MENGGAGAS TAFSIR KOLEKTIF TEMATIS
Oleh
Drs. H. Kgs. M. Daud, M.HI
( Widyaiswara Utama Balai Diklat Keagamaan Palembang )
ABSTRAK
Menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh sang muffasir diuraikan bermula dari arti kosa kata asbab, al nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tablily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Harapan terwujudnya tafsir tematis kolektif. Tafsir tematis diharapkan lahir konsep-konsep Al-Qur’an menyangkut berbagai permasalahan actual. Seorang mufassir tematis berusaha untuk berangkat dari Al – Qur’an dalam memberikan solusi bgi persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Tafsir tematik ditengarai sebagai metode alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Selain diharapakan dapat memberi jawaban atas pelbagai problematika umat, metode tematik dipandang sebagai yang paling obyektif. Sebab melalui metode ini seolah penafsir mempersilahkan Alquran berbicara sendiri menyangkut berbagai permasalahan. Istanthiq alqur'an (ajaklah Alquran berbicara), demikian ungkapan yang sering dikumandangkan para pendukung metode ini.1 Dalam metode ini, penafsir yang hidup di tengah realita
kehidupan dengan sejumlah pengalaman manusia duduk bersimpuh di hadapan Alquran untuk berdialog; mengaiukan persoalan dan berusaha menemukan jawabannya dari Alquran.
1 M. Baqir al-Shadr, Al-Madrasah al-Qur’aniyyah, (Qum: Syareat, Cet. III, 1426 H), hal. 31. Ungkapan Istanthiq al-Qur’an terambil dari Imam Ali bin Abi Thalib kw. dalam kitab
Nahj al-Balaghah, Khutbah ke 158, yang mengatakan : Dzalika al-Qur’an fastanthiquhu (Ajaklah
Dikatakan obyektif karena sesuai maknanya, kata al-mawdhu' berarti sesuatu yang ditetapkan di sebuah tempat, dan tidak ke mana-mana.2 Seorang
mufassir mawdhu'iy ketika menjelaskan pesan-pesan Alquran terikat dengan makna dan permasalahan tertentu yang terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Kendati kata al-mawdhu' dan derivasinya sering digunakan untuk beberapa hal negatif seperti hadis palsu (hadis mawdhu), atau tawadhu' yang asalnya bermakna al-tadzallul (terhinakan), tetapi dari 24 kali pengulangan kata ini dan derivasinya kita temukan juga digunakan untuk hal-hal positif seperti peletakan ka'bah (Q.,s. al Imra'n ; 96), timbangan/ al-Mizan (Q.,.s. Al-Rahman ; 7) dan benda-benda surga (Q.,.s Al- Gha'syiyah ; 13 dan 14)3. Dengan demikian
tidak ada hambatan psikologis untuk menggunakan istilah ini (Tafsir
al-Mawdhu'iyy) seperti dikhawatirkan oleh dclosen penulis di Universitas Al-Azhar,
Prof. Dr. Abdul Sattar Fathullah.4
Metode ini lahir untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi oleh pendekatan tahlilly, yaitu menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang 'dianggap perlu' oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab
al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan
ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi'iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena dianggap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.
2 Al-Jawhariy, Taj al-Lughah wa Shihah al ‘Arabiyyah (Beirut : Dar Ihya al-Turats al Arabiyy, 2001), Bab al-‘Ain, Fashl al-Waw, 3/1300
3M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, dan Al-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an (Libanon : Dar al-Ma’rifat), 1/526
4Abd. Sattar Fathullah Said, Al-Madkhal ila al-Tafsir al-Mawdhu’iy (Kairo : Dar al-Nasyr wa al-Tawzi’ al-Islamiyyah, Cet. 2, 1991), hal. 22.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih mendominasi. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis dunia Islam; Afghani, Abduh dan Ridha 5 , disusun
dengan metode tersebut. Demikian pula karya-karya reformis lainnya seperti al-Qasimi, al-Maraghy, Ben Badis dan Izzat Darwaza. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tele. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat. Karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar.
