• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT 1. Definisi Psychological Adjustment

Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuiaan diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan.

Ward (2009) mendefinisikan psychological adjustment sebagai respons afektif yang dikaitkan dengan proses adaptasi kita, dan juga suatu hal yang memotivasi individu untuk lebih menyesuaikan diri (adjustment) dalam host

culture guna untuk mencapai well being atau kepuasaan dalam transisi lintas

budaya. Lebih lanjut dalam teori Kingsley dan Dakhari (2006) menambahkan bahwa proses psychological adjustment terhadap proses adaptasi cross cultural dapat dipengaruhi oleh beberapa dimensi budaya, seperti cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, masyarakat sekitar, sekolah, nilai-nilai kebudayaan. Yang dimaksud dengan nilai-nilai kebudayaan disini adalah nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya dan juga berperan sebagai acuan prilaku. (Tjahyadi, 1997)

(2)

Dengan demikian psychological adjustment diartikan penulis sebagai respon afektif dalam menghadapi lingkungan dan budaya baru untuk mendapatkan kepuasan hidup.

Psychological adjustment yang dialami paling berat adalah pada masa 3

bulan sampai 1 tahun pertama (Ward, 2006). Sojourners yang memasuki lingkungan budaya baru akan mengalami 4 tahapan emosional yang berbentuk kurva U (Oberg, 1998). Kurva U dari Oberg dimulai dari :

1) Honeymoon, masa dimana adanya perasaan euphoria, antusias dengan budaya baru.

2) Crisis, masa dimana timbulnya perasaan frustrasi, gelisah dan marah. 3) Recovery, masa dimana masa krisis telah berlalu dan sedang mempelajari

budaya baru.

4) Psychological adjustment, masa dimana individu sudah berhasil menyesuaikan diri dan mulai menikmati lingkungan barunya.

2. Faktor – Faktor Psychological Adjustment

a. Faktor-Faktor yang mempengaruhi psychological adjustment menurut Ward (2006) adalah :

1) Perubahan Kehidupan

Perubahan kehidupan pada individu yang pindah ke lingkungan baru dapat mempengaruhi psychological adjustment nya.

2) Faktor Kepribadian

Karakteristik dari individu yang membedakan setiap individu dalam

(3)

3) Dukungan Sosial

Dalam menjalani proses psychological adjustment adanya dukungan sosial dari teman, guru ataupun orang tua baik yang di host country ataupun negara asal.

B. LANDASAN TEORI BIG FIVE PERSONALITY 1. Definisi Big Five Personality

Ada beberapa ahli teori kepribadian yang membedakan teori tersebut menjadi beberapa pendekatan. Pendekatan–pendekatan tersebut disebut pendekatan psikoanalisa, pendekatan neopsikoanalisa, pendekatan trait, pendekatan life span, pendekatan humanistic, pendekatan kognitif, pendekatan

behavioral, pendekatan social learning dan pendekatan lainnya. (Schultz, 1994)

Teori Big five personality merupakan salah satu adaptasi dari trait theory yang dikemukakan oleh Eysenck, Cattel dan tokoh-tokoh lainnya. (Pervin, 2005).

Big five personality diuji dengan menggunakan pendekatan yang

sederhana oleh peneliti, peneliti mencoba untuk mencari unit dasar dari kepribadian dengan menganalisa ucapan-ucapan yang digunakan orang-orang dalam kehidupan sehari–hari mereka (Pervin, 2005) .

Tidak semua teori kepribadian sedetil big five. Teori Big Five dari McCrae dan Costa juga memiliki posisi yang paling kuat karena alat instrument dari tokoh tersebut telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, walaupun ditegaskan bahwa peranan budaya bisa membedakan persepsi yang berbeda mengenai instrumen tersebut (Pervin, 2005).

