• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS AWAN KONVEKTIF PADA PRODUK SWWI MENGGUNAKAN DATA RADAR CUACA DI WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS AWAN KONVEKTIF PADA PRODUK SWWI MENGGUNAKAN DATA RADAR CUACA DI WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS AWAN KONVEKTIF PADA

PRODUK SWWI MENGGUNAKAN DATA RADAR CUACA DI

WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA

Hasmororini Sulistami1, Eko Wardoyo2

1

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

2

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email : hsulistami@gmail.com

Abstrak

Awan konvektif memiliki peran sangat besar dalam proses terjadinya cuaca bermakna. Keberadaan awan konvektif sering dikaitkan dengan terjadinya cuaca ekstrim pada suatu tempat. Salah satu instrumen yang dapat mengamati keberadaan dan pergerakan awan konvektif adalah radar cuaca. Dalam penelitian ini akan menentukan nilai threshold yang cocok pada produk SWWI berdasarkan data Lightning Detector dan melakukan validasi produk SWWI antara threshold default dengan threshold baru di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Produk radar cuaca yang digunakan adalah CMAX untuk melihat nilai reflektivitas maksimum dan SWWI untuk melihat warning kejadian cuaca yang signifikan. Hasil analisis menunjukkan nilai ambang batas (threshold) yang paling sering muncul pada musim hujan sebesar 54 dBz, sedangkan pada musim peralihan sebesar 55 dBz, sehingga dapat ditentukan nilai threshold input intensity untuk potensi cuaca buruk yaitu 40 dBz. Kemudian dilakukan validasi dengan membandingkan produk SWWI threshold default (30 dBz) dengan threshold baru 40 dBz. Hasil validasi menunjukkan bahwa threshold default (30 dBz) memiliki peluang yang lebih besat untuk terjadi cuaca buruk sehingga menyebabkan overestimate dalam pemberian warning cuaca buruk.

Kata kunci : Radar Cuaca, Awan Konvektif, Reflektifitas, Nilai Ambang Batas

Abstract

Convective clouds have a very large role in the occurrence of significant weather. The existence of convective clouds are often associated with the occurrence of extreme weather somewhere. One of the instruments that can observe the presence and movement of convective clouds is weather radar. In this study will determine a suitable threshold value on the product SWWI based on data Lightning Detector and validate product SWWI the default threshold with a new threshold in the greater Jakarta area. Weather radar products used are CMAX to see the value of the maximum reflectivity and SWWI to notice warning of significant weather events. The analysis showed a threshold value (threshold) that appears most frequently in the rainy season by 54 dBz, while in the transitional season of 55 dBz, so it can be determined intensity threshold value input for potential bad weather that is 40 dBz. Then validated by comparing products SWWI default threshold (30 dBz) with a new threshold of 40 dBz. The tests showed that the default threshold (30 dBz) have a better chance besat to bad weather occurs causing overestimate in giving warning of bad weather.

Keywords : Weather Radar, Convective Cloud, Reflectivity, Threshold

1. PENDAHULUAN

Posisi geografis Indonesia yang berjajar sepanjang khatulistiwa memiliki kondisi topografi yang berbeda setiap daerahnya. Perbedaan kondisi topografi ini mengakibatkan proses pembentukan awan di suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda juga. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai

wilayah yang menarik untuk dikaji, terutama dari sisi meteorologisnya.

Letak geografis Jakarta berada di dekat khatulistiwa, dimana terdapat kombinasi massa udara hangat dan lembab yang menjadikan daerah ini sangat kondusif terhadap pembentukan awan konvektif. Awan konvektif merupakan manifestasi

(2)

sebuah variasi dari proses thermodinamis dan dinamis baik internal maupun eksternal terhadap awan. Awan jenis konvektif terutama awan Cumulonimbus sering dikaitkan dengan adanya fenomena cuaca buruk.

