• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI SISTEM PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN (SMELTER) DIBIDANG MINERAL DAN BATUBARA BAGI PELAKU USAHA PERTAMBANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI SISTEM PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN (SMELTER) DIBIDANG MINERAL DAN BATUBARA BAGI PELAKU USAHA PERTAMBANGAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAGI PELAKU USAHA PERTAMBANGAN

Tamara Adita Putri

E-mail: tamaraadita@gmail.com

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Yudho Taruno Muryanto

E-mail: yudho_fhuns@yahoo.com Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Abstract

The processing and refining of mineral and coal mining materials mandated by Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining is an obligation for mining businesses. The obligation is required to do processing and refining in the country with the provision of building facilities called smelters to provide added value. This article aims to review the application of policies for processing and refining in the fields of minerals and coal with the provision of building facilities called smelters at PT Megah Surya Pertiwi. This study uses descriptive empirical legal research methods. The legal material collection techniques of this research are library research and interviews. Based on the results of the research and discussion, it is concluded that PT Megah Surya Pertiwi had fulfilled the obligation to do processing and refining by building a smelter as mandated in Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining.

Keywords: Smelter; Processing and Refining; Added Value

Abstrak

Kegiatan pengolahan dan pemurnian bahan tambang mineral dan batubara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan sebuah kewajiban bagi para pelaku usaha pertambangan. Adanya kewajiban tersebut, diharuskan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan ketentuan membangun fasilitas yang bernama smelter guna memberikan nilai tambah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji penerapan mengenai kebijakan pengolahan dan pemurnian di bidang mineral dan batubara dengan ketentuan membangun fasilitas yang bernama smelter di PT Megah Surya Pertiwi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini dengan studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan yaitu PT Megah Surya Pertiwi telah memenuhi kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian dengan membangun smelter seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kata kunci: Smelter; Pengolahan dan Pemurnian; Nilai Tambah

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam pertambangan. Sumber daya alam pertambangan menghasilkan bahan galian antara lain emas, perak, tembaga, minyak, gas bumi, batu bara, yang dikuasai oleh negara dan diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kekayaan alam termasuk mineral dan batubara merupakan jenis sumber daya alam pertambangan yang tak terbarukan, sehingga diperlukan optimalisasi dalam pengelolaannya.

Pengelolaan bahan tambang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam

(2)

Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 170 yang menjelaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Peningkatan nilai tambah dengan kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan dilakukan di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan.

Kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut dilakukan dengan menggunakan fasilitas bernama smelter. Smelter merupakan sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan mineral seperti timah, nikel, tembaga, emas dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar. Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian maka bagi pemegang IUP dan IUPK diberikan ketentuan untuk membangun smelter dengan mengimplementasi pada salah satu perusahaan pertambangan yaitu PT Megah Surya Pertiwi, dengan pembangunan smelter diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi Indonesia dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas artikel ini menganalisis mengenai “Implementasi Sistem Pengolahan dan Pemurnian (smelter) di Bidang Mineral dan Batubara Bagi Pelaku Usaha Pertambangan Kaitannya dengan Peningkatan Nilai Tambah Bagi Pemerintah Indonesia”.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan spesifikasi sebagai penelitian hukum empiris atau sosiologis (non-doctrinal research). Penelitian hukum empiris atau sosiologis yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai penulisan hukum untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2014: 52). Berdasarkan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan teknik pengumpulan data yaitu studi kepustakaan, dan wawancara. Teknik analisis yang digunakan dengan metode silogisme melalui pola pikir deduktif.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kekayaan alam termasuk mineral dan batubara merupakan jenis sumber daya alam pertambangan yang tak terbarukan, sehingga diperlukan optimalisasi dalam pengelolaannya. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengelolaan barang tambang diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang menjelaskan mengenai pengertian pengolahan dan pemurnian pada Pasal 2 Huruf f yaitu pengolahan dan pemurnian merupakan pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian. Namun, dalam Undang-Undang tersebut tidak diatur lebih jelas mengenai pengolahan dan pemurnian.

Pengaturan mengenai pengolahan dan pemurnian pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang dirasa sudah tidak bisa lagi diregulasi, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara dengan diatur lebih jelas mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terhadap bahan galian mineral sebelum dijual ke luar negeri dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang dinamakan smelter. Hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 yang menjelaskan bahwa pemegang IUP, IUPK, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Pengolahan dan pemurnian guna meningkatkan nilai tambah pada barang tambang mineral dan batubara selain diatur pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 93 yang menjelaskan bahwa pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi

(3)

Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan pemegang IUP dan IUPK lainnya.