(4)

Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti menggunakan teori kepribadiaan big five dari McCrae dan Costa yang menurut penulis cukup mendetil dan jelas karena McCrae dan Costa membagi karakteristik individu menjadi lima dimensi yang diakui oleh berbagai negara beserta instrumen yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. McCrae dan Costa (dalam Pervin, Cervone dan John, 2005) mengembangkan teori kepribadian tersebut menjadi lima dimensi bipolar yang luas dalam individu, yang membedakan individu satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan “Big Five Theory of

Personality”. Semua lima dimensi tersebut menunjukkan reliabilitas dan validitas

yang tetap stabil dari individu yang masih kecil sampai dengan masa dewasa. (McCrae dan Costa, 2003).

2. Dimensi–Dimensi kepribadian dari big five

McCrae dan Costa (Dalam Pervin, Cervone & John, 2005) kemudian menyebutkan dimensi-dimensi dalam big five adalah : Neuroticism (N),

Extraversion (E), Openness to experience (0), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C). Kemudian McCrae dan Costa menyebutnya sebagai

OCEAN.

Neuroticism bertentangan dengan kestabilan emosional seperti: perasaan

negatif, termasuk kegelisahan, kesedihan, iritabilitas, dan kecemasan yang tinggi.

Openness to Experience mendeskripsikan mengenai betapa luas dan

(5)

Extraversion & Agreeableness sama-sama merangkum sifat yang

interpersonal, yaitu tertarik atau berminat dengan aktivitas yang berhubungan dengan orang banyak.

Conscientiousness mendeskripsikan perilaku goal/task-directed dan secara

sosial membutuhkan kontrol impulsif.

Tabel 1. Dimensi Kepribadian big five oleh McCrae dan Costa NEUROTICISM

Tenang – Pencemas

Temperamen datar – Temperamental Memuaskan diri sendiri – Mengasihani diri sendiri

Nyaman – Self-Conscious Tidak emosional – Emosional Kuat – Lemah AGREEABLENESS Kejam – Lembut Curigaan – Mempercayai Kikir – Loyal Antagonis – Acquiescent Kritikal – Lenient Irritable – Good-Natured EXTRAVERSION Reserved – Affectionate

Kesepian - Aktif bergabung dalam kelompok

Pendiam – Banyak bicara

Sober – Fun-loving

Tidak berperasaan – Berhasrat

CONSCIENTIOUSNESS

Negligent – Conscientious

Malas – Rajin Tidak rapi – Rapi Telat – Tepat waktu

Tidak ada tujuan – Ambisius Gampang menyerah – Preserving OPENESS TO EXPERIENCE

Down-to-earth – Imajinatif

Tidak kreatif – Kreatif Konvensional – Orisinil

Memilih rutinitas– Memilih keragaman Tidak penasaran – Penasaran

(6)

C. MAHASISWA INDONESIA YANG STUDI KELUAR NEGERI

Mahasiswa Indonesia yang studi keluar negeri disebut sebagai sojourn (Ward, 2006) Mahasiswa Indonesia yang studi keluar negeri akan cenderung mengalami permasalaha-permasalahan semasa individu menjalai proses studi tersebut.

Salah satu kendala yang dihadapi sojourn adalah permasalahan budaya. Menurut Argyle (1982) permasalahan lintas budaya muncul karena sojourners, imigran mengalami kesusahan dalam menyesuaikan diri (adjustment) di kehidupan sosial sehari-hari. Dan juga menurut Bochner (2001) Murid yang menjalani studi ke luar negeri (study abroad) akan mengalami dampak culture

shock selama proses pencapaian tujuan dari akhir pendidikan mereka. Kingsley &

Dakhari (2006) menyatakan bahwa culture shock bukan kondisi medis ataupun istilah klinis. Culture shock merupakan sebuah cara untuk mendeskripsikan perasaan bingung dan gelisah yang dimiliki seseorang ketika meninggalkan budaya yang telah familiar dan tinggal di budaya baru. Beberapa dimensi budaya menurut Kinsgley & Dakhari (2006) adalah cuaca, makanan, pakaian, bahasa, sekolah, masyarakat sekitar, nilai-nilai kebudayaan.

