• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA MAKAN DAN STATUS GIZI BALITA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DAN DAERAH TRANDAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SINGKIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA MAKAN DAN STATUS GIZI BALITA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DAN DAERAH TRANDAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SINGKIL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

POLA MAKAN DAN STATUS GIZI BALITA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DAN DAERAH TRANDAS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SINGKIL

(The food pattern and nutritional status of under five years old in the watershed and trandas areas in the working area of Singkil health center)

Misdar Aini1, Evawany Y Aritonang2, Fitri Ardiani2 1

Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2

Staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT

To obtain an optimal growth, the under five years old need the adequate, nutritious and balanced amount of food. The research was to find out the food pattern and nutritional status of under five years old in the watershed and trandas areas in the working area of Singkil health center. This purpose of this descriptive study with cross-sectional design. Total population of the study is 599 under five years old and the sample are 100 under five years old. The results of this study showed that most of the food patterns of under five years old was three times a day, the main food consumed by under five years old in the watershed and trandas was rice amounted 100,0%, the side dish most frequently consumed was fish 92,5% in the watershed and 92,7% in trandas, the vegetables mostly consumed in the watershed was kale 17,5% and in trandas was spinach 15,0%, and only small numbers of the under five years old consumed fruits, namely banana 10,0% in the watershed and 13,3% in trandas. The food pattern of under five years old the medium category, the level of energy consumption was 72,5% in the watershed and 75,0% in trandas, while the level of protein consumption was 65,0% in the watershed and 80,0% in trandas. Based on the index (weight/height) most of the nutritional status of under five years old was in normal category 87,5% in the watershed and 91,7% in trandas.

Keywords: food pattern, nutritional status, under five years old, in the watershed and Trandas

PENDAHULUAN

Di Indonesia prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang secara nasional sebesar 17,9%, menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target Millenium Development Goals pada 2015 18,5% telah tercapai. Namun masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Depkes RI 2010).

Berdasarkan Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, untuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang menurun sebesar 2,8% yaitu dari 26,5% pada tahun 2007 menjadi 23,7% pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebesar 5,7% yaitu dari

44,6% pada tahun 2007 menjadi 38,9% pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebesar 4,1% yaitu dari 18,3% pada tahun 2007 menjadi 14,2% pada tahun 2010 (Depkes RI, 2010)

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) balita di Posyandu seksi gizi Dinas Kesehatan Aceh Singkil tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk 2,40% (BB/U < -3 SD Median baku WHO-NCHS) dengan jumlah balita 219 orang dan gizi kurang 12,87 % (BB/U < -2 SD Median baku WHO-NCHS) dengan jumlah balita 1.173 orang. Prevalensi ini walaupun tidak melebih angka nasional, tetap harus menjadi perhatian bagi Dinas Kesehatan Aceh Singkil dalam penanggulangan masalah gizi pada balita. Di Kecamatan Singkil terdapat daerah aliran sungai dan daerah trandas, dimana di daerah ini

(2)

sering ditemukan balita yang mengalami pola pertumbuhan yang terganggu (bawah garis merah). Pada survei pendahuluan pada tujuh orang balita yang mengalami pola pertumbuhan yang terganggu (bawah garis merah) di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah trandas, balita telah di berikan PMT pemulihan berupa susu dan biskuit selama 90 hari dan berat badan balita tersebut berangsur naik dan normal kembali, tetapi berat badan balita menjadi turun kembali bila PMT tidak diberikan lagi, dikarenakan asupan makanan yang sedikit kurang dari kebutuhan balita, karena harus berbagi dengan saudaranya yang lain.

Balita yang mengalami pola pertumbuhan yang terganggu (bawah garis merah) mempunyai saudara kandung yang banyak dan jarak kelahiran yang terlalu rapat, di samping itu juga ibu kurang memahami makanan yang baik untuk anaknya. Ibu sering memberikan makan nasi dengan sedikit lauk dan mi instan.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola makan dan status gizi balita di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah trandas di wilayah kerja Puskesmas Singkil.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola makan dan status gizi balita di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah trandas di wilayah kerja Puskesmas Singkil.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam peningkatan pelayanan gizi dan sebagai salah satu upaya dalam mengatasi masalah gizi yang ada serta pengambilan tindakan yang tepat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini di lakukan di wilayah kerja Puskesmas Singkil di daerah aliran sungai dan daerah trandas. Populasi penelitian ini adalah semua balita yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah trandas yaitu sebanyak 599 orang.

