• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemunduran Mutu Kayu

Bowyer et al. (2003) menyebutkan bahwa faktor penyebab kemunduran (deteriorasi) mutu kayu terbagi dalam dua kelompok besar yaitu faktor biologis dan faktor non-biologis. Beberapa faktor yang termasuk ke dalam faktor biologis seperti cendawan yang menyebabkan noda, pelunakan, dan pembusukan; pengebor laut (marine borrer), terutama cacing laut dan kerang kecil; serangga termasuk rayap, semut kayu, kumbang; serta bakteri. Faktor non-biologis meliputi sinar ultraviolet, abrasi mekanik, asam dan basa kuat, produk korosi logam dan suhu (api).

Sebagian besar deteriorasi kayu disebabkan oleh organisme perusak yang bersifat saprofit dan parasit, karena kayu merupakan media untuk berkembang biak bagi organisme perusak tersebut. Ada beberapa kondisi yang diperlukan agar organisme perusak dapat berkembang antara lain yaitu terdapat sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok, kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu, persediaan oksigen yang cukup, dan suhu yang cocok (Hunt & Garratt 1986).

2.2 Keawetan Kayu

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan (Martawijaya 1989). Keawetan alami kayu dipengaruhi oleh kadar ekstraktifnya. Umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, keawetan alami kayu cenderung meningkat pula (Wistara 2002).

Sementara itu menurut Syafii (1996) keawetan alami kayu adalah tingkat keawetan kayu tanpa perlakuan pengawetan. Keawetan alami kayu disebabkan oleh komponen bioaktif berupa zat ekstraktif yang bersifat racun sehingga mampu menahan serangan organisme perusak kayu. Kayu dengan keawetan alami tinggi pada umumnya lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu seperti jamur, rayap, kumbang, cacing laut dan organisme perusak kayu lainya.

(2)

Keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis dan zat ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinine dan damar (Tsoumis 1991). Selain itu, berat jenis (BJ) kayu juga mempengaruhi keawetan alami kayu.

Keawetan kayu berhubungan dengan pemakaiannya. Suatu kayu dikatakan awet apabila umur pakainya panjang dalam artian mampu menahan berbagai macam serangan makhluk hidup perusak kayu seperti jamur, serangga, dan binatang laut penggerek kayu.

Seng (1990), menggolongkan keawetan kayu Indonesia berdasarkan perkiraan lamanya ketahanan kayu dalam pemakaian pada berbagai keadaan dan ketahanannya terhadap serangan rayap, jamur, dan bubuk kayu kering. Pembagian ini hanya berlaku untuk dataran rendah tropik dan tidak termasuk ketahanan terhadap cacing laut (marine borer).

2.3 Pengawetan Kayu

Menurut Darmawan et al. (2011) pengawetan kayu dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan memasukkan bahan kimia beracun ke dalam kayu dengan tujuan agar umur pemakaian (life service) kayu lebih lama.

Kegiatan pengawetan kayu dapat menggunakan jenis kayu kurang awet yang sebelumnya tidak atau kurang dimanfaatkan dengan baik. Adanya pengawetan kayu akan memberikan dampak terhadap penggunaan sumber daya alam yang lebih efisien, serta memungkinkan bertambahnya lapangan kerja yang dapat mengurangi tingkat pengangguran.

Tujuan utama dari pengawetan kayu adalah untuk memperpanjang umur pemakaian kayu yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. Dengan demikian, tindakan pengawetan kayu sifatnya pencegahan atau preventif, meskipun sering pula dilakukan pemasukkan bahan pengawet kayu kepada kayu yang sedang digunakan atau yang sedang dipasang di suatu tempat (insitu

treatment), baik terhadap kayu yang sebelumnya tidak diawetkan atau terhadap

kayu yang sebelumnya sudah diawetkan sehingga disebut pengawetan ulang (remedial treatment) (Darmawan et al. 2011).

(3)

2.4 Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif merupakan komponen kayu yang berjumlah kecil, biasanya kurang dari 10% bagian kayu dan larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau air. Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dengan berat molekul yang rendah (Sjostrom 1995). Klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia

Kadar ekstraktif kayu Nilai

Kelas tinggi > 4%

Kelas sedang 2-4%

Kelas rendah < 2%

Sumber : Anonim (1976), diacu dalam Lestari dan Pari (1987)

Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur, dan rayap. Zat ekstraktif dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non-polar (Fengel & Wegener 1995).

