• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Industri Gula

Industri gula menghasilkan sejumlah limbah baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah industri gula mengandung bahan organik yang berpotensi mencemari lingkungan bila tidak tertangani dengan baik. Menurut Widiantoko (2010) limbah padat yang dihasilkan berupa ampas tebu (baggase), blotong, dan abu ketel. Ampas tebu merupakan residu dari penggilingan tebu yang mengandung serat dan selulosa (Kuo dan Lee 2009) sedangkan abu ketel merupakan hasil pembakaran ampas tebu sebagai bahan bakar boiler pada suhu 550-600 °C (Batubara 2009).

Blotong (filter cake) merupakan residu dari proses pemurnian nira berupa endapan semi basah. Komposisi blotong menurut Anonim (2009) adalah dari sabut, wax dan lemak kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2, CaO, P2O5 dan MgO. Perbedaan komposisi bahan tergantung dari pola produksi

dan tebu yang digunakan. Berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB unsur yang terkandung dalam blotong dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi blotong

Parameter Blotong Bahan Organik 15,59 % Nitrogen 0,32 % Karbon 8,39% Fosfor 0,49 % C/N ratio 26,22 Kalium (K2O) 0,19 % Kalsium 1,81% Besi 0,43% Alumunium 0,52 % Mangan 0,04 % Magnesium 0,084 %

Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, 2011 Limbah cair industri gula berasal dari kegiatan produksi dan kegiatan non produksi. Limbah cair sangat berbahaya bagi lingkungan terutama badan air sebagai tempat pengeluaran akhir. Menurut Anonim (2010) limbah cair memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas badan air. Limbah cair yang berasal dari bekas ketel memiliki suhu yang tinggi bila air tersebut langsung dibuang akan menyebabkan kematian biota air. Bahan organik yang terkandung dalam limbah cair akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air. Selain itu, timbulnya bau, perubahan warna dan kekeruhan air dapat mengurangi nilai estetika lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya pengolahan khusus terhadap limbah cair dari unit Instalasi Penangan Air Limbah (IPAL) industri gula.

(2)

5 Pada umumnya, industri di Indonesia menggunakan sistem penangan limbah cair secara biologis untuk mengurangi beban pencemar limbah cair. Pengolahan limbah cair secara biologis bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan organik yang terdapat di dalam limbah dengan bantuan mikroorganisme. Adapun tipe proses pengolahan biologis secara aerob yang sering digunakan antara lain Activated Slude Process (proses lumpur aktif), Stabilization Ponds (kolam stabilitas), Trickling Filter, dan Rotating Biological Contactors (RBCs) (Djajadiningrat, 1992). Sebagian besar industri gula yang beroperasi di Indonesia menerapkan sistem penangan limbah cair Activated Sludge Process.

Sama seperti proes utama pembuatan gula kristal, proses penangan limbah cair pun menghasilkan limbah lainnya yakni sludge. Menurut Suprayitno (2001) sludge merupakan kumpulan mikroorganisme yang bekerja mengurai bahan organik dalam sistem pengolahan limbah cair. Selama proses berlangsung, jumlah sludge akan terus meningkat sebagai hasil dari pertumbuhan mikroorganisme pengurai.

Sebagian besar komponen sludge terdiri dari mikroorganisme sehingga dapat diperkirakan bahwa komposisi dasar sludge adalah sel mikroba. Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa komposisi dasar sel yatitu 90% material organik dan 10% material anorganik. Fraksi organik menunjukan bahwa terdapat 53% kandungan C dan memiliki kandungan ratio C/N empiris yaitu 4,3%. Fraksi anorganik terdiri dari 50% P2O5, 15% SO3, 11%Na2O, 9% CaO, 8 % MgO, 6 % K2O

dan 1% Fe2O5. Namun, tidak semua sludge mengandung komponen dasar yang sama. Menurut Arifudin (2001) karakteristik sludge industri berbeda-beda tergantung dari jens industri, tambahan bahan kimia, dan sistem dewatering dari sludge. Karakteristik sludge industri gula berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi sludge industri gula