Sampel dalam penelitian ini adalah balita umur 0-59 bulan. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita. Sampel diperoleh dengan menggunakan tehnik simple random sampling, sehingga diperoleh sampel sebanyak 100 orang.

Pengumpulan data terdiri data primer dan data sekunder, data primer meliputi data karakteristik balita terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan balita diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, untuk data berat badan dan panjang badan atau tinggi badan balita didapat melalui pengukuran dan penimbangan secara langsung dengan menggunakan alat bantu timbangan injak (unscale), microtoice atau pengukur panjang badan. Untuk data jenis dan frekuensi makanan diperoleh dengan wawancara memakai formulir food frequency dan untuk data tingkat konsumsi diperoleh dengan wawancara memakai formulir food recall.

Sedangkan data sekunder meliputi gambaran geografis wilayah tempat tinggal balita daerah aliran sungai (DAS) dan daerah trandas dan data demografi yang diperoleh dari kepala desa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adapun karakteristik ibu dan balita pada penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 dibawah ini :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Ibu Menurut Karakteristik di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Daerah Trandas Tahun 2012

No Karakteristik DAS Trandas

1. Umur Ibu n % n % - 18 – 24 tahun 5 12,5 11 18,3 - 25 – 29 tahun 16 40,0 27 45,0 - 30 – 40 tahun 18 45,0 22 36,7 - > 40 tahun 1 2,5 0 0,0 2. Pendidikan - Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD 2 5,0 0 0,0 - SD/Sederajat 19 47,5 14 23,3 - SMP/Sederajat 13 32,5 27 45,0 - SMA/Sederajat 6 15,0 15 25,0 - D3/S1 0 0,0 4 6,7 3 Penghasilan Keluarga - < Rp. 1.000.000,- 23 57,5 27 45,0 - Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000,- 16 40,0 31 51,7 - > Rp. 2.000.000,- 1 2,5 2 3,3 Jumlah 40 100,0 60 100,0

(3)

Dari tabel 1 menunjukkan bahwa, sebagian besar ibu berumur 25-29 tahun sebesar 45,0% di daerah trandas, sedangkan di daerah aliran sungai sebagian besar berumur 30-40 tahun sebesar 45,0%. Tingkat pendidikan ibu sangat beragam, namun sebagian besar pendidikan terakhir ibu adalah SD sebesar 47,5% di daerah aliran sungai dan pendidikan terakhir ibu SMP sebesar 45,0% di daerah trandas. Sedangkan dilihat dari pengetahuan gizi ibu terdapat sebesar 50,0% ibu yang memiliki pengetahuan kurang di daerah aliran sungai, sedangkan daerah trandas terdapat sebesar 51,7% ibu pengetahuan gizi cukup.

Untuk pendapatan keluarga, di daerah aliran sungai sebagian besar pendapatan keluarga <Rp1.000.000,- atau sebesar 57,5%, sedangkan daerah trandas pendapatan keluarga sebagian Rp.1.000.000-Rp.2.000.000,- atau sebesar 51,7% .

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Balita Menurut Karakteristik di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Daerah Trandas Tahun 2012

No Karakteristik DAS Trandas

1. Umur Balita n % n % - 0 – 6 bulan 1 2,5 0 0,0 - 7 – 11 bulan 2 5,0 5 8,3 - 12 – 24 bulan 14 35,0 28 46,7 - 25 – 59 bulan 23 57,5 27 45,0 2. Jenis Kelamin - Laki-laki 24 60,0 32 53,3 - Perempuan 16 40,0 28 46,7 Jumlah 40 100,0 60 100,0 Dari tabel 2 menunujukkan bahwa, sebagian besar balita berumur 12-24 bulan sebesar 46,7% di daerah trandas, sedangkan di daerah aliran sungai sebagian besar berumur 24-59 bulan sebesar 57,5%. Jenis kelamin balita di daerah aliran sungai sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebesar 60,0% dan sebesar 40,0% berjenis kelamin perempuan, sedangkan di daerah trandas sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebesar 53,3% dan sebesar 46,7% berjenis kelamin perempuan.