Proporsi ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% hingga lebih dari 10% berdasarkan berat kering tanur kayu, untuk beberapa jenis dari daerah tropis bisa terdapat sekitar 20%. Adanya variasi tidak hanya terdapat diantara spesies, tetapi juga dalam pohon yang sama, terutama diantara kayu gubal dan kayu teras (Tsoumis 1991). Bagian-bagian yang berbeda dari pohon yang sama seperti batang, cabang, akar, kulit kayu, tugi, dan daun biasanya memiliki perbedaan dalam jumlah maupun komposisi ekstraktif (Sjostrom 1995).

Menurut Sjostrom (1995) senyawa kimia zat ekstraktif dalam kulit batang yang bersifat polar adalah konstituen-konstituen fenol, yakni kelompok stilben lignin, tannin-tanin terhidrolisis, flavonoid, dan tannin-tanin terkondensasi.

Fengel dan Wegener (1995) mengemukakan bahwa daun-daunan juga mengandung zat ekstraktif. Selain mengandung senyawa-senyawa yang juga terkandung di dalam kayu seperti: mono-terpena, diterpena, asam lemak, fenol

(4)

sederhana, lignan, flavonoid, gula, protein, juga terdapat beberapa asam resin, asam siklis, dan berbagai siklitol.

2.5 Suren Merah (Toona sinensis Roem.)

Suren Merah termasuk ke dalam famili Meliaceae dengan genus Toona. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama Suren (Jawa), Surian (Kalimantan) atau Mapala/Molopaga (Sulawesi). Tumbuhan ini tersebar di Bhutan, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand, dan Cina. Di Cina, pohon ini ditemukan di wilayah Fujian, S Gansu, Guangdong, Guangxi, Guizhou, Hebei, Henan, Hubei, Hunan, Jiangsu, Jiangxi, S Shaanxi, Sichuan, SE Xizang, Yunnan, Zhejiang, sedangkan di Indonesia jenis ini dibawa Teysmann dari Sumatera ke Jawa. Suren Sabrang sangat tersebar terutama di daerah priangan (Jawa Barat). Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 100-2.900 m dpl (Shu et al. 2008). Klasifikasi ilmiah T. sinensis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi ilmiah Suren Merah T. sinensis

Kingdom Plantae Subkingdom Tracheobionta Superdivisi Spermatophyta Divisi Magnoliophyta Kelas Magnoliopsida Sub-kelas Rosidae Ordo Sapindales Famili Meliaceae Genus Toona

Spesies Toona sinensis Roem.

Sumber : Anonim (2012)

Suren Merah dapat diperbanyak secara generatif yaitu melalui biji. Daun dan kulit kayunya beraroma cukup tajam sehingga secara tradisional petani sering menggunakan daun Suren Merah untuk menghalau hama serangga tanaman. Daun Suren Merah dapat berperan sebagai pengusir serangga (repellent) yang digunakan dalam keadaan hidup (insektisida hidup) (Jayusman 2006).

Menurut Shu et al. (2008) pohon Suren Merah memiliki ciri utama warna kayu merah seperti daging direbus, riap tumbuhnya jelas, susunan pori tata lingkar dan isi porinya berupa endapan merah kecoklatan (Gambar 1). Suren Merah

(5)

merupakan tanaman tahunan cepat tumbuh yang berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl. Kayu Suren Merah tergolong ringan, dengan gubal coklat muda dan teras merah dan beraroma bawang putih (garlic) dan merica. Sementara itu daun Suren Merah berukuran 32-120 cm, dengan ukuran tangkai 5,5-20 cm, dan biji berukuran 0,8-1 cm x 1,7-2 mm dan bunga 3,5–4,5 mm (Gambar 2).

Gambar 1 Batang Suren Merah (T. sinensis).

Gambar 2 Daun Suren Merah (T. sinensis).

Berat jenis kayu Suren Merah adalah : (0,27-0,67); kelas awet : IV/V; kelas kuat : IV. Kayu Suren Merah umumnya digunakan sebagai bahan bangunan

(6)

ringan (termasuk lemari), dinding hias, langit-langit, peti teh, kotak cerutu, bangunan kapal dan perahu dayung, alat musik (antara lain piano), vinir lapisan muka kayu lapis dan ukiran (Newman et al. 1999).

