rasulullah Saw. Agama melihat manusia pada deminsi tubuh dan
jiwanya. Oleh karena itu agama merumuskan tatanan, aturan, serta petunjuk yang
bersifat komprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa itu. Penataan agama secara
lahiriah dan batiniah menujukkan agama sebagai perangkat hakiki bagi manusia
untuk memahami kediriannya. Artinya, manusia punya keharusan-keharusan
untuk berdisiplin sekaligus menyadari bahwa jiwanya secara mutlak
27
dengannya. Dalam dunia sufi, terpapar doktrin yang popular: “Man a‘rafa nafsahu
faqad a‘rafa rabbahu”. Artinya, barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia
akan mengetahui Tuhannya.3
Di dalam tasawuf juga ditekankan hubungan antara sufi dengan Tuhan
harus dihiasi dengan moral ruhani yang sempurna. Moral ruhani merupakan buah
ihsan, upaya untuk mengembangkan rasa butuh akan kehadiran Tuhan. Jika ia
memiliki ihsan dan iman, maka ia akan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir.
Kemudian, tentu saja, ia akan secara otomatis berperilaku dengan moral. Muzaffer
Efendi pernah mengatakan bahwa setiap hati manusia merupakan tempat ibadah
ilahiah yang diciptakan Tuhan sebagai tempat jiwa masing-masing. Jika ia
mengingat hal itu, ia akan menghormati semua orang, menghormati percik ilahi
dalam dirinya. Ibadah dan terus ingat Tuhan akan membuat selalu ingat bahwa
setiap orang menyimpan atau memiliki percik ilahiah dalam dirinya. Jika ia tidak
bisa saling menghormati, berarti hakikatnya ia menghina Tuhan yang ada dalam
dirinya masing-masing.
Moral harus berasal dari dalam dirinya sendiri. Perilaku lahiriah tanpa rasa
hormat batiniah bagaikan mayat seorang artis. Tampak indah, tetapi tidak
memiliki kehidupan. Selain mengetahui bahwa Tuhan itu hadir dalam diri setiap
orang, ia harus belajar bagaimana mengungkapkan pemahamannya. Pertama-tama
ia harus mengetahui bagaimana bersikap, lalu menerapkan pengetahuan itu, dan
berusaha mencipta perubahan. Moral adalah tindakan. Semakin banyak bertindak
dengan moral, maka perilaku akan semakin mencerminkan keberadaannya.
Semakin mengikuti moral, semakin dekat pada perubahan. Tindakan yang tulus
akan mengubah dirinya. Apa lagi yang diharapkan untuk berubah. Ia dapat
menunggu Tuhan untuk mengubah, tetapi Tuhan pun mengubah untuk berjuang
dan berupaya sungguh-sungguh.
Sebagai manusia biasa, tidak dapat mengubah atau meningkatkan
kemampuan berdoa dan berzikir. Ia hanya bisa meningkatkan upaya dan berjuang
lahiriah yang dilakukan serta meningkatkan kesungguhan dan ketulusan di dalam
berdoa dan beribadah. Namun, tasawuf bukanlah suatu yang harus diperaktikkan
satu jam sehari atau satu hari dalam seminggu di waktu senja. Tasawuf sesuatu
yang harus dipraktikkan sepanjang waktu. Bagaimana ia bisa menjalani laku
tasawuf sepanjang hidup? Jawabannya adalah dengan bermoral. Ada banyak kisah
mengenai keindahan moral yang diceritakan para sufi sepuh. Perilakunya
mencerminkan pemahaman batiniah dan keadaan batinnya. Sebagai contoh, wali
besar Ibrahim bin Adham tidak pernah bersandar ketika duduk. Ia mengatakan,
“Aku tidak pernah bersandar pada apa pun di dunia. Satu-satunya yang kujadikan
sandaran hanyalah Tuhan.” Muzaffer Efendi memberikan contoh bagus tentang
moral yang baik. Ia sering berkata, “Hormati orang yang lebih tua dari kalian.
Mereka punya lebih banyak waktu untuk berdoa. Hormati orang yang lebih muda
dari kalian. Mereka tidak punya banyak waktu untuk berbuat dosa.”
Moral juga merupakan perjuangan untuk melawan ego. Sebab,
membangun moral yang baik butuh kesungguhan untuk mengenali egonya.