Dari data yang dikumpulkan adapun pola makan balita di daerah aliran sungai dan daerah trandas menurut jenis dan frekuensi

bahan makanan untuk jenis makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh balita 3x/hari adalah nasi sebesar 100,0%, hanya sebagian kecil yang mengonsumsi seperti ubi sebesar 5,0%, sagu sebesar 7,5%, roti sebesar 11,7%, mi sebesar 17,5% dan sebesar 16,7%, biskuit sebesar 17,5% dan sebesar 18,3% makanan untuk tambahan energi, dan sebagian besar balita mengonsumsi camilan (makanan ringan) sebesar 47,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 41,0% di daerah trandas.

Hal ini disebabkan karena kebiasaan yang ada di masyarakat nasi merupakan makanan utama, dengan banyak makan nasi badan menjadi bertenaga dan kuat, dan adanya pandangan di masyarakat kalau sudah ada nasi berarti sudah makan, tidak ada lauk pauk tidak terlalu masalah. Sedangkan makan sagu, ubi dan mi dianggap sebagai makanan selingan bukan makanan pokok karena sebelum makan nasi di masyarakat menganggap belum makan. Nasi, sagu, ubi dan mi merupakan jenis bahan makanan pokok sumber karbohidrat kompleks yang sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat gizi penghasil energi.

Pangan hewani yang sering dikonsumsi balita adalah ikan dengan frekuensi 3x/hari, di daerah aliran sungai sebesar 97,5% dan di daerah trandas sebesar 92,7%, karena ikan merupakan lauk utama yang mudah didapat. Untuk konsumsi telur di daerah aliran sungai sebesar 15,0% dan di daerah trandas sebesar 25,0% dengan frekuensi 1x/minggu.

Telur merupakan pangan yang bergizi lagi murah dan mudah didapat diwarung atau dipekan mingguan namun karena adanya mitos dimasyarakat kalau banyak makan telur bisa bisulan sehingga telur jarang di konsumsi. Petugas kesehatan sudah sering melakukan penyuluhan gizi pada saat posyandu, termasuk mitos kalau banyak makan telur bisa menyebabkan bisulan merupakan pandangan yang salah, telur mengandung protein sangat bagus untuk balita yang dalam masa pertumbuhan.

Hal ini dikarenakan pandangan di masyarakat sudah melekat, sehingga menyebabkan ibu jarang memberikan telur pada anaknya sebagai lauk pauk. Untuk konsumsi ayam di daerah aliran sungai sebesar 7,5% dan untuk konsumsi ayam di daerah trandas sebesar 10,0%, konsumsi cumi sebesar 5,0% dan konsumsi udang sebesar 8,3%

(4)

dengan frekuensi 1x/bulan, hal ini sebabkan harganya yang relatif mahal, sementara sebesar 100,0% tidak pernah mengonsumsi daging. Hal ini disebabkan selain harganya yang mahal dan sangat jarang dijual di pekan mingguan dan harian.

Sedangkan untuk konsumsi sumber protein nabati sebagian besar tidak pernah mengonsumsi hanya sebagian kecil balita di daerah trandas yang mengonsumsi yaitu seperti tahu sebesar 3,3% dan tempe 5,0%, ini disebabkan kebiasaan yang ada dalam keluarga menu utama adalah nasi dan lauk hewani sedangkan lauk nabati sangat jarang atau tidak pernah dikonsumsi, sehingga menyebabkan balita jarang diberikan atau dihidangkan makanan sumber protein nabati pada saat makan, dalam hal ini terlihat bahwa tidak adanya keanekaragaman konsumsi sumber protein pada balita.

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan, balita sangat membutuhan makanan sumber zat pembangun karena berguna untuk pembentukan jaringan baru, pemeliharaan/pembentuk antibodi, perubahan komposisi tubuh, pembentukan berbagai struktur organ, membantu proses metabolisme dalam tubuh dan sumber energi kedua setelah karbohidrat (Almatsier, 2004).

Untuk konsumsi sumber vitamin, sayuran yang sering dikonsumsi balita di daerah aliran sungai adalah kangkung sebesar 17,5% dan di daerah trandas konsumsi balita adalah bayam sebesar 15,0% dengan frekuensi 1x/minggu, sedangkan konsumsi buah-buahan sebagian besar mengonsumsi pisang sebesar 10,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 13,3%.

Hal ini diasumsikan karena pandangan yang salah dari ibu kalau buah dan sayur itu tidak terlalu penting dan sudah menjadi kebiasan kalau makan utama cukup ada nasi dan ikan, sedangkan sayur jarang dihidangkan dalam menu makanan keluarga, dalam hal ini keluarga dan balita tidak menyukai makan sayur dan sudah menjadi kebiasaan.

Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral berfungsi sebagai zat pengatur dalam tubuh, karena penting untuk proses tumbuh kembang secara normal. Kekurangan konsumsi terlihat pada laju pertumbuhan yang lambat, mineralisasi tulang

yang tidak cukup, cadangan besi yang kurang dan anemia (Almatsier dkk, 2011).

Mengonsumsi buah dan sayur sangat bermanfaat untuk kesehatan karena banyak kandungan nutrisi yang terkandung didalamnya, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan untuk mengobati penyakit (Kusumo. R.A, 2010).

Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan sehari-hari yang seimbang dan aman, berguna untuk mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, S. dkk. 2011).

Menurut Depkes RI (2002), makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental balita, oleh karena itu makanan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan gizi balita. Balita untuk tumbuh optimal membutuhkan asupan makanan yang baik yaitu jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang.

Adapun tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein pada balita di daerah aliran sungai dan daerah trandas dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4. Sedangkan status gizi balita menurut indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) di daerah aliran sungai dan daerah trandas, dapat dilihat pada tabel 5, tabel 6 dan tabel 7.

Tabel 3. Distribusi Konsumsi Energi Pada Balita di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas Tahun 2012 No Tingkat Konsumsi Konsumsi Energi DAS Trandas n % n % 1 Baik 4 10,0 8 13,3 2 Sedang 29 72,5 45 75,0 3 Kurang 6 15,0 6 10,0 4 Defisit 1 2,5 1 1,7 Jumlah 40 100,0 60 100,0

(5)

Dari tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa untuk tingkat konsumsi energi balita di daerah aliran sungai dan daerah trandas dalam tingkat kategori sedang, untuk tingkat konsumsi energi yaitu sebesar 72,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 75,0% di daerah trandas, ada balita dengan tingkat konsumsi energi defisit yaitu sebesar 2,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 1,7% di daerah trandas.

Hal ini disebabkan karena balita sering mengalami sakit dan adanya penyakit seperti hipertiroid dan penyakit kelainan jantung bawaan sejak lahir masing-masing sebanyak satu orang, hasil wawancara dengan ibu anaknya sering dan selalu tidak adanya selera makan yang pada akhirnya dapat menyebabkan asupan zat gizi berkurang.

Asupan energi sangat penting bagi sel tubuh, karena energi berguna untuk proses metabolisme dalam tubuh, untuk aktivitas dan untuk membentuk struktur organ-organ tubuh dan pembelahan sel. Apabila asupan energi kurang, maka akan terganggunya pembelahan sel (Devi.N, 2012).

Tabel 4. Distribusi Konsumsi Protein Pada Balita di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas Tahun 2012 No Tingkat Konsumsi Konsumsi Protein DAS Trandas n % n % 1 Baik 3 7,5 4 6,7 2 Sedang 26 65,0 48 80,0 3 Kurang 10 25,0 5 8,3 4 Defisit 1 2,5 3 5,0 Jumlah 40 100,0 60 100,0 Dari tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa untuk tingkat konsumsi protein balita menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki tingkat konsumsi protein dalam kategori sedang yaitu sebesar 65,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 80,0% di daerah trandas, pada umumnya balita mengonsumsi ikan sebagai sumber protein, ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat baik dan sebenarnya di wilayah tersebut mudah didapat dan tersedia dipasar, namun karena harga ikan yang relatif mahal mempengaruhi daya beli keluarga sehingga konsumsi protein pada balita masih kurang baik.

Menurut Almatsier dkk (2011), selama pertumbuhan kadar protein tubuh meningkat karena kebutuhan protein bagi balita berguna untuk perubahan komposisi tubuh, pembentukan jaringan baru dan pemeliharaan jaringan. Apabila kekurangan protein pada waktu yang lama akan mengalami stunting yaitu tinggi badan yang pendek.

Hal ini dapat dilihat sebagian balita memiliki tingkat konsumsi protein yang kurang sebesar 25,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 8,3% di daerah trandas, dan juga sebagian kecil balita memiliki tingkat konsumsi protein defisit sebesar 2,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 5,0% di daerah trandas. Sebaiknya balita diberikan asupan makanan beragam bergizi dan seimbang dengan membiasakan mengonsumsi misalnya sumber protein nabati dan protein hewani.

Untuk tingkat konsumsi energi dan protein balita berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu, ditemukan balita dengan konsumsi energi kurang pada pengetahuan gizi ibu kategori kurang sebesar 30,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 28,5% di daerah trandas.