Kebijakan tersebut menjadi sebuah keharusan bagi pelaku usaha pertambangan, yaitu bagi pemegang IUP dan IUPK. Apabila kebijakan tersebut tidak dijalankan oleh pemegang IUP dan IUPK maka kegiatan pengolahan dan pemurnian yang wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak berarti. Dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memberikan amanat kepada pelaku usaha pertambangan pada tahun 2009 untuk melakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian dengan ketentuan pembangunan smelter dan memberikan tenggat waktu sampai tahun 2014. Namun, pada tahun 2014 masih sedikit pelaku usaha pertambangan yang telah melakukan pembangunan smelter.

Sebagai pelaku usaha pertambangan, PT Megah Surya Pertiwi dalam melakukan pengolahan dan pemurnian dengan menggunakan smelter diperlukan IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemurnian. Tata cara pemberian IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemurnian dijelaskan lebih jauh pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 1796 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan, Evaluasi, serta Penerbitan Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menjelaskan bahwa pemberian IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian pada badan usaha, koperasi atau perseorangan harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan dan finansial.

IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemurnian diberikan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun setiap kali perpanjangan. Perpanjangan IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemunian harus mengajukan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemurnian. Kegiatan pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan secara kerjasama seperti yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi lainnya, dan pemegang IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan secara langsung atau melalui kerjasama dengan pihak lain yang memiliki IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi atau IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian. Kerjasama tersebut berupa jual beli bijih atau konsentrat, kegiatan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian, pembangunan bersama sarana dan prasarana pengolahan dan pemurnian.

Dalam hal ini PT Megah Surya Pertiwi telah memperoleh IUP Operasi Produksi Khusus pengolahan dan pemurnian. Sehingga PT Megah Surya Pertiwi dapat melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian secara kerjasama kepada pemegang IUP atau IUPK lainnya dan dapat melakukan pembangunan smelter. Pembangunan smelter diperlukan pengawasan terhadap kegiatannya. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara merupakan pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam pembangunan smelter, pengawasan tersebut diperlukan untuk mengetahui kemajuan fisik pembangunan smelter dan besaran serapan biaya pembangunan smelter. Pengawasan dilakukan secara berkala setiap 6 bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Kemajuan fisik pembangunan smelter harus mencapai paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari rencana kemajuan fisik pembangunan smelter yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir.

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dengan pembangunan smelter, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara selaku pihak yang memiliki wewenang melakukan proses pengawasan tersebut yang meliputi (Laporan Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2017: 95):

1. Kegiatan monitoring terhadap dokumen laporan kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian

2. Kegiatan peninjauan pelaksanaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian ke lapangan bersama para pakar terkait Verifikator Independen, Puslitbang Tekmira, LIPI, Itjen dan pihak terkait lainnya

(4)

3. Mendukung pengolahan dan pemurnian untuk mendapat dukungan fiskal berupa tunjangan pajak (tax allowance)

Apabila pembangunan smelter tidak tercapai dalam persentase kemajuan fisiknya, maka Direktur Jenderal Mineral dan Batubara menerbitkan Rekomendasi kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Lalu Kementerian Perdagangan mencabut persetujuan ekspor yang telah diberikan. Adapun jaminan kesungguhan yang telah ditempatkan oleh pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam, Kontrak Karya, dan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian sebelum berlakunya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 dapat dicairkan sesuai dengan kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pada tahun 2016, PT Megah Surya Pertiwi telah menyelesaikan pembangunan smelter. Smelter tersebut berada di Desa Kawasi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Teknologi yang digunakan dalam melakukan pengolahan dan pemurnian yaitu menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric, dengan kapasitas produksi sebesar 186.196 ton per tahun. PT Megah Surya Pertiwi juga melakukan kerjasama dengan PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa untuk memasok kebutuhan bahan baku bijih yang dilakukan dalam pengolahan dan pemurnian. Dalam hal ini alasan pemerintah menerapkan kebijakan pengolahan dan pemurnian dengan ketentuan pembangunan smelter yaitu diantaranya karena ekspor bijih mineral yang terus meningkat, namun tidak ada perkembangan pada sektor hilir pertambangan dimana sektor hilir merupakan kegiatan usaha pengolahan yang terdiri dari proses memurnikan, mempertinggi mutu dan nilai tambah, proses pengangkutan, penyimpanan dana atau niaga.