Sebagai contoh, ego tidak mau jika menghormati orang lain. Satu-satunya yang
29
sebaliknya. Ego ingin semua orang melayaninya, tetapi ia tidak ingin melayani
orang lain. Itulah keadaan dan karakter ego. Semua sesungguhnya condong,
bahkan tergila-gila untuk menjadi orang yang sombong. Sungguh sangat baik
untuk mempelajari moral dari para sufi semacam itu. Moral bukanlah sesuatu
yang dapat dipelajari hanya dengan buku-buku. Ia dapat membangun moral,
diantaranya dengan mengembangkan sikap saling menghormati dan menunjukkan
rasa hormat kepada para tamu. Dalam Islam, tamu mesti dihormati karena
dianggap sebagai kiriman dari Tuhan.
Moral dan penghormatan kepada mursyid adalah masalah yang sangat
krusial dalam tradisi tasawuf. Hormatilah mursyid bukan karena individu,
melainkan sebagai mursyid, sebagai matarantai yang menghubungkan dengan
sejarah, kebijaksanaan, dan berkah yang bertahan ratusan tahun dalam tarekat.
Jagalah dan hargailah hubungan dengan mursyidnya. Idealnya, setiap saat harus
mempraktikkan moral yang baik di tengah komunitas tarekatnya, baik sesama sufi
maupun dengan para tamu, dan juga dengan pihak-pihak di luar tarekat. Seorang
sufi mesti menjadi teladan dalam urusan menjaga moral. Kebersamaan dengan
saudara sesama sufi mungkin hanya enam atau tujuh jam dalam seminggu. Di luar
waktu yang sebentar itu, dapat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat yang
lebih luas. Kendati demikian, waktu yang sebentar di tengah komunitas tarekat itu
menjadi waktu yang sangat penting untuk melatih dirinya dan membangun moral
yang baik sehingga lebih siap bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat yang
lebih luas.4
Kualitas moral kerap menjadi sangat luar biasa ketika melihat orang-orang
saling melayani. Seorang guru sufi mengucur air mata ketika melihat hubungan
penuh kasih sayang dan kepekaan di antara para sufi tua Turki. Ketika Syekh
Muazffer masih merokok (ia kemudian berhenti atas anjuran dokter), para sufi
bersegera menyalakan api untuknya. Umumnya, para sufi saling menyalakan api,
saling menuangkan teh, dan saling melayani dengan berbagai cara yang sesuai
dengan kemampuan mereka. Namun, tentunya merupakan suatu keistimewaan
untuk menyalakan api bagi sang syekh. Sebagian sufi Amerika yang hanya
memahami bentuk luar dari moral, akan bersegera untuk menyalakan api bagi
sang Syekh Muzaffer dan dengan nyata saling menghalangi agar mereka dapat
menjadi pihak yang melayaninya. Kadang hal tersebut tampak bagaikan latihan
sepak bola ataupun para pemain bola basket yang saling berebut untuk
memasukkan bola. Ketia ia duduk dekat dengan Syekh Muzaffer bersama para
sufi tua lainnya, bahkan walaupun ia sedikit terlambat untuk mengeluarkan
pemantik api, mereka akan membiarkan untuk menyalakan api untuknya. Para
sufi tua tersebut hampir selalu lebih dahulu mengetahui kebutuhannya, karena
mereka perhatian dan peka. Hal terpenting adalah bahwa syekh tersebut dilayani.
Selain itu, jika orang lain siap melayani dirinya dengan moral, mereka dengan
anggun memberikan hak istimewa untuk memberikan pelayanan tersebut pada
orang lain.5
31
B. Tasawuf Perspektif Robert Frager
Tasawuf adalah jalan spiritual yang dapat mengantar menuju persatuan
dengan Yang Tak Terbatas, di mana pun kini berada. Dikatakan, sesungguhnya
ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak jumlah manusia. Di dalam tradisi sufi,
membedakan sedikitnya lima jalan; tiap jalan menarik bagi sejumlah besar
manusia. Lima jalan tersebut adalah jalan hati, akal, kelompok, pelayanan, dan
zikir. Tiap-tiap jalan menghasilkan praktik yang canggih dan literatur yang kaya.