Sedangkan tingkat konsumsi protein kurang di daerah aliran sungai sebesar 45,0% dan di daerah trandas sebesar 23,8% pada pengetahuan gizi ibu kategori kurang. Sebagian kecil ditemukan balita dengan tingkat konsumsi protein defisit pada tingkat pengetahuan ibu kurang yaitu sebesar 5,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 14,3% di daerah trandas.

Hal ini disebabkan hampir separuh ibu balita yang memiliki tingkat pendidikannya tamat SD/Sederajat sebesar 47,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 23,3% di daerah trandas dan tingkat pendidikan SMP/Sederajat sebesar 32,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 45,0% di daerah trandas, bahkan masih ada sebesar 5,0% di daerah aliran sungai ibu balita yang tidak bersekolah/tidak tamat SD.

Menurut Roesli dalam Suryadi (2009), tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap dalam pemberian makanan dalam keluarga. Sehingga mempengaruhi pola pemberian makanan pada balita yang juga akan mempengaruhi status gizi anak, disamping itu juga pendidikan ibu juga sangat diperlukan bagi perkembangan fisik dan mental atau kecerdasan anak.

(6)

Tabel 5. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur Pada Balita di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas Tahun 2012 No Status Gizi Balita DAS Trandas n % n % 1 Baik 30 75,0 51 85,0 2 Kurang 8 20,0 8 13,3 3 Sangat Kurang 2 5,0 1 1,7 Jumlah 40 100,0 60 100,0 Dari tabel 5 diatas menunjukkan bahwa status gizi balita berdasarkan indeks (BB/U), ada terdapat sebesar 20,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 13,0% di daerah trandas balita yang mengalami status gizi kurang, hal ini karena balita sering mengalami demam dan batuk yang terjadi pada anak balita tersebut yang dapat mempengaruhi selera makan dan diasumsikan ibu belum memperhatikan makanan yang adekuat untuk balita.

Menurut Soekirman (2000), timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Tabel 6. Distribusi Status Gizi Balita

BerdasarkanPanjang Badan/ Tinggi Badan Menurut Umur Pada Balita di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas Tahun 2012 No Status Gizi Balita DAS Trandas n % n % 1 Normal 29 72,5 42 70,0 2 Pendek 11 27,5 17 28,3 3 Sangat Pendek 0 0,0 1 1,7 Jumlah 40 100,0 60 100,0

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa status gizi balita berdasarkan indeks (PB/U) atau (TB/U) ditemukan balita dengan kategori pendek yaitu sebesar 27,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 28,3% di daerah

trandas, hal ini diasumikan bahwa balita pernah mengalami masalah gizi (kekurangan gizi) pada masa awal pertumbuhan, dimana ibu kurang memperhatikan dalam hal pemberian makanan yang bergizi pada balita dan adanya penyakit yang dapat menyebabkan kondisi kesehatan dan pertumbuhan anak terganggu.

Menurut Soekirman dkk (2010), bayi sampai usia 2 tahun merupakan kelompok umur masa pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebut dengan ‘masa kritis atau kesempatan emas”. Apabila kesempatan singkat ini terabaikan, hilanglah kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup generasi yang akan datang. Keadaan kekurangan gizi pada periode ini didukung oleh faktor-faktor makanan kurang dan adanya penyakit infeksi. Tabel 7. Distribusi Status Gizi Balita

Berdasarkan Berat Badan Menurut Panjang Badan/ Tinggi Badan Pada Balita di Daerah Aliran Sungai Tahun 2012 No Status Gizi Balita DAS Trandas n % n % 1 Normal 35 87,5 55 91,7 2 Kurus 5 12,5 4 6,6 3 Sangat Kurus 0 0,0 1 1,7 Jumlah 40 100,0 60 100,0

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa berdasarkan indeks (BB/PB) atau (BB/TB) sebagian besar balita memiliki status gizi normal yaitu sebesar 87,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 91,7% di daerah trandas, hal ini disebabkan karena berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan, dalam keadaaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan berat badan dengan percepatan tertentu.

Balita yang mengalami status gizi kurang dan status gizi pendek di daerah aliran sungai merupakan anak ke lima dan anak ke enam, sedangkan di daerah trandas merupakan anak keempat, dalam hal ini disebabkan pandangan yang ada di masyarakat mempunyai anak kurang dari empat terlalu sedikit dan kalau mempunyai anak yang banyak bisa nantinya mengahasilkan keluarga yang banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Harper (1988) yang dikutip Nadaek (2011) keluarga

(7)

miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Hal ini diikuti pendapat Suhardjo (2003) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah gizi.