Parameter Blotong Bahan Organik 42.19 % Nitrogen 3.79 % Karbon 23.18% Fosfor 1.86 % C/N ratio 6.12 Kalium (K2O) 1.74 % Kalsium 1.83% Besi 1.41% Alumunium 1.02 % Mangan 0.148 % Magnesium 0.106 %

Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, 2011

2.2. Teknologi Pengomposan

Ada beberapa sistem penangan limbah padat yang telah dikenal antara lain pembakaran (inceneration), pembuangan (landfilling), dan penggunaan kembali (recycling). Sistem pembakaran limbah padat menghasilkan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses lainnya. Pembakaran dapat mengurangi volume limbah padat dengan cepat namun massa jenis yang dihasilkan tidak berubah. Selain itu, proses pembakaran limbah padat menghasilkan komponen organik dan

(3)

6 anorganik tertentu yang dapat membahayakan kesehatan manusia bila terakumulasi dalam udara. Sebagai contoh, emisi senyawa organik yang berbahaya yaitu dioxin sedangkan bahan anorganik berbahaya yaitu Cadmium dan campuran mercury. Pembakaran pada suhu 100-1200ºC dapat menghilangkan senyawa dioxin namun hal ini membutuhkan supplai energi yang besar sehingga biaya operasional sistem ini menjadi tinggi.

Landfilling merupakan salah satu cara penanganan limbah padat dengan cara mengumpulkan limbah padat pada suatu areal lahan tertentu. Sistem ini membutuhkan lahan yang luas untuk menampung limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi berlangsung. Namun, ketersediaan lahan yang terbatas saat ini mengakibatkan pengelolaan sistem landfilling sangat mahal. Selain itu, penimbunan limbah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya emisi gas yang berpeluang menimbulkan bahaya bagi manusia.

Sistem recycling merupakan sistem pendayagunaan limbah menjadi suatu produk lain yang memiliki nilai tambah dan manfaat tersendiri. Sistem recycling merupakan sistem yang paling efektif untuk mengatasi penimbunan limbah padat. Selama proses recycling berlangsung, limbah padat mengalami perubahan bentuk menjadi benda dengan fungsi yang berbeda. Pengomposan merupakan bagian dari kegiatan recycling karena proses ini mendayagunakan limbah padat organik melalui fermentasi. Proses pengomposan dapat mencegah terjadinya penimbunan limbah padat. Pengomposan berperan penting dalam bidang pertanian yang berkelanjutan melalui pertanian organik, pengurangan komponen kimia dalam pertanian dan kegiatan pertanian yang disesuaikan dengan standar operasi EPA.

Menurut Suprihatin et al (2008), sistem pengomposan memiliki beberapa keuntungan antara lain bisnis pengomposan yang ekstensif dapat menyerap tenaga kerja. Keuntungan pengomposan sampah yang lebih bersifat lokal adalah penurunan jumlah sampah yang harns diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga timbunan sampah dapat mencemari saluran air atau air tanah, serta menjadi sarang penyakit. Jumlah kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah juga akan berkurang jika lebih banyak sampah yang dikomposkan. Kualitas udara akan meningkat karena timbunan sampah yangmengandungbahan organic basah akanberkurangdan tidak lagi menumpuk. Secara umum perbandingan keuntungan pengomposan terhadap landfill dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keuntungan sistem pengomposan relatif terhadap landfilling

Sampah

Kompos Pengomposan

(aerobik)

Landfill sites/Open Dumping

(anaerobik)

Perbakian struktur tanah

Pengaruh positif terhadap lingkungan dan sosial CH4, CO2, dan bau

H2O (leachate)

CO2

(4)

7 Pengomposan merupakan suatu proses biokimiawi yang mendekomposisi bahan organik menjadi zat-zat humus oleh berbagai macam mikroorganisme pengurai pada kondisi terkontrol. Biokonversi dilakukan oleh mikroorganisme heterotrofik yang berbeda-beda seperti bakteri, kapang, protozoa, dan actinomycetes (Gaur, 1983). Hasil akhir proses pengomposan berupa bahan yang bagus untuk digunakan tanah sebagai pemulih unsur hara (Indriani 1999). Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk pupuk yang tidak berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya. Hal ini disebabkan selama proses biokonversi berlangsung, suhu bahan akan mencapai suhu pasteurization dari 50-70°C sehingga bakteri patogen dari sludge akan mati (Metcalf dan Eddy 1991) dan proses aerasi yang baik akan menekan kondisi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk (Haug 1890). Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau busuk dan memiliki waktu pengomposan yang relatif singkat sehingga proses ini cocok untuk diaplikasikan pada pengomposan limbah industri gula.