Awan Cumulonimbus atau yang biasa disingkat awan Cb merupakan awan yang menjulang tinggi secara vertikal dengan gumpalan yang padat dan gelap serta bentuknya seperti menara (Zakir dkk., 2010). Awan terbentuk jika terjadi kondensasi uap air di permukaan bumi. Udara yang naik akan mengalami pengembangan secara adiabatik sebab tekanan udara di lapisan atas lebih kecil dibandingkan tekanan di lapisan bawah. Akibat dari pengembangan secara adiabatik dan berdasarkan struktur vertikal atmosfer, maka suhu udara akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya ketinggian dari permukaan tanah. Suhu akan menurun sebesar 10C setiap kenaikan 100 m untuk parsel udara kering, sedangkan untuk parsel udara basah suhu akan menurun 0,650C setiap kenaikan 100 m (Tjasyono dan Harijono, 2006).

Dalam usaha pencegahan bencana alam yang disebabkan oleh aspek – aspek meteorologi, peran penginderaan jauh (Remote Sensing) dalam pengamatan dan analisis hingga memprakirakan kondisi cuaca kedepan tidak dapat diragukan lagi. Radar atau Radio Detection and Ranging yang berarti deteksi dan penjalaran radio merupakan suatu sistem gelombang elektromagnetik yang berguna untuk mendeteksi, mengukur jarak dan ketinggian objek (Wardoyo, 2011).

Data dukung dalam

mengidentifikasi awan konvektif dengan radar cuaca adalah data kejadian badai guntur yang terekam pada Lightning Detector. Badai guntur dapat digambarkan sebagai satu atau lebih muatan yang terjadi secara tiba – tiba, dapat digambarkan pula dengan kilatan cahaya (petir) dan suara tajam atau gemuruh (guntur). Petir hampir selalu terkait dengan awan konvektif, namun tidak harus disertai dengan curah hujan di tanah (National Meteorological Library and Archive, 2011).

Beberapa penelitian tentang awan konvektif telah banyak dilakukan. Michael I Biggerstaff (2000) menyebutkan bahwa

oleh TRMM bervariasi menurut lokasi berdasarkan struktur dari curah hujan yang dominan dalam suatu wilayah. Penelitian lainnya mengenai nilai ambang batas awan konvektif di Indonesia juga telah banyak di lakukan. Maria Carine (2014) menyebutkan bahwa awan konvektif di setiap daerah memiliki nilai ambang batas reflektifitas yang berbeda. Sedangkan Tiin Sinatra (2015) menyebutkan bahwa liputan awa hujan konvektif pada musim peralihan di atas darat lebih besar dibandingkan dengan kondisi musim hujan.

Penelitian ini akan membahas nilai ambang batas produk SWWI yang cocok untuk mengidentifikasi awan konvektif pada musim hujan dan musim peralihan serta melakukan validasi dengan membandingkan produk SWWI threshold default dengan threshold baru di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai implementasi ilmu fisika awan dalam memahami karakteristik awan konvektif pada musim hujan dan musim kemarau, selain itu juga mendukung kegiatan operasinal dalam memberikan peringatan dini adanya awan konvektif yang dapat menyebabkan cuaca ekstrem di Jakarta dan sekitarnya berdasarkan analisis citra radar cuaca, dan sebagai sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta STMKG dan BMKG pada khususnya.

2. DATA DAN METODE

2.1 Data

Penelitian dilakukan di wilayah Jakarta yang berada pada 106042’54” – 106058’48” BT dan 604’51” – 6023’42” LS. Data yang digunakan meliputi data petir bulan Desember 2013 – Februari 2014 dan Desember 2014 – Februari 2015 menggunakan Lightning Detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Klas I Tangerang, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Data tersebut selanjutnya di ekstrak menjadi parameter CG-. Data sekunder lain yang digunakan adalah data radar cuaca pada bulan Desember 2013 – Februari 2014 dan Desember 2014 – Februari 2015 yang meliputi area cakupan kota Jakarta dan sekitarnya dengan letak radar berada di

(3)

3 Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Pengambilan sample pada bulan – bulan terpilih karena pada bulan tersebut tercatat memiliki kejadian petir tertinggi yang berarti terdapat banyak awan konvektif.