Adapun distribusi status gizi indeks (BB/U) dengan tingkat konsumsi balita yaitu status gizi kurang berdasarkan tingkat konsumsi energi kurang, di daerah aliran sungai sebesar 62,5% dan di daerah trandas sebesar 75,0%. Hal ini disebabkan karena balita sering mengalami sakit yang menyebabkan nafsu makan anak menurun.

Berat badan merupakan massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak bila menurunnya nafsu makan dan terserang penyakit, karena berat badan parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Balita dengan status gizi kurang dengan tingkat konsumsi kurang, jika dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan balita terganggu dan dapat mengakibatkan defisiensi gizi. Menurut Depkes RI (2000), kekurangan mengonsumsi energi dalam waktu lama bisa mengakibatkan penurunan berat badan dan kekurangan zat gizi lainnya. Penurunan berat badan yang berlanjut akan menyebabkan keadaan gizi kurang yang nantinya menghambat tumbuh kembang balita.

Distribusi status gizi indeks (PB/U) atau (TB/U) dengan tingkat konsumsi balita yaitu status gizi pendek berdasarkan tingkat konsumsi energi kurang, di daerah aliran sungai sebesar 45,5% dan di daerah trandas sebesar 29,4%. Hal ini diasumsikan karena pada masa kehamilan ataupun pada saat bayi diawal pertumbuhan balita mengalami asupan makanan yang kurang dan sering mengalami penyakit infeksi.

Balita dengan status gizi sangat pendek dan pendek dengan tingkat konsumsi energi kurang dan defisit bila dibiarkan dalam jangka waktu lama mengakibatkan pertumbuhan balita terhambat. Menurut Harper (1988) dikutip Rosnita (2009), jika zat gizi cendrung dalam kekurangan pada saat kehidupan maka gangguan pertumbuhan fisik untuk waktu yang lama cendrung terjadi.

Distribusi status gizi berdasarkan indeks (BB/PB) atau (BB/TB) dengan tingkat

konsumsi balita yaitu status gizi kurus berdasarkan tingkat konsumsi energi kurang, di daerah aliran sungai sebesar 60,0% dan di daerah trandas sebesar 100,0%.

Hal ini diasumsikan terjadi karena menurutnya nafsu makan pada saat ini. Menurut Lawson.M (2009), pertumbuhan dan penambahan berat badan yang lambat menandakan seorang balita tidak tumbuh baik karena kekurangan gizi dan juga dapat diakibatkan oleh penyakit coeliac (usus tidak dapat menyerap nutrisi makanan), gangguan jantung, gangguan system saraf.

Distribusi status gizi indeks (BB/U) dengan tingkat konsumsi balita yaitu status gizi kurang berdasarkan tingkat konsumsi protein kurang, di daerah aliran sungai sebesar 87,5% dan di daerah trandas sebesar 37,5%. Dalam hal ini jika kekurangan protein berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan balita mengalami gangguan pertumbuhan. Konsumsi protein sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan balita, kekurangan konsumsi protein pada masa balita dapat menyebabkan terganggunya atau terlambatnya pertumbuhan anak (Asydhad,2006).

Distribusi status gizi indeks (PB/U) atau (TB/U) dengan tingkat konsumsi balita yaitu status gizi pendek berdasarkan tingkat konsumsi protein kurang, di daerah aliran sungai sebesar 72,7% dan di daerah trandas sebesar 29,4%. Menurut Waterlow dalam Supariasa (2002) kekurangan protein pada balita dalam jangka waktu lama akibat yang ditimbulkan pada balita adalah anak menjadi pendek/stunting menurut umurnya.

Distribusi status gizi indeks (BB/PB) atau (BB/TB) dengan tingkat konsumsi balita yaitu status gizi kurus berdasarkan tingkat konsumsi protein kurang, di daerah aliran sungai sebesar 80,0% dan di daerah trandas sebesar 25,0%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila balita mengalami kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan balita, karena protein diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Dalam masa pertumbuhan protein merupakan bahan pembentuk dasar struktur sel tubuh (Almatsier, dkk 2011).

Soehardjo (2003), yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah menyebabkan

(8)

daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik.