Pada dasarnya proses pengomposan mengubah bahan-bahan organik pada limbah menjadi bahan yang memiliki unsur-unsur yang serupa dengan unsur hara tanah sehingga dapat memperkaya nutrien tanah bagi tanaman. Co-composting merupakan proses pengomposan bahan organik dari hasil samping penanganan limbah cair secara biologis berupa lumpur yang mengandung sisa biomassa. Prinsip co-composting tidak jauh berbeda dengan proses pengomposan pada umumya. Faktor utama yang dapat digunakan sebagai indikator pengomposan adalah ratio C/N. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Indriani (1999) bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan ratio C/N bahan organik hingga sama dengan ratio C/N tanah (kurang dari 20). Ada proses perubahan yang terjadi selama pengomposan yaitu perubahan karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air, serta perubahan protein menjadi amonia, CO2 dan air. Hal ini dapat menurunkan kadar

karbohidrat dan meningkatkan senyawa N yang larut dalam bentuk amonia, sehingga ratio C/N menurun mendekati ratio C/N tanah. Hal yang sama dikemukakan oleh Dalzell et al (1987), selama proses pengomposan berlangsung, mikroorganisme menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik. Proses penguraian tersebut menghasilkan sejumlah energi yang digunakan mikroorganisme untuk pergerakan dan pertumbuhan mikroorganisme baru.

Adapun faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain ratio C/N, ukuran partikel, aerasi, kelembaban, suhu, dan pH.

1. Ratio C/N

Unsur karbon dan nitrogen merupakan sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme. Ratio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 20 – 30 sebagai perbandingan yang paling ideal. Mikroorganisme menggunakan sumber karbon untuk memenuhi kebutuhan energi dan sumber nitrogen untuk mensintesis protein. Ratio C/N yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses dekomposisi.

Hal yang sama dikemukakan oleh Isroi (2008) bahwa rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroorganisme akan memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 - 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein.

2. Ukuran partikel

Aktivitas mikroba pengurai berada di permukaan area bahan dan udara. Ukuran partikel yang lebih kecil memiliki permukaan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan. Hal ini dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik.

3. Aerasi dan kelembaban

Proses pengomposan secara aerobik membutuhkan oksigen yang cukup untuk aktivitas mikroorganisme pengurai. Aerasi secara alami akan terjadi saat terjadi peningkatan suhu yang

(5)

8 menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Proses aerasi dapat dibantu dengan pembalikan atau mengalirkan udara ke dalam tumpukan kompos. Bila aerasi terhambat akan menimbulkan proses anaerob yang ditandai dengan bau busuk. Porositas dan kelembaban sangat mempengaruhi suplai oksigen. Mikroorganisme mendekomposisi bahan organik bila bahan tersebut larut dalam air. Kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba berkisar antara 40-60%. Bila kelembaban kurang dari 40%, aktivitas mikroba menurun sedangkan bila kelembaban diatas 60%, volume udara berkurang sehingga aktivitas menurun dan timbul fermentasi anaerobik.

Menurut Yamada dan Kawase (2005), laju optimum pengomposan sludge dengan serbuk gergaji yaitu 2,0 L/min/kg (berdasarkan total massa bahan baku awal dalam basis kering). Bila melibihi laju aerasi tersebut bahan baku akan menjadi dingin dan kering sehingga efisiensi pengomposan rendah sedangkan bila laju aerasi lebih rendah maka akan terbentuk kondisi anaerobik sehingga tidak diperoleh kualitas kompos yang baik.

4. Suhu

Peningkatan suhu terjadi akibat aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme pengurai. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu maka konsumsi oksigen pun akan meningkat dan proses dekomposisi akan lebih cepat terjadi. Suhu 30-60°C merupakan suhu optimum selama proses pengomposan berlangsung. Suhu diatas 60°C akan membunuh sebagian mikroba, patogen, dan benih gulma namun hanya mikroba termofilik saja yang masih bertahan hidup.