Dinata (2005) melaporkan bahwa Suren Merah memiliki kandungan bahan surenon, surenin dan surenolakton yang berperan sebagai penghambat pertumbuhan, insektisida dan penghambat makan (antifeedant) terhadap larva ulat sutera. Senyawa-senyawa tersebut juga terbukti merupakan repellent (pengusir atau penolak serangga). Disamping sebagai insektisida, Suren Merah telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tumbuhan yang berkhasiat obat.

Daun Suren Merah sering digunakan sebagai pestisida nabati dan merupakan bahan alam yang potensial dikembangkan menjadi antikanker ovarium. Hasil penepisan fitokimia simplisia daun Suren menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoid, tanin, dan steroid/triterpenoid (Aprianthi et al. 2006).

2.6 Rayap

Menurut Sigit dan Hadi (2006), rayap merupakan serangga primitif yang sangat dekat kekeluargaannya dengan kecoa. Di alam, rayap sangat berguna mengubah kayu mati dan bahan organik lainnya yang mengandung selulosa untuk dijadikan humus. Dari aspek tersebut, rayap merupakan serangga yang sangat berguna di satu sisi, namun di sisi lain apabila manusia mulai membangun gedung dengan komponen kayu sebagai bahan bakunya maka rayap dapat merusak bangunan tersebut sebagai habitat dan makanannya. Rayap mempunyai mikroorganisme di dalam ususnya yang dapat mengubah selulosa menjadi bahan-bahan lain yang dapat dicerna oleh tubuh rayap.

Rayap merupakan serangga sosial, dan terdapat pembagian kerja di antara kastanya. Hampir setiap jenis rayap mempunyai kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja yang mempunyai tugas yang sangat spesifik yaitu membangun sarang, mengumpulkan makanan dan memberi makan kasta reproduktif dan prajuritnya sedangkan pada jenis rayap primitif, pekerjaan tersebut semuanya ditangani oleh nimfa, bahkan ada beberapa jenis rayap yang mempunyai kasta pekerja dan nimfa yang saling bekerja sama dalam melaksanakan tugasnya (Sigit & Hadi 2006).

(7)

Menurut Nandika et al. (1996) dalam setiap koloni rayap pada umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif yang terdiri atas kasta primer (raja dan ratu) serta kasta reproduktif suplementer:

a) Kasta pekerja mempunyai jumlah anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hipognat tanpa mata majemuk. Mandibelnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.

b) Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga–serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Masa bersialang (swarming) ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu selanjutnya dengan segera menanggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Pekerjaan semasa hidupnya hanya menghasilkan telur, sedangkan untuk makanannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup 6 sampai 20 tahun, bahkan sampai berpuluh–puluh tahun.

c) Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya besar dengan penebalan kulit yang nyata. Anggota–anggota kasta ini mempunyai rahang atau mandibel yang besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar.

Dalam koloni rayap secara umum kasta pekerja berjumlah paling banyak dalam koloni karena berfungsi sebagai pencari dan pemberi makan bagi seluruh anggota koloni, sedangkan kasta reproduktif yang befungsi untuk berkembang biak umumnya berjumlah lebih sedikit. Makanan dari kasta pekerja disampaikan kepada kasta prajurit dan kasta reproduktif melalui anus atau mulut (Supriana 1994).

Rayap termasuk ke dalam ordo Isoptera, mempunyai tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Rayap merupakan serangga pemakan kayu (xlyophagus) atau bahan-bahan yang mengandung selulosa (Nandika 2003). Perilaku rayap dalam kegiatan makan di laboratorium menunjukkan bahwa dalam

(8)

keadaan lingkungan tinggal yang terpaksa, rayap akan memakan bahan yang diberikan. Pada tahap awal rayap akan melakukan penyesuaian terlebih dahulu dengan lingkungan yang disediakan. Hal ini ditandai dengan aktivitas rayap yang masih rendah untuk makan, rayap yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan akan melakukan orientasi makan. Jika makanan yang disediakan atau diumpankan sesuai, maka rayap akan meneruskan makan, akan tetapi jika tidak sesuai rayap akan memilih berpuasa. Rayap yang lemah akan berangsur-angsur mati dan menjadi makanan bagi yang kuat (Supriana 1994). Rayap dalam hidupnya di alam dihadapkan pada keadaan terdapat banyak pilihan makanan sedangkan pada kondisi pengujian rayap akan memilih tipe makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang mengandung selulosa tetapi juga tipe makanan yang paling mudah digigit dan dikunyah (Krishna & Weesner 1969).