Kendati istilah tafsir tematik baru populer pada abad ke-20, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun 70-an, tetapi embrio tafsir tematik sudah lama muncul. Bentuk penafsiran Alquran dengan Alquran (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an) atau Alquran dengan penjelasan hadis (tafsir al-Quran bi al-Sunnah) yang telah ada sejak masa Rasulullah disinyalir banyak pakar sebagai bentuk awal tafsir tematik6. Demikian
pula karya-karya ulama klasik yang mengelompokkan satu permasalahan tertentu dalam Alquran dipandang sebagai bentuk awal tafsir tematik. Sekadar menyebut contoh ; Ta’wil Musykil Qur'an karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Nuzhat
al-Qulub fi Gharib al-Qur'ain, karya Abu Bakar al-Sijistani (w.330 H), al-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an karya Ibnu al-Qayyim (w.751 H) dan lainnya. Selain itu
sebagian mufassir dan ulama klasik seperti al-Razy, Abu Hayyan dan al-Biqa 'iy telah mengisyaratkan perlunya pemahaman ayat-ayat Alquran secara utuh.
Di awal abad modern, M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru
5Al-Fadhil Ibnu Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluhu, dalam Majmu’ah al-Rasa’il al-Kamaliyah (Thaif : Maktabat al-Ma’arif), hal. 486.
6Musthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy (Damaskus : Dar al-Qalam, Cet. III, 2000), hal. 17
diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutika Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah
adaby-nya7sebenarnya juga menitikberatkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab
suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, "Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara tematis, tidak menurut urutan mushaf "8
Di Indonesia, metode ini diperkenalkan dengan baik oleh Prof. M. Quraish Shihab. Melalui beberapa karyanya la memperkenalkan metode ini secara teoritis maupun praktis9. Karya-karyanya kelfudian dlikuti oleh para mahasiswanya dalam
bentuk tesis dan disertasi di perguruan tinggi Islam.
Melihat pentingnya karya tafsir tematis, Departemen Agama RI, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI, Nomor BD/38/2007, tanggal 30 Maret 2007, telah membentuk tim pelaksana kegiatan penyusunan tafsir tematik, sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah Kerja Ulama Alquran tanggal 8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14-16 Desember 2006 di Ciloto. Kalau sebelumnya tafsir tematis berkembang melalui karya individual, kali ini Departemen Agama RI menggagas agar terwujud sebuah karya tafsir tematis yang disusun oleh sebuah tim sebagai karya bersama (kolektif). Ini adalah bagian dari ijtihad jama’iyy dalam bidang tafsir.
Harapan terwujudnya tafsir tematis kolektif seperti ini sebelumnya pernah disampaikan oleh mantan Sekjen Lembaga Riset Islam (Majma' al-Bubuts
a1-Islamiyyah) Al-Azhar di tahun tujuh puluhan, Prof. Dr. Syeikh M. Abdurrahman
Bishar. Dalam kata pengantarnya atas buku Al-Insan fi al-Qur'an, karya Dr. Ahmad Mihana, Syeikh Bishar mengatakan : "Sejujurnya dan dengan hati yang tulus kami mendambakan usaha para ulama dan ahli, baik secara individu maupun kolektif,. untuk mengembangkan bentuk tafsir tematis, sehingga dapat
7 Pernyataan metode bayaniy (adabiy) Al-Khuli mengaposi hermeneutika Barat (Schleirmacher) dikemukakan oleh Sayyed Ahmad Khalil, Guru Besar Sastera Arab Universitas Alexandria, dalam bukunya Dirasat fi al-Qur’an, hal. 148
8Manahij Tajdid, hal. 233
9Secara teori M. Quraish Shibab memperkenalkan metode ini dalam tulisannya, “Metode Tafsir Tematik” dalam bukunya “Membumikan Alqur’an” (Bandung: Penerbit Mizan, Cet. I, Mei 1992), hal. 111. Dan secara praktis, beliau memperkenalkannya dengan baik dalam buku Wawasan
melengkapi khazanah kajian Alquran yang ada"10. Sampai saat ini, telah
bermunculan karya tafsir tematis yang bersifat individual dari ulama-ulama Al-Azhar, namun belum satu pun lahir karya tafsir tematik kolektif.
Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini di perguruan tinggi Islam Indonesia. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, `tingginya subyektifitas penafsir', 'penafsiran yang `mengikat' generasi berikut', `sebagai justifikasi pendapat mufasir' juga akan dialaminya. Karena ini penulis dapat memahami jika ada beberapa guru besar yang berkeberatan dengan metode ini untuk diaplikasikan dalam tesis dan disertasi.
C. BEBERAPA CATATAN DALAM PENERAPAN TAFSIR TEMATIS Dari beberapa kali menguji tesis atau proposal tesis dan disertasi di PPs. UIN Jakarta, secara umum penulis mempunyai beberapa catatan berikut : 1. Prof. M. Quraish Shihab memberikan ilustrasi metode maudhi'iy (tahlily)
sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu'iy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu'iy tentu lebih tepat". Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan’ kateringn’ya. Yang membaca karya-karya tematis M. Quraish Shihab dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran-nya akan dapat merasakan kualitas 'katering' masing-masing. Untuk itu prasyarat keilmuan (kebahasaan, ulum syar’iyyah dan
waqi’iyyah) dan amaliah " yang ditetapkan para ulama layak untuk menclapat
perhatian dari seseorang yang menafsirkan Alquran secara tematis.
2. Problematika umat yang sangat mendesak untuk dicarikan solusinya saat ini antara lain yang terkait dengan masalah-masalah sosial. Tafsir tematik
10Dikutip dari Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iyy, (Kairo : Maktabah Jumhuriyyat, Cet. II, 1977) hal. 66
diharapkan dapat memberi kontribusi di sini. Untuk itu diperlukan pisau analisis sosial, budaya, antropologi dan psikologi. Seseorang yang akan menulis tentang konsep perubahan dalam Alquran diharuskan seperti penulis dengar dalam sebuah sidang proposal disertasi- menguasi teori-teori sosial Weber dan lainnya. Hemat penulis, jika ini terlampau jauh dilakukan, mufasir tematik akan terjebak pada kesalahan yang sering dialami oleh mufassir ilmiah, yaitu menjadikan sebuah teori yang belum mapan untuk menafsirkan teks yang mapan, sehingga perubahan dan perkembangan teori akan berdampak pada anggapan teks yang keliru. Apalagi teori-teori ilmu sosial sangat rentan terhadap relatifitas dan subyektifitas. Yang juga akan terjadi, pra-asumsi mufassir terhadap suatu masalah menjadi dominan, sehingga Alquran cenderung hanya akan menjadi alat legitimasi. Memahami teori-teori itu sangat baik, tetapi menjadikannya acuan untuk menganalisa akan menghilangkan obyektifitas yang sangat diharapkan dari sebuah tafsir tematik. Tafsir tematik adalah sebuah metode induktif (istiqra’iy) yang berusaha untuk menarik kesimpulan yang berupa solusi permasalahan dari berbagai isyarat yang berserakan di berbagai tempat.
3. Subyektifitas tafsir tematik yang berkembang di tanah air terlihat juga dalam pemilihan topik/tema. Ketika berkembang wacana pluralisme agama, penulis misalnya, mendapatkan seorang mahasiswa yang mengajukan proposal disertasi dengan terra pluralisme agama dalam Alquran. Di sini akan sangat mudah mufassir tematik untuk terjebak pada subyektifitas; antara mendukung atau menolaknya. Sebab pluralisme adalah wacana baru yang masih debatable di kalangan para ahli dan kebenarannya dipertanyakan banyak orang. Untuk menghindari subyektifitas yang berlebihan, hemat penulis sedapat mungkin tema yang diangkat tidak keluar dari kosa kata atau derivasinya yang digunakan oleh Alquran.