5. Nilai pH

Nilai pH optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. Pengomposan dapat menyebabkan perubahan bahan organik sehingga terjadi perubahan pH. Bahan organik yang terurai menghasilkan asam akan menurunkan pH sedangkan yang menghasilkan ammonia akan meningkatkan pH pada fase awal. Namun, kompos yang sudah matang memiliki pH yang mendekati netral.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengomposan limbah pertanian yaitu passive composting, windrow, aerated pile, dan in-vessel composting. Setiap metode tersebut dapat merubah kondisi proses pengomposan dengan memanipulasi aerasi, suhu, pembalikan bahan, dan kebutuhan investasi baik dari segi waktu, peralatan maupun lahan yang akan digunakan (Koehler-Munro 2001).

Berikut ini metode pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk menangani limbah pertanian yang dikemukakan oleh Koehler-Munro (2001):

a. Passive composting merupakan metode pengomposan dengan menimbun bahan baku kompos dan memiliki pemeliharaan yang sederhana. Metode ini sesuai dengan bahan – bahan organik yang memiliki porositas tinggi sehingga difusi oksigen dapat berlangsung secara pasif. Proses pengomposan memerlukan waktu yang relative lebih lama karena proses dekomposisi berjalan lambat.

b. Sistem windrow dapat dilakukan baik secara tradisional maupun modern. Secara tradisional, metode ini hampir serupa dengan passive composting. Sistem windrow secara modern menggunakan bantuan mesin untuk mencampur dan membalik bahan untuk meningkatkan porositas dan melepaskan panas, uap air dan gas yang terkandung bahan selam pengomposan. c. Sistem aerated pile merupakan metode pengomposan dengan bantuan aerasi buatan. Aerasi

tersebut dapat dapat dilakukan secara pasif maupun aktif. Aerasi secara pasif mengurangi proses pembalikan dengan menggunakan pipa berlubang yang diletakan pada bagian dasar tumpukan kompos ataupun reaktor pengomposan. Aerasi secara aktif menggunakan aerator sebagai sumber

(6)

9 aerasi yang dialirkan ke dalam pipa. Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan dalam metode ini namun pembalikan tersebut tetap dilakukan sekali untuk sirkulasi udara optimum, menyebarkan kadar air bahan, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan segar oleh mikroorganisme. Aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu pengomposan yang lebih singkat dibandingakan dengan aerasi secara pasif.

d. In-vessel composting merupakan metode pengomposan yang memiliki periode pengomposan singkat dan membutuhkan sedikit lahan. Namun, cenderung membutuhkan biaya tinggi dan pengontrolan proses yang lebih ketat. Proses pengomposan berlangsung pada sebuah reactor atau wadah dengan pemberian aerasi dan pembalikan (pengadukan) otomatis menggunakan mesin.

2.3. Proses Pengomposan

Proses pengomposan merupakan proses dekomposisi bahan organik dalam lingkungan yang terkendali. Pada dasarnya, semua bahan organik yang mengandung unsur karbon dan nitrogen dapat dikomposkan. Proses pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama seperti yang dikemukakan oleh Indriani (1999) bahwa proses pembuatan kompos memerlukan waktu hingga mencapai 2 – 3 bulan bahkan ada yang mencapai 6 – 12 bulan. Lama proses pengomposan tergantung dari ratio C/N yang dimiliki oleh bahan. Ratio C/N yang jauh melebihi 30 memiliki waktu pengomposan yang relatif lama untuk menurunkan ratio C/N bahan tersebut.

Selain itu, bahan baku kompos memerlukan ratio C/N yang ideal sehingga dapat mengoptimalkan penguraian bahan organik. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N kurang dari 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terdekomposisi dalam waktu yang lama. Selain itu, keadaan ini dapat menyebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia, karena menguap (teroksidasi) selama proses perombakan berlangsung.