Menurut Nandika et al. (2003), dalam hidupnya rayap memiliki beberapa sifat yang khas seperti :

1. Sifat Trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan.

2. Sifat Kriptobiotik, yaitu sifat rayap untuk menyembunyikan diri dan tidak menyenangi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode yang pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya.

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini menonjol jika rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa rayap biasa disebut sebagai “semut putih” (warna kasta pekerja dan kasta prajurit berwarna putih), tetapi rayap bukanlah semut (ordo Hymnoptera). Dalam pembagian jenisnya, rayap dibagi dalam kelompok besar yaitu rayap kayu kering (dry-wood termites) dan rayap tanah (moist-wood atau subterranean termites). Koloni rayap dibangun oleh raja dan ratu (bertelur ribuan setiap hari) dengan dibantu oleh kasta prajurit dan kasta pekerja. Semua jenis rayap mampu memakan kayu atau bahan yang mengandung

(9)

selulosa. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan di dalam usus bagian belakang rayap (terutama rayap tingkat rendah) dari sistem pencernaannya terdapat berbagai jenis protozoa flagelata. Protozoa flagelata berperan sebagai simbion dalam sistem pencernaan rayap yang dengan bantuan enzim selulase mampu menguraikan selulosa menjadi bahan yang dapat diserap rayap. Rayap akan saling menyalurkan makanan, fenomon serta protozoa melalui perilaku trofalaksis. Selain protozoa flagelata, ada beberapa jenis rayap terutama rayap tingkat tinggi (Termitidae) yang mengandung bakteri dalam sistem pencernaannya yang berperan sama.

Menurut Nandika et al. (2003) rayap tanah adalah jenis rayap yang bersarang di dalam tanah, memerlukan kebasahan, kelembaban, dan menyerang komponen kayu bangunan rumah dan gedung maupun isinya yang mengandung selulosa. Terdapat dua famili rayap tanah di Indonesia, yaitu Rhinotermitidae dan

Termitidae. Rayap tanah mudah menyerang kayu sehat atau kayu busuk yang ada

di dalam atau di atas tanah lembab. Selain itu, rayap juga dapat membentuk saluran-saluran yang terlindung pada pondasi-pondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak dapat ditembus serta dapat mendirikan sarang berbentuk seperti menara langsung dari tanah. Saluran dan menara-menara tersebut terbuat dari tanah yang halus dan kaya akan dicerna sebagian, kemudian direkatkan bersama dengan ekskresi serangga, hal ini memungkinkan rayap untuk menciptakan kondisi kelembapan dalam kayu yang cocok. Jika kondisi ini tidak tercipta maka kayu akan kering sehingga tahan terhadap serangan dari jenis rayap ini. Jika rayap bekerja dalam suatu bangunan yang jauh dari tanah atau sumber-sumber kelembapan lainnya, rayap tanah ternyata tetap dapat membentuk tabung-tabung yang menggantung pada kayu-kayu, hal ini dimaksudkan untuk mencari hubungan yang lebih dekat dengan tanah. Apabila rayap tanah dapat mencapai suatu bangunan maka rayap akan memperluas kerjanya sampai cukup tinggi dan sering mencapai tingkat kedua atau ketiga dari bangunan bertingkat tersebut (Hunt & Garrat 1986).

Rayap tanah C. curvignatus mampu menyerang suatu bangunan melalui berbagai cara yaitu, (a) melalui lubang atau retakan kecil pada pondasi, celah-celah dinding dari semen/beton, lantai ubin/keramik, tiang-tiang, pipa-pipa

(10)

saluran air maupun kabel (b) lewat bagian bangunan dari kayu yang berhubungan dengan tanah (c) rayap menembus penghalang fisik seperti plat logam, plastik dan lain-lain. Jenis ini merupakan rayap perusak dengan tingkat serangan paling ganas, tidak mengherankan mereka mampu menyerang hingga ke lantai atas suatu bangunan bertingkat. Sarang rayap tidak bersentuhan langsung dengan tanah sehingga untuk memperoleh kelembaban didapatkan melalui tetesan-tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor atau saluran air dekat instalasi pendingin ruangan. Setelah mendapatkan kelembaban yang sesuai rayap perusak ini akan memperluas serangannya, hal ini dikarenakan rayap perusak ini merupakan jenis rayap yang paling memerlukan air dan tanah (kelembaban yang cukup sebagai kebutuhan mutlak dalam koloninya) (Sigit & Hadi 2006).