4. Kendati berbeda dengan metode-metode lain seperti tahlily, muqaran dan
ijmality, tetapi seorang mufassir temtis (mawdhu'iy) dituntut untuk tetap
menggunakan metode-metode lain. Perbedaan metode itu bersifat variatif, dan bukan kontradiktif. Ketika membahas suatu masalah dan berkaitan dengan
penjelasan kata atau kalimat, seorang mufassir mawdhu'iy juga harus merujuk ke karya-karya tafsir tablilly. Demikian pula ketika menemukan keragaman pandangan mufassir dalam suatu masalah dan mengharuskannya memilih/ mentarjih, maka metode muqaran juga harus ditempuh. Untuk itu kemampuan menguasai kitab-kitab tafsir klasik mutlak diperlukan.
5. Seperti diketahui, tafsir tematik memiliki dua bentuk, pertama menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu topik tertentu, baik dari keseluruhan surah-surah Alquran maupun satu surah tertentu; kedua : tafsir yang berusaha menyimpulkan kesatuan ide atau gagasan dalam satu surah Alquran. Agaknya bentuk kedua ini belum banyak mendapat perhatian dari para ulama klasik maupun kontemporer, termasuk di Indonesia. Diantara ulama yang memberi perhatian terhadap bentuk kedua ini, Al-Biqa'iy dalam Masha’id al-Nazhar fi
Maqashid al-Suwar, Sayyid Quthub dalam Zhilal al-Qur'an, Abdullah Diraz
dalam al-Naba al-Azhim, Abdullah Shahatah dalam Ahdaf kulli Surah wa
Maqashiduha fi al-Qur'an al-Karim, Abdul Hayy al-Farmawi dalam Mafatih al-Suwar dan lainnya.
6. Seorang Mufassir mawdhu'i akan menarik kesimpulan berupa kaidah atau konsep qur'ani dari berbagai ayat yang dikumpulkan dan dikajinya berkenaan dengan suatu topik permasalahan. Untuk itu diperlukan syumul al-nazhrah (pandangan komprehensio, kerendahan hati dan sikap tidak tergesa-gesa dalam membuat kesimpulan sehingga tidak terjebak pada kekeliruan yang pernah dialami oleh para ulama terdahulu".
D. LANGKAH-LANGKAH DALAM TAFSIR TEMATIS
Dalam Musyawarah Ulama Al-Qur' an, tanggal 14-16 Desember 2006, di Ciloto, disepakati beberapa langkah yang ditempuh dalam penyusunan tafsir tematik, yaitu :
1. Menentukan topik atau tema yang akan dibahas.
2. Menghimpun ayat-ayat menyangkut topik yang akan dibahas. 3. Menyusun urutan ayat sesuai masa turunnya.
5. Memperhatikan sebab nuzul untuk memahami kontek ayat
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis dan pendapat para ulama 7. Mempelajari ayat-ayat secara mendalam
8. Menganilisis ayat-ayat secara utuh dan kemprehensif dengan jalan mengkompromikan antara yang ‘am dan khash, yang muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya.
9. Membuat kesimpulan dari masalah yang dibahas.
Kesembilan langkah di atas masih bersifat teoritis dan global, karena itu perlu penjelasan lebih lanjut.