Selain ratio C/N, kondisi proses pengomposan seperti kelembaban, ketersediaan oksigen, ukuran partikel, bulk density, pH dan suhu juga harus diperhatikan untuk menghindari kegagalan dalam membuat kompos. Kondisi proses yang ideal menurut Rynk (1992) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kondisi proses yang ideal untuk pengomposan Kondisi Kondisi Yang dapat diterima Kondisi Ideal

Ratio C/N 20 – 40 25 – 35

Kelembaban 40 – 65 % 45 – 62 %

Konsentrasi oksigen > 5% > 10%

Ukuran Partikel 1 inchi Bervariasi

Bulk density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd

pH 5,5 – 9,0 6,5 – 8,0

Suhu 43 – 66 oC 54 – 60 oC

Proses dekomposisi dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Proses dekomposisi aerobik berlangsung dengan adanya oksigen sedangkan proses dekomposisi anaerobik berlangsung tanpa adanya oksigen. Produk samping yang dihasilkan selama proses aerobik berlangsung antara lain

(7)

10 CO2 dan air sedangkan dalam proses anaerobik produk samping yang terbentuk yaitu CH4, alkohol,

CO2 dan asam-asam organik (Indriani 1999). Pada proses pengomposan ini, dekomposisi secara

anaerobik tidak diinginkan karena dapat menghasilkan bau yang tidak sedap dan mempengaruhi kualitas kompos yang terbentuk. Bau tidak sedap tersebut berasal dari terbentuknya H2S dan sulfur

organik (Haug 1980).

Proses dekomposisi bahan organik menurut Setyorini (2006) terjadi secara biofisiko – kimia melibatkan kegiatan biologis mikroba dan mesofauna. Secara umum, proses dekomposisi biokimiawi secara aerobik dan anaerobik dapat dilihat pada reaksi sebagai berikut.

Secara aerobik :

Bahan organik + O2 H2O + CO2 + hara +humus + enersi

Secara anaerobik :

Bahan organik CH4 + hara +humus

Secara lebih rinci, proses dekomposisi tiap unsur organik yang terjadi selama pengomposan seperti reaksi di bawah ini.

Dekomposisi bahan spesifik pada pengomposan aerobik (Gaur 1983): (CH2O)x + xO2 xCO2 + xH2O + Energi

N-organik NH4+ NO2- NO3- + Energi

S-organik SO42- + Energi

P-organik H3PO4 Ca(H2PO4)2

Pada proses dekomposisi menurut Sutanto (2002) terjadi dalam tiga tahapan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Tahapan kematangan kompos

Tahapan Pematangan Bahan Produk

Dekomposisi dan sanitasi Dekomposisi intensif Kompos segar

Konversi Pematangan utama Kompos segar

Sintetik Pasca pematangan Kompos matang

Mikroba mendekomposisi secara intensif, selama proses ini berlangsung terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Panas dapat membunuh sebagian bakteri patogen yang terdapat dalam bahan. Aktivitas mikroorganisme tersebut juga mengkonversi bahan organik secara biokimiawi menghasilkan produk berupa unsur hara (humus).

Secara rinci, Isroi (2008) menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan pH kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas 50 - 70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu

tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif

Mikroba aerob N, P, K Mikroba anaerob

N, P, K

Gula, selulosa, hemiselulosa

Protein dan senyawa N-organik

(8)

11 pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2008).

2.4. Karakteristik Kompos

Kompos merupakan hasil dari proses pengomposan bahan organik. Menurut Murbandono (2000), kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian dengan meningkatkan kandungan bahan organik pada tanah sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah. Bila dibandingkan dngan pupuk kimia, unsur makroyanglebih tinggi daripada kompos. Menurut (Indrasti et al. 2005) walaupun pupuk kimia memiliki kandungan unsur yang lebih tinggi dan mudah dalam pengaplikasiannya, pupuk kimia memiliki efek samping yang merugikan. Pupuk kimia dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah dan residu bahan kimia dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Anonim (2010), fungsi pupuk organik belum bisa tergantikan oleh pupuk kimia. Fungsi tersebut antara lain:

a. pupuk organik mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro meskipun dalam jumlah kecil, b. memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehigga dapat meningkatkan kualitas aerasi,

memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air c. mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah d. meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah

e. meningkatkan pH tanah pada tanah yang cenderung asam f. tidak menyebabkan polusi tanah dan air

Menurut Anonim (2010), kompos sebagai pupuk organik memiliki kekurangan yaitu kandungan unsur hara dari bahan mineral yang rendah bila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Menurut Lahuddin (2007), unsur hara esenial yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Mo, B, Fe, dan Cl). Kelebihan unsur yang tersedia ini dapat meracuni tanaman.