Sektor hilir diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian seperti dalam amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang didukung oleh semua stakeholder. Hal tersebut dikarenakan dapat menjamin keberlangsungan operasional tambang secara berkesinambungan. Implementasi yang berkesinambungan dibutuhkan melalui sinergis setiap elemen, antara lain dari sisi regulasi, investasi, maupun sinkronisasi antara sektor industri hulu dan hilir pertambangan agar manfaat dan nilai tambah yang ditetapkan dapat tercapai.

Sehubungan dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian dengan ketentuan pembangunan smelter yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan nilai tambah dan menekan jumlah ekspor bijih mineral mentah. Ekspor bijih mineral mentah terjadi karena selama tahun 2008-2011 adanya peningkatan ekspor secara besar-besaran dan pada tahun tersebut belum dilakukannya pengaturan tata niaga ekspor terhadap komoditas mineral dalam bentuk bijih (ore/raw material) untuk beberapa komoditas pertambangan seperti bijih nikel meningkat 8 kali lipat, bijih besi dan pasir besi meningkat 7 kali lipat, bijih tembaga meningkat 11 kali lipat, dan bijih bauksit meningkat 5 kali lipat. (Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2015-2019, 2015 : 28)

(5)

Menindaklanjuti hal tersebut, maka pemerintah melarang ekspor bijih mineral mentah yang kemudian dikeluarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Penjualan mineral ke luar negeri dengan melakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri dilaksanakan sebagai upaya untuk mewujudkan kapasitas produksi logam di dalam negeri, penyedia hasil pengolahan dan/atau pemurnian komoditas mineral sebagai bahan baku industri strategis dalam negeri, dan memberikan multiplier effect baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Multiplier effect dari segi ekonomi yang dihasilkan yaitu dengan adanya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dapat memberikan peluang dan kesempatan lebih berkembang bagi industri smelter di Indonesia karena dengan pengolahan dan pemurnian yang dilakukan di dalam negeri tentu meningkatkan nilai tambah (added value) bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah karena perusahaan pertambangan dan industri smelter tidak lagi menjual bahan mentahnya ke luar negeri.

Selain itu, dengan adanya pembangunan smelter maka produk sampingan dapat langsung diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis sehingga menghasilkan nilai jual yang tinggi dan nilai investasi juga dapat meningkat. Realisasi investasi dalam penerimaan negara pada tahun 2017 dalam sektor pertambangan mineral dan batubara sebesar 6,14 Miliar US$ atau 89% dengan target awal sebesar 6,90 Miliar US$ (Laporan Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2017: 139). Realisasi investasi yang hampir memenuhi target, dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan mengurangi pengangguran sehingga bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yaitu peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan pendapatan setiap rumah tangga (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015 : 37).

Demikian pula dalam perluasan basis perdagangan barang tambang yang telah dilakukan pengolahan dan pemurnian dapat membantu industri pengolahan mineral dan logam meningkatkan kapasitas untuk memenuhi porsi yang lebih tinggi dari kebutuhan pasar domestik dan memperluas basis perdagangan. Perluasan basis perdagangan barang tambang yang telah dilakukan pengolahan dan pemurnian menghasilkan keuntungan pada pendapatan ekspor mineral (Jenny Jackman dan Charles Ethier, 1998 :10). Dilihat pada gambar bahwa kenaikan pada pendapatan ekspor mineral meningkat dari 2014 sampai dengan 2017.

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015

Selain dari segi ekonomi yang dihasilkan, kebijakan mengenai pembangunan smelter juga memberikan nilai tambah pada segi sosial yaitu bertambahnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan karena meningkatnya jumlah lapangan pekerjaan. Meningkatnya jumlah lapangan pekerjaan dikarenakan adanya rantai pasok yang lebih panjang dari kegiatan pertambangan. Biasanya tahap pengelolaan barang tambang mentah tidak melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian. Semenjak

(6)

diterapkannya kebijakan pengolahan dan pemurnian maka terbukanya lapangan pekerjaan yang memerlukan pekerja lebih banyak, sehingga dapat mengurangi angka penggangguran. Terbukanya lapangan pekerjaan mendorong penciptaan industri padat karya hilir yang akan menggunakan produk mineral sebagai bahan baku sehingga menciptakan hubungan ke depan dan ke belakang yang saling bergantung. Hal tersebut memberikan nilai tambah lebih besar dibandingkan hanya industri ekstrasi saja yang berkembang dan dapat memberikan manfaat bagi pekerja melalui pelatihan sehingga pekerja mampu mengembangkan kemampuan, mempercepat transfer keterampilan dan teknologi. (Dube, 2016: 5).