Menurut Ward (2006) sojourn yang tidak berhasil beradaptasi di budaya baru akan mengalami dampak dalam penurunan nilai akademik, pencapaiaan self

(7)

D. PERANAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE TERHADAP PSYCHOLOGOICAL ADJUSTMENT PADA MAHASISWA INDONESIA YANG STUDI KELUAR NEGERI

Individu yang memutuskan untuk ke luar negeri melanjutkan studinya akan menghadapi culture shock (Ward, 2006). Sojourners yang kemudian mengalami culture shock akan melakukan psychological adjustment. Psychological Adjustment ini muncul karena sojourners berusaha mempertahankan budaya asalnya (Leong, 2009). Sojourners Indonesia yang terutama melanjutkan studinya ke luar negeri menemukan banyak kesulitan. Budaya Indonesia cenderung memperhatikan kaidah-kaidah dan norma sosial, serta mementingkan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain (Koentjaraningrat, 2001). Dimensi budaya yang diartikan dalam kalimat tersebut adalah cuaca, makanan, pakaian, bahasa, sekolah, orang-orang masyarakat sekitar, nilai nilai kebudayaan pada masyarakat pada umumnya (Kingsley dan Dakhari, 2006). Sementara di negara barat cenderung mempertahankan nilai-nilai individualistik dan lebih menekankan pentingnya prestise dan penghargaan atas pencapainnya (achievement). (Syaifudin, 2006).

Keberhasilan para sojourners dalam proses psychological adjustment ditentukan oleh faktor kepribadian. Faktor kepribadian merupakan salah satu determinan agar sojourners berhasil dalam penyesuaiaan dirinya (Ward, 2006). Studi yang dilakukan oleh McRae dan Costa (2006) menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki skor Extroversion yang lebih tinggi lebih mampu berinteraksi dan membina hubugan lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki

(8)

skor Extroversion rendah. Individu dengan skor Extroversion yang lebih tinggi juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mencari dukungan sosial dari orang lain ketika menghadapi stress dibandingkan individu dengan skor

Extroversion rendah. Skor Conscientiousness tinggi juga diasosiasikan dengan

penerimaan oleh teman sebaya dan kualitas pertemanan yang lebih baik. Lebih lanjut lagi, McCrae dan Costa (2006) mengatakan bahwa dimensi Neuroticism pada big five merupakan aspek yang paling relevan dalam menentukan

psychological adjustment individu yang bersangkutan.

Lebih lanjut McCrae dan Costa (2005) juga menyebutkan sojourners yang memiliki skor Conscientiousness yang tinggi senantiasa aktif dalam mencari sumber informasi. Sehingga bagi sojourners dengan skor Conscientiousness ini diharapkan lebih reliabel dan terpercaya dalam menyerap dan memproses suatu informasi. Mereka dianggap lebih bisa diandalkan.

Penelitian yang dilakukan Ward, Leong dan Low (2004) menghasilkan bahwa dimensi kepribadian Neuroticisim dan Extraversion lebih sering dihubungkan dengan psychological adjustment pada sampel sojourners. Serta dimensi kepribadian Agreeableness dan Conscientiousness juga dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis pada sojourners.

Kemudan penelitian oleh Bardi & Ryff (2007) mengatakan bahwa faktor

Extroversion dan Neuroticism secara konsisten dihubungkan dengan adjustment

dan well-being. Penelitian tersebut sejalan dengan penjelasan McCrae & Costa (2006), extroversion berhubungan positif dengan adjustment. Individu dengan tipe kepribadian yang extrovert lebih menyenangi berinteraksi sosial dengan orang

(9)

lain dan mampu melakukan coping stress lebih efektif dibandingkan individu yang introvert terutama menjalani masa perkuliahan.

Sebuah studi mengenai resiliensi juga mengaitkan dimensi kepribadian big

five dengan individu yang memiliki skor tinggi untuk extroversion, neuroticism, openness, agreeableness dan conscientiousness. Mereka yang memiliki skor

tinggi lebih resilien terhadap tantangan dan cobaan (Rioli et al, 2002).