Jenis penyakit yang dialami balita dalam satu bulan terakhir adalah flu, di daerah aliran sungai sebesar 38,6% dan di daerah trandas sebesar 61,4%. Ada sebagian kecil balita menderita diare sebesar 66,7% di daerah aliran sungai dan sebesar 33,3% di daerah trandas. Hal ini terlihat bahwa penyakit ini dipengaruhi oleh faktor daya tahan tubuh dan lingkungan yang lembab dan kotor yang mengandung bibit penyakit, asap pembakaran hutan/lahan perkebunan dan cuaca ekstrim sehingga keadaaan tersebut memicu terjadinya penyakit flu.

Hal ini disebabkan, di daerah aliran sungai keluarga yang tinggal didalam rumah sangat jarang membuka jendela sehingga udara didalam rumah bisa menjadi lembab karena kurangnya pencahayaan, kondisi rumah yang tidak memiliki asbes sehingga debu dari atap rumah bisa langsung terhiup, lantai rumah yang terbuat dari papan kondisi kerapatannya kurang sehingga memungkinkan udara masuk dari bawah, kondisi lingkungan rumah yang selalu lembab, dan juga hygient dan sanitasi yang kurang.

Sedangkan di daerah trandas kondisi rumah juga tidak memiliki asbes sehingga debu dari atap rumah bisa langsung terhirup, lantai rumah yang terbuat dari papan kondisi kerapatannya juga kurang sehingga memungkinkan udara masuk dari bawah sehingga udara didalam rumah bisa menjadi lembab karena kondisi rumah merupakan rumah panggung dan juga bisa musim panas adanya debu dari badan jalan karena masih dalam tahap pengerasan dan terkadang adanya asap dari pembakaran hutan/lahan.

Menurut Kusnoputranto, H (1986), bahwa lingkungan kotor akan mengakibatkan keleluasan agen untuk hidup dan berkembang biak, agen bias saja sewaktu-waktu menyerang pejamu bila tubuh sedang lemah akan

menyebabkan penyakit. Flu, pilek, panas, batuk, demam adalah gejala infeksi pernapasan atas, yang merupakan penyakit banyak diderita balita yang disebabkan virus. Pencemaran udara dalam rumah/lingkungan, ventilasi rumah, kepadatan hunian merupakan faktor penyebab terjadinya infeksi disaluran pernapasan (Anonim, 2012).

Frekuensi sakit yang dialami balita sebanyak 1 kali dalam satu bulan terakhir dengan jenis sakit flu yaitu sebesar 88,9% di daerah aliran sungai dan sebesar 92,9% di daerah trandas, hal ini diasumsikan karena kurangnya pola asuh pada balita, prilaku ibu yang kurang terhadap perawatan kesehatan balitanya, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan juga merupakan penyebab timbulnya berbagai penyakit pada balita.

Lama sakit yang diderita balita 1-2 minggu dengan jenis sakit flu sebesar 100,0% di daerah aliran sungai, sedangkan di daerah trandas lama sakit <1 minggu dengan jenis sakit flu sebesar 95,2%, hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang lembab dan kotor mengandung bibit penyakit, hygient buruk, kondisi kelembaban didalam rumah menjadi pekembangbiakan bakteri dan jamur, bisa berpengaruh karena banyaknya barang-barang yang ada dalam satu rumah dan struktur rumah yang tidak memenuhi syarat sehingga dapat mempengaruhi lamanya sembuh penyakit.

KESIMPULAN

Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi di perlukan untuk pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktivitas kerja. Balita untuk tumbuh optimal membutuhkan asupan makanan yang baik yaitu jumlah yang cukup,, bergizi dan seimbang.

Pola makan balita di daerah aliran sungai dan daerah trandas menunjukkan belum beranekaragam, hal ini dapat terlihat dari jenis bahan makanan pokok yang paling sering dikonsumsi balita adalah nasi masing-masing sebesar 100,%, untuk konsumsi sumber protein adalah lauk hewani yaitu ikan sebesar 92,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 92,7% di daerah trandas dengan frekuensi 3x/hari, sedangkan untuk konsumsi protein nabati yaitu

(9)

tempe sebesar 5,0% dan tahu sebesar 3,3% di daerah trandas dengan frekuensi 1x/minggu. Untuk konsumsi sayur di daerah aliran sungai adalah kangkung sebesar 17,5% dan di daerah trandas konsumsi sayur adalah bayam sebesar 15,0% dan untuk konsumsi buah adalah pisang sebesar 10,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 13,3% di daerah trandas dengan frekuensi 1x/minggu.