1. Menentukan topik atau tema yang akan dibahas.
Melalui tafsir tematis diharapkan lahir konsep-konsep Alquran menyangkut berbagai permasalahan aktual. Seorang mufassir mawdhu’iy (tematis) berusaha untuk berangkat dari Alquran dalam memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Subyektifitas mufassir dalam menyuguhkan konsep qura’niy memang tidak bisa dielakkan, tetapi dapat diminamilisir, antara lain dengan memilih topik atau tema dari idiom atau kosa kata yang digunakan Alquran. Menggunakan idiom syura lebih tepat kiranya dari pada demokrasi yang memiliki pengertian berbeda dengan syura yang merupakan konsep qur'aniy. Penggunaan lafal tertentu dalam Alquran memiliki rahasia tersendiri yang harus dicari oleh seseorang yang berusaha menangkap makna pesan Tuhan. Karena itu terbatas, sedangkan permasalahan masyarakat selalu berkembang, maka dimungkinkan untuk menentukan tema dengan mengambil inspirasi dari pemaparan Alquran menyangkut suatu masalah. Misalnya, dengan mengamati kehancuran umat-umat terdahulu dapat ditentukan sebuah tema seperti "jatuh-bangunnya sebuah peradaban". Tema-tema yang disajikan Alquran beragam; ada yang sangat luas seperti masalah akidah (keesaan dan kekuasaan Tuhan dan lainnya), dan ada yang dalam bentuk isyarat singkat seperti korupsi yang diisyaratkan dalam ayat-ayat tentang larangan memakan harta secara tidak haq. Karena itu, panjang dan pendeknya pembahasan dalam tafsir tematik akan beragam, sesuai uraian yang ada dalam Alquran. Jika ada yang dianggap akan
terlalu panjang, tema tersebut dapat dibagi atau dipecah dalam beberapa tema yang lebih fokus lagi.
2. Menghimpun ayat-ayat menyangkut topik yang akan dibahas
Ini bisa dilakukan dengan menginventarisir ayat-ayat terkait melalui beberapa kamus (Ma’ajim) Alquran seperti Al-Mu'jam Mufahras li Alfazh
al-Qur'an al-Karim karya M. Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Alfazh al-al-Qur'an al-Karim,
terbitan Dewan Bahasa Arab Mesir (Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah) dan sebagainya. Ayat-ayat dimaksud adalah yang memiliki kesamaan kosa kata dan derivasinya, atau memiliki keterkaitan makna dengan tema yang sedang dibahas. Namun terkadang kesamaan kosa kata atau derivasinya tidak terkait dengan tema pembahasan seperti dalam pembahasan "Penerapan Hukum Tuhan" (Al-Hukm
bima anzalallah) tidak ada kaitan erat antara "al-hukm" atau "yahkum"
dengan sifat Tuhan yang al-hakim, kendati keduanya berasal dari satu akar kata (ha ka ma).
Upaya menghimpun ayat-ayat di atas untuk memastikan tidak satu pun ayat yang terkait dengan tema bahasan tertinggal. Setelah terhimpun, dapat dieliminir ayat-ayat yang tidak memiliki kaitan erat dengan tema pembahasan.
3. Menyusun urutan ayat sesuai masa turunnya
Secara rinci hal ini sulit untuk dilakukan, sebab sumber-sumber terpercaya tentang itu sangat terbatas. Sebagian besar ayat-ayat Alquran tidak diketahui sebab pewahyuannya. Tetapi secara umum dengan mudah kita dapat mengetahuinya melalui batasan yang dirumuskan Para ulama melalui klasifikasi ayat-ayat atau surah-surah ke dalam kelompok makkiyyah (yang diturunkan sebelum hijrah) dan madaniyyah (yang diturunkan setelah hijrah). Upaya yang dilakukan oleh beberapa sarjana Barat untuk menyusun Alquran berdasarkan kronologi turunnya, oleh Prof. Abdurrahman Badawi, seorang pemikir besar Mesir yang berdomisili di Sorbone, dalam bukunya Difa 'an al-Qur'an Dhidda
Muntaqidih, dinilai gagal sebab tidak didukung oleh bukti-bukti periwayatan yang
kuat melainkan sekadar dugaan yang tak berdasar (takhmin). Sandaran utama dalam menentukan masa turunya ayat atau surah adalah informasi yang disampaikan oleh para sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu melalui jalur
periwayatan yang sahih. Perbedaan antara makkiy dan madaniyy dapat dilihat dari sisi gaya bahasa (uslub) dan tema yang diusung (mawdhu’at) seperti diungkap oleh banyak sarjana Alquran.