Gambar 1. Lokasi Penelitian 2.2 Metode Analisis

Petir dianalisis menggunakan Lightning Detector yang merupakan alat deteksi petir. Setelah mendapatkan hasil analisis dari petir berupa waktu kejadiannya, data radar cuaca di analisis menggunakan produk CMAX dan SWWI.

Produk CMAX menampilkan nilai reflektifitas tertinggi di atas elemen resolusi yang tersedia dari suatu pindai sudut elevasi yang tersedia dari suatu pindai elemen. Produk SWWI digunakan untuk

mengidentifikasi dan memberi warning terkait cuaca buruk yang terjadi dengan mempertimbangkan nilai intensitas reflektifitas yag menjadi nilai ambang batas dan kandungan air yang terdapat dalam sel konvektif.

Metode yang digunakan adalah Komparatif Temporal, dimana dengan melihat waktu kejadian strike pertama dari Lightning Detector yang kemudian dicatat nilai reflektifitas maksimumnya. Setelah mendapatkan nilai reflektifitas maksimum, kemudian dicari nilai reflektifitas yang paling sering muncul untuk dijadikan sebagai nilai ambang batas baru. Untuk menguji akurasi dari nilai ambang batas tersebut, dilakukan perbandingan pertumbuhan awan konvektif pada produk SWWI dengan threshold default dari pabrik dan threshold baru.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Penentuan Nilai Ambang Batas

Dalam penelitian ini, dipilih jenis petir CG-, karena petir berjenis CG- mengantarkan muatan negatif ke tanah dan berhubungan dengan curah hujan konvektif. Sedangkan petir berjenis CG+ berhubungan dengan bagian stratiform sehingga tidak digunakan dalam penelitian.

Gambar 2. Grafik kejadian petir pada musim hujan 0

200 400 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

KEJADIAN PETIR PADA MUSIM HUJAN

KEJADIAN PETIR PADA BULAN DESEMBER KEJADIAN PETIR PADA BULAN JANUARI

(4)

Gambar 3. Grafik kejadian petir pada musim peralihan

Gambar 2 dan 3 menunjukkan rata – rata kejadian petir pada musim hujan mencapai lebih dari 100 kejadian dalam satu hari, sedangkan rata – rata kejadian petir pada musim peralihan kurang dari 100 kejadian dalam satu hari. Puncak kejadian petir dominan pada musim hujan terjadi di bulan Desember dengan kejadian terbesar mencapai lebih dari 500 kejadian dalam satu hari, sedangkan puncak kejadian petir dominan pada musim peralihan terjadi di bulan Maret dengan kejadian terbesar mencapai lebih dari 400 kejadian dalam satu hari. Hal tersebut disebabkan karena ITCZ pada bulan Desember berada di wilayah Indonesia bagian selatan (Satiadi, 2012). Kemudian

pengaruh musim hujan berdasarkan data normal akan terjadi pada bulan Desember (BMKG, 2015) akibat pengaruh monsoon Asia yang sedang aktif.

Penelitian melalui Citra Radar Cuaca didasarkan pada hasil pengamatan kejadian petir tertinggi setiap bulannya. Hasil pengamatan Citra Radar Cuaca dimulai dengan menggunakan produk CMAX (Column Maximum) yang mengasumsikan atmosfer terdiri dari kolom – kolom udara. Kemudian mengambil nilai reflektifitas paling maksimum pada produk CMAX dari setiap kejadian berdasarkan waktu terjadinya sambaran (strike) pertama yang berjenis CG-.

Gambar 4. Grafik Nilai Reflektifitas Maksimum pada Musim Hujan Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa

nilai reflektifitas maksimum pada musim hujan adalah 62 dBz di bulan Februari 2014. Nilai reflektifitas yang paling sering muncul

garis merah) sebanyak 15 kejadian. Sedangkan nilai reflektifitas minimum pada musim hujan sebesar 10 dBz di bulan Desember 2014. 0 200 400 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

KEJADIAN PETIR PADA MUSIM PERALIHAN

KEJADIAN PETIR PADA BULAN MARET KEJADIAN PETIR PADA BULAN APRIL

KEJADIAN PETIR PADA BULAN MEI RATA - RATA

0 20 40 60 80

NILAI REFLEKTIFITAS MUSIM HUJAN

(5)