Kompos merupakan bahan yang terdiri dari material organik yang telah terdekomposisi menjadi unsur-unsur pembentuknya. Unsur ini merupakan zat-zat hara yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Pernyataan ini ditegaskan oleh pernyataan Chaniago (1987) bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Penggunaan kompos dapat memperbaiki sifat kimia tanah karena kompos merupakan sumber unsur hara makro dan mikro mineral meskipun dalam jumlah yang kecil seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, seng, cuprum, boron, dan silikon. Selain itu, berdasarkan sifat fisik, kompos dapat menggemburkan struktur tanah yang padat seingga mempermudah proses pengolahan tanah dan memperlancar difusi oksigen. Sifat biologi tanah meningkat karena adanya mikroorganisme bermanfaat yang dapat menyuplai kebutuhan karbon dan nitrogen serta hormon pertumbuhan tanaman (Setyorini, 2003).

Kompos merupakan nutrien tanah pertanian yang dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan unsur hara tanah. Penambahan kompos dapat juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang memiliki peran penting sebagai penghasil senyawa perangsang pertumbuhan tanaman. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat sehingga tanaman dapat menyerap nutrien tanah dengan baik. Tanaman yang menggunakan pupuk kompos cenderung lebih baik kualitasnya karena unsur hara yang tersedia berasal dari bahan alami.

Selain itu, peranan lain dari kompos menurut Chaniago (1987) adalah penambahan material organik yang terkandung dalam kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sifat fisik tanah yang semula padat dapat menjadi gembur sehingga pengolahan lahan menjadi lebih mudah.

(9)

12 Penyebab tanah yang menjadi gembur yaitu adanya senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium dan hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Struktur tanah yang baik akan memperlancar difusi oksigen dan memperbaiki kondisi fisiologis akar. Kadar bahn organk yang tinggi memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus cokelat kehitaman) sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak. Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa ukuran kompos sebanyak 5 ton/ha dapat meningkatkan kandungan air tanah pada tanah yang subur (CPIS 1991).

Sifat kimia tanah yang diperbaiki yaitu sumber makro dan mikro mineral yang lengkap walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Penggunaan kompos dalam jangka panjang dapat memperbaiki pH pada tanah yang masam. Pada tanah yang memiliki unsur fosfat rendah, kompos dapat menyediakan fosfat organik yang diperlukan oleh tanah. Selain itu, kompos mengandung misel humus yang mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3 – 10 kali) sehingga penyediaan unsur makro dan mikromineral lebih lama. Peranan bahan organik pada tanah yaitu bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompeks sehingga ion logam yang dapat meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn dapat diperkecil dengan khelat bahan organik.

Perbaikan sifat biologi tanah meliputi keberadaan mikroorganisme yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas pertumbuhan tanaman. Kompos mengandung fungi, bakteri, alga dan actynomycetes yang dapat memaacu berkembangnya mikroorganisme tanah. Aktivitas berbagai mikroorganisme tanah dapat menghasilkan hormon pertumbuhan seperti auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu prtumbuhan dan perkembangan akar tanaman. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Garcia et al (1994) dengan bahan organik pada kompos dapat memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase oleh peningkatan biomassa mikroba.

Bahan organik dan unsur hara menjadi kandungan utama kompos. Kandungan unsur hara pada setiap kompos dapat berbeda – beda tergantung dari bahan yang dikomposkan dan cara pengomposan (Tim Redaksi Trubus 1999). Komponen unsur hara kompos dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5. Komponen bahan yang terdapat dalam kompos

Komponen Kadar (%) Kadar Air 41 Bahan Kering 59 Karbon (C) 8,2 Nitrogen (N) 0,09 Fosfor (P2O5) 0,36 Kalium (K2O) 0,81 Ratio C/N 23

Sumber : Mochtar di dalam Tim Redaksi Trubus (1999)

Harada et al (1993) menyatakan bahwa tingkat kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang matang memiliki kandungan bahan organik yang mudah terdekomposisi, ratio C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang tidak sedap, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur - unsur yang merugikan tanaman seperti phytotoxic, benih gulma, dan patogen lainnya.