Langkah ini menjadi sangat penting terutama dalam kontek ayat-ayat hukum yang hanya dapat dipahami secara benar dengan mengetahui urutan turunnya seperti ayat-ayat yang turun secara sertahap (ayat-ayat khamar dan riba).
4. Memahami korelasi (munasabah) antar-ayat.
Berangkat dari pandangan susunan ayat dan surah dalam Alquran diterima secara tawqifiy (berdasarkan wahyu), Para ulama berkata ada kaitan erat antar-ayat dan surah, bahkan kalimat dalam Alquran. Karena itu perlu ditelusuri korelasi antara satu dengan lainnya. Susunan yang ada dalam mushaf tentunya memiliki banyak rahasia yang tidak boleh diabaikan oleh seseorang yang akan menafsirkannya. seorang mufassir tematis dalam karyanya berusaha mengumpulkan ayat-ayat tertentu yang berserakan di berbagai tempat dalam Alquran untuk sampai pada kesimpulan menyangkut suatu permasalahan. Agar tidak terkesan mencerabut ayat atau melepaskannya dari konteks asal penyebutannya, maka mufassir tematis hendaknya juga memperhatikan konteks penyebutannya, terutama korelasinya dengan ayat sebelum (sibaq al-ayah) dan sesudahnya (lihaq al- ayah).
5. Memperhatikan sebab nuzul untuk memahami kontek ayat.
Seperti telah disinggung pada nomor 3, sebagian besar ayat-ayat Alquran turun tanpa sebab. Bahkan ayat-ayat yang disinyalir memiliki sebab nuzul seperti diurai dalam Asbab al-Nuzul karya al-Wahidiy dan Lubab al-Nuqul karya al-Suyuthi dinilai banyak ahli memiliki kelemahan dalam sanadnya, atau ungkapannya yang beragam seperti nazalat fi kadza ….., …… fanazalat, tidak mengesankan sebab pewahyuan tetapi kesamaan sebuah peristiwa yang dialami sahabat tertentu dengan bunyi sebuah ayat. Namun demikian, satu hal yang disepakati para ulama, mengetahui sebab nuzul sebuah ayat, jika ada, sangat penting dalam menafsirkan Alquran. Keragaman sebab nuzul dapat disikapi dengan memilih riwayat yang paling sahih, atau jika semuanya sahih dengan melihat ungkapan sebab nuzul yang paling tepat.
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis dan pendapat para ulama Hadis disepakati para ulama memiliki peran penting dalam menjelaskan beberapa ayat Alquran. Tetapi karena melalui tafsir tematis akan disuguhkan konsep-konsep qur'aniy maka seorang tafsir tematis sedapat mungkin tidak terlalu luas dalam mengutip sumber di luar Alquran, termasuk hadis dan pendapat serta para ahli dan ulama, kecuali yang bersentuhan langsung dengan tema bahasan. Hadis dan pandangan ulama dikutip hanya untuk menjelaskan kandungan ayat, bukan membentuk anasir baru dalam pembahasan. Pengunaan hadis dan pendapat ahli yang terlalu banyak akan menghilangkan ciri dari sebuah tafsir tematis, dan mengarah kepada yang disebut dengan artikel tafsir (maqa1ah tafsiriyyah). Dalam mengutip hadis diupayakan agar dipilih hadis-hadis yang sahih, sementara pandangan ulama atau ahli, baik klasik maupun kontemporer, dengan menggunakan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Mempelajari ayat-ayat secara mendalam
8. Menganilisis ayat-ayat secara utuh dan kemprehensif dengan jalan mengkompromikan antara yang 'am dan khash, yang muthlaq dan
muqayyaddan lain sebagainya.