5 Gambar 5. Grafik Nilai Reflektifitas Maksimum pada Musim Peralihan

Pada musim peralihan, nilai reflektifitas maksimum adalah 60 dBz di bulan April 2014. Nilai reflektifitas yang paling sering muncul adalah 55 dBz (seperti yang ditunjukkan pada garis merah) sebanyak 7 kejadian. Sedangkan nilai reflektifitas minimum pada musim peralihan sebesar 16 dBz di bulan Maret 2014 seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.

Berdasarkan pengumpulan data puncak terjadinya petir di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada musim hujan dan musim peralihan, diperoleh nilai reflektifitas maksimum yang paling sering muncul adalah 54 dBz dan 55 dBz. Sedangkan yang dibutuhkan dalam penentuan nilai ambang batas (threshold) pada produk SWWI adalah nilai minimum yang mendekati nilai saat kejadian cuaca buruk, sehingga dapat di pilih nilai 40 dBz sebagai nilai threshold intensity baru sebagai input dalam produk SWWI pada citra radar cuaca di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

3.2 Perbandingan Akurasi Nilai Ambang Batas dalam Produk SWWI

Nilai ambang batas (threshold) yang tepat akan menjadi peluang untuk mendekati kejadian yang sesungguhnya. Jika nilai ambang batas (threshold) lebih kecil atau lebih besar dari nilai sesungguhnya yang terbentuk saat kejadian cuaca buruk, maka akan menyebabkan over estimate atau under estimate dalam pemberian warning.

Berdasarkan penelitian ini, terlihat nilai reflektivitas yang lebih dari 40 dBz cenderung terjadi cuaca buruk di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Jika dibandingkan dengan nilai reflektivitas default yaitu 30 dBz, akan memiliki rentang yang cukup jauh (bisa dilihat pada gambar 6 sampai gambar 8). Nilai ambang batas yang terlalu jauh rentangnya akan mempengaruhi akurasi dalam memberikan warning cuaca buruk.

(a) (b)

Gambar 6. Nilai Ambang Batas (a) Default 30 dBz dan (b) Baru 40 dBz dengan produk SWWI pada tanggal 28 Maret 2014 jam 12.00 UTC

0 20 40 60 80

NILAI REFLEKTIFITAS MUSIM PERALIHAN

(6)

(a) (b)

Gambar 7. Nilai Ambang Batas (a) Default 30 dBz dan (b) Baru 40 dBz dengan produk SWWI pada tanggal 19 Desember 2014 jam 11.10 UTC

(a) (b)

Gambar 8. Nilai Ambang Batas (a) Default 30 dBz dan (b) Baru 40 dBz dengan produk SWWI pada tanggal 20 Desember 2014 jam 05.40 UTC

Berdasarkan perbandingan nilai ambang di atas (gambar 3.5 sampai gambar 3.7), dapat diketahui bahwa produk SWWI threshold default (30 dBz) pada gambar (a) menyatakan peluang lebih besar dalam menentukan potensi terjadinya cuaca buruk, dibandingkan dengan produk SWWI threshold baru (40 dBz). Hal ini berarti apabila menggunakan threshold default akan memiliki kecenderungan terjadinya overestimate dalam memberikan peringatan cuaca buruk akan lebih besar dibandingkan dengan threshold baru yang mendekati nilai reflektifitas yang paling sering muncul di wilayah Jakarta dan sekitarnya pada musim Hujan dan Peralihan.

4. KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan yang telah dianalisa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Nilai reflektifitas saat terjadi cuaca buruk disertai dengan petir berasal dari awan konvektif yang paling sering muncul pada musim hujan di

wilayah Jakarta dan sekitarnya adalah 54 dBz, sedangkan pada musim peralihan adalah 55 dBz. Maka sebagai input threshold intensity pada produk SWWI yang sesuai dengan kondisi awan konvektif di wilayah Jakarta dan sekitarnya periode musim hujan dan musim peralihan dapat ditentukan nilai threshold input intensity untuk potensi cuaca buruk yaitu 40 dBz. 2. Nilai ambang batas (threshold)

default yang digunakan utk input intensity pada produk SWWI sebagai indikator terjadinya cuaca buruk terlalu rendah, sehingga menyebabkan terjadi over estimate dalam pemberian warning.