Jalan hati. Mengabdi kepada Tuhan adalah salah satu praktik sufi yang
paling mendasar. Pengabdian ini tercermin dalam sebait puisi yang menyejukkan
hati, baik dari Rumi maupun penyair sufi lainnya. Di dalam tasawuf ada konsep
cinta, dikatakan, cinta mengangkat derajat di atas binatang, bahkan di atas
malaikat. Pada saat pembukaan sebuah masjid besar di Istanbul, sang sultan
mengundang seorang syekh sufi untuk berceramah. Setiap orang di wilayah
tersebut berkumpul di dalam masjid. Ketika sang syekh akan berdiri untuk
menyampaikan ceramahnya, seorang pembawa air memegang lengan bajunya.
“Aku kehilangan keledaiku,” katanya dalam nada putus asa, “dan aku amat
membutuhkannya agar aku dapat mengantarkan air. Karena hari ini setiap orang
hadir di sini, maukah Anda menolong saya untuk menemukannya.” Dan ketika
sang syekh memulai ceramahnya, ia bertanya, apakah diantara yang hadir ada
yang tidak pernah mencintai orang lain, binatang pelihara sekalipun. Seorang pria
perlahan berdiri. Terdorong oleh tindakannya, dua orang lainnya ikut berdiri. Sang
syekh menoleh pada pengantar air dan berkata, “Kau telah kehilangan satu ekor
gurunya dan mencintai serta melayani saudara-saudara sesama sufinya. Sufi
mencintai Nabi Muhammad dan seluruh guru spiritualnya.
Jalan akal. Selain inspirasi penyair dan pecinta, tradisi sufi juga dipercaya
oleh kearifan para sarjana dan guru bijak. Namun, guru-guru tasawuf
memancarkan kearifan yang lebih dalam dan kecerdasan yang lebih utuh daripada
sarjana umumnya yang terikat pada buku. Kaum sufi menyukai kalimat berikut,
“Seorang sarjana yang tidak mempraktikkan apa yang telah ia pelajari bagaikan
seekor keledai yang mengangkut banyak buku.” Buku-buku yang dibawa di dalam
gerobak keledai itu tidak dapat mengubah keledai tersebut, begitu pula halnya
dengan buku-buku yang hanya tersimpan di dalam kepala para sarjana. Kearifan
sejati adalah mempelajari sesuatu dengan baik, kemudian menerapkannya.
Jalan kelompok. Di dalam masyarakt modern yang terisolir ini, setiap
orang sangat membutuhkan kelompok. Tasawuf adalah jalan kelompok. Salah
satu praktik sentralnya adalah wirid mingguan, atau upacara zikir. Pada sufi
bersenandung, menyanyi, dan saling memberikan semangat. Mereka juga saling
mengajarkan satu lainnya, seringkali sesering syekh mereka mengajarkan mereka.
Seorang beriman adalah cermin bagi orang beriman lainnya. Sufi yang baru dapat
melihat di dalam diri sufi senior keimanan yang lebih terbangun, kemampuan
melayani yang lebih besar, dan zikir kepada Tuhan yang lebih mendalam. Nabi
Muhammad juga berkata bahwa kalian bukanlah orang beriman jika kalian
bersenangg-senang di saat tetangga kalian kelaparan. Bahkan, hingga kini di Turki
adalah hal yang lazim untuk menutup jendela ketika sedang memasak, karena
33
orang Turki memanggang daging di luar rumah, mereka kerap mengirimkan
sepiring makanan pada tetangganya.
Jalan pelayanan. Jalan ini sangatlah berkaitan dengan jalan kelompok.
jika ia sesungguhnya peduli terhadap satu sama yang lain, dan dengan melakukan
hal tersebut, ia juga bisa melayani unsur ilahiah di dalam dirinya. Pelayanan
adalah sebuah hak istimewa sekaligus sebuah hadiah. Lagi pula, bukanlah jumlah
pelayanan yang diberikan, namun niatlah yang diperhitungkan. Seperti yang
dikatakan oleh bunda Teresa, “Bukanlah apa yang kau lakukan, namun besarnya
cinta yang menyertainya yang begitu bernilai.” Bunda Teresa adalah contoh luar
biasa dari perwujudan kekuatan pelayanan. Sebagai seorang biarawati muda, ia
tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjadi pemimpin spiritual. Bagaimanapun
juga, ia seorang biarawati pada umumnya, dan seorang guru biasa di sebuah
sekolah Katolik dan Kalkuta. Ia berubah menjadi seorang suci setelah ia
membaktikan dirinya untuk melayani para penderita lepra dan para fakir miskin.