Pola makan berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein sebagian besar termasuk dalam tingkat kategori sedang, untuk tingkat konsumsi energi yaitu sebesar 72,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 75,0% di daerah trandas. Sedangkan untuk tingkat konsumsi protein yaitu sebesar 65,0% di daerah aliran sungai dan sebesar 80,0% di daerah trandas.

Status gizi balita berdasarkan indeks (BB/PB) atau (BB/TB) sebagian besar dalam kategori normal yaitu sebesar 87,5% di daerah aliran sungai dan sebesar 91,7% di daerah trandas.

SARAN

Disarankan perlunya peningkatan pengetahuan ibu-ibu yang mempunyai balita melalui penyuluhan oleh petugas kesehatan khususnya tentang pentingnya gizi seimbang bagi balita dan tentang penyediaan makanan dalam rumah tangga sehingga pemberian makanan dan tingkat konsumsi balita bisa ditingkatkan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Almatsier, S. Soetardjo, S. dan Soekantri, M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Asydhad, L.A, dan Mardiah, 2006. Makanan Tepat Untuk Balita. PT. Kawan Pustaka, Jakarta.

Anonim, 2012. Faktor Resiko ISPA Pada Balita.https://putraprabu.wordpress.co m/tag/batuk/

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil. Singkil.

Devi, N. 2012. Gizi Anak Sekolah. Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1988. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press.

Kusnoputranto, Haryoto, 1986. Kesehatan Lingkungan. Depdikbud, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

Kusumo, R.A. Sayur + Buah = Sehat ; Mengenal Kandungan dan Khasiatnya Untuk Menjaga Kesehatan Tubuh. Pioneer Media. Yogyakarta.

Lawson, M. 2009. Makanan Sehat Bagi Bayi dan Balita. Dian Rakyat. Jakarta Nadaek, M.H. 2011. Gambaran Pola Makan

Dan Status Gizi Anak BalitaBerdasarkan Karakteristik Keluarga Di Kelurahan Pekan Dolok Masihul. Skripsi FKM-USU, Medan. R.I. Departemen Kesehatan, 2000. Rencana

Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta

2002. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Balita. Dirjen Bina Gizi Masyarakat. Jakarta. 2010. Laporan Nasional

Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta Rosnita, A. 2009. Gambaran Pola Makan dan Pola Penyakit Serta Status Gizi Anak Balita Pada Keluarga Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. Skripsi FKM-USU, Medan

Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.

Supariasa, I Dewa Nyoman, Bakri, B. dan Fajar, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta.

Suryadi, E.S, 2009. Kejadian Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kelurahan Pancoran Mas Depok. Skripsi FKM-UI, Jakarta

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta.

Soekirman, dkk. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Gambar

Tabel  1.    Distribusi  Frekuensi  Ibu  Menurut  Karakteristik  di  Daerah  Aliran  Sungai  (DAS)  dan  Daerah  Trandas Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan status gizi anak batita indeks BOOB sebagian besar (87,9%) terkategori nonnal. Demikian juga j ika dilihat sebarannya pada ketiga jenis ketahanan pangan rumah

Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Terhadap Konsumsi Zat Gizi (Energi, Protein) pada Balita Gizi Kurang di Desa Labuhan Lombok.. Jurnal

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah mengetahui pola makan balita melalui tingkat kecukupan zat gizi makanan yang dikonsumsi terhadap status gizi anak balita dalam

Menurut Judarwanto (2009), balita yang mempunyai perilaku pemilih makan akan mengalami gangguan dalam peningkatan berat badan, bahkan balita akan mempunyai berat badan

Uji Chi square yang dilakukan terhadap pengetahuan ibu tentang gizi dengan pola makan balita didapatkan nilai sebesar 35,86, p value sebesar 0,000 lebih

Begitu pula dengan konsumsi western fast food juga lebih besar dikonsumsi oleh balita obesitas 6,42 kali per minggu dibandingkan dengan balita tidak obesitas yang

Begitu pula dengan konsumsi western fast food juga lebih besar dikonsumsi oleh balita obesitas 6,42 kali per minggu dibandingkan dengan balita tidak obesitas yang hanya

Sebagian besar asupan balita picky eater berada dalam kategori cukup pada jenis makanan sayuran, sedangkan pada kelompok makanan dengan kalori tinggi seperti produk