5. DAFTAR PUSTAKA

BMKG. 2015. Analisis Musim Hujan 2014/2015 dan Prakiraan Musim Kemarau 2015 Propinsi Banten dan DKI Jakarta. BMKG: Jakarta.

(7)

7 Carine P.A.D.V., Maria. 2014. Penentuan

Threshold Intensity untuk Produk SWWI pada Radar Cuaca Denpasar dengan Menggunakan Data Lightning Detector (Studi Kasus 2013). STMKG: Jakarta.

Michael, I. B., dan Steven, A. L. 2000. An

Improved Scheme for

Convective/Stratiform Echo Classification Using Radar Reflectivity. Department of Meteology Texas A & M University College Station Texas.

Muchlisin, P. G. W. 2015. Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Pada Saat Kejadian Hujan Lebat. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, vol.2 No.1 hal.38-49. National Meteorological Library and Archive

Fact Sheet 2. 2011. Thunderstorms. Satiadi, D., dkk. 2012. ITCZ Monsun

Indo-Australia. Prosiding SNSAA 2012 Tjasyono, Bayong H. K., dan Harijono, Sri

Woro B. 2006. Meteorologi Indonesia 2: Awan & Hujan Monsun. BMKG: Jakarta.

Wardoyo, E. 2011. Pengantar Aplikasi Radar EDGE. Training Radar Cuaca. BMKG

Wardoyo, E. 2011. Pengantar III Output Radar Data. Training Radar Cuaca. BMKG

Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K. 2010. Perspektif Operasional Cuaca Tropis. BMKG: Jakarta

Gambar

Gambar 2. Grafik kejadian petir pada musim hujan 0
Gambar  2  dan  3  menunjukkan  rata  –  rata  kejadian  petir  pada  musim  hujan  mencapai  lebih  dari  100  kejadian  dalam  satu  hari,  sedangkan  rata  –  rata  kejadian  petir  pada  musim  peralihan  kurang  dari  100  kejadian  dalam  satu  hari
Gambar 6. Nilai Ambang Batas (a) Default 30 dBz dan (b) Baru 40 dBz dengan  produk SWWI pada tanggal 28 Maret 2014 jam 12.00 UTC
Gambar 7. Nilai Ambang Batas (a) Default 30 dBz dan (b) Baru 40 dBz dengan  produk SWWI pada tanggal 19 Desember 2014 jam 11.10 UTC

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan- kesimpulan Reduksi Data.. Jadi jumlah seluruh personil ada 12 orang. Jumlah ruang kelas ada 6 yang kondisinya masih bagus, ditambah 1 ruang kantor,1

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 73 rekam medik pasien yang menggunakan antibiotik profilaksis pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit Pekanbaru Medical Center bulan

SMP Negeri 3 Klaten khususnya guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia telah menyesuaikan kurikulum KTSP yang ada dengan kurikulum yang baru berlaku

Desain input adalah daftar masukan yang digunakan dalam Sistem Informasi Efektivitas dan Efisiensi Peralatan berbasis metode OEE dan OIE di PT Kediri Matahari Corn

Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian “PENERAPAN SEAM FRAMEWORK DALAM PENGEMBANGAN MASTER TEMPLATE SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Terdapat dua kelompok karbohidrat yaitu karbohidrat kompleks dan karbohidrat sederhana. Karbohidrat kompleks adalah padi-padian, umbi-umbian dan makana lainnya seperti tepung, sagu

Perhatikan: Celah Pematrian yang diselaraskan dengan baik dan sangat sempit, pada umumnya tidak memiliki lagi atau hanya sedikit memiliki patri murni (gambar 4c). Patri ini

Observations and interview were used as the instruments for this study. Observations were used as to observe the classes taught by both teachers to find the