(10)

13 Kematangan kompos dapat diuji melalui parameter ratio C/N, stabilitas terhadap pemanasan, reduksi bahan organik dan humidifikasi (Setyorini 2006). Selain itu, indikator kematangan kompos juga dapat dilihat dari penampakan fisik, pH, KTK, dan laju respirasi seperti yang dikemukakan para peneliti terdahulu. Indikator tersebut dapat terlihat pada Tabel 6. Kualitas kompos yang akan dipasarkan harus memenuhi standar kualitas kompos meurut SNI 19-7030-2004 yang tertera pada Tabel 7.

Tabel 6. Indikator kematangan kompos

Parameter Indikator Pustaka

Suhu Stabil Stickelberger, 1975

pH Alkali Jaun et al 1959

Ratio C/N < 20 Juste 1980

Laju respirasi < 10 mg g- kompos Morel et al 1979

Warna Cokelat tua Sugahara et al 1982

Bau Earthy Chanyasak et al 1982

KTK > 60 me 100 g- abu Harada et al 1971

Sumber : Yang 1998

Tabel 7. Standar mutu kompos

No. Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar air % - 50

2 Temperatur oC Suhu air tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau Berbau tanah

5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air % 58 -

7 pH 6,80 7,49 8 Bahan Asing % * 1,5 9 Bahan organic % 27 58 10 Nitrogen % 0,40 - 11 Karbon % 9,80 32 12 Fosfor (P2O5) % 0,10 - 13 C/N ratio 10 20 14 Kalium (K2O) % 0,20 * 15 Kalsium % * 25,50 16 Magnesium % * 0,60 17 Besi % * 2,00 18 Alumunium % * 2,20 19 Mangan % * 0,10

Gambar

Tabel 1.  Komposisi blotong  Parameter   Blotong   Bahan Organik   15,59 %   Nitrogen   0,32 %   Karbon   8,39%   Fosfor   0,49 %   C/N ratio   26,22  Kalium (K 2 O)   0,19 %  Kalsium   1,81%  Besi   0,43%  Alumunium   0,52 %  Mangan   0,04 %  Magnesium
Tabel 2.  Komposisi sludge industri gula  Parameter  Blotong  Bahan Organik  42.19 %  Nitrogen  3.79 %  Karbon  23.18%  Fosfor  1.86 %  C/N ratio  6.12  Kalium (K2O)  1.74 %  Kalsium  1.83%  Besi  1.41%  Alumunium  1.02 %  Mangan  0.148 %  Magnesium  0.106
Gambar 1.  Keuntungan sistem pengomposan relatif terhadap landfilling Sampah
Tabel 3.  Kondisi proses yang ideal untuk pengomposan  Kondisi  Kondisi Yang dapat diterima  Kondisi Ideal
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penggunaan media papan balik dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa autis kelas 1 di SLB Autis Laboraturium Universitas Negeri Malang dapat dilihat dari

Selanjutn ya, catatan memberitahukan kepada kita, ketika pikiran beliau telah tenang secara sempurna, pada jam malam per tama Beliau mampu mengingat kelahiran-kelahiran lampaun

Jika Tertanggung mengalami Kecelakaan dan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal terjadinya Kecelakaan tersebut Tertanggung meninggal dunia sebelum mencapai Usia

Nilai tambah yang praktikan peroleh setelah melaksanakan PPL 2 adalah praktikan mendapatkan pengalaman dalam dunia pendidikan baik yang berkaitan dengan kegiatan

Peraturan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan

memiliki kemampuan menyediakan per sonil yang diper lukan untuk pel aksanaan peker jaan sebagai berikut.. SM K/ STM Teknik, memiliki SKT,

Penelitian lainnya dilakukan Panjares dan Schunk [11] menemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat self- efficacy yang tinggi juga menunjukan tingkat pengaturan

Delik-delik tertentu (special delicten) di dalam KUHP.. memudahkan atau menolong kejahatan tersebut. Skedar si pelaku kejahatan mengharapkan bahwa barang yang telah