Lounsburry, Saudargas, dan Gibson (2004) menemukan bahwa individu yang memiliki skor tinggi untuk Agreeableness, Conscientiousness, dan

Neuroticism sangat jarang untuk drop out dari studinya. Hal yang sama juga

berlaku untuk neuroticism dan conscientiousness sebagai prediktor terkuat untuk menjelaskan intensi mahasiswa untuk mengakhiri studinya. Faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa drop out juga dikaitkan dengan adjustment selama studinya.

Dan yang terakhir Individu dengan skor tinggi untuk dimensi Extroversion mampu menangani masalah dengan cara yang positif dengan menggunakan strategi pemecahan masalah yang rasional serta mencari dukungan sosial (Bakker et. al, 2006). Dimensi agreeableness yang tinggi akan berkontribusi pada kemampuannya beradaptasi di lingkungan baru. Individu dengan skor Openness

to Experience yang tinggi berperanan pada kemampuan menggunakan coping mechanism yang efektif, seperti humor dan mereka beranggapan situasi yang stressful sebagai hal yang wajar dan tidak mengancam (Bakker et. al,2006).

Semua dimensi kepribadian pada big five adalah kesatuan kepribadian yang telah diteliti secara ekstensif dan berlaku untuk semua budaya (Pervin,

(10)

2005). Berdasarkan semua penelitian yang dicantumkan diatas didapatkan hasil bahwa dengan pertimbangan teoritis yang memadai, setiap dimensi kepribadian yang tertuang pada big five dapat diasosiasikan dengan psychological adjustment pada sojourners.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesa penelitian berupa: “Ada peranan antara dimensi kepribadian big five terhadap

psychological adjustment pada mahasiswa Indonesia yang studi keluar negeri”.

Selain hipotesa penelitian, peneliti juga mengajukan hipotesa tambahan berupa:

H1: Openess to Experience berperan terhadap psychological

adjustment

H2: Conscientiousness berperan terhadap psychological adjustment H3: Extraversion berperan terhadap psychological adjustment H4: Agreeableness berperan terhadap psychological adjustment H5: Neuroticism berperan terhadap psychological adjustmennt

(11)

F. ALUR PIKIR PENELITIAN

Kurangnya Universitas yang baik di Indonesia

Studi keluar negeri

Culture shock

Psychological Adjustment

Gambar

Tabel 1. Dimensi Kepribadian big five oleh McCrae dan Costa   NEUROTICISM

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Penerapan Model Teams Games Tournament (TGT) Berbantuan Media Laci Kartu Soal Pada Siswa Kelas IV SD 6

Deteksi Gelatin Babi pada Sampel Permen Lunak Jelly Menggunakan Metode Fourier Transform Infrared (FTIR) dan Kemometrik; Annisa Rahmawati, 102210101050; 2014; 53

“Bagaimana keterampilan proses sains siswa SMA kelas XI pada materi hidrolisis garam dengan metode praktikum dan model learning cycle 5E?” Dalam penelitian ini rumusan

Surabaya merupakan daerah yang terletak di dataran rendah. Kondisi geofisik kawasan berdasarkan jenis tanah di Surabaya dikelompokkan atas : tanah bukan abu vulkanik,

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Menurut Undang Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia, dimana Anak adalah setiap manusia yang

Dapat memberikan penjelasan hubungan antara status gizi dengan usia Menarche pada remaja, sehingga dokter dapat mengkaitkan kejadian menstruasi yang berbeda-beda

Industri minyak dan gas dalam kegiatan operasionalnya memiliki keunikan tersendiri, salah satunya adalah kegiatan eksplorasi (pencarian) yang dilakukan secara

– Dalam rangka kegiatan Valentine Day, maka Panitia Remaja akan melaksanakan Figura dari rumah ke rumah jemaat Saptamarga Solafide pada hari Minggu, 24 Januari 2016 mulai