Kedua poin ini adalah yang terpenting dalam langkah pembahasan tafsir tematis, sebab dari sini akan lahir ragam konsep menyangkut tema bahasan. Pada tahap ini dapat dilakukan antara lain :
a. Mempelajari dan menganalisa makna kosa kata melalui kamus-kamus bahasa atau Alquran yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Terkadang satu kalimat memiliki sekian pengertian, tetapi maksud atau maknanya dapat ditentukan dengan melihat konteks penyebutan (siyaq al-ayah) dan korelasinya (munasabah).
b. Menjelaskan masalah-masalah kebahasaan seperti nahwu atau balaghah yang dipandang perlu untuk pengayaan makna terkait ayat yang dibahas.
c. Setelah ayat-ayat terkait dikumpulkan, terkadang ada beberapa ayat yang terkesan 'kontradiktif'. Kesan ini seharusnya tidak perlu timbul, karena tidak ada kontradiksi dalam Alquran. Untuk itu dapat dilakukan upaya kompromi (al-jam'ul al-taqfiq) antara ayat-ayat yang mengesankan demikian, seperti
mengkompromikan antara yang muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya, bila tidak memungkinkan dapat dilakukan dengan meneliti mana di antara keduanya yang nasikh dan mansukh melalui riwayat yang sahih.
d. Mengelompokkan ayat -ayat yang telah dihimpun ke dalam beberapa sub tema sesuai anasir yang ditemukan terkait tema bahasan, dan menjelaskannya untuk menemukan konsep-konsep qur'aniy yang kokoh sesuai Alquran.
E. KESIMPULAN
Kesimpulan dimaksud adalah yang dapat menggambarkan tujuan/ maqashid serta bimbingan/ petunjuk Alquran yang dapat membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan masyarakat.
Tema-Tema Aktual Tafsir Tematis
Untuk mewujudkan tafsir tematis kolektif, Departemen Agama RI (Cq. Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Balitbang dan Diklat) pada tahun 2007, telah menyusan Tafsir Tematik dengan tema-tema yang mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, yang terkait dengan kehidupan beragama. Tema-tema tersebut yaitu :
1. Hubungan Antar-umat Beragama, dengan isi pembahasan sebagai berikut : 1) Manusia dan Agama ; 2) Toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain ; 3) Hak-hak dan kewajiban umat beragama dan negara ; 4) Konsep jihad, perang dan damai dalam Islam ; 5) Terorisme dan kekerasan ; 6) Perkawinan beda agama ; 7) Konsep jizyah bagi non muslim dalam Islam ; 8) Etika dialog antaragama ; 9) Peran negara dalam membina kerukunan.
2. Al-Qur'an dan pemberdayaan Kaum Dhu' afa dan Perempuan, dengan materi-materi: 1) Al-Qur'an dan pemberdayaan kaum dhuafa ; 2) Pemberdayaan kaum miskin; 3) Pemberdayaan manusia berusia lanjut; 4) Perlindungan anak; 5) Pemberdayaan perempuan; 6) Pemberdayaan gelandangan dan pengemis; 7) Perlindungan terhadap anak yatim, dan; 8) pemberdayaan dhuafa dalam konteks masyarakat Indonesia.
3. Membangun Keluarga Harmonis, dengan pembahasan : 1) Urgensi berkeluarga ; 2) Pernikahan sebagai komitmen Ilahi dan insani ; 3) Sakinah,
mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga ; 4) Hak dan kewajiban anggota
keluarga ; 5) Beberapa bentuk perkawman yang dipermasalahkan ; 6) Permasalahan dalam keluarga ; 7) Mengatasi konflik dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Sattar Fathullah Said, Al-Madkhal ila’al Tafsir al Mawadhli’iy, Kairo, Cet. II, 1991, hal. 22.
Al-Fadhil Ibnu Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluhu dalam Majmliah al Rosli il, hal. 486. Departemen Agama RI, Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta.
M. Bagir al-Shodr, Al-Madrasah al – kur Aniyyah Cet. III, 1426 H hal 31, Kitab Nahj al-Balaghoh.
Mustafa Muslim, Mababits fi al Tafsir al Mawadhli’iy dan Al-Qur’an, Cet. III, 2000, hal. 17.
Sayyed Ahmad Khalil, Guru Besar Sastra Arab Universitas Alexandria dalam bukunya Dirasad fi Al-qur’an, hal. 148