Jalan zikir. Tasawuf adalah disiplin mengingat dimensi ilahiah dalam
dirinya. Para sufi meyakini bahwa Tuhan menempatkan percikan ilahiah di dalam
diri tiap manusia. Ia tersembunyi di dalam lubuk hati manusia, namun ditabiri
oleh cinta terhadap segala sesuatu selain Tuhan, keterikatan terhadap
tipuan-tipuan dunia ini, dan juga oleh kelalaian dan kealpaan. Namun, tabir-tabir ini
tidaklah nyata. Melalui Nabi, Tuhan berfirman, “Terdapat tujuh puluh ribu tabir
antara kau dan Aku, tapi tak ada tabir antara Aku dan kau.” Kebanyakan para sufi
melakukan praktik zikir harian, biasanya mengulang-ulang nama-nama Tuhan
tarekat, ada juga ritual zikir jama’ah mingguan. Para sufi membaca doa, dan
melantunkan nama-nama Tuhan tertentu. Upacara seperti ini yang paling terkenal
adalah praktik kelompok mawlawi. Ritual ini terdiri dari musik, senandung, dan
gerakan-gerakan kepala sufi. Tarekat lainnya lebih menekankan zikir dan doa-doa
tertentu. Ada tarekat yang berzikir dengan duduk, dan ada pula dengan berdiri.
Sebagian yang lain menggabungkan kedua cara tersebut.6
Sebagai sebuah jalan, tasawuf mencakup permulaan, pertengahan, dan
akhir. Mulanya, biasanya tertarik terhadap untaian kata seorang penyair, atau
penulis sufi besar. Langkah selanjutnya berhubungan dengan para darwis dan
menjadi akrab dengan adat istiadat dan praktik-praktik mereka. Pertengahan dari
jalan tersebut adalah kehidupan sehari-hari para sufi pemula. Zikir dan praktik
sufi lainnya, serta berhubugan dengan komunitas sufi, bertujuan untuk
mentransformasi para sufi. Ketulusan usaha dan ketabahan adalah esensi dalam
proses psikospiritual, yang juga esensi adalah bimbingan dari seorang syekh yang
arif.
Pada akhirnya, seorang sufi terkemuka mencapai tingkat pencapaian yang
lebih tinggi dalam tasawuf. Keutamaan syekh eksternal menjadi lebih berkurang
seiring dengan semakin besarnya kekuatan syekh internal. Keutamaan aturan jalan
sufi menjadi berkurang seiring dengan kearifan hati yang mulai memberikan
bimbingan yang lebih tepat. Akhirnya, sering dengan tumbuhnya kesatuan internal
di dalm kepribadian, perjuangan batiniah pun berakhir. Dalam kesadaran bahwa ia
berada dalam kehadirian Ilahi, sang sufi hanya dapat melakukan apa yang diridhai
35
Tuhannya. Langkah terakhir adalah penyingkapan tabir antara seorang individu
dan Tuhannya. Tabir terkahir adalah rasa keakuan “Aku” yang terpisah.
Tujuan sufi adalah menjadi semakin tiada, sampai akhirnya fana. Namun,
inilah kefanaan yang sangat istimewa adalah suatu kondisi yang mengarahkan
pada kesatuan dengan Tuhan. Sepanjang sejarahnya, tasawuf telah berubah secara
konstan. Bentuk luar praktiknya mencerminkan kebudayaan dan periode sejarah
yang berbeda. Sebagian kelompok sufi berfungsi sebagai keluarga. Para sufi
tinggal bersama dengan sang syekh, dan setiap hari mereka bekerja bersama-sama
dan saling berbagi makanan. Sebagian pondokan tumbuh hingga ia dihuni oleh
ratusan sufi. Ada juga syekh yang para sufinya berjumlah ribuan atau lebih,
tersebar diseluruh daerah dan kota. Pada kasus semacam itu, para sufi jarang
bertemu dengan syekh mereka secara pribadi. Kemajuan spiritual mereka hanya
dipantau salah seorang wakil syekh.7
C. Paradigma Tasawuf Modern
Kebanyakan kaum sufi memahami tasawuf hanya sebagai sarana
pendekatan diri kepada Tuhan melalui taubat, zikir, ikhlas, zuhud. Tasawuf lebih
dicari orang dan ditujukan untuk sekadar mencari ketenangan, ketentraman dan
kebahagiaan sejati manusia, ditengah pergulatan kehidupan duniawi yang tentu
arahnya. Tasawuf menjadi sangat penting, karena bisa menjadi fondasi dasar bagi
setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat bagi setiap
mencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya. Tasawuf sebagai
salah satu pilar utama dalam Islam, harus dapat menyesuaikan di dunia modern
ini, karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu
pengetahuan positivistik-emperisme dan budaya Barat yang
meterialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat
materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif ketimbang
konstruktif bagi kemanusiaan, sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh
beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens dan
Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi
paradigma Barat.