Nilai tambah yang dihasilkan dari pembangunan smelter bukan hanya dari segi ekonomi dan segi sosial tetapi dari segi lingkungan juga dirasakan yaitu dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan ekspor bahan mentah yang masif dan ilegal karena tidak adanya pengolahan terlebih dahulu melalui smelter tanpa dibarengi dengan rehabilitasi pasca tambang. Selain itu dapat menjaga persediaan sumber daya alam dengan mengupayakan konservasi sumber daya alam tak terbarukan (non-renewable resources) guna menjaga persediaan sumber daya alam mineral yang tak terbarukan untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan dalam masa yang relatif panjang dan dapat mengurangi praktik penambangan yang tidak berkelanjutan dimana bijih berkadar tinggi di ekspor tanpa diproses. Proses pengolahan hasil tambang harus dilakukan dengan cara yang baik agar tidak mengakibatkan limbah dari hasil tambang itu sendiri dan dapat melestarikan fungsi dan daya dukung lingkungan sehingga membantu menjaga keseimbangan ekosistem.

D. Simpulan

Pelaksanaan kebijakan pengolahan dan pemurnian dengan pembangunan smelter di PT Megah Surya Pertiwi sudah berjalan dengan baik dan telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dengan indikator PT Megah Surya Pertiwi telah memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk pengolahan dan pemurnian dengan melengkapi persyaratan diantaranya yaitu persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial. Kegiatan pengolahan dan pemurnian hasil tambang dengan pembangunan smelter dilakukan pengawasan untuk memberikan kepastian pelaksanaan kebijakan yang telah diatur. Pengawasan dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara sebagai pihak yang memiliki kewenangan. Pengawasan dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan. Penerapan kebijakan pengolahan dan pemurnian yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan bagi Indonesia dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan.

E. Saran

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral khususnya Direktur Jenderal Mineral dan Batubara harus mengoptimalisasi pengawasan terhadap pelaku usaha pertambangan. Pengawasan tersebut mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha pertambangan yang masih belum melaksanakan kewajiban pengolahan dan pemurnian dengan pembangunan smelter. Selain itu pelaku usaha pertambangan harus meningkatkan kepedulian terhadap pentingnya pengolahan dan pemurnian di dalam negeri guna memberikan nilai tambah bagi pemerintah Indonesia.

F. Daftar Pustaka

Cornelius Dube. 2016. “The Scope for Benefication of Mineral Resources in Zimbabwe”. The Case of Chrome and Platinum. Zimbabwe : ZEPARU

(7)

Jenny Jackman dan Charles Ethier. 1998. “Toward a Value-Added Mineral and Metal Strategy for Canada”. From Mineral Resources to Manufactured Products.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2015. “Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara”. Publikasi Hasil Kajian.

_________________. 2015. “Rencana Strategis Tahun 2015-2019”. Rencana Strategis. _________________. 2017. “Laporan Kinerja Tahun 2014-2017”. Laporan Kinerja.

Rene. E.Ofreneo. 2009. Failure to launch : Industrialisation in Metal Rich Philippines. Journal of The Asia Pasific Economy.Volume 14 issue 2

Referensi

Dokumen terkait

Alasan diajukannya permohonan wali adhal ini adalah ayah dan ibu pemohon menolak dengan alasan karena kepercayaan Jawa mengenai arah mata angina kerumah calon suami

Nan Balimo Nan Balimo Tanjung Harapan Kota Solok 457 Koperasi Industri Kerajinan Rakyat Silungkang 854/BH-XVII 8/27/1973 Pasar Inpres Silungkang Blok D 3-4 Desa Silungkang

(1995), Lakonishok dan Shapiro (1984), serta Utomo (2007) adalah bahwa pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengujian pengaruh risiko sistematis dan risiko tidak sistematis

The results of this study showed that the estimated value which was generated by using the indirect estimation had a smaller value when it was compared with the predicted value

1) Keberadaan kebijakan mutu pelayanan. 2) Prosedur tentang penanganan spesimen. 3) Prosedur pemeriksaan yang lengkap. 4) Prosedur verifikasi hasil pemeriksaan. 7)

Keberadaan penelitian di dunia sosial sangatlah berarti. Selain memenuhi hasrat keingintahuan peneliti terhadap kehidupan sosial, penelitian sosial digunakan pula untuk mencari

Misalnya penumpang pesawat dari luar negeri yang turun di Terminal 2 Bandara Narita dan ingin menuju Kota Tokyo dapat berjalan menuju Narita Airport Terminal 2·3 Station jika

Pada tahap pertama, Hilmi menyampaikan, pihak Medco menargetkan untuk dapat membangun pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 20 megawatt (MW) dengan alokasi dana