Adanya rayap tanah dalam suatu bangunan mungkin saja tidak terdeteksi, sampai ketika bagian-bagian kayu yang parah serangannya mulai memperlihatkan kerusakan barulah keberadaan rayap tanah dapat terdeteksi. Sementara itu terdapat tanda-tanda tertentu yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan rayap sebelum terjadi kerusakan seperti munculnya saluran-saluran dari tanah pada fondasi-fondasi bata, batu, beton, pipa-pipa pemanas, atau semacamnya, serta munculnya laron secara musiman. Adanya rongga di dalam tiang-tiang dan kayu-kayu besar lainnya yang terserang dapat diketahui dengan menurunnya resonansi kayu bila dipukul dengan palu atau alat sejenisnya (Hunt & Garratt 1986).

Rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya; mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm; lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm; panjang badan 5,5-6,0 mm; bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri; abdomen berwarna putih kekuning-kuningan. Koloni bersarang dalam kayu atau bahan lain yang mengandung selulosa yang terdapat di dalam atau di permukaan tanah. Apabila diganggu atau diserang maka rayap kasta prajurit akan mengeluarkan cairan yang

(11)

menyerupai susu (Nandika et al. 2003). Mengenai sistematika rayap tanah

C.curvignathus dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi rayap tanah C.curvignathus

Filum Arthropoda Kelas Insecta Sub-kelas Pterigota Ordo Isoptera Famili Rhinotermitidae Sub-famili Coptotermitinae Genus Coptotermes

Spesies Coptotermes curvignathus

Holmgren Sumber : Nandika et al. (2003)

Menurut Nandika dan Husaeni (1991), rayap kasta pekerja jenis ini tubuhnya berwarna putih pucat dan mampu membuat saluran-saluran yang ditutupi oleh tanah dan dapat melekat pada tembok atau kayu. Tanah tersebut berfungsi sebagai pelindung dari ancaman predator, sinar matahari, dan mempertahankan kelembaban suhu.

Rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak yang menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas (Gambar 3). Rayap ini mampu menyerang hingga ke lantai tiga suatu bangunan bertingkat. Rayap akan masuk ke dalam kayu sampai bagian tengah yang memotong sejajar dengan serat kayu melalui lubang kecil yang ada di permukaan kayu (Prasetyo & Hadi 2005).

(12)

Di dalam usus rayap C. curvignathus terdapat tiga genus flagelata yaitu genus Preudotricchonimpa, Holomastigotoidea, dan Spirotrichonimpha.

Pertumbuhan populasi flagelata tersebut dipengaruhi oleh makanan yang dimakan oleh rayap, karena setiap kayu mempunyai kandungan zat ekstraktif yang berbeda (Suparjana 2000).

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia
Tabel 2  Klasifikasi ilmiah Suren Merah T. sinensis
Tabel 3  Klasifikasi rayap tanah C.curvignathus

Referensi

Dokumen terkait

27 Sejarah Perkembangan Pancasila ( yang dimaksud adalah perubahannya secara tekstual) berakhir pada masa sidang PPKI pertama tanggal 18 Agustus 1945, dengan disahkannya

Dalam penelitian ini data yang akan disimpulkan adalah data yang terkait dengan pembinaan narapidana melalui pendidikan agama, hal-hal yang menjadi kendala dalam

Di Sumatera Barat, angka kejadian kanker payudara adalah 5,6% angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian rata-rata Nasional yang hanya sekitar 4,3%

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dinyatakan bahwa pelaksanaan Pengelolaan Batas Wilayah Laut dan Pesisir

1) BUMN dapat mengelola dan menggunakan cabang – cabang produksi yang pokok untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara maksimal demi tercapainya kesejahteraan dan

Berdasarkan hasil paparan pada bab sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara

1) Peneliti memasuki ruang kelas pada jam ketiga (setelah upacara bendera). 2) Peneliti mengecek presensi siswa melalui buku kehadiran. 3) Peneliti membuka kegiatan dengan

Hasilnya diketahui bahwa penerapan pajak rokok akan dapat menurunkan konsumsi dan produksi rokok, meningkatkan total penerimaan pemerintah dari produk rokok, menurunkan net