Bila hal tersebut dibenturkan dengan agama, akan ditemukan masalah
yang akut. Filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap valid ilmu pengetahuan
yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rasional-deduktif dan pragmatis, serta
menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-emperisme dan positivisme, yaitu
ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan atau Kitab Suci Allah.
Disinilah pentingnya tasawuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu
pengetahuan tidak hanya berdasarkan tiga prinsip: korespondensi, koherensi dan
pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual ilahiah. Artinya sumber ilmu
pengetahuan, selain itu munkin juga didapat melalui akal rasional, dan emperis
inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk
wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan
penyingkapan ruhaniah. Seperti kata Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung, kaki
37
dan kebenaran.8 Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan
sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekuler sampai kelubuk jantung
dan hati manusia modern.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi,
telah signifikan menyingkirkan manusia modern dari segala aspek spiritualitas.
Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat
nonfisik, yang diyakini adanya oleh para sufi. Mereka menolak segala dunia
nonfisik; seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan
segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekadar entitas-entitas fisik.
Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa
tahu dari mana ia berasal dan hendak ke mana setelah ini ia pergi. Heidegger
pernah mengatakan bahwa manusia di dunia ini terdampar tanpa tahu dari mana.
Demikian juga mereka percaya bahwa hidup akan berakhir juga di sini, dalam
peristiwa kematian, dan tidak ada lagi kehidupan setelah itu. Padahal dalam
kepercayaan para sufi, alam dunia ini hanya satu dari sekian banyak dunia yang
telah dan akan dilaluinya. Akibatnya, manusia modern hanya berbuat di satu dunia
ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali. Bagi mereka
mikraj spiritual ke langit-langit, hanyalah sebuah lelucon yang menggelikan,
karena dunia-dunia spiritual bagi mereka sama sekali tiada. Maka, bisa di
katakana, mereka sendiri telah mengunci pintu-pintu langit dari dalam, sehingga
jiwa-jiawa mereka terisolasi dari dalam ruang yang bagitu sempit di dunia ini.
Akibat serius dari kondisi seperti ini yakni kehilangan arah hidup adalah
adanya perasaan terasing atau istilahnya “teralienasi” baik dari diri sendiri, alam
sekitar dan Tuhan, pencipta alam semesta ini. Sulit nampaknya bagi manusia
modern untuk mengenal siapa diri mereka yang sejati. Ketika manusia hanya
mementingkan aspek dari dirinya, padahal, setidaknya menurut para sufi, ia juga
memiliki aspek atau dimensi spiritual, maka kegoncangan dan ketidaksetabilan
jiwanya tidak sulit untuk dibayangkan. Ketika manusia modern hanya
membersihkan tubuh mereka semata, dan lupa untuk membersihkan
kotoran-kotoran jiwa mereka, maka tak sulit untuk menjawab mengapa orang-orang
modern banyak mengalami kegoncangan dan penyakit jiwa. Maka stres dan
hipertensi pun telah menjadi penyakit yang sangat umum diderita menusia
modern.
Ketika, dalam berhubungan dengan alam sekitar, manusia hanya
memerhatikan aspek biofisik dan ekonomisnya saja, dan sama sekali tidak
memperhatikan aspek-aspek nonfisik (spiritual), maka manusia modern telah
menimbulkan apa yang dikenal sebagai krisis ekologis. Krisis ekologis pada saat
ini telah mengganggu ekosistem alam sampai pada taraf yang mengkhawatirkan,
problem yang krisis yang tidak pernah terjadi kecuali setelah masa modern. Alam,
yang telah begitu bermurah hati melayani manusia selama ratusan bahkan ribuan
tahun dari kehidupan manusia, ternyata hanya dalam rentang masa kurang lebih
tiga abad setelah revolusi industri sudah kehilangan daya dukungnya dan tidak